Paradoks Fungsi Budgeting DPR dalam Penetapan Tunjangan Anggota Dewan: Analisis Konflik Kepentingan dan Mekanisme Check and Balances dalam Sistem Hukum Anggaran Negara Indonesia
Abstrak
Artikel ini menganalisis paradoks konstitusional yang terjadi ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang fungsi budgeting justru menetapkan anggaran untuk kepentingan diri sendiri, khususnya dalam konteks penetapan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan yang memicu demonstrasi masif pada 25 Agustus 2025. Melalui pendekatan yuridis normatif, penelitian ini mengkaji bagaimana konflik kepentingan struktural dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menciptakan celah hukum yang memungkinkan terjadinya self-dealing dalam pengelolaan keuangan negara. Temuan menunjukkan bahwa mekanisme check and balances yang ada belum mampu mencegah penyalahgunaan kewenangan budgeting oleh DPR, sehingga diperlukan reformasi konstitusional untuk memisahkan kewenangan penetapan anggaran yang menyangkut kepentingan langsung anggota DPR.
Kata Kunci: Fungsi Budgeting, Konflik Kepentingan, Check and Balances, Tunjangan DPR, Keuangan Negara
I. Pendahuluan
Sistem ketatanegaraan Indonesia menghadapi paradoks fundamental ketika Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki fungsi budgeting dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) justru menetapkan anggaran yang menyangkut kepentingan finansial mereka sendiri. Paradoks ini mencapai puncaknya ketika pada periode 2024-2029, DPR menetapkan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan bagi setiap anggota, sehingga total penghasilan anggota dewan melampaui Rp100 juta per bulan.¹ Kebijakan ini memicu gelombang protes masif yang berujung pada demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR pada 25 Agustus 2025, yang berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan.²
Persoalan mendasar yang muncul adalah bagaimana sebuah lembaga negara dapat secara sah menetapkan kompensasi finansial untuk diri sendiri tanpa adanya mekanisme kontrol eksternal yang efektif. Dalam konteks teori pemisahan kekuasaan dan check and balances, kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas sistem anggaran negara. Mei Susanto dalam studinya tentang hak budget DPR menegaskan bahwa kedudukan strategis DPR dalam pengelolaan keuangan negara seharusnya diimbangi dengan mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.³
Konflik kepentingan dalam pengelolaan keuangan publik, sebagaimana diidentifikasi oleh berbagai penelitian antikorupsi, menjadi kerentanan sistemik ketika tidak ada pemisahan yang jelas antara pembuat kebijakan dan penerima manfaat dari kebijakan tersebut.⁴ Dalam konteks Indonesia, problematika ini semakin kompleks mengingat DPR memiliki kewenangan konstitusional yang sangat kuat dalam fungsi anggaran, yang oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-XI/2013 pernah diupayakan untuk dibatasi namun tetap menyisakan celah struktural.⁵
II. Landasan Teoretis Fungsi Budgeting dalam Sistem Presidensial
2.1 Konsep Hak Budget dalam Ketatanegaraan Indonesia
Fungsi anggaran DPR merupakan manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat dalam pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, DPR memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan.⁶ Fungsi anggaran ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 23 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk membahas dan memberikan persetujuan terhadap RAPBN yang diajukan oleh Presiden.
Susanto mengidentifikasi bahwa hak budget DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki karakteristik sebagai budget making, berbeda dengan kewenangan DPD yang hanya bersifat budget influence.⁷ Kekuatan hak budget DPR ini menempatkan lembaga legislatif dalam posisi yang sangat strategis dalam menentukan alokasi sumber daya negara. Namun, kekuatan ini justru menimbulkan persoalan ketika tidak ada pembatasan yang jelas tentang sejauh mana DPR dapat menggunakan kewenangan tersebut untuk kepentingan internal lembaga.
Dalam konteks perbandingan internasional, sebagaimana dikaji dalam penelitian tentang peran legislatif dalam proses penganggaran, Indonesia menganut model yang memberikan kewenangan sangat besar kepada legislatif.⁸ Hal ini berbeda dengan beberapa negara yang menerapkan pembatasan eksplisit terhadap kewenangan parlemen dalam menetapkan anggaran yang menyangkut kepentingan langsung anggota parlemen.
