BAB I
PENDAHULUAN
- PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesungguhnya
manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi
"panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah
selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan
sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat
yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita
sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di
dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia,
sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil
Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur,
harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya
sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk
dipermalukan.[1]
Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud untuk menghormati
manusia, sehingga manusia tidak akan hidup pada tingkat yang sama dengan satwa
liar. Meskipun di bumi manusia harus menanggung segala macam penderitaan dan
kesulitan, jika ia hidup lurus dan damai dengan sesama makhluk, ia pasti lebih
terhormat di sisi Allah daripada malaikat di langit. Sejak lebih dari empat
belas abad yang lalu manusia telah diberitahu tentang posisinya di bumi ini,
bahwa Pencipta Yang Mahakuasa tidak mengizinkan tirani oleh manusia atas
sesamanya dan atas segala sesuatu yang ditugaskan kepada khalifahnya.[2]
Hampir setiap negara memiliki masalah dalam penegakan hak asasi manusia,
tidak terkecuali Indonesia. Isu HAM terutama difokuskan pada tingkat komitmen
negara dalam melaksanakan hak asasi manusia dalam kehidupan sosial-politik
negara dan bangsa yang bersangkutan. Komitmen ini setidaknya dapat dilihat dari
aspek kebijakan pemerintah yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga sosial, baik
lembaga-lembaga hukum (Konstitusi dan penjabarannya dalam perundang-undangan
nasional) maupun lembaga-lembaga pendukung, termasuk dalam hal ini perlindungan
hak asasi manusia. Peran masyarakat dan mekanisme
operasi lembaga-lembaga tersebut dalam mewujudkan tuntutan HAM dalam kehidupan
sosial politik negara yang bersangkutan, sesuai dengan kesepakatan dan standar
masyarakat internasional yang tertuang dalam instrumen internasional. Komitmen
terhadap pelaksanaan HAM ini penting bagi negara yang bersangkutan, jika negara
yang bersangkutan tidak ingin dikucilkan dari masyarakat internasional[3]
Indonesia sebagai satu negara demokrasi mau tidak mau dihadapkan juga
pada isu-isu yang muncul akibat modernisasi dan globalisasi itu, seperti isu
tentang bagaimana perlindungan HAM dan peran serta masyarakat dalam penegakan
HAM di Indonesia. Dampak modernisasi dan globalisasi ini bagi Indonesia
memunculkan wajahnya yang khas Indonesia. Mengapa demikian? Keunikan tersebut
muncul karena karakteristik struktur masyarakat Indonesia, masyarakat yang
sangat majemuk dan sangat heterogen sudah barang tentu akan membuahkan
keanekaragaman pengakomodasian modernisasi, dan globalisasi. Satu sisi, masih
dapat ditemui kelompok-kelompok masyarakat yang agraris tradisional atau
mungkin agraris modern, ada pula kelompok masyarakat yang sudah berada dalam
taraf kehidupan industrial, namun ada pula masyarakat yang sudah berada dalam
kehidupan modern dan global, Masyarakat Prismatik. Kondisi
masyarakat demikian sudah barang tentu pada satu sisi akan dihadapkan pada
situasi kehidupan yang relatif "rentan" terhadap berbagai masalah
yang muncul dan bersumber pada arus modernisasi dan globalisasi, dan pada sisi
lain, menampilkan wajah kehidupan hukum (sistem dan penegakan hukumnya) yang
“canggung” menghadapi tuntutan modernisasi dan globalisasi itu. Perbenturan
(kalau boleh dikatakan demikian) antara nilai-nilai kehidupan agraris
tradisional dengan nilai-nilai kehidupan modernisasi dan globalisasi serta
kecanggungan "sikap" penegakan hukum dalam menghadapi situasi itu,
tentunya akan menampakkan permasalahan hukum dan kemasyarakatan yang khas di
Indonesia.[4]
Dalam melihat kondisi penegakan hukum terhadap HAM, akan digunakan
pendekatan hukum progresif. Penggunaan hukum progresif dan bukan positivisme,
karena Satjipto Rahardjo menyimpulkan bahwa salah satu penyebab menurunnya
kinerja dan kualitas penegakan hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma
positivisme dengan formalitas yang melekat.[5] Dalam
pandangan hukum progresif, inilah yang disebut sebagai kebijakan yang tidak
memberikan manfaat sosial bagi masyarakat, dan seolah-olah ekonomi hanyalah
death knob bagi kepentingan masyarakat pada umumnya.
Paradigma
hukum progresif sangat menolak aliran berarti ini yang berpusat pada aturan /
mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalikkan pemahaman ini.
Kejujuran dan ketulusan mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan
dedikasi untuk membawa keadilan menjadi semangat penegakan hukum. Kepentingan
manusia (kesejahteraan dan kebahagiaan mereka) menjadi titik orientasi dan
tujuan akhir hukum. Penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.[6]
Sedangkan pendekatan hukum secara historis, memandang pertelaahan sejumlah
peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara
kronologis, jadi adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun
disebut “anti quiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah
suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang
bergerak; bukan mati, melainkan hidup.[7] Dan filsafat teori hukum
kodrat adalah kesatuan dengan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, sosiologi
hukum selalu menghubungkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.[8] Hal ini berbeda dengan teori realisme
hukum yaitu teori yang lahir dari teori empirisme yang digabung David Hume
menjadi pengetahuan yang pada hakikatnya memiliki pandangan bahwa hukum
diperoleh dalam realitas empiris (real). Empirisme menolak pengetahuan yang
hanya mengandalkan penalaran logis dalam gaya rasionalisme abad ke-18. Itu
tidak dapat diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide ini perlu dikonfirmasi
di dunia empiris. Di situlah kebenaran sejati dapat dicapai.[9]
1.2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dapat diambil
adalah
1. Bagaimana Pengaturan Hak Asasi
Manusia dalam Konsep Hukum di Indonesia?
