Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

πŸ“§ Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

πŸ“± WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

πŸ’¬ Konsultasi Gratis via WhatsApp

Sabtu, 26 April 2025

ANALISIS KRITIS TATA CARA TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Hari ini saya memutuskan untuk mengembalikan pembayaran sebesar Rp105.000 kepada seorang calon klien.

Bukan karena nilai nominalnya, melainkan karena bagi kami secara tim, integritas lebih bernilai daripada uang.

Tugas akademik yang sebelumnya telah saya selesaikan ini, saya dokumentasikan di sini sebagai bentuk bukti profesionalisme β€” bahwa setiap pekerjaan kami jalankan dengan komitmen penuh, tanpa perlu mempertaruhkan nama baik.


 A.    Pendahuluan

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fondasi utama dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Melalui peraturan perundang-undangan, nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dituangkan ke dalam norma-norma tertulis yang mengikat seluruh warga negara. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, mengatur secara sistematis tahapan-tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Proses ini harus dilakukan dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan yang baik, seperti keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan ketepatan substansi.[1]

Namun demikian, dalam praktiknya, tahapan-tahapan tersebut tidak selalu berjalan ideal. Berbagai permasalahan muncul, seperti rendahnya partisipasi publik, lemahnya kualitas naskah akademik, pembahasan yang tertutup, hingga pelaksanaan sosialisasi yang tidak efektif. Evaluasi terhadap efektivitas peraturan juga sering kali diabaikan atau dilakukan secara formalitas belaka. Akibatnya, banyak regulasi yang tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat, bahkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.[2] Oleh karena itu, penting untuk menganalisis secara kritis setiap tahapan dalam proses pembentukan peraturan, termasuk khusus untuk peraturan daerah (Perda), yang memiliki dinamika tersendiri dalam konteks otonomi daerah.

Dengan memahami secara mendalam kelemahan pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi perbaikan yang bersifat struktural maupun substansial. Analisis ini menjadi bagian penting dalam upaya membangun sistem legislasi nasional dan daerah yang lebih responsif, adaptif, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

 

B.    Pembahasan

Tahap 1: Perencanaan

Perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan tahapan awal yang bersifat fundamental dalam keseluruhan proses legislasi. Pada tahap ini, disusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tingkat pusat atau Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) di tingkat daerah, yang berfungsi sebagai daftar prioritas rancangan peraturan yang akan dibahas dalam periode tertentu. Penyusunan program ini harus memperhatikan asas kebutuhan hukum nasional, harmonisasi antarperaturan, serta partisipasi publik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.[3]

Dalam praktiknya, penyusunan Prolegnas dan Propemperda masih sangat didominasi oleh aktor-aktor politik, terutama di lingkungan legislatif dan eksekutif. Banyak usulan RUU yang masuk ke dalam Prolegnas berasal dari inisiatif pemerintah atau anggota legislatif tanpa melalui mekanisme konsultasi publik yang memadai. Di tingkat daerah, Propemperda juga kerap kali disusun berdasarkan kepentingan sektoral dinas atau kepala daerah, tanpa riset kebutuhan hukum lokal yang memadai. Kondisi ini menyebabkan daftar prioritas seringkali tidak sinkron dengan permasalahan hukum yang nyata di masyarakat.[4]

Secara kritis, perencanaan pembentukan regulasi di Indonesia cenderung bersifat elitis dan tidak sepenuhnya partisipatif. Absennya keterlibatan luas dari masyarakat sipil, akademisi, maupun organisasi profesi menyebabkan daftar legislasi lebih banyak mencerminkan agenda kekuasaan ketimbang kebutuhan normatif publik. Keberadaan mekanisme penyusunan Prolegnas yang ideal di atas kertas tidak cukup efektif apabila tidak disertai komitmen politik untuk membuka ruang partisipasi yang bermakna dalam penentuan prioritas legislasi.

Salah satu kelemahan utama dalam tahap perencanaan adalah minimnya transparansi dalam proses penyusunan daftar prioritas. Banyak rancangan yang diajukan tanpa kajian kebutuhan yang komprehensif atau naskah akademik yang kuat. Selain itu, pertimbangan sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi dasar penyusunan sering diabaikan, sehingga muncul rancangan peraturan yang tidak relevan dengan situasi masyarakat. Kurangnya transparansi ini memperburuk legitimasi program legislasi yang dihasilkan.

