Hari ini saya memutuskan untuk mengembalikan pembayaran sebesar Rp105.000 kepada seorang calon klien.
Bukan karena nilai nominalnya, melainkan karena bagi kami secara tim, integritas lebih bernilai daripada uang.
Tugas akademik yang sebelumnya telah saya selesaikan ini, saya dokumentasikan di sini sebagai bentuk bukti profesionalisme β bahwa setiap pekerjaan kami jalankan dengan komitmen penuh, tanpa perlu mempertaruhkan nama baik.
Pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan fondasi utama dalam mewujudkan negara hukum yang
demokratis. Melalui peraturan perundang-undangan, nilai-nilai keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dituangkan ke dalam norma-norma tertulis
yang mengikat seluruh warga negara. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang telah diperbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, mengatur secara sistematis tahapan-tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan hingga
evaluasi. Proses ini harus dilakukan dengan memperhatikan asas-asas pembentukan
peraturan yang baik, seperti keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan ketepatan
substansi.[1]
Namun demikian, dalam praktiknya,
tahapan-tahapan tersebut tidak selalu berjalan ideal. Berbagai permasalahan
muncul, seperti rendahnya partisipasi publik, lemahnya kualitas naskah
akademik, pembahasan yang tertutup, hingga pelaksanaan sosialisasi yang tidak
efektif. Evaluasi terhadap efektivitas peraturan juga sering kali diabaikan
atau dilakukan secara formalitas belaka. Akibatnya, banyak regulasi yang tidak
mampu menjawab kebutuhan masyarakat, bahkan berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum.[2] Oleh karena itu, penting
untuk menganalisis secara kritis setiap tahapan dalam proses pembentukan
peraturan, termasuk khusus untuk peraturan daerah (Perda), yang memiliki
dinamika tersendiri dalam konteks otonomi daerah.
Dengan memahami secara mendalam
kelemahan pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan,
diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi perbaikan yang bersifat struktural
maupun substansial. Analisis ini menjadi bagian penting dalam upaya membangun
sistem legislasi nasional dan daerah yang lebih responsif, adaptif, dan
berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
B. Pembahasan
Tahap 1: Perencanaan
Perencanaan pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan tahapan awal yang bersifat fundamental dalam
keseluruhan proses legislasi. Pada tahap ini, disusun Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) di tingkat pusat atau Program Pembentukan Peraturan Daerah
(Propemperda) di tingkat daerah, yang berfungsi sebagai daftar prioritas
rancangan peraturan yang akan dibahas dalam periode tertentu. Penyusunan
program ini harus memperhatikan asas kebutuhan hukum nasional, harmonisasi
antarperaturan, serta partisipasi publik, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022.[3]
Dalam praktiknya, penyusunan
Prolegnas dan Propemperda masih sangat didominasi oleh aktor-aktor politik,
terutama di lingkungan legislatif dan eksekutif. Banyak usulan RUU yang masuk
ke dalam Prolegnas berasal dari inisiatif pemerintah atau anggota legislatif
tanpa melalui mekanisme konsultasi publik yang memadai. Di tingkat daerah,
Propemperda juga kerap kali disusun berdasarkan kepentingan sektoral dinas atau
kepala daerah, tanpa riset kebutuhan hukum lokal yang memadai. Kondisi ini
menyebabkan daftar prioritas seringkali tidak sinkron dengan permasalahan hukum
yang nyata di masyarakat.[4]
Secara kritis, perencanaan
pembentukan regulasi di Indonesia cenderung bersifat elitis dan tidak
sepenuhnya partisipatif. Absennya keterlibatan luas dari masyarakat sipil,
akademisi, maupun organisasi profesi menyebabkan daftar legislasi lebih banyak
mencerminkan agenda kekuasaan ketimbang kebutuhan normatif publik. Keberadaan
mekanisme penyusunan Prolegnas yang ideal di atas kertas tidak cukup efektif
apabila tidak disertai komitmen politik untuk membuka ruang partisipasi yang
bermakna dalam penentuan prioritas legislasi.
