Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Senin, 21 Oktober 2019

PANDANGAN KRITIS TERHADAP PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KPK DAN UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Pendirian KPK
Korupsi memiliki dampak yang besar terhadap negara, dan dampaknya yang meluas hingga mempengaruhi kondisi sosial suatu masyarakat, hingga menciptakan kondisi suburnya kejahatan terorganisir, menjadi wajar adanya tindak pidana korupsi dianggap suatu tindak pidana yang berbahaya bagi negara.[1] Tumbuhnya kesadaran masyarakat dunia akan bahwa korupsi telah memunculkan tumbuh suburnya gerakan antikorupsi dalam dunia internasional. Gerakan anti korupsi ini bertujuan untuk melakukan pemberantasan korupsi di negaranya masing-masing mengingat pola modus penyebab korupsi dari suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Dinisilah pada akhirnya kita mengenal apa yang dinamakan sebagai Anti Corruption Agency atau diterjemahkan sebagai Lembaga Anti Korupsi.
Mengingat tingkat bahaya dari korupsi pada akhirnya muncul lembaga-lembaga anti korupsi di dunia yang bertindak khusus untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dinegaranya. Disadari bahwa tindak pidana korupsi akan selalu melekat dalam sistem, sekalinya perbuatan korupsi itu ada dalam suatu sistem dia akan terus melekat dalam sistem tersebut. Hal ini terjadi karena begitu korupsi muncul dalam suatu sistem dia akan menjadi kebiasaan dalam sistem tersebut hingga perilaku korupsi dianggap sebagai hal yang umum untuk terjadi.[2]
Mengingat sulitnya suatu perilaku korupsi yang membudaya dalam suatu sistem pemerintahan untuk diberantas, diperlukan suatu upaya untuk melakukan memberantasnya. Menurut pemenang Nobel Gunnar Myrdal di tahun 1968 korupsi tidak bisa diberantas dari dalam sistem, karena tidak memungkinkan suatu individu yang jujur dapat bertahan di tengah-tengah kondisi lingkungan yang tidak jujur.[3]
Banyak pendapat yang lebih memilih untuk membangun institusi baru diluar institusi penegak hukum yang ada untuk melakukan pemberantasan korupsi. Darisinilah kemudian muncul institusi-institusi baru diluar pemerintahan konvensional yang dikenal dengan nama lembaga anti korupsi (Anti Corruption Agency). Lembaga anti korupsi dibentuk khusus untuk memberantas korupsi. Dikatakan khusus karena lembaga anti korupsi bergerak dengan kewenangan khusus untuk memberantas korupsi yang hidup di dalam suatu sistem pemerintahan, yang berarti lembaga anti korupsi memiliki kewenangan pengawasan kedalam suatu sistem pemerintahan.
Terlebih pada tahun 2002, Dato Param Cumraswamy, pelapor khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa tingkat korupsi di lembaga peradilan Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, sejajar dengan Meksiko.[4] Beberapa pendapat menyatakan perilaku korupsi merupakan faktor utama dari krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1997. Mengingat pengalaman pada tahun 1997 tersebut Indonesia merasakan sendiri dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi dan berusaha untuk memberantasnya melalui pembentukan KPK.
Komunitas internasional dan khususnya IMF juga memainkan peran dalam mendorong pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa RUU tentang KPK akan diberlakukan. Ketika Megawati ditunjuk oleh MPR pada tahun 2001 untuk menggantikan Wahid setelah pemakzulannya, tim ekonominya mengajukan rencana untuk membentuk Komisi Anti-Korupsi sebagai bagian dari janji pemerintah yang lebih luas untuk melakukan reformasi ekonomi, keuangan, dan pemerintahan.
Ini diuraikan dalam Letter of Intent (LOI) kepada IMF pada Agustus 2001[5] dan selanjutnya diuraikan dalam LOI kepada IMF yang ditandatangani pada 13 Desember 2001. LOI ini menguraikan niat pemerintah untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi di kedua. seperempat tahun 2002. Dalam surat yang sama, disebutkan juga niat untuk membentuk pengadilan anti-korupsi yang independen dan untuk menetapkan kriteria yang ketat 'untuk memastikan bahwa hanya orang-orang yang memenuhi persyaratan kualifikasi profesional yang ketat dan yang integritasnya tidak tercela akan ditunjuk untuk Komisi.'
Menilik kebelakang, sebenarnya gagasan pemberantasan korupsi diawali dari TAP MPR No. 11 Tahun 1998, yang mengamanatkan pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pembentukan KPK diawali dari gagasan beberapa orang dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) untuk menambahkan BAB tersendiri tentang KPK pada waktu pembahasan Undang-undang Tipikor. Usulan ini ditentang karena pada saat itu belum ada kajian yang mendalam dari bentuk KPK yang diinginkan sehingga pada akhirnya pembahasan tentang KPK dibahas pada undang-undang tersendiri. Alasan utama KPK harus dibahas dalam undang-undang tersendiri karena untuk membangun sebuah lembaga atau komisi yang diberi kewenangan sebesar itu, tidak bisa dirancang dengan pemikiran sesaat, harus dilakukan pengkajian yang cermat dengan segala aspeknya.
Untuk membentuk Rancangan Undang-Undang KPK dibentuk tim persiapan dan pengkajian KPK oleh Departemen Kehakiman dan HAM RI dengan bantuan dana dari Asian Development Bank (“ADB”). Tim diketuai oleh Prof. DR. Romli Atmasasmita SH., LLM. Tim melakukan studi banding ke Malaysia, Hongkong, Singapura dan Australia yang bertujuan mempelajari konsep pembentukan komisi pemberantasan korupsi seperti yang dimiliki negara tersebut. hasilnya adalah, lembaga anti korupsi yang akan dibentuk di Indonesia tidak dapat disamakan dengan lembaga anti korupsi di negara-negara tersebut karena perbedaan geografis, kesejarahan, sistem peradilan pidana, sumber daya manusia, anggaran negara yang tersedia hingga perbedaan kultur masyarakatnya.[6]
Pada akhirnya diputuskan untuk menggunakan bantuan Bertrand de Speville, mantan komisaris ICAC Hong Kong untuk membantu Indonesia dalam melakukan pembentukan lembaga anti korupsi di Indonesia. Penunjukan Bertrand de Speville secara tidak langsung menunjukkan bahwa kiblat dari pembentukan lembaga anti korupsi di Indonesia adalah ICAC. ICAC sendiri saat itu merupakan lembaga anti korupsi yang sarat pengalaman memberantas korupsi di wilayah asia. Bertrand de Speville-pun pada akhirnya merumuskan kajian mendalam terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia yang pada akhirnya kajian ini menjadi salah satu acuan dalam membentuk KPK yang kita kenal sekarang ini. KPK dibentuk pada tahun 2003 kurang dari satu tahun sejak disahkannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
KPK merupakan bukti dari keinginan bangsa Indonesia untuk bebas dari Korupsi. KPK menjadi upaya pamungkas bagi negara Indonesia untuk secara tuntas mengakhiri perilaku korupsi di Indonesia. Sebagai upaya pamungkas, KPK dibentuk dengan diberikan kewenangan luar biasa untuk memberantas korupsi di Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia terdapat lembaga penegak hukum yang memiliki fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sekaligus, dan ditambah juga dengan dibentuknya peradilan khusus tindak pidana korupsi. Semua kewenangan dan “hak istimewa” ini merupakan hasil dari prakiraan dan studi yang dilakukan pemerintah dalam tujuannya untuk memberantas korupsi di Indonesia, sehingga diyakini bahwa KPK dengan segala kewenangannya akan dapat memberantas korupsi di Indonesia hingga tuntas.
Perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan secara pasang surut di tengah dominasi kekuatan kepentingan politik dan kekuasaan.[7] Salah satu agenda perjuangan reformasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah penghapusan praktek-praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), tuntutan pemberantasan KKN ini semakin gencar sejak turunnya Soeharto dari kursi Presiden. Berbagai tuntutan baik dari mahasiswa maupun gerakan pro reformasi lainnya menghendaki agar mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya segera diperiksa dan diadili karena diduga telah melakukan praktek KKN selama dia berkuasa. Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.[8]
Demokrasi sendiri yang telah kita anggap selesai pasca Reformasi tahun 1998 menjadi tidak berarti ketika korupsi masih mengurita di bumi Indonesia dihampir setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan korupsi di Indonesia (kolusi dan nepotisme merupakan bagian dari korupsi) merupakan salah satu persoalan yang sangat rumit. Hampir semua lini kehidupan sudah terjangkit wabah korupsi. Sikap galak aparat penegak hukum tidak cukup kuat untuk menahan laju korupsi. Korupsi seolah-olah telah menjadi budaya, selain itu keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi, menambah persoalan bagi aparat penegak hukum.[9]
Korupsi di Indonesia sendiri menjadi demikian parah akibat buruknya moralitas para pejabat di Indonesia. Dalam hal moral sendiri (Immanuel Kant 1724-1802) mengatakan bahwa: “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia”. Kalimat ini merupakan kata mutiara yang tertulis di batu nisan makam Immanuel Kant. Kant adalah salah satu dari sedikit filsuf (ilmuwan) yang yang intens membicarakan masalah moral di tengah-tengah euforia pengagungan akal di jaman modern. Menurut Kant kelebihan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada moralnya. Pada morallah manusia menemukan hakekat kemanusiaannya.[10]
Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada masa reformasi menunjukkan adanya keseriusan dalam mencegah ataupun mengatasi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pemerintah Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan tujuh poin revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi UU KPK tersebut selanjutnya akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Rapat Panitia Kerja (Panja) menyepakati ketujuh poin revisi UU KPK itu pada Senin (16/9) di ruang Badan Legislasi DPR, Senayan, Jakarta. Ketujuh poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah yaitu:[11]
  1. Terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.
  2. Mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK.
  3. terkait pelaksanaan fungsi penyadapan.
  4. Mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.
  5. Terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.
  6. Mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan.
  7. Terkait sistem kepegawaian KPK.

  1. Rumusan Masalah
Berangkat dari Hal diatas maka adapun yang menjadi rumusan masalah pada tulisan ini adalah:
  • Bagaimana sejarah hukum para pemimpin KPK?
  • Apakah yang menjadi alasan hukum penolakan terhadap KPK?
  • Bagaimana analisis yuridis dalam penegakan hukum terkait pengesahan revisi undang-undang KPK?