2.2 Prinsip Check and Balances dalam Sistem Presidensial
Sistem presidensial Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dirancang dengan prinsip check and balances untuk mencegah pemusatan kekuasaan. Sunarto menjelaskan bahwa penerapan prinsip ini bertujuan agar tiga cabang kekuasaan - legislatif, eksekutif, dan yudikatif - dapat saling mengontrol dan menciptakan keseimbangan kekuasaan.⁹ Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini menghadapi tantangan serius ketika berhadapan dengan kepentingan internal lembaga negara.
Pulungan dan A.L.W dalam studinya tentang mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif menemukan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia masih menyisakan area abu-abu di mana check and balances tidak berfungsi optimal, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan internal lembaga.¹⁰ Kondisi ini menciptakan apa yang disebut sebagai "constitutional blind spot" - area di mana konstitusi tidak memberikan mekanisme kontrol yang memadai.
Ibnu Sina Chandranegara dalam analisisnya tentang arsitektur check and balances Indonesia menekankan bahwa efektivitas sistem ini sangat bergantung pada integritas aktor-aktor yang terlibat dan kejelasan norma konstitusional.¹¹ Ketika norma konstitusional tidak secara eksplisit mengatur pembatasan kewenangan dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan pribadi pejabat negara, maka sistem check and balances menjadi tidak efektif.
III. Analisis Konflik Kepentingan dalam Penetapan Tunjangan DPR
3.1 Dimensi Struktural Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan dalam konteks penetapan tunjangan DPR memiliki dimensi struktural yang inheren dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh tim antikorupsi menunjukkan bahwa praktik mitigasi konflik kepentingan dalam pengelolaan keuangan publik di Indonesia masih sangat rentan, terutama karena tidak adanya regulasi yang komprehensif dan penegakan standar etika yang sistematis.¹²
Kasus penetapan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan menunjukkan bagaimana konflik kepentingan struktural ini bekerja. DPR menggunakan kewenangan konstitusionalnya dalam fungsi anggaran untuk menetapkan tunjangan yang menguntungkan diri sendiri, dengan justifikasi efisiensi anggaran dan penggantian fasilitas rumah dinas.¹³ Argumentasi tentang efisiensi ini menjadi problematis ketika dibandingkan dengan realitas ekonomi masyarakat, di mana upah minimum provinsi rata-rata hanya Rp3,11 juta per bulan.¹⁴
Yunus dan Faraby dalam analisisnya tentang reduksi fungsi anggaran DPR menegaskan bahwa tanpa adanya pembatasan yang jelas, DPR cenderung menggunakan kewenangan anggarannya secara sewenang-wenang, yang dapat mengacaukan sistem perencanaan dan penganggaran pemerintah.¹⁵ Hal ini terbukti dalam kasus tunjangan perumahan, di mana keputusan diambil tanpa transparansi yang memadai dan tanpa mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi yang lebih luas.
3.2 Implikasi terhadap Legitimasi Demokratis
Konflik kepentingan dalam penetapan tunjangan DPR memiliki implikasi serius terhadap legitimasi demokratis lembaga perwakilan rakyat. Ketika lembaga yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat justru menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi, terjadi erosi kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Demonstrasi masif pada 25 Agustus 2025 yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, dari pelajar hingga pekerja informal, menunjukkan kedalaman krisis legitimasi ini.¹⁶ Tuntutan "Bubarkan DPR beban negara" yang disuarakan massa demonstran merefleksikan persepsi publik bahwa DPR telah kehilangan orientasi sebagai wakil rakyat.¹⁷
Dalam perspektif teori demokrasi deliberatif, sebagaimana dikaji dalam studi tentang resolusi konflik kepentingan dalam hukum politik, legitimasi demokratis mensyaratkan adanya proses pengambilan keputusan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.¹⁸ Penetapan tunjangan DPR yang dilakukan tanpa konsultasi publik yang memadai dan tanpa mekanisme akuntabilitas eksternal jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
IV. Kelemahan Mekanisme Check and Balances dalam Sistem Anggaran
4.1 Ketiadaan Kontrol Eksternal yang Efektif
Salah satu kelemahan mendasar dalam sistem anggaran Indonesia adalah ketiadaan kontrol eksternal yang efektif terhadap penetapan anggaran yang menyangkut kepentingan internal DPR. Meskipun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-XI/2013 telah membatasi keterlibatan DPR dalam pembahasan RAPBN yang terlalu detail, putusan ini tidak menyentuh persoalan konflik kepentingan dalam penetapan tunjangan anggota DPR.¹⁹
Lailam dalam analisisnya tentang problem dan solusi penataan check and balances system mengidentifikasi bahwa salah satu kelemahan sistem Indonesia adalah tidak adanya lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk meninjau dan membatalkan keputusan DPR yang mengandung konflik kepentingan.²⁰ Berbeda dengan beberapa negara yang memiliki komisi remunerasi independen atau mekanisme referendum untuk hal-hal yang menyangkut kompensasi pejabat publik, Indonesia tidak memiliki mekanisme serupa.
4.2 Dominasi Politik dalam Pengambilan Keputusan Anggaran
Sistem politik Indonesia yang berbasis pada koalisi partai politik menciptakan dinamika tersendiri dalam pengambilan keputusan anggaran. Penelitian tentang oligarki di parlemen menunjukkan bahwa kepentingan elit politik sering kali mendominasi proses pengambilan keputusan, termasuk dalam hal penetapan tunjangan.²¹
Fakta bahwa tidak ada fraksi di DPR yang secara tegas menolak kenaikan tunjangan menunjukkan adanya konsensus elit yang melampaui batas-batas ideologi partai. Hal ini mengindikasikan bahwa check and balances internal dalam DPR sendiri tidak berfungsi ketika berhadapan dengan kepentingan kolektif anggota dewan.
V. Studi Kasus: Krisis Legitimasi Akibat Tunjangan Perumahan 2025
5.1 Kronologi dan Dampak Sosial
Penetapan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR periode 2024-2029 menjadi katalis krisis legitimasi yang mendalam. Berdasarkan Surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024, tunjangan ini diberikan sebagai pengganti fasilitas rumah jabatan anggota yang dikembalikan ke negara.²² Namun, besaran tunjangan ini dinilai tidak proporsional dengan kondisi ekonomi masyarakat.
Dengan tambahan tunjangan perumahan, total penghasilan anggota DPR mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan, atau setara dengan 17 hingga 46 kali lipat upah minimum provinsi di Indonesia.²³ Kesenjangan yang ekstrem ini memicu kemarahan publik yang berujung pada demonstrasi masif. Demonstrasi pada 25 Agustus 2025 yang berakhir ricuh dengan penembakan gas air mata oleh aparat keamanan menunjukkan tingkat ketegangan sosial yang tinggi.²⁴
5.2 Respons Institusional dan Krisis Akuntabilitas
Respons DPR terhadap protes publik menunjukkan krisis akuntabilitas yang mendalam. Alih-alih melakukan evaluasi substantif, pimpinan DPR justru memberikan justifikasi teknis tentang efisiensi anggaran dan mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah sebagai pihak yang menentukan besaran tunjangan.²⁵ Sikap defensif ini semakin memperdalam krisis kepercayaan publik.
Ketidakmampuan sistem untuk merespons tuntutan publik secara memadai mengindikasikan kegagalan sistemik dalam mekanisme akuntabilitas demokratis. Meskipun DPR memiliki Badan Kehormatan dan mekanisme internal lainnya, instrumen-instrumen ini terbukti tidak efektif ketika berhadapan dengan kepentingan kolektif anggota dewan.
VI. Solusi Hukum dan Rekomendasi Reformasi
6.1 Pembentukan Komisi Remunerasi Independen
Mengacu pada praktik terbaik internasional, pembentukan Komisi Remunerasi Independen menjadi solusi struktural yang paling feasible. Komisi ini harus memiliki kewenangan konstitusional untuk menentukan standar remunerasi seluruh pejabat negara, termasuk anggota DPR, berdasarkan kriteria yang objektif dan transparan. Anggota komisi harus dipilih melalui proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan memiliki masa jabatan yang fixed untuk menjamin independensi.
Model ini telah berhasil diterapkan di berbagai negara demokrasi maju, di mana parlemen tidak lagi memiliki kewenangan untuk menentukan kompensasi mereka sendiri. Komisi remunerasi independen akan mengevaluasi dan merekomendasikan tingkat kompensasi berdasarkan berbagai faktor seperti beban kerja, tanggung jawab, kondisi ekonomi nasional, dan perbandingan dengan sektor publik lainnya.
