Skip to main content

PANDANGAN KRITIS TERHADAP PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KPK DAN UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Pendirian KPK
Korupsi memiliki dampak yang besar terhadap negara, dan dampaknya yang meluas hingga mempengaruhi kondisi sosial suatu masyarakat, hingga menciptakan kondisi suburnya kejahatan terorganisir, menjadi wajar adanya tindak pidana korupsi dianggap suatu tindak pidana yang berbahaya bagi negara.[1] Tumbuhnya kesadaran masyarakat dunia akan bahwa korupsi telah memunculkan tumbuh suburnya gerakan antikorupsi dalam dunia internasional. Gerakan anti korupsi ini bertujuan untuk melakukan pemberantasan korupsi di negaranya masing-masing mengingat pola modus penyebab korupsi dari suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Dinisilah pada akhirnya kita mengenal apa yang dinamakan sebagai Anti Corruption Agency atau diterjemahkan sebagai Lembaga Anti Korupsi.
Mengingat tingkat bahaya dari korupsi pada akhirnya muncul lembaga-lembaga anti korupsi di dunia yang bertindak khusus untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dinegaranya. Disadari bahwa tindak pidana korupsi akan selalu melekat dalam sistem, sekalinya perbuatan korupsi itu ada dalam suatu sistem dia akan terus melekat dalam sistem tersebut. Hal ini terjadi karena begitu korupsi muncul dalam suatu sistem dia akan menjadi kebiasaan dalam sistem tersebut hingga perilaku korupsi dianggap sebagai hal yang umum untuk terjadi.[2]
Mengingat sulitnya suatu perilaku korupsi yang membudaya dalam suatu sistem pemerintahan untuk diberantas, diperlukan suatu upaya untuk melakukan memberantasnya. Menurut pemenang Nobel Gunnar Myrdal di tahun 1968 korupsi tidak bisa diberantas dari dalam sistem, karena tidak memungkinkan suatu individu yang jujur dapat bertahan di tengah-tengah kondisi lingkungan yang tidak jujur.[3]
Banyak pendapat yang lebih memilih untuk membangun institusi baru diluar institusi penegak hukum yang ada untuk melakukan pemberantasan korupsi. Darisinilah kemudian muncul institusi-institusi baru diluar pemerintahan konvensional yang dikenal dengan nama lembaga anti korupsi (Anti Corruption Agency). Lembaga anti korupsi dibentuk khusus untuk memberantas korupsi. Dikatakan khusus karena lembaga anti korupsi bergerak dengan kewenangan khusus untuk memberantas korupsi yang hidup di dalam suatu sistem pemerintahan, yang berarti lembaga anti korupsi memiliki kewenangan pengawasan kedalam suatu sistem pemerintahan.
Terlebih pada tahun 2002, Dato Param Cumraswamy, pelapor khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa tingkat korupsi di lembaga peradilan Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, sejajar dengan Meksiko.[4] Beberapa pendapat menyatakan perilaku korupsi merupakan faktor utama dari krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1997. Mengingat pengalaman pada tahun 1997 tersebut Indonesia merasakan sendiri dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi dan berusaha untuk memberantasnya melalui pembentukan KPK.
Komunitas internasional dan khususnya IMF juga memainkan peran dalam mendorong pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa RUU tentang KPK akan diberlakukan. Ketika Megawati ditunjuk oleh MPR pada tahun 2001 untuk menggantikan Wahid setelah pemakzulannya, tim ekonominya mengajukan rencana untuk membentuk Komisi Anti-Korupsi sebagai bagian dari janji pemerintah yang lebih luas untuk melakukan reformasi ekonomi, keuangan, dan pemerintahan.
Ini diuraikan dalam Letter of Intent (LOI) kepada IMF pada Agustus 2001[5] dan selanjutnya diuraikan dalam LOI kepada IMF yang ditandatangani pada 13 Desember 2001. LOI ini menguraikan niat pemerintah untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi di kedua. seperempat tahun 2002. Dalam surat yang sama, disebutkan juga niat untuk membentuk pengadilan anti-korupsi yang independen dan untuk menetapkan kriteria yang ketat 'untuk memastikan bahwa hanya orang-orang yang memenuhi persyaratan kualifikasi profesional yang ketat dan yang integritasnya tidak tercela akan ditunjuk untuk Komisi.'
Menilik kebelakang, sebenarnya gagasan pemberantasan korupsi diawali dari TAP MPR No. 11 Tahun 1998, yang mengamanatkan pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pembentukan KPK diawali dari gagasan beberapa orang dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) untuk menambahkan BAB tersendiri tentang KPK pada waktu pembahasan Undang-undang Tipikor. Usulan ini ditentang karena pada saat itu belum ada kajian yang mendalam dari bentuk KPK yang diinginkan sehingga pada akhirnya pembahasan tentang KPK dibahas pada undang-undang tersendiri. Alasan utama KPK harus dibahas dalam undang-undang tersendiri karena untuk membangun sebuah lembaga atau komisi yang diberi kewenangan sebesar itu, tidak bisa dirancang dengan pemikiran sesaat, harus dilakukan pengkajian yang cermat dengan segala aspeknya.
Untuk membentuk Rancangan Undang-Undang KPK dibentuk tim persiapan dan pengkajian KPK oleh Departemen Kehakiman dan HAM RI dengan bantuan dana dari Asian Development Bank (“ADB”). Tim diketuai oleh Prof. DR. Romli Atmasasmita SH., LLM. Tim melakukan studi banding ke Malaysia, Hongkong, Singapura dan Australia yang bertujuan mempelajari konsep pembentukan komisi pemberantasan korupsi seperti yang dimiliki negara tersebut. hasilnya adalah, lembaga anti korupsi yang akan dibentuk di Indonesia tidak dapat disamakan dengan lembaga anti korupsi di negara-negara tersebut karena perbedaan geografis, kesejarahan, sistem peradilan pidana, sumber daya manusia, anggaran negara yang tersedia hingga perbedaan kultur masyarakatnya.[6]
Pada akhirnya diputuskan untuk menggunakan bantuan Bertrand de Speville, mantan komisaris ICAC Hong Kong untuk membantu Indonesia dalam melakukan pembentukan lembaga anti korupsi di Indonesia. Penunjukan Bertrand de Speville secara tidak langsung menunjukkan bahwa kiblat dari pembentukan lembaga anti korupsi di Indonesia adalah ICAC. ICAC sendiri saat itu merupakan lembaga anti korupsi yang sarat pengalaman memberantas korupsi di wilayah asia. Bertrand de Speville-pun pada akhirnya merumuskan kajian mendalam terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia yang pada akhirnya kajian ini menjadi salah satu acuan dalam membentuk KPK yang kita kenal sekarang ini. KPK dibentuk pada tahun 2003 kurang dari satu tahun sejak disahkannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
KPK merupakan bukti dari keinginan bangsa Indonesia untuk bebas dari Korupsi. KPK menjadi upaya pamungkas bagi negara Indonesia untuk secara tuntas mengakhiri perilaku korupsi di Indonesia. Sebagai upaya pamungkas, KPK dibentuk dengan diberikan kewenangan luar biasa untuk memberantas korupsi di Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia terdapat lembaga penegak hukum yang memiliki fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sekaligus, dan ditambah juga dengan dibentuknya peradilan khusus tindak pidana korupsi. Semua kewenangan dan “hak istimewa” ini merupakan hasil dari prakiraan dan studi yang dilakukan pemerintah dalam tujuannya untuk memberantas korupsi di Indonesia, sehingga diyakini bahwa KPK dengan segala kewenangannya akan dapat memberantas korupsi di Indonesia hingga tuntas.
Perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan secara pasang surut di tengah dominasi kekuatan kepentingan politik dan kekuasaan.[7] Salah satu agenda perjuangan reformasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah penghapusan praktek-praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), tuntutan pemberantasan KKN ini semakin gencar sejak turunnya Soeharto dari kursi Presiden. Berbagai tuntutan baik dari mahasiswa maupun gerakan pro reformasi lainnya menghendaki agar mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya segera diperiksa dan diadili karena diduga telah melakukan praktek KKN selama dia berkuasa. Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.[8]
Demokrasi sendiri yang telah kita anggap selesai pasca Reformasi tahun 1998 menjadi tidak berarti ketika korupsi masih mengurita di bumi Indonesia dihampir setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan korupsi di Indonesia (kolusi dan nepotisme merupakan bagian dari korupsi) merupakan salah satu persoalan yang sangat rumit. Hampir semua lini kehidupan sudah terjangkit wabah korupsi. Sikap galak aparat penegak hukum tidak cukup kuat untuk menahan laju korupsi. Korupsi seolah-olah telah menjadi budaya, selain itu keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi, menambah persoalan bagi aparat penegak hukum.[9]
Korupsi di Indonesia sendiri menjadi demikian parah akibat buruknya moralitas para pejabat di Indonesia. Dalam hal moral sendiri (Immanuel Kant 1724-1802) mengatakan bahwa: “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia”. Kalimat ini merupakan kata mutiara yang tertulis di batu nisan makam Immanuel Kant. Kant adalah salah satu dari sedikit filsuf (ilmuwan) yang yang intens membicarakan masalah moral di tengah-tengah euforia pengagungan akal di jaman modern. Menurut Kant kelebihan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada moralnya. Pada morallah manusia menemukan hakekat kemanusiaannya.[10]
Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada masa reformasi menunjukkan adanya keseriusan dalam mencegah ataupun mengatasi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pemerintah Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan tujuh poin revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi UU KPK tersebut selanjutnya akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Rapat Panitia Kerja (Panja) menyepakati ketujuh poin revisi UU KPK itu pada Senin (16/9) di ruang Badan Legislasi DPR, Senayan, Jakarta. Ketujuh poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah yaitu:[11]
  1. Terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.
  2. Mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK.
  3. terkait pelaksanaan fungsi penyadapan.
  4. Mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.
  5. Terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.
  6. Mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan.
  7. Terkait sistem kepegawaian KPK.