Salah satu kelemahan utama dalam
tahap perencanaan adalah minimnya transparansi dalam proses penyusunan daftar
prioritas. Banyak rancangan yang diajukan tanpa kajian kebutuhan yang
komprehensif atau naskah akademik yang kuat. Selain itu, pertimbangan sosial-ekonomi
yang seharusnya menjadi dasar penyusunan sering diabaikan, sehingga muncul
rancangan peraturan yang tidak relevan dengan situasi masyarakat. Kurangnya
transparansi ini memperburuk legitimasi program legislasi yang dihasilkan.
Kelemahan lainnya adalah belum
adanya mekanisme evaluasi sistematis terhadap efektivitas Prolegnas dan
Propemperda sebelumnya. Akibatnya, kegagalan implementasi atau ketidaksesuaian
antara kebutuhan masyarakat dan produk legislasi jarang menjadi pelajaran dalam
penyusunan program berikutnya. Hal ini menyebabkan pengulangan kesalahan dalam
perencanaan legislatif yang pada akhirnya menghambat pembentukan hukum yang
adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman.
Tahap 2: Penyusunan
Tahap penyusunan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan merupakan proses di mana ide-ide legislatif
dituangkan ke dalam bentuk dokumen hukum formal. Pada tahap ini, penyusun harus
membuat naskah akademik sebagai basis konseptual dan rancangan regulasi sebagai
instrumen hukumnya. Penyusunan dilakukan berdasarkan hasil analisis filosofis,
sosiologis, dan yuridis, agar rancangan memiliki dasar teori yang kuat serta
relevansi terhadap kebutuhan masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, setiap RUU
wajib disertai naskah akademik yang disusun secara metodologis dan dapat
dipertanggungjawabkan.[5]
Dalam implementasinya, penyusunan
naskah akademik dan rancangan regulasi seringkali dilakukan secara
tergesa-gesa. Banyak kasus di mana penyusunan hanya menjadi formalitas
administratif tanpa melalui penelitian empiris yang memadai. Di tingkat pusat,
terdapat pula kecenderungan penggunaan jasa konsultan hukum eksternal untuk
menyusun naskah akademik dalam waktu singkat, yang berisiko menurunkan kualitas
kajian. Di tingkat daerah, kemampuan teknis penyusun Raperda sering kali
terbatas, mengakibatkan rancangan regulasi yang normatif namun tidak solutif
terhadap permasalahan hukum lokal.[6]
Dari sudut pandang kritis, tahap
penyusunan mengalami masalah mendasar terkait kualitas isi substansi regulasi.
Banyak produk hukum akhirnya tidak mampu merespon kebutuhan nyata masyarakat
karena lemahnya basis akademik dalam tahap penyusunan. Selain itu, penggunaan
bahasa hukum yang kaku, tidak efektif, dan berpotensi multitafsir memperbesar
kemungkinan terjadinya pelanggaran asas kepastian hukum. Ketiadaan standar
kualitas naskah akademik yang ketat juga memperburuk situasi ini.
Salah satu kelemahan nyata dalam
tahap penyusunan adalah lemahnya pengawasan terhadap substansi naskah akademik
dan rancangan regulasi. Tidak ada mekanisme baku untuk melakukan quality
control terhadap naskah akademik sebelum rancangan diajukan untuk pembahasan.
Akibatnya, banyak regulasi yang dibangun di atas argumen filosofis dan
sosiologis yang dangkal atau bahkan bertentangan dengan asas-asas hukum yang
berlaku. Hal ini menimbulkan risiko lahirnya peraturan yang inkonstitusional
atau tidak efektif saat diterapkan.