BAB II
LANDASAN HUKUM EKSITENSI KPK

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi dasar pembentukan KPK. Melalui UU ini, KPK yang lahir pada 29 Desember 2003 ini semakin menjawab antusiasme masyarakat dalam memberantas korupsi, mengingat keberadaan lembaga penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan pemberantasan korupsi KPK belum menunjukkan kinerja yang maksimal. KPK dinilai sebagai angin segar bagi pencari keadilan dan sistem hukum yang tidak pandang bulu, sehingga perhatian dan harapan publik yang ditunjukkan kepada KPK semakin tinggi. KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun, serta bertanggung jawab kepada publik. KPK didirikan dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan hasil upaya pemberantasan TPK. KPK diberi mandat untuk memberantas korupsi secara profesional, intensif, dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Posisi Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki lebih banyak independensi daripada polisi dan kejaksaan. Padahal, kewenangan lembaga ini meliputi kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan, yaitu kewenangan untuk melakukan penyidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan Agung relatif kurang independen dalam menjalankan tugasnya karena kedua lembaga ini berada dalam struktur kekuasaan eksekutif, oleh karena itu kedua lembaga ini akan mengalami konflik antara fungsi dan tugas kehakiman dan kepentingan politik, yaitu ketika menjalankan fungsi penegakan hukum dan tugas berurusan dengan perintah dari eksekutif yang bertentangan dengan fungsi dan tugasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu lembaga negara bantu yang ada di Indonesia.[12] Dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasai, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. KPK didirikan berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya KPK bertindak secara independen. Adapun tugas KPK diatur dalam Pasal 6 UU KPK, antara lain:
  1. Koordinasi dengan intansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.[13]

Setiap tugas sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 di atas, melahirkan kewenangan atau fungsi yang berbeda kepada KPK. Baik itu yang berkaitan dengan tugas koordinasi; supervisi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; pencegahan, atau; monitoring. Tugas dan kewenangan KPK diuraikan secara rinci dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tugas KPK sebagaimana ditetapkan Pasal 6 huruf a, kewenangan untuk melakukan koordinasi, diuraikan dalam Pasal 7. Tugas supervisi, yang dimandatkan oleh Pasal 6 huruf b, diatur lebih rinci dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10. Kemudian tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, diatur lebih jelas dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Sedangkan tugas dan kewenangan KPK untuk melakukan monitoring penyelenggaraan pemerintahan negara diatur lebih lanjut dalam Pasal 14.
Secara teoritis, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah perundang-undangan (Legislative enticable power). Pendirian lembaga ini di era transisi terutama karena ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga konvensional yang ada seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam memberantas korupsi. Hal ini dapat dilihat pada salah satu pertimbangan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani kasus korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam konteks penegakan hukum korupsi bersifat transisi dan akan berfungsi sebagai mekanisme pemicu bagi lembaga-lembaga konvensional untuk berbenah diri menghadapi tuntutan reformasi. Ketika lembaga konvensional yang ada sudah berhasil melakukan perbaikan internal dan sudah mulai mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat, maka seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi dibubarkan, namun sebaliknya, jika lembaga konvensional tidak mampu meningkatkan kinerjanya dalam pemberantasan korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi harus dipertahankan.[14]
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi, jika dilihat dari sudut pandang desain kelembagaan, termasuk dalam kerangka "model proporsional", yaitu desain kelembagaan yang bertumpu pada prinsip pembubaran kekuasaan, karena sesuai dengan salah satu pertimbangan di atas, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi disebabkan oleh ketidakefektifan lembaga penegak hukum konvensional yang ada. Pada masa Orde Baru, mekanisme kerja lembaga penegak hukum konvensional tidak lepas dari kontrol eksekutif dan selama masa transisi ini keberadaan lembaga penegak hukum konvensional mengalami krisis legitimasi.[15]
Ketidakpuasan hukum pada masa Orde Baru telah menurunkan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung dan Kepolisian, oleh karena itu KPK sebagai salah satu buah reformasi diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik, terutama dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia. Posisi kuat KPK untuk memberantas korupsi tidak hanya didukung tetapi ada beberapa yang mempertanyakan posisi KPK. Tugas, wewenang dan kewajiban yang disahkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memang membuat komisi ini tampak seperti superbody.
Secara tegas dikatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK merupakan lembaga negara. Seiring perkembangan demokrasi, berkembang juga kelembagaan negara. Berbagai negara dalam menjalankan fungsinya membentuk lembaga negara baru yang bersifat mandiri. Secara umum, pembentukan lembaga negara baru tersebut disebabkan oleh beberapa hal berikut:
  1. Negara mengalami perkembangan karena kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya semakin meningkat.
  2. Pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi kenegaraan semakin berkembang.
  3. Guna mencapai tujuan negara kesejahteraan, negara dituntut menjalankan fungsinya dengan secara tepat, cepat dan komprehensif dari semua lembaga negara yang ada.
  4. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan berbagai kesulitan ekonomi, karena terjadi aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi yang memaksa banyak melakukan eksperimental kelembagaan.[16]

Menurut Jennings, terdapat alasan-alasan yang melatarbelakangi pembentukan lembaga negara bantu, yaitu:
  1. Kebutuhan untuk menyediakan layanan budaya dan personal, bebas dari campur tangan politik
  2. Keinginan untuk regulasi non-politik
  3. Kebutuhan untuk mengatur profesi independen, seperti kedokteran dan hukum
  4. Kebutuhan untuk mengatur layanan teknis
  5. Menciptakan berbagai lembaga yang bersifat semi yudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan [17]

Munculnya lembaga negara baru bukan hal yang harus dihindari. Tapi justru menjadi salah satu cara untuk menyesuaikan dalam memberikan pelayanan terbaik. Lembaga negara utama tidak cukup untuk mengantarkan indonesia menuju tujuan negaranya, perlu dibentuk lembaga negara bantu.  Negara yang memiliki lembaga negara bantu dalam hal pemberantasan korupsi, tidak hanya Indonesia. Beberapa negara lainpun membuat lembaga negara bantu guna menuntaskan masalah korupsi. Setidaknya ada lima alasan umum atas kemunculan lembaga anti korupsi, antara lain:
  1. Korupsi semakin sistematis, canggih, dan telah menjadi endemik;
  2. Lembaga penegak hukum yang ada dianggap belum mampu menjalankan fungsinya dalam memberantas korupsi, yang mengakibatkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum melemah.
  3. Pelaku korupsi tidak hanya terjadi pada pejabat publik tingkat pusat dan daerah, terjadi pada lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan.
  4. Tuntutan masyarakat yang menginginkan perubahan secara cepat; dan
  5. Keberhasilan negara memiliki lembaga anti korupsi dalam memberantas korupsi, sehingga pilihan membentuk lembaga negara baru dipandang sebagai langkah yang tepat dalam memberantas korupsi.[18]

Dalam konteks Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi alasan atas pembentukan lembaga-lembaga negara baru di Indonesia, antara lain:
  1. Hilangnya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada karena anggapan korupsi yang sistemik dan mengakar sehingga sulit untuk diberantas;
  2. Lembaga negara yang ada tidak independen karena pengaruh kekuasaan yang lain;
  3. Ketidakmampuan lembaga yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN;
  4. Pengaruh global dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state’s agency atau watchdog institutions di banyak negara yang berada dalam situasi transisi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan;
  5. Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai syarat untuk memasuki pasar global, tetapi untuk membuat demokrasi sebagai sastu-satunya jalan bagi negara yang semula berada di bawah kekuasaan otoriter.[19]

Selain alasan di atas, hal lain yang melatarbelakangi pembentukan KPK adalah korupsi sudah meluas dan lembaga negara yang ada belum mampu memberantas korupsi, maka diperlukan suatu lembaga yang membantu secara khusus untuk menuntaskan korupsi. Dengan demikian KPK merupakan lembaga negara bantu. Lembaga negara bantu memiliki dua sifat, yakni executive agencies dan independent agencies.[20] Beberapa ahli berpendapat bahwa KPK merupakan independent agencies, hal ini didasarkan pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun.[21]
Dalam Pasal 3 tersebut ada frase “bersifat independen”, maka dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsin merupakan Lembaga Negara Bantu yang bersifat independen, bebas dari interfensi lembaga negara manapun.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki beberapa tugas yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut:
  1. Koordinasi dengan intansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.[22]

Setiap tugas sebagaimana disebutkan dalam pasal 6, memberikan kewenangan atau fungsi yang berbeda kepada KPK. Baik itu yang berkaitan dengan tugas koordinasi; supervisi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; pencegahan, atau; monitoring.
Fungsi koordinasi yang dimiliki KPK juga dipunyai lembaga lain dalam menangani korupsi. Kewenangan yang dimiliki KPK dalam hal menjalankan tugas koordinasinya, tertulis dalam Pasal 7, yaitu: mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; menetapkan sistem pelaporan kegiatan pemberantasan korupsi; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan korupsi; melaksanakan dengar pendapat dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan korupsi; dan meminta laporan kegiatan pencegahan korupsi di instansi terkait.  Akan tetapi, ada tiga kriteria kasus korupsi yang menjadi kewenangan KPK, menurut Pasal 11, yakni: (1) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (2) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; (3) menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.
Fungsi supervisi yang dimiliki KPK menjadikan lembaga ini memiliki legitimasi dalam melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut diatur dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan supervisi ini, membuat KPK dapat mengambilalih penyidikan dan penuntutan suatu perkara korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2).
Pengambilalihan dilakukan bilamana ada laporan dari warga atau masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang yang tidak ditindaklanjuti; proses penanganannya berlarut-larut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; penanganannya terkesan melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya; penanganannya mengandung unsur korupsi; atau karena ada campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; karena keadaan lain yang sulit diatasi dan dilaksanakan oleh kepolisian atau kejaksaan. Enam syarat pengambilalihan penyidikan atau penuntutan kasus korupsi tersebut diatur dalam Pasal 9 Undang-undang KPK.
Fungsi pencegahan yang dimiliki KPK merupakan kewenangan yang penting dalam hal pemberantasan korupsi di masa yang akan datang. Hal ini karena pencegahan dapat membentuk karakter budaya anti korupsi.[23] Kewenangan KPK dalam hal pencegahan sebagaimana dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, berupa:
  1. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
  2. menerima menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
  3. menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;
  4. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan korupsi;
  5. melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum;
  6. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan korupsi.[24]
Diletakkannya kewenangan melakukan pencegahan pada komisi anti korupsi, berarti komisi tersebut dibebani untuk membangun budaya hukum yang memungkinkan bangsa ini keluar dari masalah korupsi. Elwil Danil berpendapat bahwa, proses pencegahan di Indonesia, perlu meniru pengalaman komisi anti korupsi Hongkong (ICAC). Dimana ICAC memiliki strategi penanggulangan yang dikenal dengan “three pronged strategies”, yaitu: 1) penegakan hukum yang efektif; 2) pencegahan korupsi; 3) pendidikan masyarakat. Kemudian ICAC bertujuan untuk memberantas korupsi, melalui deteksi secara efektif, investigasi, dan penuntutan, mengeleminasi kesempatan untuk melakukan korupsi dengan memperkenalkan “corruption resistant practies”, mendidik masyarakat dalam memerangi korupsi.[25]
Ada empat langkah kunci yang dilakukan ICAC untuk meyakinkan tujuan sebagaimana disebut sebelumnya, dapat direalisasikan, yaitu:
  1. menangani secara tuntas tindak pidana korupsi melalui penyidikan yang profesional dan efektif;
  2. mendidik masyarakat tentang undang-undang anti korupsi, dan konsekuensi korupsi, serta menggalang dukungan publik;
  3. mempromosikan integritas pelayanan sipil dan prosedur-prosedur praktis pelayanan publik;
  4. mempromosikan praktik-praktik terpuji, standar etik yang tinggi dan fair dari sektor private.[26]



BAB III
KEPEMIMPINAN KPK DARI MASA KE MASA

KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia adalah lembaga negara yang dibentuk untuk meningkatkan kekuasaan dan efektivitas pemberantasan korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Secara historis, KPK memiliki lima ketua, seorang ketua yang juga anggota dan empat wakil ketua yang juga anggota. Pimpinan KPK menjabat selama empat tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan lagi. Pengambilan keputusan di KPK bersifat kolektif dan kolegial.
  1. Struktur Organisasi KPK Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pimpinan dalam sejarah terbentuknya KPK adalah pejabat negara yang terdiri dari lima orang anggota, yaitu satu orang Ketua dan empat orang wakil ketua yang merangkap anggota. Wakil ketua KPK terdiri dari:
  • Wakil Ketua Bidang Pencegahan
  • Wakil Ketua Bidang Penindakan
  • Wakil Ketua Bidang Informasi Dan Data
  • Wakil Ketua Bidang Pengawasan Internal Dan Pengaduan Masyarakat