2. Bagaimana permasalahan hak asasi
manusia berdasarkan pendekatan hukum progresif?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengaturan
Hak Asasi Manusia dalam Konsep Hukum di Indonesia
1.1 HAM
dan Hukum Islam
Dalam
Islam, Nabi Muhammad telah memperkenalkan hak asasi manusia. Nabi terakhir juga
dikenal sebagai pemimpin negara dan pemimpin politik yang memperhatikan hak-hak
warga negaranya. Dikatakan bahwa ketika nabi berhijrah ke Madinah, ia
menyatakan Piagam Madinah untuk menyatukan masyarakat majemuk. Piagam ini
merupakan kesepakatan komprehensif antara warga Madinah, sebagai konstitusi
negara Islam Madinah.[10]
Dokumen perjanjian ini tidak hanya berisi kewajiban warga negara
mengenai pembelaan dan perlindungan negara, tetapi juga berisi jaminan hak
asasi manusia atas kebebasan berpikir dan kebebasan beribadah. Perlindungan
kehidupan dan harta benda juga diakui pada waktu itu dan kejahatan dalam segala
bentuknya dilarang oleh hukum..[11]
Piagam Madinah adalah bentuk dari cita-cita Islam akan kemaslahatan
umat. Islam sangat akomodatif dengan kemaslahatan umat. Imam
al-Ghazali (w.1111M), ulama besar Islam, merumuskan lima tujuan
dasar syariat Islam yaitu:[12]
a. Menjamin hak kelangsungan
hidup (hifz al-nafs)
b. Menjamin hak kebebasan beropini
dan bereskpresi (hifz alaql)
c. Menjamin hak kebebasan
beragama (hifz ad-din)
d. Menjamin hak kebebasan reproduksi
untuk kelangsungan hidup manusia (hifz an-nasl)
e. Menjamin hak properti dan
harta benda (hifz al-maal).
Perundang-undangan HAM dalam Islam tidak saja muncul dari konsepsi
ulama. Islam memiliki sumber hukum absolut sebagai legitimasinya,
yakni al-Quran. Allah menjamin HAM. Dalam al-Quran, HAM diajarkan.[13]
Dalam kajian Islam pun dikenal istilah hak manusia dengan manusia
(huquq al-„ibad). Di sana HAM terbagi dua. Pertama HAM yang
diselenggarakan negara. Kedua, keberadaannya tidak secara langsung
diselenggarakan oleh negara. Hak yang pertama disebut sebagai hak-hak legal,
dan yang kedua disebut hak-hak moral. Perbedaan keduanya terletak pada soal
pertanggungjawaban negara.
Adapun dalam soal sumber asal, sifat dan pertanggungjawaban hak di
hadapan Allah adalah sama. Dengan kata lain, menurut pandangan Islam, setiap
pelanggaran HAM tidak saja dipertanggungjawabkan di depan manusia, tetapi juga
akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.[14]
1.2 Hak
Asasi Manusia dalam Negara Hukum Pancasila
“Saya
minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham
indivialisme itu. Janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar
kita yang dinamakan “rights of the citizen‟ sebagai yang dianjurkan
oleh Republik Prancis itu adanya.”[15] Demikian
disampaikan Soekarno dalam rapat panitia kecil pembentukan Undang-Undang Dasar.
Soekarno tidak menghendaki perlindungan HAM masuk dalam tubuh konstitusi
Indonesia. Alasannya, HAM tidak signifikan dalam pembangunan Negara Indonesia.
“Kita menghendaki keadilan sosial”, imbuhnya. “Buat apa kita bikin grandwet,
apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati
kelaparan. “Grandwet‟ yang berisi “droit de I‟lhomme et du citoyen‟ itu
tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati
kelaparan.”[16]
Soekarno berpikir bahwa negara Indonesia harus menyiapkan kesejahteraan berdasarkan gagasan kekeluargaan. Bukan individualisme. Jaminan hak asasi manusia, dalam pandangan Soekarno saat itu, tidak lebih dari liberalisme. Pernyataan Soekarno ditulis dengan jelas oleh Muhammad Yamin. Tak hanya Soekarno, Soepomo juga memiliki sikap yang sama.
“Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain dari pada mengandung
sistem kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukkan dalam Undang-Undang Dasar
beberapa Pasal tentang bentuk menurut aliran-aliran yang bertentangan. Misalnya
dalam Undang-Undang Dasar kita, tidak bisa memasukkan Pasal yang tidak
berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali
memasukkan. Di kemudian hari mungkin, umpamanya negara bertindak
sewenang-wenang. Akan tetapi jikalau hal itu kita masukkan sebetulnya pada hakikatnya
Undang-Undang Dasar itu berdasar atas sifat perseorangan, dengan demikian
sistem Undang-Undang Dasar bertentangan dengan konstruksinya, hal itu sebagai
konstruksi hukum tidak baik, jikalau ada kejadian bahwa pemerintah bertindak
sewenang-wenang.”[17]
Jika diperhatikan lebih jauh, pandangan Soekarno dan Soepomo di atas
amat dekat dengan pandangan negara integralistik. Hal ini disampaikan Jimly
Assiddiqie. “...baik Soekarno maupun bagi Soepomo, paham kenegaraan yang
dianggap paling cocok adalah paham integralistik, seperti yang tercermin dalam
sistem pemerintahan desa-desa yang dicirikan dengan kesatuan hidup dan kesatuan
kawulo gusti. Dalam model ini, kehidupan antarmanusia dan individu dilihat
sebagai suatu kesatuan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh ada
dikotomi antara negara dan individu warga negara, dan tidak boleh ada konflik
di antara keduanya sehingga tidak diperlukan jaminan apapun atas hak-hak dan
kebebasan fundamental warga negara terhadap negara.”[18]
Meski begitu, pendapat keduanya tidak langsung diamini menjadi
konstitusi negara Indonesia. Hatta, yang juga hadir dan menjadi anggota perumus
UUD, berpendapat lain. “Ada baiknya dalam salah satu Pasal,
misalnya Pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak yang
sudah diberikan, misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan
suaranya. Yang perlu disebutkan di sini hak untuk berkumpul dan bersidang atau
menyurat dan lain-lain. Formuleringnya atau redaksinya
boleh kita serahkan kepada panitia kecil. Namun tanggungan ini perlu untuk
menjaga, supaya negara kita tidak menjdi negara kekuasaan, sebab kita
mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat.”[19]
Hatta bukannya tidak menyetujui paham kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Lebih daripada itu, pernyataan Hatta mengingatkan perumus
konstitusi negara lainnya. Kedaulatan rakyat adalah dasar negara Indonesia.