Kelemahan lainnya adalah belum adanya mekanisme evaluasi sistematis terhadap efektivitas Prolegnas dan Propemperda sebelumnya. Akibatnya, kegagalan implementasi atau ketidaksesuaian antara kebutuhan masyarakat dan produk legislasi jarang menjadi pelajaran dalam penyusunan program berikutnya. Hal ini menyebabkan pengulangan kesalahan dalam perencanaan legislatif yang pada akhirnya menghambat pembentukan hukum yang adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman.

 

Tahap 2: Penyusunan

Tahap penyusunan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan proses di mana ide-ide legislatif dituangkan ke dalam bentuk dokumen hukum formal. Pada tahap ini, penyusun harus membuat naskah akademik sebagai basis konseptual dan rancangan regulasi sebagai instrumen hukumnya. Penyusunan dilakukan berdasarkan hasil analisis filosofis, sosiologis, dan yuridis, agar rancangan memiliki dasar teori yang kuat serta relevansi terhadap kebutuhan masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, setiap RUU wajib disertai naskah akademik yang disusun secara metodologis dan dapat dipertanggungjawabkan.[5]

Dalam implementasinya, penyusunan naskah akademik dan rancangan regulasi seringkali dilakukan secara tergesa-gesa. Banyak kasus di mana penyusunan hanya menjadi formalitas administratif tanpa melalui penelitian empiris yang memadai. Di tingkat pusat, terdapat pula kecenderungan penggunaan jasa konsultan hukum eksternal untuk menyusun naskah akademik dalam waktu singkat, yang berisiko menurunkan kualitas kajian. Di tingkat daerah, kemampuan teknis penyusun Raperda sering kali terbatas, mengakibatkan rancangan regulasi yang normatif namun tidak solutif terhadap permasalahan hukum lokal.[6]

Dari sudut pandang kritis, tahap penyusunan mengalami masalah mendasar terkait kualitas isi substansi regulasi. Banyak produk hukum akhirnya tidak mampu merespon kebutuhan nyata masyarakat karena lemahnya basis akademik dalam tahap penyusunan. Selain itu, penggunaan bahasa hukum yang kaku, tidak efektif, dan berpotensi multitafsir memperbesar kemungkinan terjadinya pelanggaran asas kepastian hukum. Ketiadaan standar kualitas naskah akademik yang ketat juga memperburuk situasi ini.

Salah satu kelemahan nyata dalam tahap penyusunan adalah lemahnya pengawasan terhadap substansi naskah akademik dan rancangan regulasi. Tidak ada mekanisme baku untuk melakukan quality control terhadap naskah akademik sebelum rancangan diajukan untuk pembahasan. Akibatnya, banyak regulasi yang dibangun di atas argumen filosofis dan sosiologis yang dangkal atau bahkan bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku. Hal ini menimbulkan risiko lahirnya peraturan yang inkonstitusional atau tidak efektif saat diterapkan.

Kelemahan berikutnya adalah kurangnya keterlibatan pihak independen seperti akademisi, lembaga riset, dan masyarakat sipil dalam proses penyusunan. Meski secara formil terbuka, namun secara materiil proses ini sering eksklusif hanya melibatkan internal pemerintah atau lembaga legislatif. Akibatnya, sudut pandang alternatif yang mungkin lebih progresif atau kritis terhadap substansi regulasi tidak mendapat ruang. Ini menyebabkan rancangan peraturan menjadi bias, elitis, dan kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat luas.

 

Tahap 3: Pembahasan

Tahap pembahasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fase krusial di mana rancangan yang telah disusun diuji, dikaji, dan dinegosiasikan oleh legislatif bersama eksekutif. Pembahasan ini dilakukan melalui rapat-rapat di komisi, panitia kerja, panitia khusus, atau rapat paripurna di DPR/DPRD. Tujuan pembahasan adalah untuk menyempurnakan substansi rancangan peraturan sehingga memenuhi asas-asas hukum yang baik seperti kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, serta keterbukaan partisipasi. Mekanisme pembahasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.[7]

