Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Sabtu, 02 Agustus 2025

Analisis Yuridis Pemberian Abolisi dan Amnesti: Studi Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia

 

Analisis Yuridis Pemberian Abolisi dan Amnesti: Studi Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia

Abstrak

Penelitian ini menganalisis pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto yang diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Juli 2025. Kedua instrumen hukum ini merupakan manifestasi hak prerogatif presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, namun implementasinya memunculkan diskursus kompleks tentang keseimbangan antara politik hukum dan penegakan hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak konstitusional presiden, namun dalam konteks pemberantasan korupsi, implementasinya berpotensi menciptakan preseden yang kontradiktif dengan komitmen penegakan hukum. Penelitian ini menyimpulkan perlunya reformulasi regulasi tentang abolisi dan amnesti yang lebih komprehensif untuk menjaga keseimbangan antara kewenangan eksekutif dan prinsip supremasi hukum.

Kata Kunci: Abolisi, Amnesti, Hak Prerogatif, Tom Lembong, Hasto Kristiyanto

Pendahuluan

Dinamika politik hukum Indonesia memasuki babak baru ketika Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pada akhir Juli 2025. Kedua tokoh ini tengah menghadapi proses hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi, sehingga keputusan presiden ini memicu perdebatan intensif tentang keseimbangan antara kewenangan politik dan supremasi hukum.

Abolisi dan amnesti merupakan instrumen hukum yang memiliki sejarah panjang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedua mekanisme ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bagian dari hak prerogatif presiden. Namun demikian, implementasinya dalam konteks pemberantasan korupsi menimbulkan problematika tersendiri, mengingat korupsi telah ditetapkan sebagai extraordinary crime yang memerlukan penanganan luar biasa.

Penelitian ini berangkat dari urgensi untuk menganalisis aspek yuridis pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Analisis difokuskan pada tiga aspek fundamental: pertama, kerangka normatif abolisi dan amnesti dalam sistem hukum Indonesia; kedua, problematika implementasi dalam konteks pemberantasan korupsi; dan ketiga, implikasi terhadap sistem penegakan hukum ke depan.

Kerangka Konseptual Abolisi dan Amnesti

Definisi dan Karakteristik Abolisi

Abolisi dalam konteks hukum Indonesia memiliki makna spesifik yang berbeda dengan amnesti. Menurut Fauzi (2021), abolisi merupakan penghapusan penuntutan terhadap seseorang atau kelompok orang yang diduga melakukan tindak pidana tertentu. Karakteristik utama abolisi adalah pemberian pengampunan sebelum proses peradilan mencapai putusan akhir, sehingga proses hukum dihentikan tanpa ada vonis bersalah atau tidak bersalah.

Dalam perspektif hukum tata negara, abolisi merepresentasikan kewenangan eksekutif untuk mengintervensi proses yudisial dengan pertimbangan kepentingan negara yang lebih luas. Namun demikian, kewenangan ini bukanlah kewenangan absolut. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemberian abolisi, mencerminkan prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Konsep dan Ruang Lingkup Amnesti

Amnesti memiliki dimensi yang berbeda dengan abolisi. Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, amnesti adalah pengampunan yang menghapuskan segala akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan pidana tertentu. Karakteristik pembeda amnesti adalah diberikannya kepada orang yang telah dinyatakan bersalah atau sedang menjalani hukuman.

Susanto (2016) dalam penelitiannya menekankan bahwa amnesti memiliki dimensi politik yang kuat karena umumnya diberikan untuk tindak pidana yang berkaitan dengan peristiwa politik tertentu. Namun demikian, perkembangan praktik ketatanegaraan menunjukkan perluasan interpretasi tentang jenis tindak pidana yang dapat diberikan amnesti.

Hak Prerogatif Presiden: Antara Kewenangan dan Pembatasan

Hak prerogatif presiden dalam memberikan abolisi dan amnesti tidak dapat dilepaskan dari konteks sistem presidensial Indonesia pasca reformasi. Ahmad (2021) mengargumentasikan bahwa amandemen UUD 1945 telah mentransformasi hak prerogatif dari kewenangan absolut menjadi kewenangan terbatas yang harus memperhatikan mekanisme checks and balances.

Transformasi ini terlihat jelas dalam ketentuan yang mewajibkan presiden meminta pertimbangan DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi. Mekanisme ini dirancang untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dan memastikan bahwa keputusan presiden mempertimbangkan aspirasi politik yang lebih luas. Namun demikian, pertimbangan DPR bersifat tidak mengikat, sehingga keputusan akhir tetap berada di tangan presiden.

Analisis Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto

Konteks Hukum Kasus Tom Lembong

Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, divonis 4 tahun 6 bulan penjara pada 18 Juli 2025 dalam kasus korupsi impor gula yang merugikan negara Rp 194,72 miliar. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Tom bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menyetujui impor gula kristal mentah kepada 10 perusahaan tanpa melalui rapat koordinasi antarkementerian dan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian.

Aspek krusial dalam kasus ini adalah tidak adanya bukti kickback atau penerimaan uang oleh Tom Lembong. Saut Situmorang, mantan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, menegaskan bahwa "tidak ada bukti adanya kickback, betul kan? Kalian dengar sendiri, apakah disebut ada kickback atau penerimaan uang? Tidak ada, kan?" Ketiadaan keuntungan pribadi ini seharusnya menjadi pertimbangan fundamental dalam menilai unsur mens rea (niat jahat) dalam perkara korupsi.

Pemberian abolisi kepada Tom Lembong memiliki dimensi politik yang kuat. Pakar hukum Fickar menyatakan bahwa "abolisi boleh diberikan meski status hukumnya belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Itu kewenangan kepala negara, mutlak dan konstitusional. Artinya, Presiden melihat kasusnya berlatar belakang politis." Pernyataan ini mengindikasikan bahwa keputusan abolisi tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum, melainkan juga mempertimbangkan konteks politik yang melingkupi kasus tersebut.

Dimensi Politik Kasus Hasto Kristiyanto

Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, divonis 3 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada 26 Juli 2025. Majelis hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah turut serta melakukan pidana suap kepada mantan Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan senilai Rp 400 juta untuk memuluskan langkah Harun Masiku sebagai anggota DPR RI 2019-2024 melalui pergantian antarwaktu (PAW).

Kasus ini memiliki dimensi politik yang sangat eksplisit. Guntur Romli, politikus PDIP, mengklaim bahwa "kasus ini sejak awal sudah direkayasa. Ini kasus politik, bukan kasus hukum." Lebih lanjut, Guntur mengungkapkan bahwa sejak April 2025, Hasto telah menyampaikan kepada internal PDIP bahwa dia akan dituntut 7 tahun penjara dan akan divonis 4 tahun, yang ternyata hanya meleset 6 bulan dari vonis aktual.

Pemberian amnesti kepada Hasto mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan. Feri Amsari, pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, menyatakan bahwa "hukum sedang dipermainkan. Kalau mau memaafkan Hasto dan Tom kenapa harus begini amat: drama di pengadilan dulu. Kenapa enggak sedari awal saja. Bukankah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK di bawah Presiden." Kritik ini menyoroti inkonsistensi dalam penegakan hukum dan indikasi bahwa proses peradilan mungkin telah diatur sedemikian rupa untuk mencapai hasil politik tertentu.

Pertimbangan Kepentingan Negara

Argumentasi utama yang mendasari pemberian abolisi dan amnesti dalam kedua kasus ini adalah pertimbangan kepentingan negara dan stabilitas politik. Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa keputusan ini diambil untuk menjaga kondusivitas dan kerjasama dengan semua elemen bangsa.

Namun demikian, konsep "kepentingan negara" dalam konteks ini memerlukan elaborasi lebih lanjut. Pertanyaan fundamental yang muncul adalah: apakah penghentian proses hukum terhadap tersangka korupsi benar-benar sejalan dengan kepentingan negara dalam jangka panjang? Bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan politik jangka pendek dengan kepentingan penegakan hukum yang berkelanjutan?

Kritik dari Masyarakat Sipil dan Akademisi

Keputusan pemberian abolisi dan amnesti menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Akademisi dan pegiat antikorupsi memandang keputusan ini sebagai bentuk permainan hukum yang membahayakan integritas sistem peradilan Indonesia.

Feri Amsari menegaskan bahwa keputusan ini tidak hanya menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi ke depan, tetapi juga bagi isu peradilan yang sehat. Kritik serupa datang dari Indonesia Memanggil (IM57+) Institute yang menilai pemberian amnesti dan abolisi sebagai "bentuk terang benderangnya upaya mengakali hukum yang berlaku."

Yang menjadi sorotan khusus adalah timing dan mekanisme pemberian abolisi dan amnesti ini. Mengapa proses peradilan harus berjalan hingga vonis dijatuhkan, untuk kemudian dihentikan melalui instrumen eksekutif? Pertanyaan ini mengindikasikan adanya kemungkinan orkestrasi politik yang lebih besar di balik seluruh proses peradilan kedua kasus ini.

Problematika Yuridis dan Implikasi Sistemik

Kontradiksi dengan Semangat Pemberantasan Korupsi

Pemberian abolisi dan amnesti untuk kasus korupsi menciptakan kontradiksi fundamental dengan berbagai instrumen hukum antikorupsi yang telah dibangun. Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang menekankan pentingnya penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelaku korupsi.

Dalam kasus Tom Lembong, ketiadaan bukti mens rea (niat jahat) karena tidak adanya kickback atau keuntungan pribadi seharusnya menjadi pertimbangan dalam proses peradilan itu sendiri, bukan melalui intervensi eksekutif. Saut Situmorang menekankan bahwa "ketika ada kerugian negara tapi tidak ada bukti kickback kepada pelaku, dalam hal ini Tom Lembong tidak menerima apa pun," hal ini seharusnya menjadi dasar untuk mempertanyakan penerapan pasal korupsi.

Namun demikian, penggunaan instrumen abolisi untuk "mengoreksi" proses peradilan justru menciptakan preseden yang berbahaya. Alih-alih memperbaiki sistem peradilan dari dalam, abolisi dan amnesti menjadi jalan pintas politik yang mengabaikan prinsip-prinsip fundamental penegakan hukum.

Preseden Hukum dan Dampak Jangka Panjang

Keputusan memberikan abolisi dan amnesti dalam kasus korupsi menciptakan preseden hukum yang berpotensi problematis. Pertama, hal ini dapat mendorong pelaku korupsi lainnya untuk mencari perlindungan politik daripada menghadapi proses hukum. Kedua, melemahkan efek jera yang seharusnya dihasilkan dari penegakan hukum antikorupsi.

Lembaga-lembaga pemantau korupsi seperti Indonesia Memanggil (IM57+) Institute mengkritik keras keputusan ini. Menurut Lakso Anindito, Ketua IM57+ Institute, pemberian amnesti dan abolisi merupakan upaya mengakali hukum yang dapat meruntuhkan bangunan rule of law dan menggantinya dengan rule by law.

Kebutuhan Reformasi Regulasi

Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto mengekspos kelemahan fundamental dalam regulasi tentang abolisi dan amnesti. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 yang masih menjadi dasar hukum utama sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem hukum Indonesia kontemporer.

Razali (2022) dalam penelitiannya tentang amnesti dalam perspektif fiqh siyasah menekankan perlunya pembatasan yang jelas tentang jenis tindak pidana yang dapat diberikan amnesti. Pembatasan ini penting untuk memastikan bahwa instrumen amnesti dan abolisi tidak disalahgunakan untuk melindungi pelaku kejahatan serius yang merugikan kepentingan publik.

Rekomendasi dan Arah Reformasi

Pembentukan Undang-Undang Komprehensif

Urgensi pembentukan undang-undang baru tentang grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi tidak dapat ditunda lagi. Undang-undang ini harus memuat beberapa elemen kunci: pertama, definisi yang jelas dan limitatif tentang jenis tindak pidana yang dapat diberikan abolisi dan amnesti; kedua, prosedur yang lebih transparan dan akuntabel; ketiga, mekanisme pengawasan yang efektif.

Secara spesifik, undang-undang baru harus mengecualikan tindak pidana korupsi dari kemungkinan pemberian abolisi dan amnesti. Pengecualian ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi dan prinsip zero tolerance terhadap korupsi yang telah menjadi konsensus nasional.

Penguatan Mekanisme Checks and Balances

Mekanisme pertimbangan DPR yang ada saat ini perlu diperkuat. Pertimbangan DPR seharusnya bersifat mengikat dalam kasus-kasus tertentu, terutama untuk tindak pidana yang berkaitan dengan kerugian negara atau pelanggaran HAM berat. Hal ini akan memastikan bahwa keputusan presiden benar-benar mencerminkan kepentingan publik yang lebih luas.

Selain itu, perlu dipertimbangkan pelibatan Mahkamah Agung secara lebih substantif dalam proses pemberian abolisi dan amnesti. Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan hukum yang objektif tentang implikasi pemberian abolisi atau amnesti terhadap sistem penegakan hukum secara keseluruhan.

Transparansi dan Akuntabilitas Publik

Setiap keputusan pemberian abolisi dan amnesti harus disertai dengan penjelasan publik yang komprehensif. Presiden harus menjelaskan secara terbuka pertimbangan-pertimbangan yang mendasari keputusannya, termasuk bagaimana keputusan tersebut sejalan dengan kepentingan negara jangka panjang.

Mekanisme judicial review terhadap keputusan pemberian abolisi dan amnesti juga perlu dipertimbangkan. Meskipun ini merupakan hak prerogatif presiden, namun dalam negara hukum yang demokratis, setiap kekuasaan harus dapat dipertanggungjawabkan dan dikontrol.

Kesimpulan

Pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto merepresentasikan dilema fundamental dalam sistem hukum Indonesia: bagaimana menyeimbangkan antara kewenangan politik eksekutif dengan prinsip supremasi hukum. Meskipun secara konstitusional presiden memiliki hak untuk memberikan abolisi dan amnesti, namun penggunaan hak ini dalam konteks pemberantasan korupsi menimbulkan problematika serius.

Analisis yuridis menunjukkan bahwa kerangka regulasi yang ada saat ini tidak memadai untuk mengatur penggunaan abolisi dan amnesti dalam konteks Indonesia kontemporer. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 perlu segera diganti dengan regulasi yang lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan sistem hukum nasional.

Ke depan, Indonesia perlu merumuskan politik hukum yang jelas tentang abolisi dan amnesti. Politik hukum ini harus menyeimbangkan antara fleksibilitas eksekutif dalam menjalankan pemerintahan dengan komitmen terhadap penegakan hukum yang adil dan konsisten. Tanpa keseimbangan ini, instrumen abolisi dan amnesti berpotensi menjadi celah yang melemahkan upaya penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi.

Daftar Pustaka

Ahmad. (2021). "Purifikasi Pemberian Amnesti dan Abolisi: Suatu Ikhtiar Penyempurnaan Undang-Undang Dasar 1945". Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan, 5(2), 171-189. http://jurnal.utu.ac.id/jcivile/article/view/2547

CNN Indonesia. (2025, Agustus 1). "Apa Perbedaan Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto". Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250801061236-12-1257418/apa-perbedaan-abolisi-tom-lembong-dan-amnesti-hasto

CNN Indonesia. (2025, Agustus 1). "Akademisi Kritik Amnesti-Abolisi Kasus Korupsi: Hukum Dipermainkan". Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250801090748-12-1257454/akademisi-kritik-amnesti-abolisi-kasus-korupsi-hukum-dipermainkan

Fauzi, S. I. (2021). "Politik Hukum Pemberian Grasi, Amnesti dan Abolisi sebagai Konsekuensi Logis Hak Prerogatif". Jurnal Hukum & Pembangunan, 51(3), 638-659. DOI: 10.21143/jhp.vol51.no3.3126. https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol51/iss3/5

KNews.id. (2025, Juli 27). "Hasto Dipenjara, PDIP Kritik Lembaga Yudikatif: Memalukan dan Tidak Konsisten". Diakses dari artikel berita online.

Kompas.com. (2025, Juli 31). "Tom Lembong Dapat Abolisi, Pakar Hukum: Harus Dibebaskan". Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2025/07/31/21520091/tom-lembong-dapat-abolisi-pakar-hukum-harus-dibebaskan

Razali. (2022). "Amnesti: Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Fiqh Siyasah". Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum, 11(2), 276-297. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi/article/view/15218

Sujatmiko & Wibowo, W. (2021). "Urgensi Pembentukan Regulasi Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi". Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 21(1), 91-108. DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2021.V21.91-108. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/1589

Susanto, M. (2016). "Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden". Jurnal Yudisial, 9(3), 237-258. https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/9

Tempo.co. (2025, Juli 21). "Kritik atas Vonis Tom Lembong: Dari Mens Rea hingga Fondasi Negara Goyah". Diakses dari artikel berita online.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Yuridis Pemberian Abolisi dan Amnesti: Studi Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia

  Analisis Yuridis Pemberian Abolisi dan Amnesti: Studi Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia...