Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Jumat, 22 Agustus 2025

Analisis Yuridis Kasus Operasi Tangkap Tangan Wakil Menteri Ketenagakerjaan: Tinjauan Penyalahgunaan Wewenang dan Dampaknya Terhadap Tata Kelola Pemerintahan

 

Analisis Yuridis Kasus Operasi Tangkap Tangan Wakil Menteri Ketenagakerjaan: Tinjauan Penyalahgunaan Wewenang dan Dampaknya Terhadap Tata Kelola Pemerintahan

Abstrak

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Imanuel Ebenezer pada 20 Agustus 2025 menandai momentum penting dalam penegakan hukum antikorupsi di Indonesia. Kasus yang melibatkan dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini mengungkap kompleksitas penyalahgunaan wewenang dalam jabatan publik dan dampaknya terhadap iklim investasi serta kepercayaan publik. Artikel ini menganalisis aspek yuridis kasus tersebut melalui pendekatan normatif dengan mengkaji mekanisme OTT, konsep penyalahgunaan wewenang (abuse of power), regulasi K3, serta implikasinya terhadap tata kelola pemerintahan. Temuan menunjukkan bahwa kasus ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan internal dan urgensi penguatan prinsip good governance dalam birokrasi Indonesia.

Kata Kunci: Operasi Tangkap Tangan, Penyalahgunaan Wewenang, Korupsi, K3, Good Governance

1. Pendahuluan

Korupsi di Indonesia telah menjadi permasalahan sistemik yang menggerogoti fondasi pembangunan nasional. Transparency International melaporkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam pemberantasan korupsi, dengan Indeks Persepsi Korupsi yang masih jauh dari harapan ideal. Dalam konteks ini, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Imanuel Ebenezer pada 20 Agustus 2025 menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji secara mendalam.

Kasus ini memiliki signifikansi khusus karena beberapa alasan fundamental. Pertama, posisi Wakil Menteri sebagai pejabat tinggi negara yang seharusnya menjadi teladan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Kedua, modus operandi berupa pemerasan terhadap perusahaan dalam pengurusan sertifikasi K3 mengindikasikan penyalahgunaan regulasi yang seharusnya melindungi keselamatan pekerja untuk kepentingan pribadi. Ketiga, dampak sistemik terhadap iklim usaha dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Penelitian tentang Operasi Tangkap Tangan dalam penanganan kasus korupsi menegaskan bahwa OTT merupakan salah satu instrumen efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia¹. Mekanisme ini memungkinkan KPK untuk menangkap pelaku korupsi secara langsung dengan barang bukti yang kuat, sehingga meminimalisir kemungkinan penghilangan atau manipulasi bukti. Setiap aktivitas OTT yang diikuti dengan diseminasi informasi melalui konferensi pers memberikan sinyal positif dalam meningkatkan partisipasi publik untuk melaporkan dugaan korupsi ke KPK².

Urgensi pembahasan kasus ini semakin meningkat mengingat sektor ketenagakerjaan merupakan domain vital yang menyangkut kesejahteraan jutaan pekerja Indonesia. Regulasi K3 yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan pekerja justru dijadikan alat pemerasan, menciptakan paradoks dalam penyelenggaraan fungsi negara. Kasus ini terjadi di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, di mana dalam periode dua minggu sebelumnya, KPK telah melakukan dua OTT lainnya terhadap Bupati Kolaka Timur Abdul Azis dan kasus suap terkait kerja sama pengelolaan kawasan hutan di Jakarta³.

2. Kerangka Konseptual: OTT dan Penyalahgunaan Wewenang

Operasi Tangkap Tangan (OTT) merupakan terminologi yang tidak secara eksplisit diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun praktiknya merujuk pada konsep "tertangkap tangan" sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 19 KUHAP. OTT KPK merupakan evolusi dari konsep tertangkap tangan konvensional dengan karakteristik khusus dalam konteks pemberantasan korupsi⁴. Mekanisme OTT yang dilakukan KPK memiliki beberapa tahapan sistematis: tahap penyelidikan yang melibatkan pengumpulan informasi awal dan analisis intelijen, tahap penyadapan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagaimana telah diubah, dan tahap eksekusi penangkapan yang harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan prosedur hukum yang berlaku.