Dalam praktik di lapangan, pembahasan rancangan peraturan kerap menghadapi berbagai tantangan, mulai dari minimnya waktu yang disediakan untuk telaah substansi hingga ketertutupan terhadap aspirasi masyarakat. Sering kali, proses pembahasan berlangsung cepat tanpa memberikan ruang yang cukup bagi diskusi mendalam, terutama terkait pasal-pasal kontroversial. Di tingkat daerah, pembahasan Raperda juga terkadang sekadar formalitas untuk memenuhi tenggat waktu, tanpa evaluasi kritis terhadap dampak implementasinya. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pembahasan hanya menjadi bentuk pengesahan politis tanpa pengujian substansi yang memadai.[8]

Secara kritis, pembahasan yang dilakukan secara tertutup, tidak transparan, dan tidak membuka ruang diskusi publik bertentangan dengan prinsip meaningful participation. Banyak proses pembahasan lebih berorientasi pada kompromi politik antar-elit ketimbang pada upaya mencapai kualitas peraturan yang optimal. Selain itu, lemahnya dokumentasi hasil pembahasan, seperti risalah rapat yang tidak lengkap atau bahkan tidak tersedia untuk publik, mengakibatkan hilangnya jejak akuntabilitas dalam penyusunan norma hukum. Ketidakterbukaan ini pada akhirnya memperlemah kepercayaan publik terhadap legitimasi peraturan yang dihasilkan.

Salah satu kelemahan utama tahap pembahasan adalah minimnya keterlibatan masyarakat secara substansial. Meskipun secara prosedural ada tahapan konsultasi publik, namun dalam banyak kasus konsultasi tersebut hanya dilakukan secara formalitas belaka tanpa benar-benar mempertimbangkan masukan masyarakat. Akibatnya, peraturan yang lahir kerap tidak mencerminkan aspirasi publik dan berpotensi menimbulkan resistensi dalam implementasinya.

Kelemahan lain yang signifikan adalah adanya kecenderungan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan politik pragmatis daripada pertimbangan hukum dan keadilan. Pembahasan rancangan undang-undang atau peraturan daerah sering kali dipengaruhi oleh kepentingan jangka pendek fraksi atau partai politik, sehingga substansi norma menjadi bias. Situasi ini tidak hanya mengancam integritas hukum nasional dan daerah, tetapi juga mencederai prinsip negara hukum yang seharusnya menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.

 

Tahap 4: Pengesahan dan Penetapan

Tahap pengesahan dan penetapan adalah fase resmi di mana rancangan yang telah disetujui bersama oleh DPR/DPRD dan Presiden/Kepala Daerah diubah statusnya menjadi undang-undang atau peraturan daerah yang mengikat. Di tingkat pusat, Presiden mengesahkan RUU menjadi undang-undang dalam waktu paling lambat 30 hari setelah disetujui bersama, sedangkan di daerah, pengesahan dilakukan oleh Gubernur, Bupati, atau Wali Kota. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.[9]

Meskipun proses pengesahan tampak administratif, dalam praktiknya sering terjadi permasalahan seperti keterlambatan pengesahan, atau penolakan untuk menandatangani rancangan yang sudah disepakati. Pada beberapa kasus, Presiden memilih untuk tidak menandatangani rancangan tanpa alasan konstitusional yang kuat, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum[10], hal yang sama juga berlaku terhadap Kepala Daerah. Ketidakpatuhan terhadap tenggat waktu pengesahan juga membuka ruang interpretasi yang berbeda mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan, yang dapat memicu sengketa hukum.

Salah satu kelemahan utama pada tahap ini adalah tidak adanya mekanisme pengujian substantif terakhir sebelum pengesahan, sehingga produk hukum yang masih memiliki kecacatan formil atau materiil tetap dapat disahkan tanpa perbaikan. Selain itu, dalam konteks pengesahan perda, pengawasan dari Pemerintah Pusat terhadap materi muatan sering kali bersifat represif, mengabaikan semangat otonomi daerah yang sebenarnya dilindungi konstitusi. Hal ini memperlihatkan adanya ketimpangan antara prinsip desentralisasi dan praktik pengawasan yang cenderung sentralistik.

 

Tahap 5: Pengundangan

Pengundangan merupakan tahap akhir dari pembentukan peraturan sebelum berlaku secara resmi, di mana undang-undang atau peraturan daerah dimuat dalam Lembaran Negara, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Melalui pengundangan, peraturan perundang-undangan memperoleh kekuatan hukum mengikat umum. Pengundangan ini diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.[11] Prinsip yang dipegang adalah asas publikasi, yaitu hukum hanya mengikat setelah diumumkan secara resmi.