Kelemahan berikutnya adalah
kurangnya keterlibatan pihak independen seperti akademisi, lembaga riset, dan
masyarakat sipil dalam proses penyusunan. Meski secara formil terbuka, namun
secara materiil proses ini sering eksklusif hanya melibatkan internal pemerintah
atau lembaga legislatif. Akibatnya, sudut pandang alternatif yang mungkin lebih
progresif atau kritis terhadap substansi regulasi tidak mendapat ruang. Ini
menyebabkan rancangan peraturan menjadi bias, elitis, dan kurang responsif
terhadap kebutuhan masyarakat luas.
Tahap 3: Pembahasan
Tahap pembahasan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan merupakan fase krusial di mana rancangan yang
telah disusun diuji, dikaji, dan dinegosiasikan oleh legislatif bersama
eksekutif. Pembahasan ini dilakukan melalui rapat-rapat di komisi, panitia
kerja, panitia khusus, atau rapat paripurna di DPR/DPRD. Tujuan pembahasan
adalah untuk menyempurnakan substansi rancangan peraturan sehingga memenuhi
asas-asas hukum yang baik seperti kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan
materi muatan, serta keterbukaan partisipasi. Mekanisme pembahasan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2022.[7]
Dalam praktik di lapangan,
pembahasan rancangan peraturan kerap menghadapi berbagai tantangan, mulai dari
minimnya waktu yang disediakan untuk telaah substansi hingga ketertutupan
terhadap aspirasi masyarakat. Sering kali, proses pembahasan berlangsung cepat
tanpa memberikan ruang yang cukup bagi diskusi mendalam, terutama terkait
pasal-pasal kontroversial. Di tingkat daerah, pembahasan Raperda juga terkadang
sekadar formalitas untuk memenuhi tenggat waktu, tanpa evaluasi kritis terhadap
dampak implementasinya. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pembahasan
hanya menjadi bentuk pengesahan politis tanpa pengujian substansi yang memadai.[8]
Secara kritis, pembahasan yang
dilakukan secara tertutup, tidak transparan, dan tidak membuka ruang diskusi
publik bertentangan dengan prinsip meaningful participation. Banyak proses
pembahasan lebih berorientasi pada kompromi politik antar-elit ketimbang pada
upaya mencapai kualitas peraturan yang optimal. Selain itu, lemahnya
dokumentasi hasil pembahasan, seperti risalah rapat yang tidak lengkap atau
bahkan tidak tersedia untuk publik, mengakibatkan hilangnya jejak akuntabilitas
dalam penyusunan norma hukum. Ketidakterbukaan ini pada akhirnya memperlemah
kepercayaan publik terhadap legitimasi peraturan yang dihasilkan.
Salah satu kelemahan utama tahap
pembahasan adalah minimnya keterlibatan masyarakat secara substansial. Meskipun
secara prosedural ada tahapan konsultasi publik, namun dalam banyak kasus
konsultasi tersebut hanya dilakukan secara formalitas belaka tanpa benar-benar
mempertimbangkan masukan masyarakat. Akibatnya, peraturan yang lahir kerap
tidak mencerminkan aspirasi publik dan berpotensi menimbulkan resistensi dalam
implementasinya.
Kelemahan lain yang signifikan
adalah adanya kecenderungan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan
politik pragmatis daripada pertimbangan hukum dan keadilan. Pembahasan
rancangan undang-undang atau peraturan daerah sering kali dipengaruhi oleh kepentingan
jangka pendek fraksi atau partai politik, sehingga substansi norma menjadi
bias. Situasi ini tidak hanya mengancam integritas hukum nasional dan daerah,
tetapi juga mencederai prinsip negara hukum yang seharusnya menjadi dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Tahap 4: Pengesahan dan
Penetapan
Tahap pengesahan dan penetapan
adalah fase resmi di mana rancangan yang telah disetujui bersama oleh DPR/DPRD
dan Presiden/Kepala Daerah diubah statusnya menjadi undang-undang atau
peraturan daerah yang mengikat. Di tingkat pusat, Presiden mengesahkan RUU
menjadi undang-undang dalam waktu paling lambat 30 hari setelah disetujui
bersama, sedangkan di daerah, pengesahan dilakukan oleh Gubernur, Bupati, atau
Wali Kota. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diperbaharui dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.[9]
Meskipun proses pengesahan tampak
administratif, dalam praktiknya sering terjadi permasalahan seperti
keterlambatan pengesahan, atau penolakan untuk menandatangani rancangan yang
sudah disepakati. Pada beberapa kasus, Presiden memilih untuk tidak menandatangani
rancangan tanpa alasan konstitusional yang kuat, sehingga menyebabkan
ketidakpastian hukum[10], hal yang sama juga
berlaku terhadap Kepala Daerah. Ketidakpatuhan terhadap tenggat waktu
pengesahan juga membuka ruang interpretasi yang berbeda mengenai sah atau
tidaknya suatu peraturan, yang dapat memicu sengketa hukum.
Salah satu kelemahan utama pada
tahap ini adalah tidak adanya mekanisme pengujian substantif terakhir sebelum
pengesahan, sehingga produk hukum yang masih memiliki kecacatan formil atau
materiil tetap dapat disahkan tanpa perbaikan. Selain itu, dalam konteks
pengesahan perda, pengawasan dari Pemerintah Pusat terhadap materi muatan
sering kali bersifat represif, mengabaikan semangat otonomi daerah yang
sebenarnya dilindungi konstitusi. Hal ini memperlihatkan adanya ketimpangan
antara prinsip desentralisasi dan praktik pengawasan yang cenderung
sentralistik.
Tahap 5: Pengundangan
Pengundangan merupakan tahap akhir
dari pembentukan peraturan sebelum berlaku secara resmi, di mana undang-undang
atau peraturan daerah dimuat dalam Lembaran Negara, Lembaran Daerah, atau
Berita Daerah. Melalui pengundangan, peraturan perundang-undangan memperoleh
kekuatan hukum mengikat umum. Pengundangan ini diwajibkan oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.[11] Prinsip yang dipegang
adalah asas publikasi, yaitu hukum hanya mengikat setelah diumumkan secara
resmi.
Dalam praktiknya, proses
pengundangan seringkali hanya dilihat sebagai tahap administratif belaka tanpa
memperhatikan substansi dan urgensi penyebarluasan norma hukum kepada publik.[12] Banyak peraturan
diundangkan dalam Lembaran Negara atau Lembaran Daerah tanpa adanya upaya aktif
untuk mendiseminasikan isi peraturan kepada pihak-pihak yang terdampak.
Akibatnya, meskipun secara formil sah, masyarakat atau aparat penegak hukum
kerap kali tidak mengetahui keberadaan atau ketentuan baru dalam regulasi
tersebut.
Kelemahan utama pada tahap
pengundangan terletak pada minimnya aksesibilitas dan transparansi. Tidak semua
Lembaran Negara atau Lembaran Daerah mudah diakses oleh publik secara daring
atau cetak. Selain itu, keterlambatan dalam mengunggah atau mendistribusikan
dokumen resmi tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian hukum, di mana
peraturan sudah mengikat secara hukum tetapi belum diketahui oleh masyarakat
luas, berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum yang tidak disadari.
Tahap 6: Sosialisasi dan
Implementasi
Sosialisasi dan implementasi adalah
tahap penting pasca pengundangan, yang bertujuan untuk menyebarluaskan
informasi tentang peraturan baru kepada masyarakat dan memastikan penerapan
norma hukum secara efektif di lapangan. Tahap ini menjadi jembatan antara
keberlakuan formil suatu peraturan dengan keberlakuan nyata dalam praktik
sosial. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022, pemerintah dan lembaga terkait memiliki kewajiban untuk
menginformasikan isi dan substansi peraturan kepada seluruh lapisan masyarakat.[13]
Dalam praktiknya, sosialisasi
sering dilakukan dalam bentuk seminar, penyuluhan hukum, pengumuman melalui
media cetak, daring, maupun kegiatan tatap muka langsung dengan komunitas
masyarakat. Di beberapa daerah, implementasi dilakukan melalui penyusunan
petunjuk teknis (juknis) atau petunjuk pelaksanaan (juklak) sebagai turunan
dari peraturan induk. Namun, kualitas dan jangkauan sosialisasi sangat
bergantung pada komitmen dan kapasitas lembaga penyelenggara.[14] Ketimpangan dalam
penyebaran informasi, terutama di wilayah terpencil, menyebabkan pemahaman
masyarakat atas peraturan baru menjadi tidak merata.
Kelemahan utama dalam tahap
sosialisasi adalah minimnya strategi komunikasi hukum yang efektif. Banyak
program sosialisasi yang bersifat top-down, formalistik, dan kurang
menyesuaikan dengan karakteristik sosiokultural masyarakat target. Bahasa hukum
yang kaku dan penggunaan metode penyuluhan yang monoton memperburuk efektivitas
penyampaian pesan, sehingga norma hukum tidak dapat dipahami secara
komprehensif oleh masyarakat sasaran. Akibatnya, penerimaan dan kepatuhan
terhadap peraturan menjadi rendah.
Selain itu, pada tahap
implementasi, kendala terbesar adalah kurangnya kesiapan aparat pelaksana
hukum, baik dari segi pemahaman substansi maupun infrastruktur pendukung.
Banyak regulasi baru yang gagal dilaksanakan secara optimal karena aparat
pelaksana tidak dibekali pelatihan memadai atau karena belum adanya perangkat
teknis yang mendukung penerapan peraturan tersebut. Hal ini menciptakan
kesenjangan antara norma hukum yang diatur dalam teks peraturan dan realitas
penerapannya di lapangan.
Tahap 7: Evaluasi dan
Revisi
Evaluasi dan revisi merupakan tahap
akhir dalam siklus pembentukan peraturan perundang-undangan, yang bertujuan
untuk menilai efektivitas, relevansi, dan dampak implementasi peraturan
tersebut terhadap masyarakat. Evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi apakah
peraturan yang telah berlaku mampu mencapai tujuan hukum yang diinginkan dan
mengatasi permasalahan yang ada. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, menekankan pentingnya evaluasi
berkala sebagai bagian integral dari proses legislasi berkelanjutan.[15]
Dalam praktiknya, mekanisme
evaluasi seringkali dilakukan secara ad hoc dan tidak sistematis. Lembaga
legislatif maupun eksekutif jarang melakukan kajian dampak regulasi (regulatory
impact assessment) secara menyeluruh terhadap undang-undang atau peraturan
daerah yang telah berlaku.[16] Akibatnya, banyak
peraturan yang tetap dipertahankan meskipun sudah tidak relevan dengan
perkembangan sosial, ekonomi, maupun teknologi. Bahkan, terdapat kecenderungan
mempertahankan regulasi yang kontradiktif satu sama lain, yang justru
menimbulkan tumpang tindih norma hukum.
Kelemahan utama dalam tahap
evaluasi adalah ketiadaan standar metodologi yang baku dan terukur dalam
menilai efektivitas regulasi. Evaluasi lebih banyak berorientasi pada aspek
formil administratif ketimbang pada substansi dampak nyata bagi masyarakat. Selain
itu, evaluasi jarang melibatkan partisipasi publik secara luas, sehingga
perspektif masyarakat sebagai pihak terdampak langsung atas regulasi sering
terabaikan. Hal ini memperlemah validitas dan legitimasi hasil evaluasi yang
dilakukan.
Pada tahap revisi, permasalahan
utama adalah resistensi politik terhadap perubahan peraturan, terutama apabila
peraturan tersebut memberikan keuntungan kepada kelompok-kelompok tertentu.
Revisi regulasi sering kali hanya dilakukan dalam konteks kepentingan sesaat,
bukan sebagai bagian dari perbaikan berkelanjutan berbasis evaluasi objektif.
Ketiadaan komitmen untuk memperbaharui peraturan yang tidak efektif menyebabkan
stagnasi hukum dan melemahkan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial yang
progresif.
Tahap 8: Evaluasi dan
Revisi (Khusus Perda)
Dalam konteks pembentukan Peraturan
Daerah (Perda), tahap evaluasi dan revisi memiliki peran strategis untuk
memastikan bahwa substansi Perda tetap relevan dan efektif dalam menjawab
kebutuhan hukum masyarakat daerah. Evaluasi terhadap Perda dilakukan untuk
mengukur sejauh mana norma-norma yang diatur dapat diimplementasikan dan
memberikan manfaat hukum serta sosial bagi masyarakat. Ketentuan mengenai
perlunya evaluasi atas pelaksanaan Perda ini selaras dengan prinsip pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2022ΒΉβ°.
Secara teknis, evaluasi terhadap
Perda biasanya dilakukan oleh pemerintah daerah, baik secara internal melalui
unit kerja terkait maupun melibatkan perguruan tinggi, lembaga penelitian, atau
konsultan hukum independen.[17] Evaluasi ini mencakup
analisis terhadap pelaksanaan Perda di lapangan, efektivitas penerapan sanksi
administratif atau hukum, serta dampaknya terhadap aspek sosial, ekonomi, dan
budaya lokal. Hasil evaluasi menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk mengambil
keputusan apakah Perda perlu dipertahankan, direvisi, atau bahkan dicabut jika
dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan keadaan.
Kelemahan yang sering muncul dalam
evaluasi Perda adalah ketidakseriusan pemerintah daerah dalam mengalokasikan
anggaran dan sumber daya untuk melakukan evaluasi yang obyektif dan
komprehensif. Evaluasi lebih banyak dilakukan secara administratif, hanya berupa
laporan rutin tanpa telaah substantif terhadap pelaksanaan di masyarakat.
Selain itu, indikator keberhasilan pelaksanaan Perda seringkali tidak
dirumuskan secara jelas sejak awal, sehingga hasil evaluasi menjadi bias dan
sulit digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan revisi yang akurat.
C. Kesimpulan
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan diperbaharui
melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, telah menetapkan tahapan-tahapan
normatif mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Setiap tahapan memiliki peran
strategis untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan berkualitas,
memenuhi asas-asas hukum yang baik, dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
Meskipun kerangka normatif telah dirancang sedemikian rupa, realitas
pelaksanaan di lapangan masih menunjukkan berbagai kelemahan, mulai dari
minimnya partisipasi masyarakat, lemahnya substansi regulasi, ketertutupan
dalam pembahasan, hingga kurang efektifnya sosialisasi dan evaluasi.
Analisis terhadap setiap tahapan
memperlihatkan bahwa tantangan utama terletak pada kesenjangan antara prinsip
ideal dalam peraturan perundang-undangan dan praktik implementasi di lapangan.
Kurangnya mekanisme pengawasan kualitas pada tahap penyusunan, dominasi
kepentingan politik dalam pembahasan, serta lemahnya komitmen dalam evaluasi
dan revisi menyebabkan banyak regulasi yang tidak efektif, bahkan berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini juga berlaku pada konteks pembentukan
Perda, di mana evaluasi dan revisi terhadap pelaksanaan Perda masih jauh dari
ideal.
Untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan yang efektif, adaptif, dan responsif terhadap perkembangan
masyarakat, diperlukan penguatan pada seluruh tahapan pembentukan, mulai dari
peningkatan partisipasi publik, standarisasi kualitas naskah akademik, hingga
penerapan evaluasi substantif berbasis bukti. Reformasi terhadap praktik
legislasi ini menjadi kunci utama untuk memperbaiki kualitas hukum nasional dan
daerah serta membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahadi, Lalu M. Alwin.
"Efektivitas Hukum Dalam Perspektif Filsafat Hukum: Relasi Urgensi
Sosialisasi Terhadap Eksistensi Produk Hukum." Jurnal USM Law Review
5, no. 1 (2022): 110β127.
Chandranegara, Ibnu
Sina. "Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi." Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum 26, no. 3 (2019): 435β457.
Indriani, Iin, dan
Leli Tibaka. "Kedudukan Presiden Dalam Mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Yang Telah Disetujui Bersama Menjadi Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945." Tadulako Master Law Journal
4, no. 1 (2020): 116β128.
Nasokah.
"Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) Sebagai Upaya Menjamin
Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah." Jurnal Hukum
Ius Quia Iustum 15, no. 3 (2008): 443β458.
Syukri, Muhammad, et
al. "Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa."
Laporan Penelitian SMERU (2018).
Wafa, Muhamad
Khoirul. "Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan
Undang-Undang." Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara 3, no. 1 (2023):
88.
Yamani, Akhmad Zaki.
"Tata Cara, Teknis, dan Tahapan Pembuatan Perundang-Undangan." Journal
of Law and Nation 3, no. 2 (2024): 322β326.
Zaifa, Gilang Abi,
Marip Pasah, Virna Amalia Nur Permata, dan Nada Syifa Nurulhuda. "Dinamika
Prosedur Hukum Formil Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." TERAJU:
Jurnal Syariah dan Hukum 6, no. 01 (2024): 55β57.
[1] Akhmad Zaki Yamani, "Tata
Cara, Teknis, dan Tahapan Pembuatan Perundang-Undangan," Journal of Law
and Nation 3, no. 2 (2024), hlm. 322.
[2] Gilang Abi Zaifa,, et.al.
"Dinamika Prosedur Hukum Formil Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." TERAJU:
Jurnal Syariah dan Hukum 6, no. 01 (2024), hlm. 55.
[3] Abi Zaifa, Gilang, op.cit
hlm. 55.
[4] Akhmad Zaki Yamani, op.cit.,
hlm. 324.
[5] Ibid.
[6] Gilang Abi Zaifa, op.cit.,
hlm. 55.
[7] Akhmad Zaki Yamani, op.cit.,
hlm. 325.
[8] Muhamad Khoirul Wafa, "Peran
dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang," Siyasah:
Jurnal Hukum Tata Negara 3, no. 1 (2023), hlm. 88.
[9] Akhmad Zaki Yamani, op.cit,
hlm. 325.
[10] Iin Indriani, dan Leli Tibaka.
"Kedudukan Presiden Dalam Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Yang Telah
Disetujui Bersama Menjadi Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945." Tadulako Master Law Journal 4,
no. 1 (2020), hlm. 116-128.
[11] Gilang Abi Zaifa, op.cit.,
hlm. 56
[12] Lalu M. Alwin Ahadi.
"Efektivitas Hukum Dalam Perspektif Filsafat Hukum: Relasi Urgensi
Sosialisasi Terhadap Eksistensi Produk Hukum." Jurnal Usm Law Review
5, no. 1 (2022), hlm. 110-127.
[13] Akhmad Zaki Yamani, op.cit.,
hlm. 326.
[14] Syukri, Muhammad, et al.
"Studi implementasi undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang
desa." Laporan Penelitian SMERU (2018).
[15] Gilang Abi Zaifa, op.cit.,
hlm. 57
[16] Ibnu Sina Chandranegara,
"Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi." Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum 26, no. 3 (2019), hlm. 435-457.
[17] Nasokah. "Implementasi
Regulatory Impact Assessment (RIA) Sebagai Upaya Menjamin Partisipasi
Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah." Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM 15, no. 3 (2008), hlm. 443-458.