  1. Rumusan Masalah
Berangkat dari Hal diatas maka adapun yang menjadi rumusan masalah pada tulisan ini adalah:
  • Bagaimana sejarah hukum para pemimpin KPK?
  • Apakah yang menjadi alasan hukum penolakan terhadap KPK?
  • Bagaimana analisis yuridis dalam penegakan hukum terkait pengesahan revisi undang-undang KPK?


BAB II
LANDASAN HUKUM EKSITENSI KPK

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi dasar pembentukan KPK. Melalui UU ini, KPK yang lahir pada 29 Desember 2003 ini semakin menjawab antusiasme masyarakat dalam memberantas korupsi, mengingat keberadaan lembaga penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan pemberantasan korupsi KPK belum menunjukkan kinerja yang maksimal. KPK dinilai sebagai angin segar bagi pencari keadilan dan sistem hukum yang tidak pandang bulu, sehingga perhatian dan harapan publik yang ditunjukkan kepada KPK semakin tinggi. KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun, serta bertanggung jawab kepada publik. KPK didirikan dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan hasil upaya pemberantasan TPK. KPK diberi mandat untuk memberantas korupsi secara profesional, intensif, dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Posisi Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki lebih banyak independensi daripada polisi dan kejaksaan. Padahal, kewenangan lembaga ini meliputi kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan, yaitu kewenangan untuk melakukan penyidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan Agung relatif kurang independen dalam menjalankan tugasnya karena kedua lembaga ini berada dalam struktur kekuasaan eksekutif, oleh karena itu kedua lembaga ini akan mengalami konflik antara fungsi dan tugas kehakiman dan kepentingan politik, yaitu ketika menjalankan fungsi penegakan hukum dan tugas berurusan dengan perintah dari eksekutif yang bertentangan dengan fungsi dan tugasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu lembaga negara bantu yang ada di Indonesia.[12] Dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasai, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. KPK didirikan berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya KPK bertindak secara independen. Adapun tugas KPK diatur dalam Pasal 6 UU KPK, antara lain:
  1. Koordinasi dengan intansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.[13]