Dalam praktiknya, proses pengundangan seringkali hanya dilihat sebagai tahap administratif belaka tanpa memperhatikan substansi dan urgensi penyebarluasan norma hukum kepada publik.[12] Banyak peraturan diundangkan dalam Lembaran Negara atau Lembaran Daerah tanpa adanya upaya aktif untuk mendiseminasikan isi peraturan kepada pihak-pihak yang terdampak. Akibatnya, meskipun secara formil sah, masyarakat atau aparat penegak hukum kerap kali tidak mengetahui keberadaan atau ketentuan baru dalam regulasi tersebut.

Kelemahan utama pada tahap pengundangan terletak pada minimnya aksesibilitas dan transparansi. Tidak semua Lembaran Negara atau Lembaran Daerah mudah diakses oleh publik secara daring atau cetak. Selain itu, keterlambatan dalam mengunggah atau mendistribusikan dokumen resmi tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian hukum, di mana peraturan sudah mengikat secara hukum tetapi belum diketahui oleh masyarakat luas, berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum yang tidak disadari.

 

Tahap 6: Sosialisasi dan Implementasi

Sosialisasi dan implementasi adalah tahap penting pasca pengundangan, yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi tentang peraturan baru kepada masyarakat dan memastikan penerapan norma hukum secara efektif di lapangan. Tahap ini menjadi jembatan antara keberlakuan formil suatu peraturan dengan keberlakuan nyata dalam praktik sosial. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, pemerintah dan lembaga terkait memiliki kewajiban untuk menginformasikan isi dan substansi peraturan kepada seluruh lapisan masyarakat.[13]

Dalam praktiknya, sosialisasi sering dilakukan dalam bentuk seminar, penyuluhan hukum, pengumuman melalui media cetak, daring, maupun kegiatan tatap muka langsung dengan komunitas masyarakat. Di beberapa daerah, implementasi dilakukan melalui penyusunan petunjuk teknis (juknis) atau petunjuk pelaksanaan (juklak) sebagai turunan dari peraturan induk. Namun, kualitas dan jangkauan sosialisasi sangat bergantung pada komitmen dan kapasitas lembaga penyelenggara.[14] Ketimpangan dalam penyebaran informasi, terutama di wilayah terpencil, menyebabkan pemahaman masyarakat atas peraturan baru menjadi tidak merata.

Kelemahan utama dalam tahap sosialisasi adalah minimnya strategi komunikasi hukum yang efektif. Banyak program sosialisasi yang bersifat top-down, formalistik, dan kurang menyesuaikan dengan karakteristik sosiokultural masyarakat target. Bahasa hukum yang kaku dan penggunaan metode penyuluhan yang monoton memperburuk efektivitas penyampaian pesan, sehingga norma hukum tidak dapat dipahami secara komprehensif oleh masyarakat sasaran. Akibatnya, penerimaan dan kepatuhan terhadap peraturan menjadi rendah.

Selain itu, pada tahap implementasi, kendala terbesar adalah kurangnya kesiapan aparat pelaksana hukum, baik dari segi pemahaman substansi maupun infrastruktur pendukung. Banyak regulasi baru yang gagal dilaksanakan secara optimal karena aparat pelaksana tidak dibekali pelatihan memadai atau karena belum adanya perangkat teknis yang mendukung penerapan peraturan tersebut. Hal ini menciptakan kesenjangan antara norma hukum yang diatur dalam teks peraturan dan realitas penerapannya di lapangan.

 

Tahap 7: Evaluasi dan Revisi

Evaluasi dan revisi merupakan tahap akhir dalam siklus pembentukan peraturan perundang-undangan, yang bertujuan untuk menilai efektivitas, relevansi, dan dampak implementasi peraturan tersebut terhadap masyarakat. Evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi apakah peraturan yang telah berlaku mampu mencapai tujuan hukum yang diinginkan dan mengatasi permasalahan yang ada. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, menekankan pentingnya evaluasi berkala sebagai bagian integral dari proses legislasi berkelanjutan.[15]

Dalam praktiknya, mekanisme evaluasi seringkali dilakukan secara ad hoc dan tidak sistematis. Lembaga legislatif maupun eksekutif jarang melakukan kajian dampak regulasi (regulatory impact assessment) secara menyeluruh terhadap undang-undang atau peraturan daerah yang telah berlaku.[16] Akibatnya, banyak peraturan yang tetap dipertahankan meskipun sudah tidak relevan dengan perkembangan sosial, ekonomi, maupun teknologi. Bahkan, terdapat kecenderungan mempertahankan regulasi yang kontradiktif satu sama lain, yang justru menimbulkan tumpang tindih norma hukum.