Konsep penyalahgunaan wewenang atau abuse of power merupakan elemen sentral dalam tindak pidana korupsi, khususnya yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyalahgunaan wewenang didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan secara salah atau menyimpang dari tata laksana sebagaimana mestinya⁵. Dalam konteks jabatan publik, penyalahgunaan wewenang memiliki beberapa karakteristik fundamental: adanya kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan, penggunaan kewenangan tersebut menyimpang dari tujuan pemberian kewenangan, menimbulkan kerugian negara atau masyarakat, dan dilakukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Penelitian tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik di Indonesia mengidentifikasi bahwa praktik ini sering kali dipicu oleh lemahnya sistem pengawasan internal, budaya organisasi yang permisif terhadap praktik korupsi, dan minimnya transparansi dalam pengambilan keputusan⁶. Kondisi ini diperparah dengan adanya diskresi yang berlebihan dalam pelaksanaan tugas pejabat publik tanpa mekanisme kontrol yang memadai. Persinggungan kewenangan antara pengadilan administrasi dan pengadilan tipikor dalam mengadili penyalahgunaan diskresi menunjukkan kompleksitas permasalahan ini dari perspektif hukum⁷.

Sistem regulasi K3 di Indonesia memiliki landasan hukum yang komprehensif, dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja hingga Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja⁸. Regulasi ini dirancang untuk melindungi pekerja dari risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, sekaligus meningkatkan produktivitas nasional. Implementasi K3 di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk kompleksitas birokrasi dalam pengurusan sertifikasi, minimnya sosialisasi kepada perusahaan, dan tingginya biaya compliance⁹. Kondisi ini menciptakan celah yang rentan dieksploitasi oleh oknum pejabat untuk melakukan pemerasan.

3. Anatomi Kasus: Modus Operandi dan Implikasi Hukum

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber terpercaya, OTT terhadap Imanuel Ebenezer dilakukan pada Rabu malam, 20 Agustus 2025. KPK menangkap total 10 orang dalam operasi tersebut, termasuk pejabat eselon II di Kementerian Ketenagakerjaan. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengonfirmasi bahwa kasus ini terkait dengan dugaan pemerasan terhadap perusahaan-perusahaan dalam pengurusan sertifikasi K3¹⁰. Barang bukti yang disita KPK mencakup sejumlah uang, puluhan mobil, dan motor merek Ducati, mengindikasikan skala korupsi yang signifikan. KPK juga melakukan penyegelan di ruang K3 Kementerian Ketenagakerjaan, menunjukkan bahwa praktik korupsi ini mungkin melibatkan jaringan yang lebih luas dalam institusi tersebut.

Modus operandi yang terungkap menunjukkan pola sistematis penyalahgunaan wewenang. Perusahaan-perusahaan yang mengurus sertifikasi K3 diduga diperas dengan ancaman penghambatan atau penolakan sertifikasi jika tidak memberikan sejumlah uang. Praktik ini tidak hanya melanggar hukum pidana korupsi, tetapi juga mencederai prinsip pelayanan publik yang seharusnya dilakukan secara profesional dan tanpa diskriminasi. Pola serupa telah teridentifikasi dalam berbagai kasus korupsi di Indonesia, di mana regulasi yang seharusnya melindungi kepentingan publik justru dijadikan instrumen ekstraksi rente oleh oknum pejabat¹¹.