6.2 Amandemen Konstitusional untuk Pembatasan Kewenangan
Solusi jangka panjang memerlukan amandemen konstitusional untuk secara eksplisit membatasi kewenangan DPR dalam menetapkan anggaran yang menyangkut kepentingan langsung anggota dewan. Amandemen ini harus mencakup:
Pertama, larangan eksplisit bagi DPR untuk menetapkan atau menaikkan tunjangan dan fasilitas mereka sendiri tanpa melalui mekanisme eksternal yang independen. Kedua, pemberian kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan constitutional review terhadap keputusan DPR yang mengandung konflik kepentingan. Ketiga, kewajiban untuk melakukan konsultasi publik dan kajian dampak sosial-ekonomi sebelum penetapan kebijakan remunerasi pejabat negara.
6.3 Penguatan Mekanisme Transparansi dan Partisipasi Publik
Transparansi total dalam proses penganggaran yang menyangkut kompensasi pejabat negara harus menjadi norma yang tidak dapat dinegosiasikan. Seluruh dokumen, pembahasan, dan keputusan terkait remunerasi pejabat negara harus dapat diakses publik secara real-time. Platform digital dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi partisipasi publik dalam proses ini.
Mekanisme public hearing yang mandatory sebelum penetapan kebijakan remunerasi akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan keberatan. Hasil public hearing harus menjadi pertimbangan wajib dalam pengambilan keputusan, dengan kewajiban untuk memberikan justifikasi tertulis jika masukan publik tidak diakomodasi.
VII. Kesimpulan
Paradoks fungsi budgeting DPR dalam penetapan tunjangan anggota dewan mengungkap kelemahan fundamental dalam sistem check and balances Indonesia. Ketiadaan mekanisme kontrol eksternal yang efektif terhadap kewenangan DPR dalam menetapkan anggaran yang menyangkut kepentingan mereka sendiri telah menciptakan ruang untuk penyalahgunaan kewenangan yang sistematis. Kasus tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan yang memicu demonstrasi masif pada Agustus 2025 menjadi manifestasi dari krisis legitimasi yang lebih dalam.
Reformasi struktural melalui pembentukan Komisi Remunerasi Independen dan amandemen konstitusional menjadi keniscayaan untuk mengatasi konflik kepentingan struktural ini. Tanpa perubahan fundamental dalam arsitektur institusional, paradoks ini akan terus menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Penguatan mekanisme transparansi dan partisipasi publik juga menjadi prasyarat untuk memulihkan legitimasi demokratis lembaga perwakilan rakyat.
Lebih dari sekadar persoalan teknis anggaran, kasus ini menghadapkan Indonesia pada pertanyaan fundamental tentang integritas sistem demokrasi: bagaimana memastikan bahwa kekuasaan yang diberikan rakyat tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi pemegang kekuasaan. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kualitas demokrasi Indonesia di masa depan.
Daftar Pustaka
Jurnal Ilmiah
¹ "Heboh Gaji-Tunjangan DPR Lebih Rp 100 Juta, Negara Habiskan Rp 1,74 T," CNBC Indonesia, 23 Agustus 2025, https://www.cnbcindonesia.com/research/20250823092829-128-660736/heboh-gaji-tunjangan-dpr-lebih-rp-100-juta-negara-habiskan-rp-174-t.
² "Demo 25 Agustus di Depan DPR Ricuh, Polisi Tembakan Gas Air Mata," Kompas.com, 25 Agustus 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/08/25/15513751/massa-demo-25-agustus-di-dpr-lempar-balik-gas-air-mata-ke-arah-polisi.
³ Mei Susanto, "HAK BUDGET DPR DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA," Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 5, no. 2 (2016): 249-268, http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v5i2.139.
⁴ Feriansyah Aidulsyah et al., "Conflicts of interest and handling mechanisms in public finances management," Integritas: Jurnal Antikorupsi 10, no. 1 (2024): 65-80, https://doi.org/10.32697/integritas.v10i1.1024.
⁵ Mei Susanto, "Eksistensi Hak Budget DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia," PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM 3, no. 1 (2016): 98-115, https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a4.
⁶ "Tugas dan Fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan DPR," Hukumonline, 22 Juli 2024, https://www.hukumonline.com/berita/a/tugas-dan-fungsi-legislasi--anggaran--dan-pengawasan-dpr-lt653b8c7e830d5/.
⁷ Susanto, "HAK BUDGET DPR," 252.
⁸ Mei Susanto, "The Legislative Role in The Budgeting Process in Indonesia," Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan 9, no. 2 (2018): 164-183, https://doi.org/10.22212/jnh.v9i2.954.
⁹ Sunarto, "Prinsip Checks And Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia," Masalah-Masalah Hukum 45, no. 2 (2016): 157-163, https://doi.org/10.14710/mmh.45.2.2016.157-163.