Tim Penasihat KPK bertugas untuk memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan keahlian masing-masing kepada KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tim Penasihat terdiri dari empat anggota. Pelaksana Tugas KPK ditetapkan berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi no. PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 mengenai Organisasi dan Tata Kerja KPK. Pelaksana Tugas terdiri dari:
  • Deputi Bidang Pencegahan
  • Deputi Bidang Penindakan
  • Deputi Bidang Informasi Dan Data
  • Deputi Bidang Pengawasan Internal Dan Pengaduan Masyarakat
  • Sekretariat Jenderal

  1. Kepemimpinan KPK dan Kasus – Kasus Korupsi[27]
Kepemimpinan KPK telah berubah berkali-kali, yang pertama adalah Taufiequrrachman Ruki, alumni Akademi Kepolisian 1971 dan mantan anggota DPR periode 1992-2001. Di bawah kepemimpinannya, KPK akan memposisikan diri sebagai katalisator bagi pejabat dan lembaga lain untuk mencapai 'tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih' di Republik Indonesia. Antasari Azhar menggantikan Ruki pada 2007-2009 melalui pemungutan suara di Komisi III DPR RI, meskipun masa jabatannya kontroversial sebagai Kepala Kejaksaan Jakarta Selatan (2000-2007) ketika ia gagal mengeksekusi Tommy Soeharto.
Antasari berhasil menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani sehubungan kasus suap BLBI, menangkap Al Amin Nur Nasution dalam kasus pelepasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Dia juga membawa Deputi Gubernur BI Aulia Pohan ke penjara karena korupsi dana BI. Kiprah Antasari sebagai pimpinan KPK terhenti ketika ia terlibat dalam pembunuhan pengusaha Nasruddin Zulkarnaen, sehingga ia diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai Penjabat Ketua KPK dari 2009-2010. 
Selama masa jabatan Tumpak, KPK menetapkan mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi. KPK juga menetapkan Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Namun, kasus bank Century dan beberapa kasus lainnya terhenti dan Tumpak juga diberhentikan.
Penggantinya adalah Busyro Muqoddas pada periode 2010 – 2011. Sebagai ketua KPK, ia sering mengkritik soal gaya hidup hedonisme para anggota DPR. Ketika dilakukan pemilihan pemimpin KPK pada 2 Desember 2011, Busyro menjadi wakil ketua KPK karena kalah suara dari Abraham Samad. Beberapa kasus korupsi pada masa Abraham adalah korupsi wisma atlet, Hambalang, gratifikasi impor daging sapi, gratifikasi SKK migas, pengaturan pilkada kabupaten Lebak, korupsi simulator dari Korlantas Polri. Pada masa itu yang ditangkap antara lain Andi Mallarangeng, Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, Ratu Atut Chosiyah, Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaq dan lainnya.
Sayangnya, Abraham Samad juga harus mengakhiri masa jabatannya dengan pahit karena ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen berupa KTP, paspor, dan kartu keluarga oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat. Setelah itu, Abraham diberhentikan sementara sebagai Ketua KPK, termasuk Bambang Widjojanto yang juga menjadi anggota. Posisi Abraham untuk sementara digantikan oleh Taufiqurachman Ruki sebagai Pelaksana Tugas Ketua, dengan Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi sebagai pimpinan KPK sementara. Setelah itu, pemilihan lain diadakan, dan Agus Rahadjo adalah orang pertama tanpa pendidikan hukum formal yang terpilih sebagai ketua KPK, karena ia adalah lulusan teknik sipil dari Institut Teknologi Sepuluh November.
SPada periode 2011-2015, KPK dipimpin oleh Abraham Samad dan empat wakil ketua, Zulkarnaen, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas dan Adnan Pandu Praja. Kemudian pada 17 Desember 2015, Komisi Hukum DPR yang diketuai Azis Syamsuddin mengangkat Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK periode 2015-2019 melalui dua pemungutan suara.
Selain Antasari Azhar dan Abraham Samad, juga pernah terkena kasus kontroversial yang dikenal dengan sebutan kasus cicak versus buaya, yaitu: Bibit Samad Rianto, dan Chandra Hamzah.
Bibit Samad Rianto, mengikuti seleksi calon pimpinan KPK tahun 2007-2011. Pada akhirnya, Bibit menjabat sebagai Deputi Bidang Penindakan dan Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat di KPK. Namun, masa jabatannya di KPK tidak semulus yang diharapkan. Ayah empat anak itu dituduh menyalahgunakan wewenang dalam pelarangan Joko Tjandra. Selain itu, ia juga dituduh menerima suap selama kasus Anggodo dan Anggoro. Sosok KPK ini juga terlibat dalam kasus kadal versus buaya. Dia hanya diberi sanksi wajib lapor karena tidak ada bukti bahwa tuduhan itu benar.
Chandra M. Hamzah adalah wakil Ketua KPK yang membawahi bidang penindakan serta bidang informasi dan data. Saat menjadi anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada 2000-2001 mengalami tuduhan menerima suap dari para koruptor. Saat itu, ia dan Bibit sedang menangani kasus korupsi dari Anggoro Widjojo yang merupakan buron korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Kasus tersebut semakin memanas ketika nama Kabareskrim Susno Duaji yang Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga terseret juga dalam penyelidikan KPK. Ia dituduh menelan puluhan miliar dari kasus Bank Century. Respon Susno atas tuduhan ini, membuat kemelut antara KPKdan Polri. Kabareskrim Susno menyebutkan bahwa KPK adalah cicak dan Polri adalah Buaya. Ia menganggap KPK telah keluar dari batas kuasanya. Kasus lainnya yaitu tuduhan penyelewengan kewenangan. Sama halnya dengan Bibit, ia juga tertuduh dalam penyelewengan kewenangan untuk pencekalan dan pencabutan cekal terhadap Anggoro dan Joko Tjandr



BAB IV
ALASAN PENOLAKAN TERHADAP REVISI UU KPK

KPK merupakan aplikasi bentuk politik hukum yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 kepada badan legislatif sebagai pembuat Undang-undang.[28] Dengan adanya Revisi UU KPK merupakan suatu keniscayaan karena hal tersebut merupakan bentuk dari politik hukum. Namun yang menjadi pertanyaannya apakah revisi UU KPK saat ini tepat disebut sebagai bentuk politik hukum --mengingat tujuan dari politik hukum adalah dalam rangka mencapai tujuan negara? Berkaitan dengan politik hukum UU KPK, maka tujuan yang paling paling mendekati adalah "mewujudkan kesejahteraan rakyat".
Karena korupsi masih masif dan sistematis, maka keberadaan lembaga semacam KPK masih sangat dibutuhkan. Oleh karena itu jika revisi UU KPK nantinya akan membantu KPK dalam pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif, maka hal itu tepat dikatakan sebagai praktik politik hukum. Namun apabila adanya revisi tersebut justru dalam implementasinya malah akan menghambat pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, maka revisi UU KPK tersebut dapat diindikasikan sebagai bentuk politisasi hukum terhadap KPK. Artinya, ada faktor politis di balik revisi tersebut.
Aksi penolakan terhadap revisi UU KPK bukanlah aksi untuk mendukung KPK menjadi lembaga superior, melainkan bentuk dukungan terhadap pemberantasan korupsi karena yang ingin diperjuangkan adalah hak-hak rakyat. KPK ibarat sebuah instrumen, dan memang tidak ada instrumen yang sempurna. Namun, jika instrumen itu masih dibutuhkan maka yang dilakukan adalah memperbaikinya, bukan malah memperlemah.
Mendukung pemberantasan korupsi adalah tindakan yang secara aksioma menginginkan kejahatan-kejahatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas diberantas. Korupsi adalah kejahatan; membiarkan korupsi semakin merajalela sama halnya membiarkan tindakan disorientasi terhadap tujuan negara.
Selain itu, Sejumlah organisasi masyarakat sipil antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Konvensi PBB Menentang Korupsi (The UN Convention Against Corruption - UNCAC) juga memberikan penolakan terhadap Revisi atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sekitar 97 lembaga dari berbagai negara yang tergabung dalam Koalisi UNCAC menyatakan prihatin terhadap revisi UU KPK tersebut. Menurut mereka, Revisi ini dapat membahayakan independensi lembaga antikorupsi dan merusak kemampuannya untuk secara efektif mencegah, menyelidiki, dan menuntut korupsi. Koalisi itu melihat KPK telah melakukan upaya pencegahan dan penuntutan korupsi di Indonesia secara efektif. Pekerjaan pencegahan yang dilakukan oleh KPK telah mencapai penghematan keuangan negara yang signifikan di Indonesia. KPK juga telah juga telah dipercaya tinggi oleh masyarakat.[30]


BAB V
ANALISIS YURIDIS DALAM PENEGAKAN HUKUM TERKAIT PENGESAHAN REVISI UNDANG-UNDANG KPK

Penolakan terhadap Revisi UU KPK ini terhadap point-point yang melemahkan lembaga ini, maka secara garis besar akan dianalisis enam point yang ada dalam RUU KPK yang telah disahkan, yaitu:
  1. KPK bukan lagi lembaga independen tetapi masuk ke ranah eksekutif. Pegawai KPK juga menjadi ASN.
Apabil KPK dianggap sebagai bagian dari yudikatif, KPK bukan kekuasaan kehakiman. Legislatif, KPK bukan pembuat Undang-Undang. Makanya posisi di eksekutif diposisikan seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Maka langkah ini dapat dikatakan sebagai upaya memperjelas status KPK itu sendiri. Hal yang paling penting adalah bagaimana hal itu tidak mengurai netralitas dari KPK. Misalnya KPK lembaga non kementerian tetapi ditangan Presiden juga dapat berimplikasi pada pelemahan. Kalau kemudian di-identikan dengan BNN, BKPN, hal itu akan menjadi melemahkan. Apabila dikategorikan seperti Ombudsman, Komisi Yudisial, mereka pada posisi ada dasar hukumnya.[31]
Persoalan lainnya dari awal KPK lembaga ad hoc, sehingga kemudian tidak dapat permanen. Yang harus dijaga adalah bagaimana tidak kurangi kinerja KPK. Positifnya, dengan korupsi yang masih menjamur, kalau KPK masih ad hoc maka itu melemahkan pemberantasan korupsi. Perlu juga dipertanyakan apabila KPK sebagai lembaga permanen, lalu bagaimana dengan kedudukan Kepolisian dan kejaksaan? Akhirnya dilema tidak dapat dikatakan ad hoc ataupun permanen. Bagaimanapun KPK adalah lembaga supervisi kepolisian dan kejaksaan yang tidak jalan.

  1. Penyadapan KPK atas izin dewan pengawas.
Penyadapan merupakan senjata andalan KPK untuk OTT. Namun permasalahan yang timbul, kadang-kadang ada bias karena banyak hal penyadapan itu tidak terkait penegakan hukum juga di ekspos. Penyadapan itu tidak dalam konteks pencegahan tetapi penggiringan. Mestinya orang mau terima suap dikasih tahu. Namun faktanya Tetapi KPK justru menggiring. Kalau pelanggaran HAM misalnya personal akhirnya diumbar publik, menghancurkan anak istrinya. Hal ini menjadi dilemma.
KPK selama ini melakukan penyadapan tidak izin pengadilan, sehingga dapat dikatakan KPK melanggar. Solusinya seharusnnya dapat melalui UU Penyadapan yang sedang di bahas DPR yang seharusnya di integrasikan dengan UU KPK.