Dari perspektif hukum pidana, tindakan yang diduga dilakukan oleh Imanuel Ebenezer dapat dikategorikan dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Tipikor. Pertama, Pasal 12 huruf e tentang pemerasan dalam jabatan yang menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, dapat dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Kedua, kemungkinan penerapan Pasal 3 tentang penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penelitian tentang penerapan pemberatan pidana dalam kasus korupsi menekankan pentingnya penerapan pemberatan pidana dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara, mengingat dampak sistemik yang ditimbulkan¹². Aspek concursus realis atau perbarengan tindak pidana juga perlu dipertimbangkan, mengingat kemungkinan terjadinya multiple violations dalam satu rangkaian perbuatan. Hal ini dapat menjadi dasar bagi jaksa penuntut umum untuk menerapkan dakwaan kumulatif atau subsidair, sebagaimana telah dipraktikkan dalam berbagai kasus korupsi sebelumnya¹³.

Implementasi Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi telah terbukti efektif dalam mengungkap kejahatan korupsi dan menemukan tersangkanya¹⁴. Namun, efektivitas ini harus diimbangi dengan penguatan sistem pencegahan untuk menghindari terjadinya korupsi sejak awal. Kasus ini juga menunjukkan perlunya harmonisasi antara hukum administrasi dan hukum pidana dalam menangani penyalahgunaan wewenang pejabat publik¹⁵.

4. Dampak Sistemik: Ekonomi, Investasi, dan Kepercayaan Publik

Kasus korupsi di sektor ketenagakerjaan, khususnya terkait sertifikasi K3, memiliki dampak multidimensional yang perlu dianalisis secara komprehensif. Korupsi di sektor strategis seperti ketenagakerjaan menghambat pembangunan ekonomi dan menciptakan distorsi dalam alokasi sumber daya¹⁶. Dari perspektif mikro ekonomi, pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 meningkatkan biaya operasional perusahaan secara tidak wajar. Biaya tambahan ilegal ini pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen melalui kenaikan harga produk atau jasa, atau diserap dengan mengurangi kesejahteraan pekerja. Kedua skenario ini merugikan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap Foreign Direct Investment menunjukkan bahwa Corruption Perception Index berpengaruh signifikan terhadap arus investasi asing di negara-negara ASEAN¹⁷. Korupsi yang sistemik dalam birokrasi menciptakan uncertainty cost yang membuat investor enggan menanamkan modalnya. Dalam konteks global yang kompetitif, praktik korupsi seperti ini menurunkan daya saing Indonesia sebagai destinasi investasi. Investor tidak hanya mempertimbangkan faktor ekonomi makro, tetapi juga kualitas tata kelola pemerintahan dan kepastian hukum dalam keputusan investasinya¹⁸.

Lebih jauh, korupsi di sektor K3 memiliki implikasi serius terhadap keselamatan pekerja. Ketika sertifikasi K3 dapat "dibeli" tanpa melalui proses verifikasi yang proper, standar keselamatan kerja menjadi terabaikan. Hal ini meningkatkan risiko kecelakaan kerja yang tidak hanya merugikan pekerja dan keluarganya, tetapi juga menurunkan produktivitas nasional. Penelitian menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, meskipun dampaknya mungkin tidak langsung terlihat dalam jangka pendek¹⁹.

Kasus ini juga menciptakan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kepercayaan publik merupakan modal sosial yang vital dalam penyelenggaraan pemerintahan demokratis. Ketika kepercayaan ini tererosi, legitimasi kebijakan pemerintah menjadi dipertanyakan, partisipasi masyarakat menurun, dan pada akhirnya menghambat efektivitas pemerintahan. Hal ini ironis mengingat pemerintahan Prabowo-Gibran baru saja dilantik dengan janji untuk memberantas korupsi. Kasus ini menjadi ujian awal bagi komitmen antikorupsi pemerintahan baru.

Dampak korupsi terhadap pembangunan manusia juga patut menjadi perhatian. Penelitian menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh langsung terhadap tingkat pembangunan manusia sebagai variabel independen²⁰. Ketika sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan pekerja justru dikorupsi, maka upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia menjadi terhambat. Ini menciptakan lingkaran setan di mana korupsi menghambat pembangunan, dan rendahnya pembangunan menciptakan kondisi yang kondusif untuk korupsi.

5. Rekomendasi dan Prospek Reformasi

Berdasarkan analisis komprehensif terhadap kasus ini, diperlukan reformasi sistemik untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Pertama, penguatan sistem integritas nasional yang komprehensif menjadi kebutuhan mendesak. Sistem ini harus mencakup sistem rekrutmen dan promosi berbasis merit yang ketat untuk jabatan publik, sistem remunerasi yang adil untuk mengurangi insentif korupsi, sistem pengawasan berlapis yang efektif, dan penegakan hukum yang konsisten tanpa pandang bulu²¹. Penyelesaian penyalahgunaan wewenang harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya melalui pendekatan represif tetapi juga preventif melalui penguatan sistem dan kultur organisasi²².

Kedua, digitalisasi pelayanan publik menjadi keniscayaan untuk mengurangi diskresi pejabat yang berlebihan. Seluruh proses pengurusan sertifikasi K3 harus didigitalisasi dengan sistem yang transparan, terukur, dan dapat dilacak. Setiap tahapan harus memiliki SOP yang jelas dengan timeline yang pasti. Implementasi e-governance telah terbukti efektif dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan²³. Sistem online untuk pengurusan sertifikasi K3 dengan tracking yang transparan dapat meminimalisir peluang pemerasan dan meningkatkan efisiensi pelayanan.

Ketiga, penguatan prinsip-prinsip good governance harus menjadi prioritas dalam reformasi birokrasi. Transparansi dan akuntabilitas merupakan prasyarat fundamental untuk mencegah korupsi dalam birokrasi²⁴. Setiap kebijakan dan keputusan pejabat publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Mekanisme whistleblowing yang efektif dengan perlindungan yang memadai bagi pelapor perlu diimplementasikan di seluruh instansi pemerintah. Partisipasi publik dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan juga harus ditingkatkan melalui berbagai kanal yang aksesibel²⁵.

Keempat, reformasi regulasi K3 perlu dilakukan untuk menutup celah yang dapat dimanfaatkan untuk korupsi. Regulasi harus disederhanakan tanpa mengurangi esensi perlindungan pekerja. Peran asosiasi profesi dan lembaga sertifikasi independen perlu diperkuat untuk mengurangi monopoli kewenangan pemerintah. Standardisasi proses sertifikasi dengan kriteria yang jelas dan terukur akan mengurangi ruang diskresi yang dapat disalahgunakan.

Kelima, penguatan koordinasi antar-lembaga penegak hukum menjadi kunci dalam pemberantasan korupsi yang efektif. KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus memiliki sistem koordinasi yang terintegrasi dalam pencegahan dan penindakan korupsi. Data dan informasi harus dapat dipertukarkan secara real-time untuk deteksi dini penyimpangan. Inspektorat Jenderal di setiap kementerian/lembaga harus diperkuat kapasitas dan independensinya agar dapat berfungsi sebagai early warning system yang efektif.

Prospek perkembangan kasus ini akan sangat menentukan arah pemberantasan korupsi ke depan. Jika kasus berlanjut ke tahap penuntutan dengan dakwaan yang kuat dan berakhir dengan vonis yang memberikan efek jera, ini akan memperkuat kredibilitas penegakan hukum antikorupsi di Indonesia. Namun, mengingat posisi tersangka yang memiliki jejaring politik yang luas, kemungkinan munculnya upaya-upaya untuk melemahkan kasus tidak dapat diabaikan. Sorotan publik yang intens dan komitmen KPK diharapkan dapat meminimalisir skenario ini.

Kesimpulan

Kasus OTT terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Imanuel Ebenezer merupakan fenomena yang kompleks dengan implikasi multidimensional. Dari perspektif hukum pidana, kasus ini menunjukkan efektivitas mekanisme OTT dalam mengungkap praktik korupsi di level pejabat tinggi negara, namun juga mengungkap kelemahan sistemik dalam tata kelola pemerintahan Indonesia. Penyalahgunaan wewenang dalam pengurusan sertifikasi K3 tidak hanya merugikan keuangan negara dan menciptakan ekonomi biaya tinggi, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan pekerja.

Kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem pemerintahan. Penguatan sistem integritas nasional, digitalisasi pelayanan publik, implementasi good governance, reformasi regulasi, dan penguatan koordinasi antar-lembaga merupakan langkah-langkah strategis yang harus segera diimplementasikan. Pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab KPK atau aparat penegak hukum, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.

Transformasi dari masyarakat yang permisif terhadap korupsi menjadi masyarakat yang memiliki zero tolerance terhadap segala bentuk penyimpangan memerlukan komitmen jangka panjang dari seluruh stakeholder. Hanya dengan transformasi menyeluruh ini, Indonesia dapat keluar dari jebakan korupsi sistemik dan mewujudkan cita-cita sebagai negara yang adil, makmur, dan bermartabat. Kasus ini seharusnya menjadi titik balik dalam upaya pemberantasan korupsi, bukan sekadar statistik dalam laporan tahunan KPK.


Catatan Kaki

¹ Puteri Hikmawati, "Operasi Tangkap Tangan Dalam Penanganan Kasus Korupsi," Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 9, no. 1 (Juni 2018): 51-64, https://doi.org/10.22212/jnh.v9i1.998.

² Wardhana Ardy Syahputra dan Muhammad Halley Yudhistira, "Pengaruh Operasi Tangkap Tangan terhadap Pelaporan Dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Masyarakat (Studi Kasus KPK)," Jurnal Kebijakan Ekonomi 18, no. 1 (2023): 85-102, DOI: 10.21002/jke.2023.05.

³ "KPK OTT Wamenaker Immanuel Ebenezer," Kompas.com, 21 Agustus 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/08/21/11262051/kpk-ott-wamenaker-immanuel-ebenezer.

⁴ Rizky Oktavianto dan Norin Mustika Rahadiri Abheseka, "Evaluasi Operasi Tangkap Tangan KPK," Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS 5, no. 2 (2019): 117-131, https://doi.org/10.32697/integritas.v5i2.473.

⁵ Darmawan Wiridin dan Slamet Hariyadi, "Telaah Kritis Penyalahgunaan Wewenang Jabatan (Abuse of Power) dalam Perspektif UU Nomor 31 Tahun 1999 JO UU Nomor 20 Tahun 2001," Jurnal Interpretasi Hukum 4, no. 3 (Desember 2023): 507-522, https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juinhum/article/view/7507.

⁶ Moris Adidi Yogia dan Raden Imam Al Hafis, "Abuse of Power: Tinjauan Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan Oleh Pejabat Publik Di Indonesia," PUBLIKa: Jurnal Ilmu Administrasi Publik 3, no. 1 (2017): 80-88, https://journal.uir.ac.id/index.php/JIAP/article/view/3494.

⁷ Budi Suhariyanto, "Persinggungan Kewenangan Mengadili Penyalahgunaan Diskresi Antara Pengadilan TUN dan Pengadilan Tipikor," Jurnal Hukum dan Peradilan 7, no. 2 (Juli 2018): 213-236, https://doi.org/10.25216/jhp.7.2.2018.213-236.

⁸ "Penerapan Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Karyawan," Health Information: Jurnal Penelitian 15, no. 3 (November 2023): 234-248, https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/hijp/article/view/1210.

⁹ "Begini Aturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi Tenaga Kerja," Hukumonline.com, 23 Agustus 2022, https://www.hukumonline.com/klinik/a/aturan-keselamatan-dan-kesehatan-kerja-lt6304aeb999d89/.

¹⁰ "OTT KPK, Wamenaker Immanuel Ebenezer Ditangkap karena Kasus Pemerasan," Kompas.com, 21 Agustus 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/08/21/11514811/ott-kpk-wamenaker-immanuel-ebenezer-ditangkap-karena-kasus-pemerasan.

¹¹ Disiplin F. Manao, "Penyelesaian Penyalahgunaan Wewenang oleh Aparatur Pemerintahan dari Segi Hukum Administrasi Dihubungkan dengan Tindak Pidana Korupsi," Jurnal Wawasan Yuridika 2, no. 1 (2018): 1-23, https://doi.org/10.25072/jwy.v2i1.158.