Kelemahan utama dalam tahap evaluasi adalah ketiadaan standar metodologi yang baku dan terukur dalam menilai efektivitas regulasi. Evaluasi lebih banyak berorientasi pada aspek formil administratif ketimbang pada substansi dampak nyata bagi masyarakat. Selain itu, evaluasi jarang melibatkan partisipasi publik secara luas, sehingga perspektif masyarakat sebagai pihak terdampak langsung atas regulasi sering terabaikan. Hal ini memperlemah validitas dan legitimasi hasil evaluasi yang dilakukan.

Pada tahap revisi, permasalahan utama adalah resistensi politik terhadap perubahan peraturan, terutama apabila peraturan tersebut memberikan keuntungan kepada kelompok-kelompok tertentu. Revisi regulasi sering kali hanya dilakukan dalam konteks kepentingan sesaat, bukan sebagai bagian dari perbaikan berkelanjutan berbasis evaluasi objektif. Ketiadaan komitmen untuk memperbaharui peraturan yang tidak efektif menyebabkan stagnasi hukum dan melemahkan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial yang progresif.

 

Tahap 8: Evaluasi dan Revisi (Khusus Perda)

Dalam konteks pembentukan Peraturan Daerah (Perda), tahap evaluasi dan revisi memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa substansi Perda tetap relevan dan efektif dalam menjawab kebutuhan hukum masyarakat daerah. Evaluasi terhadap Perda dilakukan untuk mengukur sejauh mana norma-norma yang diatur dapat diimplementasikan dan memberikan manfaat hukum serta sosial bagi masyarakat. Ketentuan mengenai perlunya evaluasi atas pelaksanaan Perda ini selaras dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022¹⁰.

Secara teknis, evaluasi terhadap Perda biasanya dilakukan oleh pemerintah daerah, baik secara internal melalui unit kerja terkait maupun melibatkan perguruan tinggi, lembaga penelitian, atau konsultan hukum independen.[17] Evaluasi ini mencakup analisis terhadap pelaksanaan Perda di lapangan, efektivitas penerapan sanksi administratif atau hukum, serta dampaknya terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya lokal. Hasil evaluasi menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk mengambil keputusan apakah Perda perlu dipertahankan, direvisi, atau bahkan dicabut jika dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan keadaan.

Kelemahan yang sering muncul dalam evaluasi Perda adalah ketidakseriusan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk melakukan evaluasi yang obyektif dan komprehensif. Evaluasi lebih banyak dilakukan secara administratif, hanya berupa laporan rutin tanpa telaah substantif terhadap pelaksanaan di masyarakat. Selain itu, indikator keberhasilan pelaksanaan Perda seringkali tidak dirumuskan secara jelas sejak awal, sehingga hasil evaluasi menjadi bias dan sulit digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan revisi yang akurat.

 

C.    Kesimpulan

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, telah menetapkan tahapan-tahapan normatif mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Setiap tahapan memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan berkualitas, memenuhi asas-asas hukum yang baik, dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Meskipun kerangka normatif telah dirancang sedemikian rupa, realitas pelaksanaan di lapangan masih menunjukkan berbagai kelemahan, mulai dari minimnya partisipasi masyarakat, lemahnya substansi regulasi, ketertutupan dalam pembahasan, hingga kurang efektifnya sosialisasi dan evaluasi.

Analisis terhadap setiap tahapan memperlihatkan bahwa tantangan utama terletak pada kesenjangan antara prinsip ideal dalam peraturan perundang-undangan dan praktik implementasi di lapangan. Kurangnya mekanisme pengawasan kualitas pada tahap penyusunan, dominasi kepentingan politik dalam pembahasan, serta lemahnya komitmen dalam evaluasi dan revisi menyebabkan banyak regulasi yang tidak efektif, bahkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini juga berlaku pada konteks pembentukan Perda, di mana evaluasi dan revisi terhadap pelaksanaan Perda masih jauh dari ideal.

Untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang efektif, adaptif, dan responsif terhadap perkembangan masyarakat, diperlukan penguatan pada seluruh tahapan pembentukan, mulai dari peningkatan partisipasi publik, standarisasi kualitas naskah akademik, hingga penerapan evaluasi substantif berbasis bukti. Reformasi terhadap praktik legislasi ini menjadi kunci utama untuk memperbaiki kualitas hukum nasional dan daerah serta membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang berlaku.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahadi, Lalu M. Alwin. "Efektivitas Hukum Dalam Perspektif Filsafat Hukum: Relasi Urgensi Sosialisasi Terhadap Eksistensi Produk Hukum." Jurnal USM Law Review 5, no. 1 (2022): 110–127.

Chandranegara, Ibnu Sina. "Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 26, no. 3 (2019): 435–457.

Indriani, Iin, dan Leli Tibaka. "Kedudukan Presiden Dalam Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Yang Telah Disetujui Bersama Menjadi Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945." Tadulako Master Law Journal 4, no. 1 (2020): 116–128.

Nasokah. "Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) Sebagai Upaya Menjamin Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 15, no. 3 (2008): 443–458.

Syukri, Muhammad, et al. "Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa." Laporan Penelitian SMERU (2018).

Wafa, Muhamad Khoirul. "Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang." Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara 3, no. 1 (2023): 88.

Yamani, Akhmad Zaki. "Tata Cara, Teknis, dan Tahapan Pembuatan Perundang-Undangan." Journal of Law and Nation 3, no. 2 (2024): 322–326.

Zaifa, Gilang Abi, Marip Pasah, Virna Amalia Nur Permata, dan Nada Syifa Nurulhuda. "Dinamika Prosedur Hukum Formil Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." TERAJU: Jurnal Syariah dan Hukum 6, no. 01 (2024): 55–57.

 



[1] Akhmad Zaki Yamani, "Tata Cara, Teknis, dan Tahapan Pembuatan Perundang-Undangan," Journal of Law and Nation 3, no. 2 (2024), hlm. 322.

[2] Gilang Abi Zaifa,, et.al. "Dinamika Prosedur Hukum Formil Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." TERAJU: Jurnal Syariah dan Hukum 6, no. 01 (2024), hlm. 55.

[3] Abi Zaifa, Gilang, op.cit hlm. 55.

[4] Akhmad Zaki Yamani, op.cit., hlm. 324.

[5] Ibid.

[6] Gilang Abi Zaifa, op.cit., hlm. 55.

[7] Akhmad Zaki Yamani, op.cit., hlm. 325.

[8] Muhamad Khoirul Wafa, "Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang," Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara 3, no. 1 (2023), hlm. 88.

[9] Akhmad Zaki Yamani, op.cit, hlm. 325.

[10] Iin Indriani, dan Leli Tibaka. "Kedudukan Presiden Dalam Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Yang Telah Disetujui Bersama Menjadi Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945." Tadulako Master Law Journal 4, no. 1 (2020), hlm. 116-128.

[11] Gilang Abi Zaifa, op.cit., hlm. 56

[12] Lalu M. Alwin Ahadi. "Efektivitas Hukum Dalam Perspektif Filsafat Hukum: Relasi Urgensi Sosialisasi Terhadap Eksistensi Produk Hukum." Jurnal Usm Law Review 5, no. 1 (2022), hlm. 110-127.

[13] Akhmad Zaki Yamani, op.cit., hlm. 326.

[14] Syukri, Muhammad, et al. "Studi implementasi undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang desa." Laporan Penelitian SMERU (2018).

[15] Gilang Abi Zaifa, op.cit., hlm. 57

[16] Ibnu Sina Chandranegara, "Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 26, no. 3 (2019), hlm. 435-457.

[17] Nasokah. "Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) Sebagai Upaya Menjamin Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 15, no. 3 (2008), hlm. 443-458.

ANALISIS KRITIS TATA CARA TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Hari ini saya memutuskan untuk mengembalikan pembayaran sebesar Rp105.000 kepada seorang calon klien. Bukan karena nilai nominalnya, melain...