Negara berdasarkan pada kedaulatan rakyat meniscayakan pada keutuhan warga
negara sebagai manusia. Maka wajiblah negara menjamin keberadaan rakyat tersebut,
termasuk hak-haknya.
Hak-hak warga negara perlu dijamin dalam konstitusi. Hal ini disebutkan agar negara tidak jatuh ke dalam keadaan kekuasaan. Pengalaman internasional telah menunjukkan bukti kekejaman kekuasaan negara. Negara Indonesia lahir di tengah hiruk-pikuk perang dunia internasional dan memiliki pengalaman buruk dengan negara totaliter yang menyebabkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengalaman sejarah ini membentuk makna perdebatan antara para pemimpin negara ini dalam merumuskan konstitusi Indonesia. Soekarno dan Soemopo yang awalnya menolak jaminan HAM dalam konstitusi mengakui perlunya memasukkan pasal-pasal yang menjamin HAM warga negaranya. Hasilnya adalah tujuh pasal dalam UUD 1945 yang menjamin dan mengamanatkan perlindungan hak asasi manusia dalam filsafat hukum Indonesia.
Meskipun ketujuh Pasal tersebut masih tergolong minim jika diukur dengan
konsep universalitas HAM,[20] patut
menyadari demikian adalah tonggak pertama Perlindungan HAM dan konstitusi
Indonesia. Tonggak pertama yang memancing aturan dan Pasal-pasal perihal
perlindungan HAM lain di kemudian hari.
Hasil lain dari perdebatan ini adalah bentuk konstitusional penuh dari negara hukum Indonesia. Konstitusi Indonesia unik karena didasarkan pada aturan hukum liberal-demokratis radikal dan tidak jatuh ke dalam negara totaliter. Aturan hukum Indonesia adalah aturan hukum Pancasila, di mana perlindungan hak asasi manusia adalah fitur konstitusionalismenya.
Setelah penggulingan pemerintahan totaliter Orde Baru oleh mahasiswa pada Mei 1998, dan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, angin segar reformasi hukum di Indonesia bertiup. Dorongan untuk memasukkan hak asasi manusia secara lebih rinci dalam konstitusi Indonesia kembali mengemuka. B.J. Habibie, sebagai presiden yang menggantikan Soeharto, bergerak cepat dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
Sebenarnya, dorongan konstitusionalitas HAM sudah berlangsung sejak jatuhnya kepemimpinan Soekarno pada 1966. Diskusi tentang konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia muncul di Sidang Umum MPRS 1968 pada awal Orde Baru. MPRS pada waktu itu telah membentuk Panitia Ad Hoc untuk persiapan hak asasi manusia. Hasilnya adalah draft Keputusan MPRS tentang Piagam Hak dan Kewajiban Warga Negara. Sayangnya, draf tersebut tidak berhasil diajukan ke sidang MPRS untuk disahkan sebagai TAP MPRS.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok
materi muatan konstitusi, yaitu:
a. Perlindungan terhadap HAM
b. Susunan ketatanegaraan yang
mendasar
c. Pembagian dan pembatasan
tugas-tugas ketatanegaraan yang mendasar.
Dalam konstitusi yang telah disahkan tersebut, yang terdiri dari
pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan, Pancasila tercantum dalam alinea ke
empat pembukaan. Dalam kedudukan yang demikian, pembukaan mengandung segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya adalah, Pancasila dapat dipaksakan
berlakunya (oleh negara), sedangkan segi negatifnya adalah pembukaan dapat
diubah oleh majelis pemusyawaratan Rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD
1945.[21]
Konstitusionalisme Negara Pancasila semakin kuat setelah reformasi 1998. Amandemen kedua UUD 1945 dilakukan terhadap tujuh substansi, dimana substansi fundamental yang menjadi titik tumpu adalah pencantuman ketentuan HAM yang lebih luas. Ini dipisahkan menjadi bab terpisah, yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari Pasal 28A hingga 28J..[22] Jimly
menyatakan, “Perumusan tentang HAM dalam konstitusi Republik Indonesia dapat
dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu
Undang-Undang Dasar paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan
perlindungan hak-hak asasi manusia.”[23]
Reformasi memang karunia tersendiri bagi hukum HAM di Indonesia. Perubahan undang-undang dari Orde Baru mendorong pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan perlindungan hak asasi manusia. Akibatnya, selain amandemen kedua UUD 1945, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dihasilkan. Ditambah dengan hasil amandemen kedua, ketiga undang-undang HAM ini merupakan satu paket hukum, sekaligus pandangan kenegaraan, tentang HAM di Negara Pancasila.
1.3 Pengaturan
Hak Asasi Manusia dalam Konsep Hukum di Indonesia
Setelah penggulingan pemerintahan totaliter Orde Baru oleh mahasiswa pada Mei 1998, dan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, angin segar reformasi hukum di Indonesia bertiup. Dorongan untuk memasukkan hak asasi manusia secara lebih rinci dalam konstitusi Indonesia kembali mengemuka. B.J. Habibie, yang menggantikan Soeharto sebagai presiden, bergerak cepat untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
Sebenarnya, dorongan konstitusionalitas HAM sudah berlangsung sejak jatuhnya kepemimpinan Soekarno pada 1966. Diskusi tentang konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia muncul di Sidang Umum MPRS 1968 pada awal Orde Baru. MPRS pada waktu itu telah membentuk Panitia Ad Hoc untuk persiapan hak asasi manusia. Hasilnya adalah draft Keputusan MPRS tentang Piagam Hak dan Kewajiban Warga Negara. Sayangnya, draf tersebut tidak berhasil diajukan ke sidang MPRS untuk disahkan sebagai Tap MPRS..[24]
BJ Habibie tak punya pilihan lain selain merespon semangat reformasi.
Seiring dengan masuknya kekuatan kalangan pro-demokrasi ke dalam parlemen,
wacana konstitualitas perlindungan HAM semakin kuat. Hasil pertama adalah ketok
palu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1999 tentang HAM. Wacana konstitualitas
perlindungan HAM tidak lagi pada perdebatan teori HAM, namun sudah meningkat
pada pemasukan Pasal-pasal perlindungan HAM ke dalam UUD.
Sebelum amandemen UUD bergulir, Habibie sudah mengajukan RUU HAM ke DPR.
Tidak berselang lama. Pada 23 September 1999 dicapailah konsensus pengesahan UU
HAM tersebut, yakni UU Nomor 39 Tahun 1999. Maka dengan diamandemennya UUD
1945, jadilah ketiganya sebuah paket landasan –baik filosofis, politis, dan
yuridis hukum HAM di Indonesia.
Terkait perubahan kedua UUD 1945, dimana rumusan HAM dijelaskan khusus
dalam bab tersendiri, bab X. Majda El-Muhtaj mengatakan, “Muatan HAM dalam
perubahan kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur dalam UUD
1945. Selain karena terdapatnya satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan
Pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik secara pribadi maupun
sebagai warga negara Indonesia. Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 dapat
dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konsitusi atas penegakan hukum dan
HAM di Indonesia.”[25]
Selanjutnya, jika dirumuskan dalam poin materi hak asasi manusia yang
telah diadopsikan tersebut dalam UUD, dapat temukan 27 materi, yaitu:[26]
1) Setiap orang berhak hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.[27]
2) Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.[28]
3) Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.[29]
4) Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas setiap dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.[30]
5) Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negra dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.[31]
6) Setiap orang berhak atas kebebasan
menyakini kepercayaan , menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya.[32]
7) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.[33]
8) Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan jenis saluran
yang tersedia.[34]
9) Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman dan ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai yang merupakan
hak asasi.[35]
10) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.[36]
11) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
memperoleh pelayanan kesehatan.[37]
12) Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.[38]
13) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara untuh sebagai manusia yang bermartabat.[39]
14) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.[40]
15) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperloleh ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejateraan umat manusia.[41]
16) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.[42]
17) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.[43]
18) Setiap orang berhak untuk berkerja serta mendapatkan
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.[44]
19) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.[45]
20) Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak
setiap orang untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.[46]
21) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa.[47]
22) Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral
kemanusiaan yang diajarkan setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.[48]
23) Perlindungan, pemajuaan penegakan dan pemenuhan HAM
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.[49]
24) Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi HAM, sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin,
diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan.[50]
25) Untuk menjamin pelaksaan Pasal 4 ayat (5) di atas,
dibentuk komisi nasional HAM yang bersifat independen menurut ketentuan yang
diatur dengan undang-undang.[51]
26) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang diterapkan dalam UU dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan
moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.[52]
Dua puluh tujuh materi HAM dalam Konstitusi Indonesia ini, jika
diparalelkan dengan Pasal-pasal dalam TAP MPR XVII/1998 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia dapat ditemukan intisari
materi hak yang dijamin dalam hukum Ham Indonesia.
Jimly Asshiddiqie, sarjana hukum Indonesia, mengategorikan materi hak
asasi manusia Indonesia pada empat kategori pokok. Keempat kategori tersebut
didasarkan pada paket hukum HAM yang telah disebutkan di atas. Keempat pokok
materi tersebut adalah:[53]
a. Materi hak sipil yang dapat
dirumuskan menjadi:[54]
1) Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan kehidupannya
2) Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi,
dan merendahkan martabat manusia
3) Setiap orang berhak untuk bebas
dari perbudakan
4) Setiap orang berhak untuk beragama
dan beribadat menurut kepercayaan agamanya
5) Setiap orang berhak untuk bebas
memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani
6) Setiap orang berhak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum
7) Setiap orang berhak atas perlakuan
yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan
8) Setiap orang berhak untuk tidak
dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut
9) Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan berdasarkan perkawinan yang sah
10) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
11) Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di
wilayah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya
12) Setiap orang berhak untuk mendapatkan suaka politik
13) Setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan
diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif tersebut
b. Materi hak-hak ekonomi, politik,
sosial dan budaya
1) Setiap warga negara berhak untuk
berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
2) Setiap warga negara berhak untuk
memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
3) Setiap warga negara dapat diangkat
untuk menduduki jabatanjabatan publik.
4) Setiap orang berhak untuk
memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
5) Setiap orang berhak untuk bekerja,
mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang
berkeadilan.
6) Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi.
7) Setiap warga negara berhak atas
jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan
dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
8) Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi.
9) Setiap orang berhak untuk
memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
10) Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan umat manusia.
11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan
hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa.[55]
12) Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari
kebudayaan nasional.
13) Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral
kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya
c. Materi hak-hak khusus dan
pembangunan
1) Setiap warga negara yang
menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang
hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan yang sama.
2) Hak perempuan dijamin dan
dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
3) Hak khusus yang melekat pada diri
perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi
oleh hukum.
4) Setiap anak berhak atas kasih
sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara
bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya.
5) Setiap warga negara berhak untuk
berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh
dari pengelolaan kekayaan alam.
6) Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
7) Kebijakan, perlakuan atau tindakan
khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan
perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat
perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) Pasal ini, tidak termasuk dalam
pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
d. Materi tanggung jawab negara dan
kewajiban hak asasi manusia
1) Setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2) Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan
dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
3) Negara bertanggung jawab atas
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
4) Untuk menjamin pelaksanaan hak
asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat
independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya diatur
dengan undang-undang.
2. Permasalahan
Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pendekatan Hukum Progresif
Munculnya bentuk-bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai Hak Asasi
Manusia atau bangsa di bumi ini, di latarbelakangi oleh suatu egoisme
kepentingan pribadi atau bangsanya, sehingga mengakibatkan memandang rendah
nilai-nilai Hak Asasi Manusia ataupun bangsa lain, sehingga timbul suatu bentuk
penindasan atau perbudakan dalam bentuk lain : kekayaan dan kekuasaan di
pergunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang zhalim dan merugikan
kepentingan-kepentingan manusia lain, yang akhirnya merendahkan dan mendiskriminasikan
martabat dan nilai-nilai luhur manusia.
Hak Asasi Manusia dalam Agama Islam lahir bersamaan dengan ucapan tauhid
pada saat seorang muslim mengikrarkan iman kepada Allah yang tiada sesembahan
selain DIA, tiada sumber hukum dan kekuasaan tertinggi selain DIA, pada saat
itu pulalah runtuh keberhalaan serta segala bentuk manifestasinya, baik yang
berupa kekayaan, politik maupun sosial.[56]
Namun sebenarnya manusia sudah memperoleh haknya sejak saat ia berada di
dalam rana kandungan. Manusia memperoleh hak hidup dari Allah SWT sejak saat
ditiupkan sebuah ruh kedalam jasadnya. Jadi tidak ada keraguan dan kebimbangan,
bahwa sesungguhnya dengan menyakini ke Esa-an Allah dan kekuasannya atas
seluruh makhluk hasil ciptaan-Nya, termasukpengurusan-Nya atas segala sesuatu,
dan kesadaran bahwa hanya Allah sejalan yang berkuasa untuk mendatangkan
manfaat dan mudhorat, yang berkuasa merugikan dan menjatuhkan nilai dan
martabat manusia, berkuasa memberi dan mencegah semuanya itu menegaskan
kemerdekaan dan kebebasan manusia yang seluas-luasnya, yaitu kemerdekaan yang
membuat manusia tidak memperdulikan “thaghut” manapun dimuka bumi
ini, sebab betapun kejamnya
“Dalam upaya perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia, pemerintah mempunyai tugas untuk menghormati, melindungi, menegakkan
dan memajukannya. Upaya yang dilakukan pemerintah di antaranya melakukan
langkah implementasi efektif dan konkrit atas berbagai instrumen hukum maupun
kebijakan di bidang hak asasi manusia dari segi hukum, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta segi lain yang terkait. Bukan
hanya sekadar retorika politik ataupun dekorasi hukum.”[57]
Demikian disampaikan Philip Alston dalam bukunya Hukum Hak Asasi
Manusia. Konstitusi kita pun mengamatkan demikian. Disebutkan dalam Pasal 28I
ayat (4) UUD 1945 amandemen kedua, Perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Penegakan hukum yang tidak diskriminatif adalah keniscayaan negara
hukum. Setiap problematika konflik mesti diselesaikan dengan hukum dan
perundangan-undangan yang berlaku. Konflik yang termanifestasi, seperti
demonstrasi, pemecatan dan mogok mesti terang dalam kerangka hukum.
Membeda-bedakan sebuah kelompok dengan kelompok lain dalam prosedur hukum
adalah bentuk pelanggaran serius, karena bertentangan dengan semangat Hukum
Indonesia, juga dengan hukum HAM.
Mekanisme perselisihan sedapatnya diselesaikan dengan musyawarah untuk
mufakat. Penyelesaian dengan jalan yang disebutkan belakangan ini juga bagian
dari ciri demokrasi di masyarakat kita yang majemuk. Mengadopsi jalan ini
sebagai upaya utama dan pertama sekali dalam penanganan konflik sosial, menurut
penyusun, adalah langkah maju pemerintah dalam menghargai hak sipil dan komunal
masyarakat Indonesia.
Mengingat persoalan konflik sosial juga persoalan yang sarat dengan isu
pembangunan dan erat kaitannya dengan hak atas kesejahteraan, pemerintah
hendaknya tetap menaruh prioritas pada pemenuhan hak pribadi masyarakat secara
umum. Paradigma yang diletakkan hendaknya tidak memprioritasnya satu kelompok.
Tidak tercerminnya materi kesamaan hak atas mengakses dan menikmati sumber daya
alam –yang juga bagian dari faktor konflik- adalah kelemahan. Apalagi dengan
menggunakan musyawarah sebagai jalan untuk memuluskan satu kelompok dengan
jelas-terang, seperti pelaku usaha, dalam perundang-undangan konflik sosial
jelas telah menciderai semangat perlindungan HAM.[58]
Tentu hal diatas mengingatkan, dan mengukuhkan kembali, kegelisahan
Todung Mulya Lubis. Ia mengatakan, “Hak Asasi Manusia dan pembangunan
seringkali sukar berjalan bersama. Untuk mencapai tujuan pembangunan, beberapa
hak asasi manusia sering ditunda pemenuhannya, atau kalau mau memenuhi hak
asasi manusia maka konsekuensi logis adalah terlambatnya laju pembangunan.”[59]
Nasaruddin Umar mengatakan, salah satu ciri hukum modern Indonesia
adalah hukum plural yang mengayomi persamaan dan keberagamaan, suku, ras,
agama dan adat istiadat. Artinya hukum modern Indonesia mengakar mengakar
pada kesadaran hukum masyarakat yang sinergis. Hukum mensinergikan berbagai
kekhususan dan keistimewaan, baik satuan daerah istimewa maupun kesatuan
masyarakat adat istiadat dan syariat agama. Hukum modern Indonesia adalah hukum
yang responsif dan visioner terhadap kebutuhan hukum dan perkembangan serta
dinamika masyarakat, baik pengaruh dari budaya luar maupun dalam budaya
indonesia sendiri, seperti demokrasi, HAM, dan hukum lokal lainnya.[60]
Argumentasi Umar di atas mengamini perkembangan Undang- Undang ini
sebagai sebuah produk hukum Indonesia yang modern. Indikasi tersebut bisa kita
perhatikan di Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2). Pengakuan pemerintah pada
penyelesaian konflik dengan mekanisme adat/pranata sosial adalah langkah maju
dalam perkembangan Hukum HAM Indonesia, yang juga mencerikan hukum modernnya.
Pengakuan dan peran kuat yang diberikan pada mekanisme dan pranata adat telah
mengamini asas hukum hak Indonesia.
Citra penanganan konflik sosial yang sarat dengan pelanggaran HAM cukup
kuat diantisipasi dengan melibatkan publik dalam mekanisme penanganan konflik.
Di samping untuk menjaga hak politik mereka, berupa hak untuk menentukan
pilihan apa yang diambil sebagai jalan keluar terbaik, membawa serta publik
akan membuat masyarakat menjadi lebih dewasa. Publik dapat menyelesaikan
konflik dan pertikaian mereka sendiri, tanpa bantuan kekuasaan lain, seperti
militer dengan pendekatannya.
Jika model penanganan konflik konflik terbuka dilaksanakan dengan
memfasilitasi hak publik adalah upaya menyelenggarakan problem
solving dalam penanganan konflik sosial. Ini jelas berbeda dengan
bertanding (contending) yang mengunggulkan satu pihak, pemerintah atau
satu kelompok tertentu. Berbeda pula dengan memaksa satu kelompok untuk kalah (yielding)
dan mendiamkan (inaction). Khusus pendekatan yang disebutkan belakangan,
jika dilakukan oleh pemerintah jelas adalah sebuah pelanggaran HAM. Memberikan
hak politk publik untuk berpartisipasi dalam penanganan konflik sosial juga
dapat dimaknai sebagai bentuk peningkatan demokrasi. Mengikutsertakan
masyarakat sebagai aktor penyelenggara penanganan, dapat membuat masyarakat
bertanggung jawab dalam mengembangkan pembangunan negara bangsa. Demikian
disampaikan Mansyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, dengan mengutip Jeffery
Paige. Mereka juga menyatakan, tinggi-rendahnya kepercayaan yang diberikan
kepada masyarakat, dengan kesadaran mereka, berakibat sama dengan tinggi
rendahnya rasa tanggung jawab masyarakat tersebut kepada negara.[61]
Undang-Undang ini telah memperlihatkan kepercayaan itu, dengan membawa
peran masyarakat dalam satuan penanganan konflik sosial. Setelah mekanisme adat
tidak mampu lagi menjawab konflik terbuka, peran masyarakat diharapkan
berlanjut dalam satuan itu. Namun jika kita perhatikan hak publik yang
diberikan dalam undangundang ini hanya sebatas pada hak ikut serta dalam
mekanisme penanganan konflik sosial. Ada hak publik lainnya yang berpotensi
gagal didapatkan dengan penanganan dalam undang-undang ini ketika konflik
terbuka.
Hak publik tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi ketika
konflik terbuka. Potensi tidak terpenuhinya dan terganggunya hak dan lalu
lintas informasi untuk publik ini bisa terjadi karena pasal yang membenarkan
pemerintah untuk menutup wilayah konflik dari orang luar, atau orang luar untuk
keluar dari wilayah konflik. Pasal-pasal ini adalah tantangan serius bagi
penyedia hak informasi dari publik, yakni media massa. Pasal-pasal ini bisa
dijadikan alasan oleh pemerintah untuk melarang pers ambil bagian dalam
tugasnya di wilayah konflik. Padahal kita menyadari media massa juga punya
peran dalam penegakan demokrasi dan publik, termasuk menjernihkan suasa
konflik.
Tetap terjaminnya hak manusia pasca konflik adalah tugas serius. Jika
kita amini persoalan konflik adalah persoaalan krisis dalam mengakses hak
asasi, tentu tidak boleh lagi hal serupa terjadi setelah konflik terbuka. Pasca
konflik, meskipun menjadi bagian terakhir dalam mekanisme penanganan konflik
sosial, adalah tantangan serius pemerintah dalam perspektif HAM.
Konflik Sosial adalah gambaran terganggunya eksistensi hukum dan
pemerintahan. Hukum pada mulanya gagal meredam potensi konflik dan menjadi
perseteruan fisik masyarakat. Tentu citra hukum, sebagai pondasi jaminan hak
asasi manusia mesti terpulihkan. Pemerintah berkewajiban melakukan perundingan
dengan kelompok konflik secara damai, sebagai bentuk rekonsiliasi. Upaya ini
juga dapat dilakukan dengan pemberian ganti rugi dan mengajak masyarakat untuk
saling memaafkan. Selain upaya rekonsiliasi, upaya lain juga diamanahkan
undang-undang, yakni rekonstruksi dan rehabilitasi.
Jika kita perhatikan Pasal 36-39 yang berisikan tiga upaya pemerintah
tersebut, fokus utamanya adalah pada pemenuhan hak yang sempat tertunda ketika
konflik terbuka. Namun upaya tersebut tidak memperlihatkan secara tegas
perlindungan atas hak yang terganggu dan menjadi faktor konflik sosial.
Faktornya, sebagaimana dijelaskan secara garis besar dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, juga
disebabkan gangguan pada akses hak atas hukum dan perolehan sumber daya alam. Undang-Undang
Penanganan Konflik Sosial tidak mendorong penyelenggaraan penanganan pasca
konflik ke ranah pengadilan atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi yang terjadi
ketika pra dan konflik terbuka. Upaya-upaya yang diamanahkan undang-undang
adalah upaya perdamaian dan pemulihan hak. Tidaklah upaya memastikan
pelanggaran hak yang sempat terjadi pra dan konflik untuk diadili dan diketahui
sebagai ketidakadilan.
Di sini diketahui konflik terbuka diredam kembali pasca konflik. Artinya
konflik terbuka tidak melulu mesti diselesaikan, bisa saja dikembalikan pada
konflik laten, yang terpendam. Hal ini dimungkinkan karena tidak terjawabnya
kegagalan pemenuhan hak yang menjadi faktor konflik terbuka. lewat mekanisme
pengadilan yang mempunyai keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Penerapan hukum kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia ini
berpedoman pada Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia, di mana dalam Undang-undang tersebut disebut tentang pengadilan ad hoc
yang dipakai untuk mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Negara Indonesia dalam menghormati, melindungi, dan memajukan HAM
bagi warganegaranya, kemudian disahkan sejumlah UU seperti: UU No. 8/1999
tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU No. 39/1999 tentang HAM;UU No.
26/2000 tentang Pengadilan HAM; Amandemen berbagai UU untuk diselaraskan dengan
prinsip-prinsip HAM, seperti UU Parpol, UU Kekuasaan Kehakiman, pencabutan
Penpres No. 11/1963, dsb. Dan diiluncurkannya Rencana Aksi Nasional HAM
(RAN-HAM) dalam rangka memberikan jaminan bagi peningkatan pemajuan dan perlindungan
HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan
agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
Haidan, Abdullah AlHabsyi, M. Ali, Hak-Hak Sipil Dalam Islam: Tinjauan
Kritis Tekstual dan Kontekstual atas Tradisi Ahlul Baits, Jakarta : Al Huda
2004
Bambang
Heri Supriyanto, “Penegakan Hukum Mengenai
Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal AL-AZHAR Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol . 2, No. 3, Maret 2014.
Bernard
L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Semarang: Genta
Publising, 2003
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Makalah untuk studium
general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum
for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005
Musdah Mulia, Islam & HAM, Konsep dan Implementasi, Yogyakarta:
Naufan Pustaka, 2010
Makhrur Adam Maula, Konsepsi HAM dalam Islam, antara
Universalitas dan Partikularitas, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015
Mansyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dinamika,
Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan Sosial, Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, Edisi III- 2010
Muhammad Yamin, Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: Prapantja, 1959
Muhammad Yamin, Proklamasi dan konstitusi Republik
Indonesia Jakarta/Amsterdam: Penerbit Djambatan, cetakan kedua Mei
1952
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,
Jakarta: Kencana, cetakan-III 2009
Nasarudin Umar, “Konsep Hukum Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan,
integrasi sistem hukum agama dan sistem hukum nasional”, penelitian
diterbikan Jurnal Walisongo, volume 22 Nomor 1 2014
Seodjono
Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002
Satjipto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto
Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia Kompas,
Jakarta, 2003
Sudjiono
Sastroatmojo, “Konfigurasi
Hukum Progresif”, Jurnal
Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005
Soerjono
Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung: Alumni, 1986
Satjipto
Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002
Syaukat Hussain, HAM dalam Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan
Pandangan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014
Todung Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Kita, Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1982
Yulia
Neta, “Partisipasi Masyarakat
Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Di Negara Demokrasi Indonesia”, Monograf, Vol. 1, 2013
[1] Bambang
Heri Supriyanto, “Penegakan Hukum Mengenai
Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal AL-AZHAR Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol . 2, No. 3, Maret 2014, hal. 151
[2] Abu Haidan, Abdullah
AlHabsyi, M. Ali, Hak-Hak Sipil Dalam Islam: Tinjauan Kritis Tekstual
dan Kontekstual atas Tradisi Ahlul Baits, Jakarta : Al Huda 2004, hal. 40
[3] Yulia
Neta, “Partisipasi Masyarakat
Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Di Negara Demokrasi Indonesia”, Monograf, Vol. 1, 2013, hal. 2
[4] Seodjono
Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002, hal. 32
[5] Satjipto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 h.
10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di
Indonesia (Kompas, Jakarta, 2003), h. 22-25.
[6] Sudjiono
Sastroatmojo, “Konfigurasi
Hukum Progresif”, Jurnal
Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, h 186.
[7] Soerjono
Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hal. 9
[8] Satjipto
Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 12.
[9] Bernard
L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta
Publising, 2003), hlm. 165.
[10] Dengan mengutip Majid Khadduri,
law of war and peace in Islam, (london 1940), Hussain menulis, suatu
penyelidikan yang cermat terhadap teks Piagam Madinah menunjukkan
perjanjian ini sebenarnya lebih dari sekadar perjanjian persekutuan. pada
bagian pertama sungguh menunjukkan kepada kita lebih dari usaha rekonsiliasi
antara suku-suku. Hal ini pada hakikatnya merupakan suatu perjanjian untuk
meleburkan semua usaha persaingan antar suku Arab di dalam kota Madinah guna
membentuk suatu bangsa berbeda dari bangsa yang lain. Dengan kata lain,
Perjanjian ini merupakan konstitusi sebuah negara Islam pada tingkat embrionya
dan bukan merupakan sebuah persekutuan yang longgar antar suku. Lihat Syaukat
Hussain, HAM dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm.
26.
[11] Ibid., hlm. 27.
[12] Kelima hak dasar tersebut
kemudian dikenal dengan al-kulliyah al-khamsah, maksudnya
keseluruhan syariat agama dibangun untuk melindungi hak dasar tersebut. Lihat
Musdah Mulia, Islam & HAM, Konsep dan Implementasi, (Yogyakarta:
Naufan Pustaka, 2010), hlm. 11.
[13] Di antara perlindungan HAM
dalam alquran adalah hak untuk hidup (al-Isra‟/17:33; al-An‟am/6;151),
hak milik (al-Baqarah/2;188; an-nisa‟/4;29), hak
perlindungan kehormatan (an Hujarat/49;11-12), hak perlindungan keamanan
(an-Nur/24:27), hak kemerdekaan (al- Hujjarat/49:6), hak
perlindungan dari kekerasan (al-An‟am/6:164), hak mengajukan protes (an-Nisa/4:148),
hak kebebasan berekspesi (Ali imran/2:104), hak berdomisili (Al-baqarah/2:84-85),
hak persamaan di depan hukum(an-Nisa:4:58), hak mendapatkan keadilan (as-Syura/42:
15), hak mendapatkan pendidikan (Yunus/10: 101),
dan hak kesetaraan gender (al-Baqarah/2:228), hak anak
(al-Baqarah/2:233).
[14] Makhrur Adam Maula, Konsepsi
HAM dalam Islam, antara Universalitas dan Partikularitas, (Yogyakarta:
Pustaka Ilmu, 2015), hlm. 31.
[15] Muhammad Yamin, Naskah
persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Prapantja, 1959) hlm. 297.
[16] Ibid., hlm 298.
[17] Ibid., hlm. 298.
[18] Jimly Asshiddiqie, Pengantar
Ilmu Hukum tata negara... hlm. 355.
[19] Ibid., hlm. 355.
[20] Perihal minimnya Pasal
perlindungan HAM, Muhammad Yamin berkomentar: “Bahwa pada waktu undang-undang
dasar 1945 dirancang pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi Pasal-Pasalnya
benci kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan demokrasi revolusioner.
Akibat pendirian ini, yaitu hak asasi tidaklah diakui seluruhnya, melainkan
diambil satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial
pada 1945, yang dipengaruhi oleh perperangan antara fasisme melawan demokrasi.
Waktu merancang konsitusi 1945, hak asasi yang lebih luas memang dimajukan,
tetapi usul itu kandas atas alasan, bahwa pada waktu itu hak asasi dipandang
sebagai kemenangan liberalisme yang tidak disukai.” Lihat Muhammad Yamin, Proklamasi
dan konstitusi Republik Indonesia (Jakarta/Amsterdam: Penerbit
Djambatan, cetakan kedua Mei 1952), hlm. 87-89.
44
[21] Sri Soemantri, Hukum
Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pandangan, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm. 331.
[22] Ketujuh substansi tersebut
adalah (1) pemerintahan daerah (2) wilayah negara (3) warga negara dan penduduk
(4) HAM (5) pertahanan dan keamanan (6) bendera, bahasa, lambang negara dan
lagu kebangsaan (7) lembaga DPR. Lebih lengkap lihat Lusia Indrastuti dan
Susanto Polamo Hukum tata Negara dan Reformasi Konstitusi di Indonesia:
Refleksi proses dan prospek di Persimpangan,...... hlm. 92.
[23] Jimly Asshiddiqie, Pengantar
Ilmu Hukum tata negara... hlm. 361.
[24] Diceritakan lebih lanjut
panitia ad hoc ini dibantu oleh satu tim asistensi ilmiah, antara lain
melibatkan Prof. Hazairin, SH, Dr. Soekiman Wirjosardjojo, A.G, Pringgodigdo
SH, Prof. Notonogoro, SH, Achmad Subardja, SH, Prof. Sunario SH, dan Prof. SJ.
N. Drijarkara. Alasan tidak disahkannya piagam HAM tersebut karena faksi Karya
Pembangunan dan ABRI mengatakan, akan lebih tepat jika piagam itu disiapkan
oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPRS yang sifatnya “sementara”. Namun
kenyataannya setelah pemilu 1971, dan MPR terbentuk, Rancangan Piagam HAM
tersebut tidak pernah diajukan kembali. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi
ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang mereka putuskan pada sidang umum MPRS
1968 itu. Lihat Rhona K.M. Smith, Hukum HAM.......hlm. 241.
[25] Majda El-Muhtaj, Hak
Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, cetakan-III
2009), hlm.113.
[26] Jimly Asshiddiqie, Hukum
Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi,.... hlm. 201-205.
[27] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28A.
[28] Ayat (2) ini berasal dari
Pasal 28B Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.
[29] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28B Ayat (2).
[30] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28I Ayat (2).
[31] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28E Ayat (1).
[32] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28E Ayat (2).
[33] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28 Ayat (3).
[34] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28F.
[35] Ayat (5) ini berasal dari
Pasal 28G Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.
[36] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28G Ayat (2).
[37] Ayat (1) ini berasal dari
Pasala 28H Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.
[38] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28H Ayat (2).
[39] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28H Ayat (3).
[40] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28H Ayat (4).
[41] Ayat (5) ini berasal dari
Pasal 28C Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.
[42] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28C Ayat (2).
[43] Ayat (7) ini berasal dari
Pasal 28D Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.
[44] Ayat (8) ini berasal dari
Pasal 28D Ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945.
[45] Ayat ini berasal dari Pasal
28E Ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945.
[46] Berasal dari rumusan Pasal 28I
Ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya mengandung kontroversi di kalangan
banyak pihak.
[47] Berasal dari Pasal 2 ayat (3)
yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan Pasal ini dengan
subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
[48] Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
[49] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28 J ayat (4).
[50] Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal
28 I Ayat (5).
[51] Konstitusi menguatkan UU
tentang HAM dan Komnas HAM
[52] Berasal dari Pasal 28 J
Perubahan Kedua UUD 1945.
[53] Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia”, Makalah untuk studium
general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum
for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005 hal. 6-9.
[54] Dalam keadaan apapun atau
bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam
materi hak-hak sipil dari “a” sampai dengan “h”. Namun, ketentuan tersebut
tentu tidak dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar
untuk membebaskan seseorang dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan
penegasan ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak
dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri
dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak kontroversi yang timbul setelah
ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang
lalu. Ibid., hlm.7.
[55] Berasal dari Pasal 28I ayat
(3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan Pasal
ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
[56] Tim Pengkajian FH di bawah
Koordinasi Lembaga Penelitian UID, Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, Ditinjau
dari Segi Pancasila dan UUD 1945 Atas Dasar Keimanan dan Ketaqwaan. 2007
[57] Philip Alston, Hukum
Hak Asasi Manusia,....... hlm. 271.
[58] Lihat Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 9 huruf (f).
[59] Todung Mulya Lubis, Hak
Asasi Manusia dan Kita, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan:
1982) hlm. 89.
[60] Nasarudin Umar, “Konsep Hukum
Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan, integrasi sistem hukum agama dan sistem
hukum nasional”, penelitian diterbikan Jurnal Walisongo, volume 22
Nomor 1 (2014), hlm 172-173.
[61] Mansyhur Effendi dan Taufani
S. Evandri, HAM dalam Dinamika, Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan
Sosial, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, Edisi III- 2010), hlm. 65-66.
The 1xbet korean betting system for real money - Sportsbook
ReplyDeleteThe first online betting 1xbet korean site and an affiliate program. The 1xbet korean betting system is one of the best sports betting platforms. The 1xbet korean betting หาเงินออนไลน์ system deccasino was introduced