¹² Widyo Anjari, "Penerapan Pemberatan Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi," Jurnal Yudisial 15, no. 2 (Agustus 2022): 263-281, https://doi.org/10.29123/jy.v15i2.507.

¹³ Dika Santoso, "Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang," Jurnal JURISTIC 2, no. 1 (April 2021): 45-62, http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/JRS/article/view/2126.

¹⁴ Muhammad Aldi Saputra, "Implementasi Operasi Tangkap Tangan Yang Dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi," Lex Renaissance 6, no. 3 (2021): 512-528, https://journal.uii.ac.id/Lex-Renaissance/article/view/18199.

¹⁵ Enrico Simanjuntak, "Assessment of Elements of Abuse of Authority (Detournement De Pouvoir) Based on the Decision of the Constitutional Court," Jurnal Konstitusi 20, no. 1 (Maret 2023): 45-68, https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/jk2016.

¹⁶ Lamijan, "Dampak Korupsi Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Politik," JPeHI (Jurnal Penelitian Hukum Indonesia) 3, no. 2 (Desember 2022): 112-128, https://ejournal.undaris.ac.id/index.php/jpehi/article/view/381.

¹⁷ E. S. Ghufron et al., "The Effect of Inflation, Interest Rate, Exchange Rate, Corruption Perception Index, and Trade Openness on Foreign Direct Investment in 6 ASEAN Countries," Journal of Business Studies and Management Review 6, no. 2 (Desember 2023): 145-162, https://online-journal.unja.ac.id/jbsmr/article/view/28265.

¹⁸ T. A. Chandra dan R. D. Handoyo, "Determinants of Foreign Direct Investment in 31 Asian Countries for the 2002-2017 Period," Contemporary Economics 14, no. 4 (2020): 563-578, https://doi.org/10.5709/ce.1897-9254.428.

¹⁹ Akman, "Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia," Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Pembangunan 5, no. 2 (2020): 78-92, https://jim.usk.ac.id/EKP/article/view/10601.

²⁰ Tika Widiastuti, "Pengaruh Korupsi Terhadap Peranan Pengeluaran Negara Dalam Meningkatkan Pembangunan Manusia," Kajian Ekonomi dan Keuangan 1, no. 3 (Desember 2017): 189-205, https://fiskal.kemenkeu.go.id/ejournal/index.php/kek/article/view/305.

²¹ Teguh Fajar Karunia, "Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Teori Lawrence M. Friedman," Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 10, no. 2 (Juli 2022): 234-251, https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/62831.

²² Ahmad Maulida et al., "Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Hukum Indonesia dan Pidana Islam," Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial 8, no. 01 (2020): 43-67, https://doi.org/10.30868/am.v8i01.677.

²³ "Peran e-Governance sebagai Instrumen Peningkatan Good Governance," Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik 7, no. 2 (2022): 156-172, https://journal.poltekim.ac.id/jaid/article/download/731/619/.

²⁴ Maria Agustina Puspasari, "Prinsip-Prinsip Good Governance Transparansi dan Akuntabilitas pada KPP Pratama Cikarang Utara," Jurnal Perspektif 17, no. 2 (Oktober 2019): 182-194, https://doi.org/10.31294/jp.v17i2.6482.

²⁵ Risma Juliana, Abdul Razak, dan Eza Tri Yandy, "Urgensi Penambahan Masa Jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Perspektif Hukum Tata Negara," Ta'zir: Jurnal Hukum Pidana 8, no. 1 (2024): 29-46, https://doi.org/10.19109/tazir.v8i1.22291.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paradoks Fungsi Budgeting DPR dalam Penetapan Tunjangan Anggota Dewan: Analisis Konflik Kepentingan dan Mekanisme Check and Balances dalam Sistem Hukum Anggaran Negara Indonesia

 Paradoks Fungsi Budgeting DPR dalam Penetapan Tunjangan Anggota Dewan: Analisis Konflik Kepentingan dan Mekanisme Check and Balances dalam ...