  1. Bersinergi dengan penegak hukum lain.
Terpadu tidak dapat sendirian. Polisi dapat kasus melimpahkan ke Kejaksaan. Kejaksaan melimpahkan ke pengadilan, pengadilan harus berkordinasi dengan lembaga pemasyarakatan. Kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK itu tidak dapat jalan sendiri. Hal ini dirasa belum optimal secara sektoral. Tidak terlihat adanya sinergi antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan.

  1. LHKPN itu sebuah ketentuan yang baik agar fungsi pencegahan jalan.
Bersifat kewajiban, jadi KPK harus lebih intensif. Pendataan itu substantif artinya di deteksi. Perlu diperbaiki sunstansi laporannya. Ketika tidak laporan sanksi hukumnya tidak ada. Pemeriksaan itu harus di konfirmasi secara aktual.

  1. Dewan pengawas dipilih Presiden dan DPR.
Belum cukup pengawasan dari DPR karena tidak bersifat memberikan tekanan, artinya beberapa rekomendasi rapat kerja, tidak melaksanakan sanksinya tidak ada. Pengawasan itu banyak menentang birokrasi dan melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Sisi positifnya untuk kinerja KPK lebih baik. Lalu pertanyaannya adalah siapa yang dapat menjamin dewan pengawas itu lebih kredibel dan indepeden? Mekanisme jabatan publik itu selalu kompromi politik. Karena diawasi maka kerja lebih profesional, lebih hati-hati. Tetapi itu dapat juga membuat orang malas bekerja.

  1. KPK dapat keluarkan SP3.
Dalam beberapa kasus di KPK belarut-larut penanganannya. Misalnya orang jadi tersangka tidak jelas kapan berakhirnya. Menurutnya, itu sebuah pelanggaran. Tidak cukup alat bukti misalnya, tidak dapat dihentikan. Meskipun selama ini tidak ada SP3, KPK dilakukan diam-diam misalnya kasus skandal Bank Century. Tidak ada kejelasannya, didugat praperadilan dan dimenangkan. Lebih ke arah kepastian. Dalam perspektif yang pesimis, SP3 itu cenderung jadi sarana kompromi untuk hentikan perkara. Kekhawatiran itu dapat diantisipasi, begitu keluar SP3 tanpa ada alasan yang jelas, KPK dapat digugat praperadilan. SP3 ini dimungkinkan dengan rambu-rambu yang jelas. Fakta sesuai KUHAP harus ada 2 alat bukti untuk menetapkan tersangka, kasusnya juga tidak maju-maju. Hal ini menandakan proses penetapan tersangka belum membuktikan untuk diproses ketahap lebih lanjut., seharusnya ketika sudah menetapkan tersangka langsung dilimpahkan ke penuntut umumnya. Jaksa KPK segera menuntut ke pengadilan. Point ini mendorong agar KPK hati-hati dalam menetapkan tersangka.
Selain itu terkait Revisi UU KPK yang lebih mengutamakan pencegahan dibanding pemrosesan secara Pidana, maka dalam kriminologi, pencegahan kejahatan berarti kemampuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya suatu kejahatan dan berdasarkan pengetahuan terhadap faktor penyebab terjadinya suatu kejahatan tersebut kemudian diambil tindakan yang dapat menyebabkan kejahatan tersebut dapat dicegah.[32] Termasuk juga ketika berkeinginan untuk memberantas korupsi, institusi yang memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi terlebih dahulu harus mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya korupsi. Setelah diketahui faktor-faktornya, kemudian institusi tersebut dapat menciptakan sebuah strategi yang digunakan untuk mencegah korupsi.
Dedie Rachim yang merupakan Direktur Dikyanmas (Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat) KPK mengakui bahwa tidak hanya sistem yang perlu diubah, KPK juga harus menciptakan budaya anti korupsi di seluruh Indonesia agar Indonesia dapat bersih dari korupsi. Disini, social crime prevention yang segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran[33] dan bertujuan untuk membentuk moral individu yang baik[34] harus mendapat tempat dalam upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Seperti yang telah dikatakan oleh Gottfredson dan Hirschi[35] bahwa setiap orang cenderung mempunyai motivasi yang sama untuk melakukan kejahatan. Akan tetapi yang membedakan kenapa seseorang melakukan kejahatan atau tidak adalah karena self-control yang telah diinternalisasikan sejak dini. Apabila ada seseorang yang melakukan kejahatan, hal itu diakibatkan oleh self-control seseorang yang rendah, yang diakibatkan oleh sosialisasi yang buruk yang diperoleh seseorang.
Social crime prevention memusatkan perhatian utamanya pada remaja (usia muda), termasuk anak-anak, karena mereka secara prinsip dianggap sebagai kelompok penerima sosialisasi[36], dan Gottfredson dan Hirschi[37] menyatakan bahwa penguatan dua agen sosialisasi yang utama yaitu sekolah dan keluarga menjadi dua aspek yang fundamental dalam upaya pencegahan kejahatan. Pada tahap ini, KPK sudah masuk kedalam lingkungan sekolah sejak beberapa tahun yang lalu dan juga sudah mulai melakukan langkah-langkah awal untuk masuk kedalam lingkungan keluarga.

BAB VI
UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH

Masih kuatnya penolakan publik terhadap hasil legislasi pemerintah mengenai perubahan UU KPK bukan tampa alasan. Dalilnya, substansi pasal dalam perubahan UU KPK mengandung racun hukum, akibatnya sistem dalam tubuh KPK akan melemah. Sekadar contoh, penyadapan dengan izin dewan pengawas, alasan waktu selama 2 (dua) tahun dapat menghentikan penyidikan serta perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah alasan-alasan mengapa perubahan UU KPK ditolak.
Publik masih menaruh harapan agar perubahan UU KPK dibatalkan. Terdapat beberapa tawaran hukum untuk membatalkan perubahan UU KPK.
  1. legislative review.
Substansi tertentu didalam perubahan UU KPK dapat saja di rubah dengan mekanisme legislative review melalui lembaga legislatif. Artinya pasal-pasal yang mengandung pelemahan terhadap fungsi lembagai anti rasuah tersebut dibatalkan dengan cara menganti dengan aturan yuridis yang sesuai aspirasi masyarakat.

  1. Judicial review.
Mekanisme ini dapat ditempuh di Mahkamah Konstitusi. Caranya, dapat mengajukan pengujian secara materiil (Uji materi) maupun formil (uji formil) terhadap norma hukum didalam Perubahan UU KPK yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional. Tujuannya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam perubahan UU KPK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

  1. Executive review.
Mekanisme ini dapat ditempuh dengan cara Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Misalnya, Presiden SBY pernah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Perppu tersebut selanjutnya disetujui DPR.

  1. Legislative review
Tawaran ini bukan tawaran hukum yang menarik bagi publik dalam menyelesaikan kegaduhan perubahan UU KPK. Pasalnya, di samping persoalan waktu, menyerahkan kembali ke lembaga legislatif dalam membahas kembali perubahan UU KPK juga tidak akan mendapatkan kepercayaan publik. Manuver hukum lembaga legislatif adalah sesuatu yang dikhawatirkan. Jika begitu, apakah judicial review ataukah penerbitan Perppu yang harus ditempuh?

  1. Judicial Review dan Penerbitan Perppu
Tawaran ini merupakan sama-sama saluran hukum yang diperkenankan oleh ketentuan hukum. Namun begitu, kegaduhan telah terjadi akibat pengesahan perubahan UU KPK. Lebih dari itu, gelombang demonstran memprotes perubahan UU KPK juga telah menelan korban jiwa dari kelompok mahasiswa. Selain itu, Presiden Jokowi harus dapat merenungi perbedaan antara filosofi judicial review dengan filosofi Perppu. Judicial review adalah hak warga negara untuk membatalkan aturan hukum dalam Undang-Undang yang merugikan hak konstitusional. Maknanya warga negara memperjuangkan nasib hukumnya sendiri tanpa keterlibatan Presiden.
Sedangkan penerbitan Perppu merupakan hak Presiden untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang sifatnya kegentingan memaksa melalui mekanisme Perppu. Maknanya Presiden sebagai pemimpin negara diberikan senjata hukum bernama Perppu untuk memperjuangkan kebutuhan hukum warga negara.
Sekiranya Presiden Jokowi berpandangan, bagi masyarakat yang tidak menerima perubahan UU KPK, dapat menempuh judicial review di Mahkamah Konstitusi, sama saja Presiden absen dalam memperjuangkan tuntutan publik. Hal ini dikarenakan mekanisme judicial review yang dapat dilakukan oleh warga negara di Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan peran serta Presiden. Akibatnya, masyarakat akan berjuang sendiri tanpa keterlibatan Presiden dalam menyelesaikan kegaduhan produk legislasi mengenai perubahan UU KPK. Ironi, bila Presiden memiliki cara pandang hukum semacam ini.
Sebaliknya, bila Perppu diterbitkan, Presiden menunjukkan posisinya bersama-sama dengan masyarakat. Memang, pada akhirnya Perppu yang diterbitkan oleh Presiden akan dibahas di DPR untuk memperoleh persetujuan DPR. Demikian prosedur legalnya. Tapi sebagai langkah pembuka, sudah seharusnya Presiden menerbitkan Perppu. Isinya membatalkan perubahan UU KPK. Langkah ini dibenarkan menurut yuridis dan akan diterima secara sosiologis. Harapannya, KPK yang merupakan produk reformasi itu dapat terjaga dari serangan-serangan regulasi yang dapat melumpuhkan kinerja KPK. Walhasil, akan membuktikan Presiden hadir berjuang bersama-sama rakyat guna mewujudkan aspirasi publik.

Itulah solusi tepat untuk menjawab kebutuhan publik guna menyelesaikan kegaduhan akibat perubahan UU KPK. Tanpa kepercayaan publik, undang-undang yang diproduksi akan kehilangan efektivitasnya. Karenanya, dalam hal menumbuhkan kembali kepercayaan publik, Presiden sepatutnya menerbitkan Perppu pembatalan perubahan UU KPK.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Buku/Jurnal/Tulisan Ilmiah
Bo Rothstein, Anti-Corruption – A Big Bang Theory, Goteborg: Goteborg University, 2007.
Cindy Rizka Tirzani Koesoemo, “Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (kpk) dalam penanganan Penyidikan dan penuntutan tindak Pidana korupsi”, Jurnal Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017.
Crawford, A. Crime Prevention and Community Safety: Politics, Policies, and Practices. London: Longman, 1998
Darmawan, M. K. Strategi Pencegahan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Evans, K. Crime Prevention: A Critical Introduction. London: SAGE Publications, 2011.
George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang Rakyat Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta, 2002
Edi Setiadi, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus-Kasus Korupsi Dalam Menciptakan Clean Government”, Jurnal Mimbar No. 4 Th.XVI Okt. – Des. 2000 – 305.
Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005.
Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law, cetakan ke-10, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008
Ria Casmi Arrsa, “Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik Dan Penuntut Umum Independen Kpk”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 3 Nomor 3, Desember 2014
Sri Rahayu Wilujeng, dalam artikel, “Filsafat, Etika dan Ilmu: Upaya Memahami Hakikat Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan”, Universitas Diponegoro
Tri Andrisman, “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum.
Walklate, S. Criminology: The Basics., Routledge, 2005

  1. WEBSITE
Devita Retno, “Sejarah Terbentuknya KPK”, https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-terbentuknya-kpk, diakses 19 Oktober 2019
Muhammad Hendartyo, “Organisasi Anti Korupsi Dunia, Uncac Kritik Revisi uu kpk”, https://nasional.tempo.co/read/1254275/organisasi-antikorupsi-dunia-uncac-kritik-revisi-uu-kpk/full&view=ok, diakses 18 Oktober 2019
"26 Masalah Revisi UU KPK, Jadi Tuntutan Demo Mahasiswa Jakarta", https://tirto.id/eiGl, diakses 29 September 2019
“Poin-Poin Revisi UU KPK Yang Disepakati DPR dan Pemerintah” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917074539-32-431075/poin-poin-revisi-uu-kpk-yang-disepakati-dpr-dan-pemerintah
[1] UNITED NATION CONVENTION AGAINST CORRUPTION Foreword
[2] Bo Rothstein “Anti-Corruption – A Big Bang Theory”, Goteborg: Goteborg University, 2007, hlm. 4.
[3] Ibid, hlm. 5
[4] Florence Lamoureux, “Indonesia: A Global Studies Handbook”, California: ABC-CLIO Inc., 2003, hlm. 84
[5] Letter of Intent Republik Indonesia kepada Dana Moneter Internasional, 27 Agustus 2001, Poin 32 dalam Bagian V tentang Restrukturisasi Perusahaan dan Pembaruan Hukum dalam Memorandum tambahan Kebijakan Ekonomi dan Keuangan.
[6] Romli Atmasasmita, Seputar masalah korupsi: Aspek nasional dan Aspek internasional, Bandung: Mandar Maju, 2004, hlm. 30.
[7] Ria Casmi Arrsa, “Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik Dan Penuntut Umum Independen Kpk”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 3 Nomor 3, Desember 2014, hlm. 1.
[8] Cindy Rizka Tirzani Koesoemo, “Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (kpk) dalam penanganan Penyidikan dan penuntutan tindak Pidana korupsi”, Jurnal Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017, hlm. 1
[9] Edi Setiadi, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus-Kasus Korupsi Dalam Menciptakan Clean Government”, Jurnal Mimbar No. 4 Th.XVI Okt. – Des. 2000 – 305, hlm. 1 JALREV 1 (1) 2019 71
[10] Sri Rahayu Wilujeng, dalam artikel, “Filsafat, Etika dan Ilmu: Upaya Memahami Hakikat Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan”, Universitas Diponegoro, hlm. 1
[11] “Poin-Poin Revisi UU KPK Yang Disepakati DPR dan Pemerintah” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917074539-32-431075/poin-poin-revisi-uu-kpk-yang-disepakati-dpr-dan-pemerintah
[12] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan, Op. Cit., hal.117.
[13] Ibid, Ps. 6.
[14] Tri Andrisman, “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum, hlm. 5.
[15] George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang Rakyat Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta, 2002. Hlm. 35.
[16] Op. Cit., hal 354.
[17] John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: Macmillan Educations Itd, 1989), hal. 225.
[18] Indah Harlina.. Op. Cit., hal. 356-357.
[19] Firmansyah.. Op. Cit., hal 59.
[20] Indah Harlina.. Op. Cit., hal. 358.
[21] Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002, LN RI Tahun 2002 Nomor 137, Ps. 3.
[22] Ibid, Ps. 6.
[23] Indah Harlina, Op. Cit., hal. 306.
[24] Indonesia, Op. Cit., Ps. 13.
[25] Elwil Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2012), hal.242.
[26] Ibid, hal. 251.
[27] Devita Retno, “Sejarah Terbentuknya KPK”, https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-terbentuknya-kpk, diakses 19 Oktober 2019
[28] Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), hlm. 105.
[29] Baca selengkapnya di artikel "26 Masalah Revisi UU KPK, Jadi Tuntutan Demo Mahasiswa Jakarta", https://tirto.id/eiGl, diakses 29 September 2019
[30] Muhammad Hendartyo, “Organisasi Anti Korupsi Dunia, Uncac Kritik Revisi uu kpk”, https://nasional.tempo.co/read/1254275/organisasi-antikorupsi-dunia-uncac-kritik-revisi-uu-kpk/full&view=ok, diakses 18 Oktober 2019
[31] Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law, cetakan ke-10, (Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008), hal. 277
[32] Walklate, S. Criminology: The Basics., Routledge, 2005
[33] Darmawan, M. K. Strategi Pencegahan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 17
[34] Evans, K. Crime Prevention: A Critical Introduction. London: SAGE Publications, 2011
[35] Dalam Crawford, A. Crime Prevention and Community Safety: Politics, Policies, and Practices. London: Longman, 1998
[36] Darmawan, op.cit, hal. 34
[37] Lihat Crawford, op.cit.

Selasa, 10 September 2019

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF


BAB I

PENDAHULUAN

  1. PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan.[1]

Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud untuk menghormati manusia, sehingga manusia tidak akan hidup pada tingkat yang sama dengan satwa liar. Meskipun di bumi manusia harus menanggung segala macam penderitaan dan kesulitan, jika ia hidup lurus dan damai dengan sesama makhluk, ia pasti lebih terhormat di sisi Allah daripada malaikat di langit. Sejak lebih dari empat belas abad yang lalu manusia telah diberitahu tentang posisinya di bumi ini, bahwa Pencipta Yang Mahakuasa tidak mengizinkan tirani oleh manusia atas sesamanya dan atas segala sesuatu yang ditugaskan kepada khalifahnya.[2]

Hampir setiap negara memiliki masalah dalam penegakan hak asasi manusia, tidak terkecuali Indonesia. Isu HAM terutama difokuskan pada tingkat komitmen negara dalam melaksanakan hak asasi manusia dalam kehidupan sosial-politik negara dan bangsa yang bersangkutan. Komitmen ini setidaknya dapat dilihat dari aspek kebijakan pemerintah yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga sosial, baik lembaga-lembaga hukum (Konstitusi dan penjabarannya dalam perundang-undangan nasional) maupun lembaga-lembaga pendukung, termasuk dalam hal ini perlindungan hak asasi manusia. Peran masyarakat dan mekanisme operasi lembaga-lembaga tersebut dalam mewujudkan tuntutan HAM dalam kehidupan sosial politik negara yang bersangkutan, sesuai dengan kesepakatan dan standar masyarakat internasional yang tertuang dalam instrumen internasional. Komitmen terhadap pelaksanaan HAM ini penting bagi negara yang bersangkutan, jika negara yang bersangkutan tidak ingin dikucilkan dari masyarakat internasional[3]

Indonesia sebagai satu negara demokrasi mau tidak mau dihadapkan juga pada isu-isu yang muncul akibat modernisasi dan globalisasi itu, seperti isu tentang bagaimana perlindungan HAM dan peran serta masyarakat dalam penegakan HAM di Indonesia. Dampak modernisasi dan globalisasi ini bagi Indonesia memunculkan wajahnya yang khas Indonesia. Mengapa demikian? Keunikan tersebut muncul karena karakteristik struktur masyarakat Indonesia, masyarakat yang sangat majemuk dan sangat heterogen sudah barang tentu akan membuahkan keanekaragaman pengakomodasian modernisasi, dan globalisasi. Satu sisi, masih dapat ditemui kelompok-kelompok masyarakat yang agraris tradisional atau mungkin agraris modern, ada pula kelompok masyarakat yang sudah berada dalam taraf kehidupan industrial, namun ada pula masyarakat yang sudah berada dalam kehidupan modern dan global, Masyarakat Prismatik. Kondisi masyarakat demikian sudah barang tentu pada satu sisi akan dihadapkan pada situasi kehidupan yang relatif "rentan" terhadap berbagai masalah yang muncul dan bersumber pada arus modernisasi dan globalisasi, dan pada sisi lain, menampilkan wajah kehidupan hukum (sistem dan penegakan hukumnya) yang “canggung” menghadapi tuntutan modernisasi dan globalisasi itu. Perbenturan (kalau boleh dikatakan demikian) antara nilai-nilai kehidupan agraris tradisional dengan nilai-nilai kehidupan modernisasi dan globalisasi serta kecanggungan "sikap" penegakan hukum dalam menghadapi situasi itu, tentunya akan menampakkan permasalahan hukum dan kemasyarakatan yang khas di Indonesia.[4]

Dalam melihat kondisi penegakan hukum terhadap HAM, akan digunakan pendekatan hukum progresif. Penggunaan hukum progresif dan bukan positivisme, karena Satjipto Rahardjo menyimpulkan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegakan hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan formalitas yang melekat.[5] Dalam pandangan hukum progresif, inilah yang disebut sebagai kebijakan yang tidak memberikan manfaat sosial bagi masyarakat, dan seolah-olah ekonomi hanyalah death knob bagi kepentingan masyarakat pada umumnya.

Paradigma hukum progresif sangat menolak aliran berarti ini yang berpusat pada aturan / mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalikkan pemahaman ini. Kejujuran dan ketulusan mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi untuk membawa keadilan menjadi semangat penegakan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaan mereka) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.[6]

Sedangkan pendekatan hukum secara historis, memandang pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun disebut “anti quiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup.[7] Dan filsafat teori hukum kodrat adalah kesatuan dengan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, sosiologi hukum selalu menghubungkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.[8] Hal ini berbeda dengan teori realisme hukum yaitu teori yang lahir dari teori empirisme yang digabung David Hume menjadi pengetahuan yang pada hakikatnya memiliki pandangan bahwa hukum diperoleh dalam realitas empiris (real). Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis dalam gaya rasionalisme abad ke-18. Itu tidak dapat diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide ini perlu dikonfirmasi di dunia empiris. Di situlah kebenaran sejati dapat dicapai.[9]

 

1.2.            Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah

1.      Bagaimana Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konsep Hukum di Indonesia?

2.      Bagaimana permasalahan hak asasi manusia berdasarkan pendekatan hukum progresif?


BAB II

PEMBAHASAN

 

1.      Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konsep Hukum di Indonesia

1.1              HAM dan Hukum Islam

Dalam Islam, Nabi Muhammad telah memperkenalkan hak asasi manusia. Nabi terakhir juga dikenal sebagai pemimpin negara dan pemimpin politik yang memperhatikan hak-hak warga negaranya. Dikatakan bahwa ketika nabi berhijrah ke Madinah, ia menyatakan Piagam Madinah untuk menyatukan masyarakat majemuk. Piagam ini merupakan kesepakatan komprehensif antara warga Madinah, sebagai konstitusi negara Islam Madinah.[10]

Dokumen perjanjian ini tidak hanya berisi kewajiban warga negara mengenai pembelaan dan perlindungan negara, tetapi juga berisi jaminan hak asasi manusia atas kebebasan berpikir dan kebebasan beribadah. Perlindungan kehidupan dan harta benda juga diakui pada waktu itu dan kejahatan dalam segala bentuknya dilarang oleh hukum..[11]

Piagam Madinah adalah bentuk dari cita-cita Islam akan kemaslahatan umat. Islam sangat akomodatif dengan kemaslahatan umat. Imam al-Ghazali (w.1111M), ulama besar Islam, merumuskan lima tujuan dasar syariat Islam yaitu:[12]

a.       Menjamin hak kelangsungan hidup (hifz al-nafs)

b.      Menjamin hak kebebasan beropini dan bereskpresi (hifz alaql)

c.       Menjamin hak kebebasan beragama (hifz ad-din)

d.      Menjamin hak kebebasan reproduksi untuk kelangsungan hidup manusia (hifz an-nasl)

e.       Menjamin hak properti dan harta benda (hifz al-maal).

 

Perundang-undangan HAM dalam Islam tidak saja muncul dari konsepsi ulama. Islam memiliki sumber hukum absolut sebagai legitimasinya, yakni al-Quran. Allah menjamin HAM. Dalam al-Quran, HAM diajarkan.[13]

Dalam kajian Islam pun dikenal istilah hak manusia dengan manusia (huquq al-„ibad). Di sana HAM terbagi dua. Pertama HAM yang diselenggarakan negara. Kedua, keberadaannya tidak secara langsung diselenggarakan oleh negara. Hak yang pertama disebut sebagai hak-hak legal, dan yang kedua disebut hak-hak moral. Perbedaan keduanya terletak pada soal pertanggungjawaban negara.

Adapun dalam soal sumber asal, sifat dan pertanggungjawaban hak di hadapan Allah adalah sama. Dengan kata lain, menurut pandangan Islam, setiap pelanggaran HAM tidak saja dipertanggungjawabkan di depan manusia, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.[14]

 

 

1.2              Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Pancasila

“Saya minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham indivialisme itu. Janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan “rights of the citizen‟ sebagai yang dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya.”[15] Demikian disampaikan Soekarno dalam rapat panitia kecil pembentukan Undang-Undang Dasar. Soekarno tidak menghendaki perlindungan HAM masuk dalam tubuh konstitusi Indonesia. Alasannya, HAM tidak signifikan dalam pembangunan Negara Indonesia. “Kita menghendaki keadilan sosial”, imbuhnya. “Buat apa kita bikin grandwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. “Grandwet‟ yang berisi “droit de I‟lhomme et du citoyen‟ itu tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan.”[16]

Soekarno berpikir bahwa negara Indonesia harus menyiapkan kesejahteraan berdasarkan gagasan kekeluargaan. Bukan individualisme. Jaminan hak asasi manusia, dalam pandangan Soekarno saat itu, tidak lebih dari liberalisme. Pernyataan Soekarno ditulis dengan jelas oleh Muhammad Yamin. Tak hanya Soekarno, Soepomo juga memiliki sikap yang sama.

 “Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain dari pada mengandung sistem kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukkan dalam Undang-Undang Dasar beberapa Pasal tentang bentuk menurut aliran-aliran yang bertentangan. Misalnya dalam Undang-Undang Dasar kita, tidak bisa memasukkan Pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali memasukkan. Di kemudian hari mungkin, umpamanya negara bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi jikalau hal itu kita masukkan sebetulnya pada hakikatnya Undang-Undang Dasar itu berdasar atas sifat perseorangan, dengan demikian sistem Undang-Undang Dasar bertentangan dengan konstruksinya, hal itu sebagai konstruksi hukum tidak baik, jikalau ada kejadian bahwa pemerintah bertindak sewenang-wenang.”[17]

Jika diperhatikan lebih jauh, pandangan Soekarno dan Soepomo di atas amat dekat dengan pandangan negara integralistik. Hal ini disampaikan Jimly Assiddiqie. “...baik Soekarno maupun bagi Soepomo, paham kenegaraan yang dianggap paling cocok adalah paham integralistik, seperti yang tercermin dalam sistem pemerintahan desa-desa yang dicirikan dengan kesatuan hidup dan kesatuan kawulo gusti. Dalam model ini, kehidupan antarmanusia dan individu dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh ada dikotomi antara negara dan individu warga negara, dan tidak boleh ada konflik di antara keduanya sehingga tidak diperlukan jaminan apapun atas hak-hak dan kebebasan fundamental warga negara terhadap negara.”[18]

Meski begitu, pendapat keduanya tidak langsung diamini menjadi konstitusi negara Indonesia. Hatta, yang juga hadir dan menjadi anggota perumus UUD, berpendapat lain. Ada baiknya dalam salah satu Pasal, misalnya Pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan, misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan di sini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain.  Formuleringnya atau redaksinya boleh kita serahkan kepada panitia kecil. Namun tanggungan ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak menjdi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat.”[19]

Hatta bukannya tidak menyetujui paham kekeluargaan masyarakat Indonesia. Lebih daripada itu, pernyataan Hatta mengingatkan perumus konstitusi negara lainnya. Kedaulatan rakyat adalah dasar negara Indonesia. Negara berdasarkan pada kedaulatan rakyat meniscayakan pada keutuhan warga negara sebagai manusia. Maka wajiblah negara menjamin keberadaan rakyat tersebut, termasuk hak-haknya.

Hak-hak warga negara perlu dijamin dalam konstitusi. Hal ini disebutkan agar negara tidak jatuh ke dalam keadaan kekuasaan. Pengalaman internasional telah menunjukkan bukti kekejaman kekuasaan negara. Negara Indonesia lahir di tengah hiruk-pikuk perang dunia internasional dan memiliki pengalaman buruk dengan negara totaliter yang menyebabkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengalaman sejarah ini membentuk makna perdebatan antara para pemimpin negara ini dalam merumuskan konstitusi Indonesia. Soekarno dan Soemopo yang awalnya menolak jaminan HAM dalam konstitusi mengakui perlunya memasukkan pasal-pasal yang menjamin HAM warga negaranya. Hasilnya adalah tujuh pasal dalam UUD 1945 yang menjamin dan mengamanatkan perlindungan hak asasi manusia dalam filsafat hukum Indonesia.

Meskipun ketujuh Pasal tersebut masih tergolong minim jika diukur dengan konsep universalitas HAM,[20] patut menyadari demikian adalah tonggak pertama Perlindungan HAM dan konstitusi Indonesia. Tonggak pertama yang memancing aturan dan Pasal-pasal perihal perlindungan HAM lain di kemudian hari.

Hasil lain dari perdebatan ini adalah bentuk konstitusional penuh dari negara hukum Indonesia. Konstitusi Indonesia unik karena didasarkan pada aturan hukum liberal-demokratis radikal dan tidak jatuh ke dalam negara totaliter. Aturan hukum Indonesia adalah aturan hukum Pancasila, di mana perlindungan hak asasi manusia adalah fitur konstitusionalismenya.

Setelah penggulingan pemerintahan totaliter Orde Baru oleh mahasiswa pada Mei 1998, dan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, angin segar reformasi hukum di Indonesia bertiup. Dorongan untuk memasukkan hak asasi manusia secara lebih rinci dalam konstitusi Indonesia kembali mengemuka. B.J. Habibie, sebagai presiden yang menggantikan Soeharto, bergerak cepat dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.

Sebenarnya, dorongan konstitusionalitas HAM sudah berlangsung sejak jatuhnya kepemimpinan Soekarno pada 1966. Diskusi tentang konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia muncul di Sidang Umum MPRS 1968 pada awal Orde Baru. MPRS pada waktu itu telah membentuk Panitia Ad Hoc untuk persiapan hak asasi manusia. Hasilnya adalah draft Keputusan MPRS tentang Piagam Hak dan Kewajiban Warga Negara. Sayangnya, draf tersebut tidak berhasil diajukan ke sidang MPRS untuk disahkan sebagai TAP MPRS.

Dengan ditetapkannya UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi muatan konstitusi, yaitu:

a.       Perlindungan terhadap HAM

b.      Susunan ketatanegaraan yang mendasar

c.       Pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang mendasar.

 

Dalam konstitusi yang telah disahkan tersebut, yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan, Pancasila tercantum dalam alinea ke empat pembukaan. Dalam kedudukan yang demikian, pembukaan mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya adalah, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara), sedangkan segi negatifnya adalah pembukaan dapat diubah oleh majelis pemusyawaratan Rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.[21]

Konstitusionalisme Negara Pancasila semakin kuat setelah reformasi 1998. Amandemen kedua UUD 1945 dilakukan terhadap tujuh substansi, dimana substansi fundamental yang menjadi titik tumpu adalah pencantuman ketentuan HAM yang lebih luas. Ini dipisahkan menjadi bab terpisah, yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari Pasal 28A hingga 28J..[22] Jimly menyatakan, “Perumusan tentang HAM dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu Undang-Undang Dasar paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia.”[23]

Reformasi memang karunia tersendiri bagi hukum HAM di Indonesia. Perubahan undang-undang dari Orde Baru mendorong pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan perlindungan hak asasi manusia. Akibatnya, selain amandemen kedua UUD 1945, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dihasilkan. Ditambah dengan hasil amandemen kedua, ketiga undang-undang HAM ini merupakan satu paket hukum, sekaligus pandangan kenegaraan, tentang HAM di Negara Pancasila.

 

1.3              Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konsep Hukum di Indonesia

Setelah penggulingan pemerintahan totaliter Orde Baru oleh mahasiswa pada Mei 1998, dan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, angin segar reformasi hukum di Indonesia bertiup. Dorongan untuk memasukkan hak asasi manusia secara lebih rinci dalam konstitusi Indonesia kembali mengemuka. B.J. Habibie, yang menggantikan Soeharto sebagai presiden, bergerak cepat untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.

Sebenarnya, dorongan konstitusionalitas HAM sudah berlangsung sejak jatuhnya kepemimpinan Soekarno pada 1966. Diskusi tentang konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia muncul di Sidang Umum MPRS 1968 pada awal Orde Baru. MPRS pada waktu itu telah membentuk Panitia Ad Hoc untuk persiapan hak asasi manusia. Hasilnya adalah draft Keputusan MPRS tentang Piagam Hak dan Kewajiban Warga Negara. Sayangnya, draf tersebut tidak berhasil diajukan ke sidang MPRS untuk disahkan sebagai Tap MPRS..[24]

BJ Habibie tak punya pilihan lain selain merespon semangat reformasi. Seiring dengan masuknya kekuatan kalangan pro-demokrasi ke dalam parlemen, wacana konstitualitas perlindungan HAM semakin kuat. Hasil pertama adalah ketok palu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1999 tentang HAM. Wacana konstitualitas perlindungan HAM tidak lagi pada perdebatan teori HAM, namun sudah meningkat pada pemasukan Pasal-pasal perlindungan HAM ke dalam UUD.

Sebelum amandemen UUD bergulir, Habibie sudah mengajukan RUU HAM ke DPR. Tidak berselang lama. Pada 23 September 1999 dicapailah konsensus pengesahan UU HAM tersebut, yakni UU Nomor 39 Tahun 1999. Maka dengan diamandemennya UUD 1945, jadilah ketiganya sebuah paket landasan –baik filosofis, politis, dan yuridis hukum HAM di Indonesia.

Terkait perubahan kedua UUD 1945, dimana rumusan HAM dijelaskan khusus dalam bab tersendiri, bab X. Majda El-Muhtaj mengatakan, “Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. Selain karena terdapatnya satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan Pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik secara pribadi maupun sebagai warga negara Indonesia. Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konsitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.”[25]

Selanjutnya, jika dirumuskan dalam poin materi hak asasi manusia yang telah diadopsikan tersebut dalam UUD, dapat temukan 27 materi, yaitu:[26]

1)      Setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.[27]

2)      Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.[28]

3)      Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[29]

4)      Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas setiap dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.[30]

5)      Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negra dan meninggalkannya, serta berhak kembali.[31]

6)      Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan , menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya.[32]

7)      Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.[33]

8)      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia.[34]

9)      Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman dan ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai yang merupakan hak asasi.[35]

10)  Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.[36]

11)  Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.[37]

12)  Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.[38]

13)  Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara untuh sebagai manusia yang bermartabat.[39]

14)  Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.[40]

15)  Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperloleh ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejateraan umat manusia.[41]

16)  Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.[42]

17)  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.[43]

18)  Setiap orang berhak untuk berkerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.[44]

19)  Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.[45]

20)  Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.[46]

21)  Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.[47]

22)  Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.[48]

23)  Perlindungan, pemajuaan penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.[49]

24)  Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi HAM, sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan.[50]

25)  Untuk menjamin pelaksaan Pasal 4 ayat (5) di atas, dibentuk komisi nasional HAM yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang.[51]

26)  Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

27)  Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang diterapkan dalam UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[52]

 

Dua puluh tujuh materi HAM dalam Konstitusi Indonesia ini, jika diparalelkan dengan Pasal-pasal dalam TAP MPR XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia dapat ditemukan intisari materi hak yang dijamin dalam hukum Ham Indonesia.

Jimly Asshiddiqie, sarjana hukum Indonesia, mengategorikan materi hak asasi manusia Indonesia pada empat kategori pokok. Keempat kategori tersebut didasarkan pada paket hukum HAM yang telah disebutkan di atas. Keempat pokok materi tersebut adalah:[53]

a.       Materi hak sipil yang dapat dirumuskan menjadi:[54]

1)      Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya

2)      Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia

3)      Setiap orang berhak untuk bebas dari perbudakan

4)      Setiap orang berhak untuk beragama dan beribadat menurut kepercayaan agamanya

5)      Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani

6)      Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum

7)      Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan

8)      Setiap orang berhak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut

9)      Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan berdasarkan perkawinan yang sah

10)  Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan

11)  Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya

12)  Setiap orang berhak untuk mendapatkan suaka politik

13)  Setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut

 

b.      Materi hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya

1)      Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai.

2)      Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.

3)      Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatanjabatan publik.

4)      Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.

5)      Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.

6)      Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.

7)      Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.

8)      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

9)      Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.

10)  Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.

11)  Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.[55]

12)  Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

13)  Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya

 

c.       Materi hak-hak khusus dan pembangunan

1)      Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.

2)      Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.

3)      Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

4)      Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya.

5)      Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

6)      Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

7)      Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) Pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).

 

d.      Materi tanggung jawab negara dan kewajiban hak asasi manusia

1)      Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2)      Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

3)      Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.

4)      Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

 

2.      Permasalahan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pendekatan Hukum Progresif

Munculnya bentuk-bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia atau bangsa di bumi ini, di latarbelakangi oleh suatu egoisme kepentingan pribadi atau bangsanya, sehingga mengakibatkan memandang rendah nilai-nilai Hak Asasi Manusia ataupun bangsa lain, sehingga timbul suatu bentuk penindasan atau perbudakan dalam bentuk lain : kekayaan dan kekuasaan di pergunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang zhalim dan merugikan kepentingan-kepentingan manusia lain, yang akhirnya merendahkan dan mendiskriminasikan martabat dan nilai-nilai luhur manusia.

Hak Asasi Manusia dalam Agama Islam lahir bersamaan dengan ucapan tauhid pada saat seorang muslim mengikrarkan iman kepada Allah yang tiada sesembahan selain DIA, tiada sumber hukum dan kekuasaan tertinggi selain DIA, pada saat itu pulalah runtuh keberhalaan serta segala bentuk manifestasinya, baik yang berupa kekayaan, politik maupun sosial.[56]

Namun sebenarnya manusia sudah memperoleh haknya sejak saat ia berada di dalam rana kandungan. Manusia memperoleh hak hidup dari Allah SWT sejak saat ditiupkan sebuah ruh kedalam jasadnya. Jadi tidak ada keraguan dan kebimbangan, bahwa sesungguhnya dengan menyakini ke Esa-an Allah dan kekuasannya atas seluruh makhluk hasil ciptaan-Nya, termasukpengurusan-Nya atas segala sesuatu, dan kesadaran bahwa hanya Allah sejalan yang berkuasa untuk mendatangkan manfaat dan mudhorat, yang berkuasa merugikan dan menjatuhkan nilai dan martabat manusia, berkuasa memberi dan mencegah semuanya itu menegaskan kemerdekaan dan kebebasan manusia yang seluas-luasnya, yaitu kemerdekaan yang membuat manusia tidak memperdulikan “thaghut” manapun dimuka bumi ini, sebab betapun kejamnya

“Dalam upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, pemerintah mempunyai tugas untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya. Upaya yang dilakukan pemerintah di antaranya melakukan langkah implementasi efektif dan konkrit atas berbagai instrumen hukum maupun kebijakan di bidang hak asasi manusia dari segi hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta segi lain yang terkait. Bukan hanya sekadar retorika politik ataupun dekorasi hukum.”[57]

Demikian disampaikan Philip Alston dalam bukunya Hukum Hak Asasi Manusia. Konstitusi kita pun mengamatkan demikian. Disebutkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 amandemen kedua, Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Penegakan hukum yang tidak diskriminatif adalah keniscayaan negara hukum. Setiap problematika konflik mesti diselesaikan dengan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku. Konflik yang termanifestasi, seperti demonstrasi, pemecatan dan mogok mesti terang dalam kerangka hukum. Membeda-bedakan sebuah kelompok dengan kelompok lain dalam prosedur hukum adalah bentuk pelanggaran serius, karena bertentangan dengan semangat Hukum Indonesia, juga dengan hukum HAM.

Mekanisme perselisihan sedapatnya diselesaikan dengan musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian dengan jalan yang disebutkan belakangan ini juga bagian dari ciri demokrasi di masyarakat kita yang majemuk. Mengadopsi jalan ini sebagai upaya utama dan pertama sekali dalam penanganan konflik sosial, menurut penyusun, adalah langkah maju pemerintah dalam menghargai hak sipil dan komunal masyarakat Indonesia.

Mengingat persoalan konflik sosial juga persoalan yang sarat dengan isu pembangunan dan erat kaitannya dengan hak atas kesejahteraan, pemerintah hendaknya tetap menaruh prioritas pada pemenuhan hak pribadi masyarakat secara umum. Paradigma yang diletakkan hendaknya tidak memprioritasnya satu kelompok. Tidak tercerminnya materi kesamaan hak atas mengakses dan menikmati sumber daya alam –yang juga bagian dari faktor konflik- adalah kelemahan. Apalagi dengan menggunakan musyawarah sebagai jalan untuk memuluskan satu kelompok dengan jelas-terang, seperti pelaku usaha, dalam perundang-undangan konflik sosial jelas telah menciderai semangat perlindungan HAM.[58]

Tentu hal diatas mengingatkan, dan mengukuhkan kembali, kegelisahan Todung Mulya Lubis. Ia mengatakan, “Hak Asasi Manusia dan pembangunan seringkali sukar berjalan bersama. Untuk mencapai tujuan pembangunan, beberapa hak asasi manusia sering ditunda pemenuhannya, atau kalau mau memenuhi hak asasi manusia maka konsekuensi logis adalah terlambatnya laju pembangunan.[59]

Nasaruddin Umar mengatakan, salah satu ciri hukum modern Indonesia adalah hukum plural yang mengayomi persamaan dan keberagamaan, suku, ras, agama dan adat istiadat. Artinya hukum modern Indonesia mengakar mengakar pada kesadaran hukum masyarakat yang sinergis. Hukum mensinergikan berbagai kekhususan dan keistimewaan, baik satuan daerah istimewa maupun kesatuan masyarakat adat istiadat dan syariat agama. Hukum modern Indonesia adalah hukum yang responsif dan visioner terhadap kebutuhan hukum dan perkembangan serta dinamika masyarakat, baik pengaruh dari budaya luar maupun dalam budaya indonesia sendiri, seperti demokrasi, HAM, dan hukum lokal lainnya.[60]

Argumentasi Umar di atas mengamini perkembangan Undang- Undang ini sebagai sebuah produk hukum Indonesia yang modern. Indikasi tersebut bisa kita perhatikan di Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2). Pengakuan pemerintah pada penyelesaian konflik dengan mekanisme adat/pranata sosial adalah langkah maju dalam perkembangan Hukum HAM Indonesia, yang juga mencerikan hukum modernnya. Pengakuan dan peran kuat yang diberikan pada mekanisme dan pranata adat telah mengamini asas hukum hak Indonesia.

Citra penanganan konflik sosial yang sarat dengan pelanggaran HAM cukup kuat diantisipasi dengan melibatkan publik dalam mekanisme penanganan konflik. Di samping untuk menjaga hak politik mereka, berupa hak untuk menentukan pilihan apa yang diambil sebagai jalan keluar terbaik, membawa serta publik akan membuat masyarakat menjadi lebih dewasa. Publik dapat menyelesaikan konflik dan pertikaian mereka sendiri, tanpa bantuan kekuasaan lain, seperti militer dengan pendekatannya.

Jika model penanganan konflik konflik terbuka dilaksanakan dengan memfasilitasi hak publik adalah upaya menyelenggarakan problem solving dalam penanganan konflik sosial. Ini jelas berbeda dengan bertanding (contending) yang mengunggulkan satu pihak, pemerintah atau satu kelompok tertentu. Berbeda pula dengan memaksa satu kelompok untuk kalah (yielding) dan mendiamkan (inaction). Khusus pendekatan yang disebutkan belakangan, jika dilakukan oleh pemerintah jelas adalah sebuah pelanggaran HAM. Memberikan hak politk publik untuk berpartisipasi dalam penanganan konflik sosial juga dapat dimaknai sebagai bentuk peningkatan demokrasi. Mengikutsertakan masyarakat sebagai aktor penyelenggara penanganan, dapat membuat masyarakat bertanggung jawab dalam mengembangkan pembangunan negara bangsa. Demikian disampaikan Mansyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, dengan mengutip Jeffery Paige. Mereka juga menyatakan, tinggi-rendahnya kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat, dengan kesadaran mereka, berakibat sama dengan tinggi rendahnya rasa tanggung jawab masyarakat tersebut kepada negara.[61]

Undang-Undang ini telah memperlihatkan kepercayaan itu, dengan membawa peran masyarakat dalam satuan penanganan konflik sosial. Setelah mekanisme adat tidak mampu lagi menjawab konflik terbuka, peran masyarakat diharapkan berlanjut dalam satuan itu. Namun jika kita perhatikan hak publik yang diberikan dalam undangundang ini hanya sebatas pada hak ikut serta dalam mekanisme penanganan konflik sosial. Ada hak publik lainnya yang berpotensi gagal didapatkan dengan penanganan dalam undang-undang ini ketika konflik terbuka.

Hak publik tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi ketika konflik terbuka. Potensi tidak terpenuhinya dan terganggunya hak dan lalu lintas informasi untuk publik ini bisa terjadi karena pasal yang membenarkan pemerintah untuk menutup wilayah konflik dari orang luar, atau orang luar untuk keluar dari wilayah konflik. Pasal-pasal ini adalah tantangan serius bagi penyedia hak informasi dari publik, yakni media massa. Pasal-pasal ini bisa dijadikan alasan oleh pemerintah untuk melarang pers ambil bagian dalam tugasnya di wilayah konflik. Padahal kita menyadari media massa juga punya peran dalam penegakan demokrasi dan publik, termasuk menjernihkan suasa konflik.

Tetap terjaminnya hak manusia pasca konflik adalah tugas serius. Jika kita amini persoalan konflik adalah persoaalan krisis dalam mengakses hak asasi, tentu tidak boleh lagi hal serupa terjadi setelah konflik terbuka. Pasca konflik, meskipun menjadi bagian terakhir dalam mekanisme penanganan konflik sosial, adalah tantangan serius pemerintah dalam perspektif HAM.

Konflik Sosial adalah gambaran terganggunya eksistensi hukum dan pemerintahan. Hukum pada mulanya gagal meredam potensi konflik dan menjadi perseteruan fisik masyarakat. Tentu citra hukum, sebagai pondasi jaminan hak asasi manusia mesti terpulihkan. Pemerintah berkewajiban melakukan perundingan dengan kelompok konflik secara damai, sebagai bentuk rekonsiliasi. Upaya ini juga dapat dilakukan dengan pemberian ganti rugi dan mengajak masyarakat untuk saling memaafkan. Selain upaya rekonsiliasi, upaya lain juga diamanahkan undang-undang, yakni rekonstruksi dan rehabilitasi.

Jika kita perhatikan Pasal 36-39 yang berisikan tiga upaya pemerintah tersebut, fokus utamanya adalah pada pemenuhan hak yang sempat tertunda ketika konflik terbuka. Namun upaya tersebut tidak memperlihatkan secara tegas perlindungan atas hak yang terganggu dan menjadi faktor konflik sosial. Faktornya, sebagaimana dijelaskan secara garis besar dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, juga disebabkan gangguan pada akses hak atas hukum dan perolehan sumber daya alam. Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial tidak mendorong penyelenggaraan penanganan pasca konflik ke ranah pengadilan atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi yang terjadi ketika pra dan konflik terbuka. Upaya-upaya yang diamanahkan undang-undang adalah upaya perdamaian dan pemulihan hak. Tidaklah upaya memastikan pelanggaran hak yang sempat terjadi pra dan konflik untuk diadili dan diketahui sebagai ketidakadilan.

Di sini diketahui konflik terbuka diredam kembali pasca konflik. Artinya konflik terbuka tidak melulu mesti diselesaikan, bisa saja dikembalikan pada konflik laten, yang terpendam. Hal ini dimungkinkan karena tidak terjawabnya kegagalan pemenuhan hak yang menjadi faktor konflik terbuka. lewat mekanisme pengadilan yang mempunyai keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

 


BAB IV

KESIMPULAN

 

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Penerapan hukum kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia ini berpedoman pada Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, di mana dalam Undang-undang tersebut disebut tentang pengadilan ad hoc yang dipakai untuk mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Negara Indonesia dalam menghormati, melindungi, dan memajukan HAM bagi warganegaranya, kemudian disahkan sejumlah UU seperti: UU No. 8/1999 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU No. 39/1999 tentang HAM;UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; Amandemen berbagai UU untuk diselaraskan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Parpol, UU Kekuasaan Kehakiman, pencabutan Penpres No. 11/1963, dsb. Dan diiluncurkannya Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) dalam rangka memberikan jaminan bagi peningkatan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Abu Haidan, Abdullah AlHabsyi, M. Ali, Hak-Hak Sipil Dalam Islam: Tinjauan Kritis Tekstual dan Kontekstual atas Tradisi Ahlul Baits, Jakarta : Al Huda 2004

Bambang Heri Supriyanto, “Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal AL-AZHAR Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol . 2, No. 3, Maret 2014.

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Semarang: Genta Publising, 2003

Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Makalah untuk studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005

Musdah Mulia, Islam & HAM, Konsep dan Implementasi, Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010

Makhrur Adam Maula, Konsepsi HAM dalam Islam, antara Universalitas dan Partikularitas, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015

Mansyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dinamika, Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan Sosial, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, Edisi III- 2010

Muhammad Yamin, Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Prapantja, 1959

Muhammad Yamin, Proklamasi dan konstitusi Republik Indonesia Jakarta/Amsterdam: Penerbit Djambatan, cetakan kedua Mei 1952

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, cetakan-III 2009

Nasarudin Umar, “Konsep Hukum Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan, integrasi sistem hukum agama dan sistem hukum nasional”, penelitian diterbikan Jurnal Walisongo, volume 22 Nomor 1 2014

Seodjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia Kompas, Jakarta, 2003

Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum ProgresifJurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005

Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung: Alumni1986

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002

Syaukat Hussain, HAM dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pandangan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014

Todung Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Kita, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982

Yulia Neta, “Partisipasi Masyarakat Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Di Negara Demokrasi Indonesia”, MonografVol. 1, 2013

 



 

[1] Bambang Heri Supriyanto, “Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal AL-AZHAR Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol . 2, No. 3, Maret 2014, hal. 151

[2] Abu Haidan, Abdullah AlHabsyi, M. Ali, Hak-Hak Sipil Dalam Islam: Tinjauan Kritis Tekstual dan Kontekstual atas Tradisi Ahlul Baits, Jakarta : Al Huda 2004, hal. 40

[3] Yulia Neta, “Partisipasi Masyarakat Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Di Negara Demokrasi Indonesia”, MonografVol. 1, 2013, hal. 2

[4] Seodjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 32

[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 h. 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia (Kompas, Jakarta, 2003), h. 22-25.

[6] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum ProgresifJurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, h 186.

[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung: Alumni1986hal. 9

[8] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 12.

[9] Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm. 165.

[10] Dengan mengutip Majid Khadduri, law of war and peace in Islam, (london 1940), Hussain menulis, suatu penyelidikan yang cermat terhadap teks Piagam Madinah menunjukkan perjanjian ini sebenarnya lebih dari sekadar perjanjian persekutuan. pada bagian pertama sungguh menunjukkan kepada kita lebih dari usaha rekonsiliasi antara suku-suku. Hal ini pada hakikatnya merupakan suatu perjanjian untuk meleburkan semua usaha persaingan antar suku Arab di dalam kota Madinah guna membentuk suatu bangsa berbeda dari bangsa yang lain. Dengan kata lain, Perjanjian ini merupakan konstitusi sebuah negara Islam pada tingkat embrionya dan bukan merupakan sebuah persekutuan yang longgar antar suku. Lihat Syaukat Hussain, HAM dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm. 26.

[11] Ibid., hlm. 27.

[12] Kelima hak dasar tersebut kemudian dikenal dengan al-kulliyah al-khamsah, maksudnya keseluruhan syariat agama dibangun untuk melindungi hak dasar tersebut. Lihat Musdah Mulia, Islam & HAM, Konsep dan Implementasi, (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hlm. 11.

[13] Di antara perlindungan HAM dalam alquran adalah hak untuk hidup (al-Isra‟/17:33; al-An‟am/6;151), hak milik (al-Baqarah/2;188; an-nisa‟/4;29), hak perlindungan kehormatan (an Hujarat/49;11-12), hak perlindungan keamanan (an-Nur/24:27), hak kemerdekaan (al- Hujjarat/49:6), hak perlindungan dari kekerasan (al-An‟am/6:164), hak mengajukan protes (an-Nisa/4:148), hak kebebasan berekspesi (Ali imran/2:104), hak berdomisili (Al-baqarah/2:84-85), hak persamaan di depan hukum(an-Nisa:4:58), hak mendapatkan keadilan (as-Syura/42: 15),  hak mendapatkan pendidikan (Yunus/10: 101), dan hak kesetaraan gender (al-Baqarah/2:228), hak anak (al-Baqarah/2:233).

[14] Makhrur Adam Maula, Konsepsi HAM dalam Islam, antara Universalitas dan Partikularitas, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015), hlm. 31.

[15] Muhammad Yamin, Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Prapantja, 1959) hlm. 297.

[16] Ibid., hlm 298.

[17] Ibid., hlm. 298.

[18] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum tata negara... hlm. 355.

[19] Ibid., hlm. 355.

[20] Perihal minimnya Pasal perlindungan HAM, Muhammad Yamin berkomentar: “Bahwa pada waktu undang-undang dasar 1945 dirancang pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi Pasal-Pasalnya benci kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan demokrasi revolusioner. Akibat pendirian ini, yaitu hak asasi tidaklah diakui seluruhnya, melainkan diambil satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada 1945, yang dipengaruhi oleh perperangan antara fasisme melawan demokrasi. Waktu merancang konsitusi 1945, hak asasi yang lebih luas memang dimajukan, tetapi usul itu kandas atas alasan, bahwa pada waktu itu hak asasi dipandang sebagai kemenangan liberalisme yang tidak disukai.” Lihat Muhammad Yamin, Proklamasi dan konstitusi Republik Indonesia (Jakarta/Amsterdam: Penerbit Djambatan, cetakan kedua Mei 1952), hlm. 87-89.

44

[21] Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pandangan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 331.

[22] Ketujuh substansi tersebut adalah (1) pemerintahan daerah (2) wilayah negara (3) warga negara dan penduduk (4) HAM (5) pertahanan dan keamanan (6) bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan (7) lembaga DPR. Lebih lengkap lihat Lusia Indrastuti dan Susanto Polamo Hukum tata Negara dan Reformasi Konstitusi di Indonesia: Refleksi proses dan prospek di Persimpangan,...... hlm. 92.

[23] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum tata negara... hlm. 361.

[24] Diceritakan lebih lanjut panitia ad hoc ini dibantu oleh satu tim asistensi ilmiah, antara lain melibatkan Prof. Hazairin, SH, Dr. Soekiman Wirjosardjojo, A.G, Pringgodigdo SH, Prof. Notonogoro, SH, Achmad Subardja, SH, Prof. Sunario SH, dan Prof. SJ. N. Drijarkara. Alasan tidak disahkannya piagam HAM tersebut karena faksi Karya Pembangunan dan ABRI mengatakan, akan lebih tepat jika piagam itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPRS yang sifatnya “sementara”. Namun kenyataannya setelah pemilu 1971, dan MPR terbentuk, Rancangan Piagam HAM tersebut tidak pernah diajukan kembali. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang mereka putuskan pada sidang umum MPRS 1968 itu. Lihat Rhona K.M. Smith, Hukum HAM.......hlm. 241.

[25] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, cetakan-III 2009), hlm.113.

[26] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi,.... hlm. 201-205.

[27] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28A.

[28] Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.

[29] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28B Ayat (2).

[30] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28I Ayat (2).

[31] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1).

[32] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28E Ayat (2).

[33] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 Ayat (3).

[34] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28F.

[35] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.

[36] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28G Ayat (2).

[37] Ayat (1) ini berasal dari Pasala 28H Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.

[38] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28H Ayat (2).

[39] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28H Ayat (3).

[40] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28H Ayat (4).

[41] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.

[42] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28C Ayat (2).

[43] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.

[44] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D Ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945.

[45] Ayat ini berasal dari Pasal 28E Ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945.

[46] Berasal dari rumusan Pasal 28I Ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya mengandung kontroversi di kalangan banyak pihak.

[47] Berasal dari Pasal 2 ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan Pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.

[48] Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

[49] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 J ayat (4).

[50] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 I Ayat (5).

[51] Konstitusi menguatkan UU tentang HAM dan Komnas HAM

[52] Berasal dari Pasal 28 J Perubahan Kedua UUD 1945.

[53] Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Makalah untuk studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005 hal. 6-9.

[54] Dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam materi hak-hak sipil dari “a” sampai dengan “h”. Namun, ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak kontroversi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu. Ibid., hlm.7.

[55] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan Pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.

[56] Tim Pengkajian FH di bawah Koordinasi Lembaga Penelitian UID, Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, Ditinjau dari Segi Pancasila dan UUD 1945 Atas Dasar Keimanan dan Ketaqwaan. 2007

[57] Philip Alston, Hukum Hak Asasi Manusia,....... hlm. 271.

[58] Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 9 huruf (f).

[59] Todung Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Kita, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan:

1982) hlm. 89.

[60] Nasarudin Umar, “Konsep Hukum Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan, integrasi sistem hukum agama dan sistem hukum nasional”, penelitian diterbikan Jurnal Walisongo, volume 22 Nomor 1 (2014), hlm 172-173.

[61] Mansyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dinamika, Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan Sosial, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, Edisi III- 2010), hlm. 65-66.

 


ANALISIS KRITIS TATA CARA TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Hari ini saya memutuskan untuk mengembalikan pembayaran sebesar Rp105.000 kepada seorang calon klien. Bukan karena nilai nominalnya, melain...