Setiap tugas sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 di atas, melahirkan kewenangan atau fungsi yang berbeda kepada KPK. Baik itu yang berkaitan dengan tugas koordinasi; supervisi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; pencegahan, atau; monitoring. Tugas dan kewenangan KPK diuraikan secara rinci dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tugas KPK sebagaimana ditetapkan Pasal 6 huruf a, kewenangan untuk melakukan koordinasi, diuraikan dalam Pasal 7. Tugas supervisi, yang dimandatkan oleh Pasal 6 huruf b, diatur lebih rinci dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10. Kemudian tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, diatur lebih jelas dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Sedangkan tugas dan kewenangan KPK untuk melakukan monitoring penyelenggaraan pemerintahan negara diatur lebih lanjut dalam Pasal 14.
Secara teoritis, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah perundang-undangan (Legislative enticable power). Pendirian lembaga ini di era transisi terutama karena ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga konvensional yang ada seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam memberantas korupsi. Hal ini dapat dilihat pada salah satu pertimbangan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani kasus korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam konteks penegakan hukum korupsi bersifat transisi dan akan berfungsi sebagai mekanisme pemicu bagi lembaga-lembaga konvensional untuk berbenah diri menghadapi tuntutan reformasi. Ketika lembaga konvensional yang ada sudah berhasil melakukan perbaikan internal dan sudah mulai mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat, maka seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi dibubarkan, namun sebaliknya, jika lembaga konvensional tidak mampu meningkatkan kinerjanya dalam pemberantasan korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi harus dipertahankan.[14]
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi, jika dilihat dari sudut pandang desain kelembagaan, termasuk dalam kerangka "model proporsional", yaitu desain kelembagaan yang bertumpu pada prinsip pembubaran kekuasaan, karena sesuai dengan salah satu pertimbangan di atas, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi disebabkan oleh ketidakefektifan lembaga penegak hukum konvensional yang ada. Pada masa Orde Baru, mekanisme kerja lembaga penegak hukum konvensional tidak lepas dari kontrol eksekutif dan selama masa transisi ini keberadaan lembaga penegak hukum konvensional mengalami krisis legitimasi.[15]
Ketidakpuasan hukum pada masa Orde Baru telah menurunkan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung dan Kepolisian, oleh karena itu KPK sebagai salah satu buah reformasi diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik, terutama dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia. Posisi kuat KPK untuk memberantas korupsi tidak hanya didukung tetapi ada beberapa yang mempertanyakan posisi KPK. Tugas, wewenang dan kewajiban yang disahkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memang membuat komisi ini tampak seperti superbody.
Secara tegas dikatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK merupakan lembaga negara. Seiring perkembangan demokrasi, berkembang juga kelembagaan negara. Berbagai negara dalam menjalankan fungsinya membentuk lembaga negara baru yang bersifat mandiri. Secara umum, pembentukan lembaga negara baru tersebut disebabkan oleh beberapa hal berikut:
  1. Negara mengalami perkembangan karena kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya semakin meningkat.
  2. Pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi kenegaraan semakin berkembang.
  3. Guna mencapai tujuan negara kesejahteraan, negara dituntut menjalankan fungsinya dengan secara tepat, cepat dan komprehensif dari semua lembaga negara yang ada.
  4. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan berbagai kesulitan ekonomi, karena terjadi aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi yang memaksa banyak melakukan eksperimental kelembagaan.[16]

Menurut Jennings, terdapat alasan-alasan yang melatarbelakangi pembentukan lembaga negara bantu, yaitu:
  1. Kebutuhan untuk menyediakan layanan budaya dan personal, bebas dari campur tangan politik
  2. Keinginan untuk regulasi non-politik
  3. Kebutuhan untuk mengatur profesi independen, seperti kedokteran dan hukum
  4. Kebutuhan untuk mengatur layanan teknis
  5. Menciptakan berbagai lembaga yang bersifat semi yudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan [17]

Munculnya lembaga negara baru bukan hal yang harus dihindari. Tapi justru menjadi salah satu cara untuk menyesuaikan dalam memberikan pelayanan terbaik. Lembaga negara utama tidak cukup untuk mengantarkan indonesia menuju tujuan negaranya, perlu dibentuk lembaga negara bantu.  Negara yang memiliki lembaga negara bantu dalam hal pemberantasan korupsi, tidak hanya Indonesia. Beberapa negara lainpun membuat lembaga negara bantu guna menuntaskan masalah korupsi. Setidaknya ada lima alasan umum atas kemunculan lembaga anti korupsi, antara lain:
  1. Korupsi semakin sistematis, canggih, dan telah menjadi endemik;
  2. Lembaga penegak hukum yang ada dianggap belum mampu menjalankan fungsinya dalam memberantas korupsi, yang mengakibatkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum melemah.
  3. Pelaku korupsi tidak hanya terjadi pada pejabat publik tingkat pusat dan daerah, terjadi pada lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan.
  4. Tuntutan masyarakat yang menginginkan perubahan secara cepat; dan
  5. Keberhasilan negara memiliki lembaga anti korupsi dalam memberantas korupsi, sehingga pilihan membentuk lembaga negara baru dipandang sebagai langkah yang tepat dalam memberantas korupsi.[18]

Dalam konteks Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi alasan atas pembentukan lembaga-lembaga negara baru di Indonesia, antara lain:
  1. Hilangnya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada karena anggapan korupsi yang sistemik dan mengakar sehingga sulit untuk diberantas;
  2. Lembaga negara yang ada tidak independen karena pengaruh kekuasaan yang lain;
  3. Ketidakmampuan lembaga yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN;
  4. Pengaruh global dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state’s agency atau watchdog institutions di banyak negara yang berada dalam situasi transisi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan;
  5. Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai syarat untuk memasuki pasar global, tetapi untuk membuat demokrasi sebagai sastu-satunya jalan bagi negara yang semula berada di bawah kekuasaan otoriter.[19]

Selain alasan di atas, hal lain yang melatarbelakangi pembentukan KPK adalah korupsi sudah meluas dan lembaga negara yang ada belum mampu memberantas korupsi, maka diperlukan suatu lembaga yang membantu secara khusus untuk menuntaskan korupsi. Dengan demikian KPK merupakan lembaga negara bantu. Lembaga negara bantu memiliki dua sifat, yakni executive agencies dan independent agencies.[20] Beberapa ahli berpendapat bahwa KPK merupakan independent agencies, hal ini didasarkan pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun.[21]
Dalam Pasal 3 tersebut ada frase “bersifat independen”, maka dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsin merupakan Lembaga Negara Bantu yang bersifat independen, bebas dari interfensi lembaga negara manapun.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki beberapa tugas yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut:
  1. Koordinasi dengan intansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.[22]

Setiap tugas sebagaimana disebutkan dalam pasal 6, memberikan kewenangan atau fungsi yang berbeda kepada KPK. Baik itu yang berkaitan dengan tugas koordinasi; supervisi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; pencegahan, atau; monitoring.
Fungsi koordinasi yang dimiliki KPK juga dipunyai lembaga lain dalam menangani korupsi. Kewenangan yang dimiliki KPK dalam hal menjalankan tugas koordinasinya, tertulis dalam Pasal 7, yaitu: mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; menetapkan sistem pelaporan kegiatan pemberantasan korupsi; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan korupsi; melaksanakan dengar pendapat dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan korupsi; dan meminta laporan kegiatan pencegahan korupsi di instansi terkait.  Akan tetapi, ada tiga kriteria kasus korupsi yang menjadi kewenangan KPK, menurut Pasal 11, yakni: (1) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (2) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; (3) menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.
Fungsi supervisi yang dimiliki KPK menjadikan lembaga ini memiliki legitimasi dalam melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut diatur dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan supervisi ini, membuat KPK dapat mengambilalih penyidikan dan penuntutan suatu perkara korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2).
Pengambilalihan dilakukan bilamana ada laporan dari warga atau masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang yang tidak ditindaklanjuti; proses penanganannya berlarut-larut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; penanganannya terkesan melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya; penanganannya mengandung unsur korupsi; atau karena ada campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; karena keadaan lain yang sulit diatasi dan dilaksanakan oleh kepolisian atau kejaksaan. Enam syarat pengambilalihan penyidikan atau penuntutan kasus korupsi tersebut diatur dalam Pasal 9 Undang-undang KPK.
Fungsi pencegahan yang dimiliki KPK merupakan kewenangan yang penting dalam hal pemberantasan korupsi di masa yang akan datang. Hal ini karena pencegahan dapat membentuk karakter budaya anti korupsi.[23] Kewenangan KPK dalam hal pencegahan sebagaimana dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, berupa:
  1. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
  2. menerima menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
  3. menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;
  4. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan korupsi;
  5. melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum;
  6. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan korupsi.[24]
Diletakkannya kewenangan melakukan pencegahan pada komisi anti korupsi, berarti komisi tersebut dibebani untuk membangun budaya hukum yang memungkinkan bangsa ini keluar dari masalah korupsi. Elwil Danil berpendapat bahwa, proses pencegahan di Indonesia, perlu meniru pengalaman komisi anti korupsi Hongkong (ICAC). Dimana ICAC memiliki strategi penanggulangan yang dikenal dengan “three pronged strategies”, yaitu: 1) penegakan hukum yang efektif; 2) pencegahan korupsi; 3) pendidikan masyarakat. Kemudian ICAC bertujuan untuk memberantas korupsi, melalui deteksi secara efektif, investigasi, dan penuntutan, mengeleminasi kesempatan untuk melakukan korupsi dengan memperkenalkan “corruption resistant practies”, mendidik masyarakat dalam memerangi korupsi.[25]
Ada empat langkah kunci yang dilakukan ICAC untuk meyakinkan tujuan sebagaimana disebut sebelumnya, dapat direalisasikan, yaitu:
  1. menangani secara tuntas tindak pidana korupsi melalui penyidikan yang profesional dan efektif;
  2. mendidik masyarakat tentang undang-undang anti korupsi, dan konsekuensi korupsi, serta menggalang dukungan publik;
  3. mempromosikan integritas pelayanan sipil dan prosedur-prosedur praktis pelayanan publik;
  4. mempromosikan praktik-praktik terpuji, standar etik yang tinggi dan fair dari sektor private.[26]



BAB III
KEPEMIMPINAN KPK DARI MASA KE MASA

KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia adalah lembaga negara yang dibentuk untuk meningkatkan kekuasaan dan efektivitas pemberantasan korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Secara historis, KPK memiliki lima ketua, seorang ketua yang juga anggota dan empat wakil ketua yang juga anggota. Pimpinan KPK menjabat selama empat tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan lagi. Pengambilan keputusan di KPK bersifat kolektif dan kolegial.
  1. Struktur Organisasi KPK Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pimpinan dalam sejarah terbentuknya KPK adalah pejabat negara yang terdiri dari lima orang anggota, yaitu satu orang Ketua dan empat orang wakil ketua yang merangkap anggota. Wakil ketua KPK terdiri dari:
  • Wakil Ketua Bidang Pencegahan
  • Wakil Ketua Bidang Penindakan
  • Wakil Ketua Bidang Informasi Dan Data
  • Wakil Ketua Bidang Pengawasan Internal Dan Pengaduan Masyarakat

Tim Penasihat KPK bertugas untuk memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan keahlian masing-masing kepada KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tim Penasihat terdiri dari empat anggota. Pelaksana Tugas KPK ditetapkan berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi no. PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 mengenai Organisasi dan Tata Kerja KPK. Pelaksana Tugas terdiri dari:
  • Deputi Bidang Pencegahan
  • Deputi Bidang Penindakan
  • Deputi Bidang Informasi Dan Data
  • Deputi Bidang Pengawasan Internal Dan Pengaduan Masyarakat
  • Sekretariat Jenderal

  1. Kepemimpinan KPK dan Kasus – Kasus Korupsi[27]
Kepemimpinan KPK telah berubah berkali-kali, yang pertama adalah Taufiequrrachman Ruki, alumni Akademi Kepolisian 1971 dan mantan anggota DPR periode 1992-2001. Di bawah kepemimpinannya, KPK akan memposisikan diri sebagai katalisator bagi pejabat dan lembaga lain untuk mencapai 'tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih' di Republik Indonesia. Antasari Azhar menggantikan Ruki pada 2007-2009 melalui pemungutan suara di Komisi III DPR RI, meskipun masa jabatannya kontroversial sebagai Kepala Kejaksaan Jakarta Selatan (2000-2007) ketika ia gagal mengeksekusi Tommy Soeharto.
Antasari berhasil menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani sehubungan kasus suap BLBI, menangkap Al Amin Nur Nasution dalam kasus pelepasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Dia juga membawa Deputi Gubernur BI Aulia Pohan ke penjara karena korupsi dana BI. Kiprah Antasari sebagai pimpinan KPK terhenti ketika ia terlibat dalam pembunuhan pengusaha Nasruddin Zulkarnaen, sehingga ia diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai Penjabat Ketua KPK dari 2009-2010. 
Selama masa jabatan Tumpak, KPK menetapkan mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi. KPK juga menetapkan Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Namun, kasus bank Century dan beberapa kasus lainnya terhenti dan Tumpak juga diberhentikan.
Penggantinya adalah Busyro Muqoddas pada periode 2010 – 2011. Sebagai ketua KPK, ia sering mengkritik soal gaya hidup hedonisme para anggota DPR. Ketika dilakukan pemilihan pemimpin KPK pada 2 Desember 2011, Busyro menjadi wakil ketua KPK karena kalah suara dari Abraham Samad. Beberapa kasus korupsi pada masa Abraham adalah korupsi wisma atlet, Hambalang, gratifikasi impor daging sapi, gratifikasi SKK migas, pengaturan pilkada kabupaten Lebak, korupsi simulator dari Korlantas Polri. Pada masa itu yang ditangkap antara lain Andi Mallarangeng, Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, Ratu Atut Chosiyah, Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaq dan lainnya.
Sayangnya, Abraham Samad juga harus mengakhiri masa jabatannya dengan pahit karena ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen berupa KTP, paspor, dan kartu keluarga oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat. Setelah itu, Abraham diberhentikan sementara sebagai Ketua KPK, termasuk Bambang Widjojanto yang juga menjadi anggota. Posisi Abraham untuk sementara digantikan oleh Taufiqurachman Ruki sebagai Pelaksana Tugas Ketua, dengan Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi sebagai pimpinan KPK sementara. Setelah itu, pemilihan lain diadakan, dan Agus Rahadjo adalah orang pertama tanpa pendidikan hukum formal yang terpilih sebagai ketua KPK, karena ia adalah lulusan teknik sipil dari Institut Teknologi Sepuluh November.
SPada periode 2011-2015, KPK dipimpin oleh Abraham Samad dan empat wakil ketua, Zulkarnaen, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas dan Adnan Pandu Praja. Kemudian pada 17 Desember 2015, Komisi Hukum DPR yang diketuai Azis Syamsuddin mengangkat Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK periode 2015-2019 melalui dua pemungutan suara.
Selain Antasari Azhar dan Abraham Samad, juga pernah terkena kasus kontroversial yang dikenal dengan sebutan kasus cicak versus buaya, yaitu: Bibit Samad Rianto, dan Chandra Hamzah.
Bibit Samad Rianto, mengikuti seleksi calon pimpinan KPK tahun 2007-2011. Pada akhirnya, Bibit menjabat sebagai Deputi Bidang Penindakan dan Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat di KPK. Namun, masa jabatannya di KPK tidak semulus yang diharapkan. Ayah empat anak itu dituduh menyalahgunakan wewenang dalam pelarangan Joko Tjandra. Selain itu, ia juga dituduh menerima suap selama kasus Anggodo dan Anggoro. Sosok KPK ini juga terlibat dalam kasus kadal versus buaya. Dia hanya diberi sanksi wajib lapor karena tidak ada bukti bahwa tuduhan itu benar.
Chandra M. Hamzah adalah wakil Ketua KPK yang membawahi bidang penindakan serta bidang informasi dan data. Saat menjadi anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada 2000-2001 mengalami tuduhan menerima suap dari para koruptor. Saat itu, ia dan Bibit sedang menangani kasus korupsi dari Anggoro Widjojo yang merupakan buron korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Kasus tersebut semakin memanas ketika nama Kabareskrim Susno Duaji yang Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga terseret juga dalam penyelidikan KPK. Ia dituduh menelan puluhan miliar dari kasus Bank Century. Respon Susno atas tuduhan ini, membuat kemelut antara KPKdan Polri. Kabareskrim Susno menyebutkan bahwa KPK adalah cicak dan Polri adalah Buaya. Ia menganggap KPK telah keluar dari batas kuasanya. Kasus lainnya yaitu tuduhan penyelewengan kewenangan. Sama halnya dengan Bibit, ia juga tertuduh dalam penyelewengan kewenangan untuk pencekalan dan pencabutan cekal terhadap Anggoro dan Joko Tjandr



BAB IV
ALASAN PENOLAKAN TERHADAP REVISI UU KPK

KPK merupakan aplikasi bentuk politik hukum yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 kepada badan legislatif sebagai pembuat Undang-undang.[28] Dengan adanya Revisi UU KPK merupakan suatu keniscayaan karena hal tersebut merupakan bentuk dari politik hukum. Namun yang menjadi pertanyaannya apakah revisi UU KPK saat ini tepat disebut sebagai bentuk politik hukum --mengingat tujuan dari politik hukum adalah dalam rangka mencapai tujuan negara? Berkaitan dengan politik hukum UU KPK, maka tujuan yang paling paling mendekati adalah "mewujudkan kesejahteraan rakyat".
Karena korupsi masih masif dan sistematis, maka keberadaan lembaga semacam KPK masih sangat dibutuhkan. Oleh karena itu jika revisi UU KPK nantinya akan membantu KPK dalam pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif, maka hal itu tepat dikatakan sebagai praktik politik hukum. Namun apabila adanya revisi tersebut justru dalam implementasinya malah akan menghambat pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, maka revisi UU KPK tersebut dapat diindikasikan sebagai bentuk politisasi hukum terhadap KPK. Artinya, ada faktor politis di balik revisi tersebut.
Aksi penolakan terhadap revisi UU KPK bukanlah aksi untuk mendukung KPK menjadi lembaga superior, melainkan bentuk dukungan terhadap pemberantasan korupsi karena yang ingin diperjuangkan adalah hak-hak rakyat. KPK ibarat sebuah instrumen, dan memang tidak ada instrumen yang sempurna. Namun, jika instrumen itu masih dibutuhkan maka yang dilakukan adalah memperbaikinya, bukan malah memperlemah.
Mendukung pemberantasan korupsi adalah tindakan yang secara aksioma menginginkan kejahatan-kejahatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas diberantas. Korupsi adalah kejahatan; membiarkan korupsi semakin merajalela sama halnya membiarkan tindakan disorientasi terhadap tujuan negara.
Selain itu, Sejumlah organisasi masyarakat sipil antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Konvensi PBB Menentang Korupsi (The UN Convention Against Corruption - UNCAC) juga memberikan penolakan terhadap Revisi atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sekitar 97 lembaga dari berbagai negara yang tergabung dalam Koalisi UNCAC menyatakan prihatin terhadap revisi UU KPK tersebut. Menurut mereka, Revisi ini dapat membahayakan independensi lembaga antikorupsi dan merusak kemampuannya untuk secara efektif mencegah, menyelidiki, dan menuntut korupsi. Koalisi itu melihat KPK telah melakukan upaya pencegahan dan penuntutan korupsi di Indonesia secara efektif. Pekerjaan pencegahan yang dilakukan oleh KPK telah mencapai penghematan keuangan negara yang signifikan di Indonesia. KPK juga telah juga telah dipercaya tinggi oleh masyarakat.[30]


BAB V
ANALISIS YURIDIS DALAM PENEGAKAN HUKUM TERKAIT PENGESAHAN REVISI UNDANG-UNDANG KPK

Penolakan terhadap Revisi UU KPK ini terhadap point-point yang melemahkan lembaga ini, maka secara garis besar akan dianalisis enam point yang ada dalam RUU KPK yang telah disahkan, yaitu:
  1. KPK bukan lagi lembaga independen tetapi masuk ke ranah eksekutif. Pegawai KPK juga menjadi ASN.
Apabil KPK dianggap sebagai bagian dari yudikatif, KPK bukan kekuasaan kehakiman. Legislatif, KPK bukan pembuat Undang-Undang. Makanya posisi di eksekutif diposisikan seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Maka langkah ini dapat dikatakan sebagai upaya memperjelas status KPK itu sendiri. Hal yang paling penting adalah bagaimana hal itu tidak mengurai netralitas dari KPK. Misalnya KPK lembaga non kementerian tetapi ditangan Presiden juga dapat berimplikasi pada pelemahan. Kalau kemudian di-identikan dengan BNN, BKPN, hal itu akan menjadi melemahkan. Apabila dikategorikan seperti Ombudsman, Komisi Yudisial, mereka pada posisi ada dasar hukumnya.[31]
Persoalan lainnya dari awal KPK lembaga ad hoc, sehingga kemudian tidak dapat permanen. Yang harus dijaga adalah bagaimana tidak kurangi kinerja KPK. Positifnya, dengan korupsi yang masih menjamur, kalau KPK masih ad hoc maka itu melemahkan pemberantasan korupsi. Perlu juga dipertanyakan apabila KPK sebagai lembaga permanen, lalu bagaimana dengan kedudukan Kepolisian dan kejaksaan? Akhirnya dilema tidak dapat dikatakan ad hoc ataupun permanen. Bagaimanapun KPK adalah lembaga supervisi kepolisian dan kejaksaan yang tidak jalan.

  1. Penyadapan KPK atas izin dewan pengawas.
Penyadapan merupakan senjata andalan KPK untuk OTT. Namun permasalahan yang timbul, kadang-kadang ada bias karena banyak hal penyadapan itu tidak terkait penegakan hukum juga di ekspos. Penyadapan itu tidak dalam konteks pencegahan tetapi penggiringan. Mestinya orang mau terima suap dikasih tahu. Namun faktanya Tetapi KPK justru menggiring. Kalau pelanggaran HAM misalnya personal akhirnya diumbar publik, menghancurkan anak istrinya. Hal ini menjadi dilemma.
KPK selama ini melakukan penyadapan tidak izin pengadilan, sehingga dapat dikatakan KPK melanggar. Solusinya seharusnnya dapat melalui UU Penyadapan yang sedang di bahas DPR yang seharusnya di integrasikan dengan UU KPK.

  1. Bersinergi dengan penegak hukum lain.
Terpadu tidak dapat sendirian. Polisi dapat kasus melimpahkan ke Kejaksaan. Kejaksaan melimpahkan ke pengadilan, pengadilan harus berkordinasi dengan lembaga pemasyarakatan. Kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK itu tidak dapat jalan sendiri. Hal ini dirasa belum optimal secara sektoral. Tidak terlihat adanya sinergi antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan.

  1. LHKPN itu sebuah ketentuan yang baik agar fungsi pencegahan jalan.
Bersifat kewajiban, jadi KPK harus lebih intensif. Pendataan itu substantif artinya di deteksi. Perlu diperbaiki sunstansi laporannya. Ketika tidak laporan sanksi hukumnya tidak ada. Pemeriksaan itu harus di konfirmasi secara aktual.

  1. Dewan pengawas dipilih Presiden dan DPR.
Belum cukup pengawasan dari DPR karena tidak bersifat memberikan tekanan, artinya beberapa rekomendasi rapat kerja, tidak melaksanakan sanksinya tidak ada. Pengawasan itu banyak menentang birokrasi dan melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Sisi positifnya untuk kinerja KPK lebih baik. Lalu pertanyaannya adalah siapa yang dapat menjamin dewan pengawas itu lebih kredibel dan indepeden? Mekanisme jabatan publik itu selalu kompromi politik. Karena diawasi maka kerja lebih profesional, lebih hati-hati. Tetapi itu dapat juga membuat orang malas bekerja.

  1. KPK dapat keluarkan SP3.
Dalam beberapa kasus di KPK belarut-larut penanganannya. Misalnya orang jadi tersangka tidak jelas kapan berakhirnya. Menurutnya, itu sebuah pelanggaran. Tidak cukup alat bukti misalnya, tidak dapat dihentikan. Meskipun selama ini tidak ada SP3, KPK dilakukan diam-diam misalnya kasus skandal Bank Century. Tidak ada kejelasannya, didugat praperadilan dan dimenangkan. Lebih ke arah kepastian. Dalam perspektif yang pesimis, SP3 itu cenderung jadi sarana kompromi untuk hentikan perkara. Kekhawatiran itu dapat diantisipasi, begitu keluar SP3 tanpa ada alasan yang jelas, KPK dapat digugat praperadilan. SP3 ini dimungkinkan dengan rambu-rambu yang jelas. Fakta sesuai KUHAP harus ada 2 alat bukti untuk menetapkan tersangka, kasusnya juga tidak maju-maju. Hal ini menandakan proses penetapan tersangka belum membuktikan untuk diproses ketahap lebih lanjut., seharusnya ketika sudah menetapkan tersangka langsung dilimpahkan ke penuntut umumnya. Jaksa KPK segera menuntut ke pengadilan. Point ini mendorong agar KPK hati-hati dalam menetapkan tersangka.
Selain itu terkait Revisi UU KPK yang lebih mengutamakan pencegahan dibanding pemrosesan secara Pidana, maka dalam kriminologi, pencegahan kejahatan berarti kemampuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya suatu kejahatan dan berdasarkan pengetahuan terhadap faktor penyebab terjadinya suatu kejahatan tersebut kemudian diambil tindakan yang dapat menyebabkan kejahatan tersebut dapat dicegah.[32] Termasuk juga ketika berkeinginan untuk memberantas korupsi, institusi yang memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi terlebih dahulu harus mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya korupsi. Setelah diketahui faktor-faktornya, kemudian institusi tersebut dapat menciptakan sebuah strategi yang digunakan untuk mencegah korupsi.
Dedie Rachim yang merupakan Direktur Dikyanmas (Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat) KPK mengakui bahwa tidak hanya sistem yang perlu diubah, KPK juga harus menciptakan budaya anti korupsi di seluruh Indonesia agar Indonesia dapat bersih dari korupsi. Disini, social crime prevention yang segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran[33] dan bertujuan untuk membentuk moral individu yang baik[34] harus mendapat tempat dalam upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Seperti yang telah dikatakan oleh Gottfredson dan Hirschi[35] bahwa setiap orang cenderung mempunyai motivasi yang sama untuk melakukan kejahatan. Akan tetapi yang membedakan kenapa seseorang melakukan kejahatan atau tidak adalah karena self-control yang telah diinternalisasikan sejak dini. Apabila ada seseorang yang melakukan kejahatan, hal itu diakibatkan oleh self-control seseorang yang rendah, yang diakibatkan oleh sosialisasi yang buruk yang diperoleh seseorang.
Social crime prevention memusatkan perhatian utamanya pada remaja (usia muda), termasuk anak-anak, karena mereka secara prinsip dianggap sebagai kelompok penerima sosialisasi[36], dan Gottfredson dan Hirschi[37] menyatakan bahwa penguatan dua agen sosialisasi yang utama yaitu sekolah dan keluarga menjadi dua aspek yang fundamental dalam upaya pencegahan kejahatan. Pada tahap ini, KPK sudah masuk kedalam lingkungan sekolah sejak beberapa tahun yang lalu dan juga sudah mulai melakukan langkah-langkah awal untuk masuk kedalam lingkungan keluarga.

BAB VI
UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH

Masih kuatnya penolakan publik terhadap hasil legislasi pemerintah mengenai perubahan UU KPK bukan tampa alasan. Dalilnya, substansi pasal dalam perubahan UU KPK mengandung racun hukum, akibatnya sistem dalam tubuh KPK akan melemah. Sekadar contoh, penyadapan dengan izin dewan pengawas, alasan waktu selama 2 (dua) tahun dapat menghentikan penyidikan serta perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah alasan-alasan mengapa perubahan UU KPK ditolak.
Publik masih menaruh harapan agar perubahan UU KPK dibatalkan. Terdapat beberapa tawaran hukum untuk membatalkan perubahan UU KPK.
  1. legislative review.
Substansi tertentu didalam perubahan UU KPK dapat saja di rubah dengan mekanisme legislative review melalui lembaga legislatif. Artinya pasal-pasal yang mengandung pelemahan terhadap fungsi lembagai anti rasuah tersebut dibatalkan dengan cara menganti dengan aturan yuridis yang sesuai aspirasi masyarakat.

  1. Judicial review.
Mekanisme ini dapat ditempuh di Mahkamah Konstitusi. Caranya, dapat mengajukan pengujian secara materiil (Uji materi) maupun formil (uji formil) terhadap norma hukum didalam Perubahan UU KPK yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional. Tujuannya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam perubahan UU KPK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

  1. Executive review.
Mekanisme ini dapat ditempuh dengan cara Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Misalnya, Presiden SBY pernah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Perppu tersebut selanjutnya disetujui DPR.

  1. Legislative review
Tawaran ini bukan tawaran hukum yang menarik bagi publik dalam menyelesaikan kegaduhan perubahan UU KPK. Pasalnya, di samping persoalan waktu, menyerahkan kembali ke lembaga legislatif dalam membahas kembali perubahan UU KPK juga tidak akan mendapatkan kepercayaan publik. Manuver hukum lembaga legislatif adalah sesuatu yang dikhawatirkan. Jika begitu, apakah judicial review ataukah penerbitan Perppu yang harus ditempuh?

  1. Judicial Review dan Penerbitan Perppu
Tawaran ini merupakan sama-sama saluran hukum yang diperkenankan oleh ketentuan hukum. Namun begitu, kegaduhan telah terjadi akibat pengesahan perubahan UU KPK. Lebih dari itu, gelombang demonstran memprotes perubahan UU KPK juga telah menelan korban jiwa dari kelompok mahasiswa. Selain itu, Presiden Jokowi harus dapat merenungi perbedaan antara filosofi judicial review dengan filosofi Perppu. Judicial review adalah hak warga negara untuk membatalkan aturan hukum dalam Undang-Undang yang merugikan hak konstitusional. Maknanya warga negara memperjuangkan nasib hukumnya sendiri tanpa keterlibatan Presiden.
Sedangkan penerbitan Perppu merupakan hak Presiden untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang sifatnya kegentingan memaksa melalui mekanisme Perppu. Maknanya Presiden sebagai pemimpin negara diberikan senjata hukum bernama Perppu untuk memperjuangkan kebutuhan hukum warga negara.
Sekiranya Presiden Jokowi berpandangan, bagi masyarakat yang tidak menerima perubahan UU KPK, dapat menempuh judicial review di Mahkamah Konstitusi, sama saja Presiden absen dalam memperjuangkan tuntutan publik. Hal ini dikarenakan mekanisme judicial review yang dapat dilakukan oleh warga negara di Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan peran serta Presiden. Akibatnya, masyarakat akan berjuang sendiri tanpa keterlibatan Presiden dalam menyelesaikan kegaduhan produk legislasi mengenai perubahan UU KPK. Ironi, bila Presiden memiliki cara pandang hukum semacam ini.
Sebaliknya, bila Perppu diterbitkan, Presiden menunjukkan posisinya bersama-sama dengan masyarakat. Memang, pada akhirnya Perppu yang diterbitkan oleh Presiden akan dibahas di DPR untuk memperoleh persetujuan DPR. Demikian prosedur legalnya. Tapi sebagai langkah pembuka, sudah seharusnya Presiden menerbitkan Perppu. Isinya membatalkan perubahan UU KPK. Langkah ini dibenarkan menurut yuridis dan akan diterima secara sosiologis. Harapannya, KPK yang merupakan produk reformasi itu dapat terjaga dari serangan-serangan regulasi yang dapat melumpuhkan kinerja KPK. Walhasil, akan membuktikan Presiden hadir berjuang bersama-sama rakyat guna mewujudkan aspirasi publik.

Itulah solusi tepat untuk menjawab kebutuhan publik guna menyelesaikan kegaduhan akibat perubahan UU KPK. Tanpa kepercayaan publik, undang-undang yang diproduksi akan kehilangan efektivitasnya. Karenanya, dalam hal menumbuhkan kembali kepercayaan publik, Presiden sepatutnya menerbitkan Perppu pembatalan perubahan UU KPK.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Buku/Jurnal/Tulisan Ilmiah
Bo Rothstein, Anti-Corruption – A Big Bang Theory, Goteborg: Goteborg University, 2007.
Cindy Rizka Tirzani Koesoemo, “Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (kpk) dalam penanganan Penyidikan dan penuntutan tindak Pidana korupsi”, Jurnal Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017.
Crawford, A. Crime Prevention and Community Safety: Politics, Policies, and Practices. London: Longman, 1998
Darmawan, M. K. Strategi Pencegahan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Evans, K. Crime Prevention: A Critical Introduction. London: SAGE Publications, 2011.
George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang Rakyat Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta, 2002
Edi Setiadi, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus-Kasus Korupsi Dalam Menciptakan Clean Government”, Jurnal Mimbar No. 4 Th.XVI Okt. – Des. 2000 – 305.
Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005.
Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law, cetakan ke-10, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008
Ria Casmi Arrsa, “Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik Dan Penuntut Umum Independen Kpk”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 3 Nomor 3, Desember 2014
Sri Rahayu Wilujeng, dalam artikel, “Filsafat, Etika dan Ilmu: Upaya Memahami Hakikat Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan”, Universitas Diponegoro
Tri Andrisman, “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum.
Walklate, S. Criminology: The Basics., Routledge, 2005

  1. WEBSITE
Devita Retno, “Sejarah Terbentuknya KPK”, https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-terbentuknya-kpk, diakses 19 Oktober 2019
Muhammad Hendartyo, “Organisasi Anti Korupsi Dunia, Uncac Kritik Revisi uu kpk”, https://nasional.tempo.co/read/1254275/organisasi-antikorupsi-dunia-uncac-kritik-revisi-uu-kpk/full&view=ok, diakses 18 Oktober 2019
"26 Masalah Revisi UU KPK, Jadi Tuntutan Demo Mahasiswa Jakarta", https://tirto.id/eiGl, diakses 29 September 2019
“Poin-Poin Revisi UU KPK Yang Disepakati DPR dan Pemerintah” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917074539-32-431075/poin-poin-revisi-uu-kpk-yang-disepakati-dpr-dan-pemerintah
[1] UNITED NATION CONVENTION AGAINST CORRUPTION Foreword
[2] Bo Rothstein “Anti-Corruption – A Big Bang Theory”, Goteborg: Goteborg University, 2007, hlm. 4.
[3] Ibid, hlm. 5
[4] Florence Lamoureux, “Indonesia: A Global Studies Handbook”, California: ABC-CLIO Inc., 2003, hlm. 84
[5] Letter of Intent Republik Indonesia kepada Dana Moneter Internasional, 27 Agustus 2001, Poin 32 dalam Bagian V tentang Restrukturisasi Perusahaan dan Pembaruan Hukum dalam Memorandum tambahan Kebijakan Ekonomi dan Keuangan.
[6] Romli Atmasasmita, Seputar masalah korupsi: Aspek nasional dan Aspek internasional, Bandung: Mandar Maju, 2004, hlm. 30.
[7] Ria Casmi Arrsa, “Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik Dan Penuntut Umum Independen Kpk”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 3 Nomor 3, Desember 2014, hlm. 1.
[8] Cindy Rizka Tirzani Koesoemo, “Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (kpk) dalam penanganan Penyidikan dan penuntutan tindak Pidana korupsi”, Jurnal Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017, hlm. 1
[9] Edi Setiadi, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus-Kasus Korupsi Dalam Menciptakan Clean Government”, Jurnal Mimbar No. 4 Th.XVI Okt. – Des. 2000 – 305, hlm. 1 JALREV 1 (1) 2019 71
[10] Sri Rahayu Wilujeng, dalam artikel, “Filsafat, Etika dan Ilmu: Upaya Memahami Hakikat Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan”, Universitas Diponegoro, hlm. 1
[11] “Poin-Poin Revisi UU KPK Yang Disepakati DPR dan Pemerintah” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917074539-32-431075/poin-poin-revisi-uu-kpk-yang-disepakati-dpr-dan-pemerintah
[12] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan, Op. Cit., hal.117.
[13] Ibid, Ps. 6.
[14] Tri Andrisman, “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum, hlm. 5.
[15] George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang Rakyat Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta, 2002. Hlm. 35.
[16] Op. Cit., hal 354.
[17] John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: Macmillan Educations Itd, 1989), hal. 225.
[18] Indah Harlina.. Op. Cit., hal. 356-357.
[19] Firmansyah.. Op. Cit., hal 59.
[20] Indah Harlina.. Op. Cit., hal. 358.
[21] Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002, LN RI Tahun 2002 Nomor 137, Ps. 3.
[22] Ibid, Ps. 6.
[23] Indah Harlina, Op. Cit., hal. 306.
[24] Indonesia, Op. Cit., Ps. 13.
[25] Elwil Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2012), hal.242.
[26] Ibid, hal. 251.
[27] Devita Retno, “Sejarah Terbentuknya KPK”, https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-terbentuknya-kpk, diakses 19 Oktober 2019
[28] Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), hlm. 105.
[29] Baca selengkapnya di artikel "26 Masalah Revisi UU KPK, Jadi Tuntutan Demo Mahasiswa Jakarta", https://tirto.id/eiGl, diakses 29 September 2019
[30] Muhammad Hendartyo, “Organisasi Anti Korupsi Dunia, Uncac Kritik Revisi uu kpk”, https://nasional.tempo.co/read/1254275/organisasi-antikorupsi-dunia-uncac-kritik-revisi-uu-kpk/full&view=ok, diakses 18 Oktober 2019
[31] Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law, cetakan ke-10, (Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008), hal. 277
[32] Walklate, S. Criminology: The Basics., Routledge, 2005
[33] Darmawan, M. K. Strategi Pencegahan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 17
[34] Evans, K. Crime Prevention: A Critical Introduction. London: SAGE Publications, 2011
[35] Dalam Crawford, A. Crime Prevention and Community Safety: Politics, Policies, and Practices. London: Longman, 1998
[36] Darmawan, op.cit, hal. 34
[37] Lihat Crawford, op.cit.

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S