¹⁰ Rizky Andrian Ramadhan Pulungan and Lita Tyesta A.L.W, "Mekanisme Pelaksanaan Prinsip Checks And Balances Antara Lembaga Legislatif Dan Eksekutif Dalam Pembentukan Undang-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia," Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 4, no. 2 (2022): 280-293, https://doi.org/10.14710/jphi.v4i2.280-293.
¹¹ Ibnu Sina Chandranegara, "Architecture of Indonesia's Checks and Balances," Constitutional Review 3, no. 2 (2017): 301-332.
¹² Aidulsyah et al., "Conflicts of interest," 67.
¹³ "Gaji dan Tunjangan Anggota DPR Tembus Rp 100 Juta Dianggap Berlebihan, Ini Kata Dasco," Kompas.com, 26 Agustus 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/08/26/11284971/gaji-dan-tunjangan-anggota-dpr-tembus-rp-100-juta-dianggap-berlebihan-ini.
¹⁴ "Kenaikan gaji DPR: Keadilan Gaji Pejabat vs Rakyat," Digital School SMAN 1 Giri, Agustus 2025, https://sman1giri.digital-school.id/read/kenaikan-gaji-dpr-keadilan-gaji-pejabat-vs-rakyat.
¹⁵ Yutirsa Yunus and Reza Faraby, "REDUKSI FUNGSI ANGGARAN DPR DALAM KERANGKA CHECKS AND BALANCES," Jurnal Yudisial 7, no. 2 (2014): 197-212, https://doi.org/10.29123/jy.v7i2.87.
¹⁶ "Potret Terbaru Demo 25 Agustus DPR, Massa Lempar Batu & Bakar Ban," CNBC Indonesia, 25 Agustus 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20250825163400-7-661202/potret-terbaru-demo-25-agustus-dpr-massa-lempar-batu-bakar-ban.
¹⁷ "Massa Ricuh, Ini Tuntutan Demo 25 Agustus di Depan DPR RI," CNBC Indonesia, 25 Agustus 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20250825135738-4-661134/massa-ricuh-ini-tuntutan-demo-25-agustus-di-depan-dpr-ri.
¹⁸ Gibran Maulana Taqwa, "Resolving the Conflict of Interests Issue within the Laws Concerning the Political Matters: Deliberative Democracy or Empowering Dewan Perwakilan Daerah?" PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM 10, no. 3 (2023): 421-442, https://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/42365.
¹⁹ Susanto, "Eksistensi Hak Budget DPR," 110.
²⁰ Tanto Lailam, "Problem dan Solusi Penataan Checks and Balances System dalam Pembentukan dan Pengujian Undang-Undang di Indonesia," Negara Hukum 12, no. 1 (2021): 123-142, https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/1721.
²¹ Riris Katharina and Poltak P. Nainggolan, "Menciptakan DPR dan Sistem Pendukung Parlemen Yang Mendukung Anggaran Pro Kaum Miskin," in Anggaran Pro Kaum Miskin Sebuah Upaya Menyejahterakan Masyarakat, ed. A. Waidl, Y. Farhan, and D. Sakri (Jakarta: LP3ES, 2009), 275-306.
²² "Intip Gaji DPR dan DPRD serta Dasar Hukumnya," Klinik Hukumonline, 28 Agustus 2025, https://www.hukumonline.com/klinik/a/intip-gaji-dpr-dan-dprd-serta-dasar-hukumnya-lt603eed3d12f18/.
²³ "Tunjangan DPR Melejit, Ekonomi Masyarakat Masih Terimpit," Kompas.id, 27 Agustus 2025, https://www.kompas.id/artikel/en-tunjangan-dpr-melejit-ekonomi-masyarakat-masih-terimpit.
²⁴ "Kronologi Lengkap Demo DPR 25 Agustus 2025 yang Berujung Ricuh," Beritasatu.com, 26 Agustus 2025, https://www.beritasatu.com/nasional/2916846/kronologi-lengkap-demo-dpr-25-agustus-2025-yang-berujung-ricuh.
²⁵ "Anggota DPR Pastikan Tampung Tuntutan Massa Demo yang Tolak Kenaikan Tunjangan," Kompas.com, 25 Agustus 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/08/25/21004051/anggota-dpr-pastikan-tampung-tuntutan-massa-demo-yang-tolak-kenaikan.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar