Skip to main content

Tinjauan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Dalam Melakukan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Logam Hasil Kegiatan Usaha Pertambangan Dalam Negeri

ABSTRACT

Indonesia is blessed with abundant natural resources including minerals (minerals) derived from mining activities. Mines and Minerals is a natural resource that is not renewable (non-renewable) that is controlled by the state and its utilization is used for the greatest prosperity of the people. Therefore, the management of mining and minerals should provide added value to the national economy. To achieve this question, the management of mineral must berazazkan to benefit, justice and balance as well as siding with the interests of the nation. Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal marks a new era in mining where there are new provisions that indicate a paradigm shift in the management of mineral resources and coal. One such shift is related to the obligation of value added metal mineral resources conducted by management and purification in the country. This change resulted in lawsuits related to the management arrangements and refining the metal mineral resources.
    From the above background, issues arise regarding regulatory policy processing and refining of metallic minerals in the country along with the sanctions by statutory laws and regulations of Indonesia, the legal consequences arising for IUP and Production Operation IUPK holders after setting about managing and refining of metallic minerals in the country related with the making of investments in Indonesia, and an analysis of the verdict of the lawsuit related to the management arrangements and the purification of metal mineral resources on the Constitutional Court decision No. 10 / PUU-XII / 2014.
    From the results of this study, it can be concluded that many perpetrators of mining activities less heed to Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal. This happens because of weak supervision and guidance of the Central Government Local Government maupaun. Some substances in Act No. 4 of 2009 on Mineral and Coal in particular regarding the obligations of the increase in value added, which is the licensing activities of processing and refining or construction of the smelter need was reaffirmed in order not to impede the increase of value added in the processing and refining, if need be given tougher sanctions. This is done to provide value-added sector of mineral and coal, so that the arrangements regarding the obligations of processing and refining that is the spirit downstream should be further strengthened in the change of Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal, that will not happen anymore judicial review of regulations law-related liabilities in the mining business activities in general and purification processing activities in order to increase the added value in particular.

Keywords: Increasing Values Added, Processing and Refining, Smelter, IUP and IUPK Holders.





1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia dianugrahi Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah termasuk bahan galian (barang tambang) yang diperoleh dari kegiatan pertambangan, yang meliputi minyak bumi, batubara, gas bumi, emas, perak, tembaga, dan berbagai macam bahan galian lainnya.
Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatannya digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan mineral harus memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional.Untuk mencapai hal dimaksud, pengelolaan pertambangan mineral harus berazazkan kepada manfaat, keadilan dan keseimbangan serta keberpihakan kepada kepentingan bangsa dan negara.
Ketergantungan Negara akan bahan galian sebagai modal untuk pembangunan Negara yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sangat tinggi sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat (3), yaitu:
"Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. "
Rumusan konstitusi tersebut menunjukkan bahwa negara memiliki kedaulatan atas sumber daya alamnya, termasuk kekayaan mineral dan batubara, oleh karena itu investasi asing yang memiliki maksud untuk mengelola kekayaan alam tersebut harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh regulator.
Salah satu sumber daya alam yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah pertambangan. Pulau Sumatera memiliki kekayaan alam hasil tambang berupa minyak bumi, batu bara, tembaga, timah, granit, dan beberapa hasil tambang lainnya. Pulau Kalimantan menyimpan kekayaan tambang berupa batu bara dan minyak bumi. Pulau Jawa yang memiliki hasil tambang berupa minyak bumi, bijih besi, granit, dan hasil tambang lainnya. Di Pulau Sulawesi tersebar hasil tambang mangaan, fosfat, tembaga, nikel, dan beberapa hasil tambang lainnya, dan di pulau paling timur di Indonesia yaitu Jayapura menyimpan kekayaan tambang minyak bumi, emas, perak, dan beberapa hasil tambang lainnya.
Dalam rangka mengatur sektor pertambangan tersebut, pada tahun 1967 pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 sekaligus menandai politik pintu terbuka di bidang pertambangan setelah  diawali dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967). Seiring dengan dinamika pemikiran pasca reformasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 dianggap sudah tidak sesuai dengan politik ekonomi yang ingin dijalankan oleh pemerintah, khususnya di bidang pertambangan. Oleh karena itu ditetapkanlah Undang-Undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009).
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia penguasaan terhadap bahan galian dimiliki oleh Negara, yang diwakili oleh Pemerintah sebagai penyelenggara mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian.  Dalam pengusahaan bahan galian, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.  Pada prinsipnya kegiatan pertambangan membutuhkan modal yang besar, peralatan yang berat dan keahlian. Oleh karena itu, pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diberikan kepada perusahaan yang memenuhi kriteria diatas.  Namun pada pelaksanaanya kegiatan penambangan pemegang IUP atau IUPK lebih memilih menggunakan pihak ketiga untuk melakukan pekerjaan diluar pekerjaan utama pemegang IUP atau IUPK. Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa jasa kontraktor memiliki akses ke peralatan berat dan lebih berpengalaman dalam mengoprasikan alat berat dalam skala besar.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menandai era baru di bidang pertambangan dimana terdapat ketentuan-ketentuan baru yang menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batubara. Salah satu pergeseran tersebut ialah terkait dengan kewajiban peningkatan nilai tambah sumberdaya mineral logam yang dilakukan dengan pengelolaan dan pemurnian dalam negeri. Atas perubahan ini mengakibatkan adanya permohonan uji materiil terkait dengan pengaturan pengelolaan dan pemurnian sumberdaya mineral logam tersebut.
Tulisan ini akan mengkaji mengenai Tinjauan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam Melakukan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Logam Hasil Kegiatan Usaha Pertambangan Dalam Negeri, dengan permasalahan, yakni:
1.1.1 Bagaimana pengaturan pengolahan dan pemurnian mineral logam dalam negeri menurut peraturan perundang-undanganIndonesia dan sanksi bagi Perusahaan Pertambangan Pemegang Izin Usaha Produksi (IUP) dan Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK) yang melanggar ketentuan Undang-Undang?
1.1.2. Bagaimana akibat hukum yang timbul bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi akibat adanya ketentuan mengenai pengelolaan dan pemurnian mineral logam dalam negeri terkait dengan penanaman modal atau investasi di Indonesia?
1.1.3. Bagaimana analisis penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terkait kewajiban perusahaan pertambangan pemegang IUP dan IUPK dalam melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri (studi Putusan MK No. 10/PUU-XII/2014)

2. Pengaturan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dan Sanksi bagi Perusahaan Pertambangan Pemegang Izin Usaha Produksi (IUP) dan Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK) yang Melanggar Ketentuan Undang-Undang
Pengaturan pengolahan dan pemurnian mineral logam menurut peraturan Perundang-undangan Indonesia diatur melalui Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Setiap peraturan tersebut sangat berkaitan erat antara sama dan lain, terutama Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut. Pada bagian ini akan membahas mengenai aturan-aturan apa sajakah terkait dengan pengolahan dan pemurnian mineral logam tersebut beserta dengan sanksinya apabila tidak dijalankan.
2.1. Pengaturan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Logam Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia bagi Perusahaan Pertambangan
2.1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pengertian pengolahan dan pemurnian menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.  Pengertian pengolahan ini adalah upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat Mineral Logam atau batuan yang dipoles. Sedangkan pengertian pemurnian adalah upaya untuk meningkatkan mutu Mineral Logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan.  Dalam artikel “Definisi Pengolahan dan Pemurnian Belum Jelas” sebagaimana dilansir dalam website Asosiasi Pertambangan Indonesia dijelaskan bahwa menurut ahli pertambangan Kurtubi, pemurnian adalah pekerjaan pengolahan atau pengilangan untuk memurnikan atau meninggikan kadar bahan galian dengan memisahkan mineral berharga yang tidak berharga. Selanjutnya membuang mineral yang tidak berharga tersebut, yang dapat dilakukan dengan cara kimia. Sedangkan pengolahan (Treatment) adalah proses untuk menyiapkan bahan mentah mineral untuk diolah lebih lanjut sekaligus diolah untuk menjadi produk akhir.  Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa kegiatan pengolahan dan pemurnian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas mineral hasil pertambangan yang dilakukan dengan cara melalui serangkaian kegiatan proses teknik tertentu dalam bidang pertambangan.
Kewajiban hukum menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melakukan pengolahan dan pemurnian mineral terdapat dalam Pasal 102 dari Undang-Undang tersebut yang menyebutkan bahwa:
“Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan pertambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.”
Lalu kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral ini wajib dilakukan dalam negeri wilayah Republik Indonesia. Dasar hukum yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian terdapat dalam Pasal 103 Ayat (1) dari Undang-Undang tersebut. Adapun Pasal 103 Ayat (1) ini menerangkan:
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan dalam negeri.
Dalam hal melakukan pengolahan dan pemurnian mineral ini, pemerintah memberikan pilihan bagi para pihak pemegang IUP dan/atau IUPK untuk saling bekerjasama dalam hal melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut. Adapun dasar hukum yang memperkenankan atas perbuatan kerjasama ini terdapat dalam Pasal 103 Ayat (2) dari Undang-Undang tersebut, yang berbunyi:
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa pemegang IUP dan IUPK memiliki kewajiban untuk melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian atas mineral hasil pertambangannya dan kegiatan ini harus dilakukan dalam wilayah negeri Indonesia.
Bahwa telah diketahui dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 hanya mengatur kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam negeri hanya bagi pemegang IUP dan IUPK, akan tetapi dalam Undang-Undang ini pun mengatur pihak lain terkait dengan kewajiban tersebut. Pihak yang turut diatur tersebut ialah pemegang Kontrak Karya. Definisi dari Kontrak Karya adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha penambangan bahan galian mineral, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara.  Sedangkan definisi Kontrak Karya menurut H. Salim HS., S.H., M.S. adalah suatu perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan jangka waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak.  Pemegang Kontrak Karya yang telah menandatangani perjanjian Kontrak Karya sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetap memberlakukan perjanjian tersebut.  Akan tetapi pemegang Kontrak Karya tersebut haruslah menyesuaikan klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian tersebut dengan Undang-Undang ini kecuali mengenai hal pendapatan negara tentang upaya pendapatan negara.
Kewajiban mengenai pengolahan dan pemurnian bagi pemegang Kontrak Karya sama dengan pemegang IUP dan IUPK. Akan tetapi kewajiban bagi pelaksana Kontrak Karya ini hanyalah sebatas melakukan pemurnian. Hal ini didasari atas Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
“Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Pasal 170 ini dengan jelas diketahui bahwa kewajiban pemegang Kontrak Karya hanyalah untuk melakukan “pemurnian” atas hasil mineral yang diproduksinya dan kewajiban ini berbeda bila dibandingkan dengan kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK yang harus melakukan pengolahan dan pemurnian atas mineralnya. Selain itu dalam Undang-Undang ini tidak menyebutkan secara spesifik mengenai lokasi untuk melakukan kegiatan pemurnian bagi pemegang Kontrak Karya tersebut apakah dalam negeri ataupun luar negeri sehingga hal ini dapat menimbulkan multi tafsir bagi pihak yang membacanya. Salah satu dari multi tafsir yang dihasilkan atas pasal tersebut ialah para pihak dapat melakukan pemurnian diluar negeri Indonesia karena bagaimana jika pemegang Kontrak Karya tersebut memiliki fasilitas untuk melakukan pemurnian yang berada diluar negeri? Lebih lanjut lagi bagaimana jika proses pemurnian mineral yang dilakukan diluar negeri tersebut dapat dibuktikan secara otentik berdasarkan berbagai bukti yang relevan dan valid seperti contohnya rekaman video pelaksanaan pemurnian secara langsung (live) yang disiarkan melalui jaringan internet? Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Pasal 170 ini masih memberikan celah hukum bagi pemegang Kontrak Karya untuk masih dapat melaksanakan pemurnian mineral diluar negeri dengan alasan bahwa tidak adanya pengaturan spesifik mengenai lokasi tempat dilaksanakan kegiatan pemurnian mineral tersebut.
2.1.2. Menurut Peraturan Pemerintah
Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral diatur dalam tiga Peraturan Pemerintah. Ketiga Peraturan Pemerintah tersebut adalah:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; dan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dasar hukum terkait yang mewajibkan bagi pemegang IUP dan IUPK untuk melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam terdapat dalam Pasal 93 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Bunyi pasal tersebut adalah:
(1). Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi mineral wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK lainnya.
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat dua pilihan cara untuk melakukan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut, yaitu dilakukan dengan secara langsung dan/atau melalui kerja sama dengan pihak lain. Lalu dalam hal melakukan kerjasama, subjek lain yang diperkenankan untuk melakukan kerja sama tersebut berdasarkan Pasal 93 Ayat (1) ini ialah perusahaan, pemegang IUP dan IUPK. Akan tetapi terdapat klausul tertentu bagi salah satu subjek terkait hal sebagai pihak dalam kerja sama tersebut dan subjek tersebut adalah perusahaan. Klausul khusus bagi perusahaan tersebut terdapat pada Pasal 93 Ayat (2) dan (3) yang memperkenankan hanya perusahaan berlisensi IUP Operasi Produksi secara khusus untuk melakukan pengolahan dan pemurnian mineral yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Sedangkan dalam hal Kontrak Karya, dasar hukum tersebut yang mewajibkan untuk melakukan kegiatan pemurnian mineral tersebut terdapat  dalam Pasal 112 Huruf C Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Adapun  bunyi pasal tersebut:
“Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib melakukan pemurnian hasil pertambangan dalam negeri.”
Dari Pasal ini dapat diketahui bahwa pemegang Kontrak Karya selain diharuskan untuk melakukan pemurnian mineral atas pertambangan, juga wajib melakukannya dalam negeri. Dengan adanya pasal 112 Huruf C ini maka telah mengisi celah hukum mengenai lokasi tempat yang spesifik untuk pelaksanaan kegiatan pemurnian bagi pemegang Kontrak Karya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
2.1.3. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Untuk menunjang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya untuk pelaksanaan pasal 112 Huruf C dari Peraturan Pemerintah tersebut, maka kementerian Energi dan Sumber Daya  Mineral menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Dalam Negeri. Pasal-pasal dari Peraturan Menteri ini yang terkait dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian atas hasil pertambangan mineral logam terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) Huruf a dan Pasal 3 Ayat (1) Huruf a. Dari ketiga pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan nilai tambah komoditas tambang mineral (salah satu komoditasnya) dilaksanakan melalui proses pengolahan dan pemurnian untuk mineral logam.  Selanjutnya, pengolahan dan pemurnian atas logam tersebut sudah termasuk juga untuk mineral bawaan dari komoditas tersebut. Lalu, pengolahan dan pemurnian tersebut juga dilakukan berdasarkan pertimbangan:
1. memiliki sumber daya dan cadangan bijih dalam jumlah besar;
2. untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi logam di dalam negeri;
3. teknologi pengolahan dan/atau pemurnian sudah pada tahap teruji;
4. produk akhir pengolahan dan/atau pemurnian sebagai bahan baku industri kimia dan pupuk dalam negeri;
5. produk akhir sampingan hasil pengolahan dan/atau pemurnian untuk bahan baku industri kimia dan pupuk dalam negeri;
6. sebagai bahan baku industri strategis dalam negeri yang berbasis mineral;
7. memberikan efek ganda baik secara ekonomi dan negara; dan/atau
8. untuk meningkatkan penerimaan negara.
Terakhir, terdapat batas-batas kadar tertentu yang hasil dari pengolahan dan pemurnian atas mineral tersebut berdasarkan lampiran dari Peraturan Menteri tersebut.  Dalam Peraturan Menteri ini diatur juga mengenai kewajiban untuk memurnikan hasil produk sampingan dari mineral-mineral seperti logam tembaga, zircon, ilmenit, rutil, monasit, senotim, perak, timbal, seng,dan emas.  Kemudian pada Pasal 5 dari Peraturan Menteri ini menerangkan bahwa kegiatan pengolahan dan pemurnian tersebut harus dilakukan dalam negeri.

2.2. Sanksi bagi perusahaan perusahaan pertambangan pemegang Ijin Usaha Produksi dan Ijin Usaha Produksi Khusus  yang tidak melanggar Undang Undang  Nomor. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Penjatuhan sanksi administratif dan pidana diberikan bagi pemegang Ijin Usaha Pertambangan dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009).
2.2.1. Sanksi administratif
Ada dua kategori sanksi yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yakni sanksi administatif dan sanksi pidana. Ketentuan sanksi adminstratif terdapat dalam pasal 151 sampai pasal 157 mengenai sanksi adminstratif.
Sanksi administratif bisa dikenai kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) apabila melanggar sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Saksi tersebut berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan/atau pencabutan IUP, IPR, atau IPK.
Apabila pemerintah daerah tidak mengenakan sanksi bagi pemegang izin, padahal ada pelanggaran terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, maka Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dapat menghentikan sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR, sebagaiman dinyatakan dalam pasal pasal 152 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 “dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat menghentikan sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.  Jika pemerintah daerah keberatan, maka pemda dapat mengajukan keberatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 juga diatur jika terjadi sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK akan diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri.  Yang menarik dari ketentuan sanksi ini adalah pemerintah daerah bisa dikenai sanksi administratif jika tidak mengabaikan kepentingan nasional.  Sanksi tersebut berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 “pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara”.
2.2.2. Sanksi Pidana
Subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yaitu manusia dan badan hukum. Di dalam Undang-Undang tersebut selalu menyebut “setiap orang” sebagai subjek hukumnya yakni di Pasal 158, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 162, dan Pasal 165.  Sedangkan pada Pasal 163 ayat (1) bisa ditelaah atau dapat dikatakan badan hukum merupakan subjek hukum dalam Uundang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain sanksi adminitratif yang dijatuhkan pada perusahaan pertambangan pemegang IUP, IPR, atau IUPK, terdapat pula sanksi pidana, diantaranya:
1. Pidana penjara
2. Pidana kurungan
3. Pidana denda
4. Pidana denda dengan pemberatan
5. Pidana tambahan, dapat berupa;
a. Pencabutan izin usaha; dan/atau
b. Pencabutan status badan hukum

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pasal yang memuat sanksi pidana diatur dalam Bab XXIII tentang “Ketentuan Pidana”, yang didalamnya terdapat 8 (delapan) pasal mulai dari Pasal 158 s/d Pasal 165.
Aturan Pidana yang dimuat dalam Bab XXIII mengenai ketentuan pidana, mengisyaratkan bahwa terdapat masalah pokok hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara. Perbuatan – perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara yakni :
1. Melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5).
2. Dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu.
3. Melakukan eksplorasi tanpa memiiki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1).
4. Mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukn kegiatan operasi produksi.
5. Menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan,dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 105 ayat (1).
6. Merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2)
7. Mengeluarkan IUP, IPR, IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya

Berikut dibawah ini uraiannya;
1.    Pasal 37, “IUP diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu  wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a.   Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah)
b.   Pasal 160, Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
c.   Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
2. Pasal 40 ayat  (3), “Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral   lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib   mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri,  gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya”.
Yang dimaksud pada ayat (2) adalah pemegang IUP yang menemukan satu (1) jenis mineral atau batubara di WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a.  Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah).
b.  Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
3.   Pasal 43 ayat (1), “Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan  kepada pemberi IUP”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUP dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu kepada Pemberi IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
4.   Pasal 43 ayat (2), “Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib  mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
5.    Pasal 48, “IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan  dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat   sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a.  Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah)
b.  Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
6.    Pasal 67 ayat (1)
a.  Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada  penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
b.  Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan  pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan   perundang undangan.
c.  Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat  (1), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan  kepada bupati/walikota.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a.  Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IPR dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah)
b.  Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
7.   Pasal 70 huruf e, “Pemegang IPR wajib: menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha  pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IPR dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
8.  Pasal 74 ayat (1), “IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan  kepentingan daerah”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a.  Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah)
b.  Pasal 160, Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUPK dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
c.  Pasal 161, Pemegang IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
9. Pasal 74 ayat (5),“Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)   dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.
Yang dimaksud pada pasal 2 yaitu IUPK diberikan oleh Menteri untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah)
10. Pasal 81 ayat (1), “Dalam hal kegiatan eksplorasi  dan kegiatan studi  kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUPK dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
11. Pasal 81 ayat (2), “Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral   logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
12. Pasal 103 ayat (2), “ Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya”.
Yang dimaksud pada ayat (1) adalah pemegang IUP dan IUPK produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP atau IUPK dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
13. Pasal 104 ayat (3), “Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada   ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau  IUPK”.
Yang dimaksud pada ayat (1) Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan kerja sama dengan badan usaham koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau IUPK
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP atau IUPK dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
14. Pasal 105 ayat (1), “Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,  penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang  IUP dipidana dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
15.  Pasal 105 ayat (4), “Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan  ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri,  gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya”.
Yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan dimana IUP hanya dapat diberikan 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUP dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
16.  Pasal 110, “Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi  kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai  dengan kewenangannya”.

Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUP atau IUPK dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
17.  Pasal 111 ayat (1), “Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan   tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya”.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
  Pasal 159, Pemegang IUP dan IUPK dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
18.  Pasal 136 ayat (2), “Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan  kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK”.
Yang dimaksud pada ayat (1) adalah Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 162, Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat- syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat  (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama  1  (satu) tahun atau denda paling banyak  Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Berdasarkan dari pengertian mengenai sanksi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat sanksi administratif dan/atau sanksi pidana bagi para pemegang IUP dan/atau IUPK yang telah melakukan pelanggaran atas hal terkait dengan pengolahan dan pemurnian. Sehingga dengan demikian maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah memberikan pengaturan sanksi yang jelas atas pelanggaran tersebut.
3. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL BAGI PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS (IUPK) OPERASI PRODUKSI AKIBAT ADANYA KETENTUAN MENGENAI PENGELOLAAN DAN PEMURNIAN MINERAL LOGAM DALAM NEGERI TERKAIT DENGAN PENANAMAN MODAL ATAU INVESTASI DI INDONESIA
Pada bagian ini akan dikaji mengenai konsekuensi atau akibat hukum yang timbul bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus untuk Operasi Produksi terkait dengan adanya ketentuan kewajiban meningkatkan nilai tambah dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
3.1. Akibat Hukum Berlakunya Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengenai Kewajiban Melakukan Pengolahan dan Pemurnian bagi Perusahaan Pertambangan Mineral Logam
Adanya Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 membuat para pelaku usaha pertambangan memiliki kewajiban meningkatkan nilai tambah dengan cara pengolahan dan pemurnian mineral logam di dalam negeri. Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang menyatakan mineral hasil pengolahan diekspor dalam jumlah tertentu maksimal 3 tahun setelah peraturan tersebut diundangkan. Maka mulai 12 Januari 2017, hanya mineral hasil pengolahan dan pemurnian yang dapat dijual ke luar negeri.
Hakikat dari peningkatan nilai tambah mineral pada dasarnya mengharuskan setiap pelaku usaha (perusahaan pertambangan mineral) untuk membangun pabrik pengolahan dan/atau pemurnian, tergantung kepada jenis mineral yang diusahakan; pengusaha mineral bukan logam dan batuan hanya membangun pabrik pengolahan, sedangkan pengusaha mineral logam harus membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Oleh karena itu Kementerian ESDM cq Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara telah melakukan upaya yang mengarah kepada penyeleksian pelaku usaha, sekaligus sebagai langkah untuk melihat kesiapan dan kemampuan mereka dalam membangun pabrik pengolahan dan/atau pemurnian.
Seperti yang disampaikan Baird and Wihardja (2010) mengenai kebijakan peningkatan nilai tambah dan Eva Warburton (2004), Baird and Wihardja describe the export ban as introducing 'long discredited policies intended to 'increase value added' by requiring the domestic processing of minerals' (Baird and Wihardja, 2010). The ban mainly affects 'copper ore, nickel ore (of which Indonesia is responsible for half of global production), and bauxite' (Howes and Davies, 2014). Export of the latter two is banned altogether (Howes and Davies, 2014). Copper concentrate can be exported until 2017, but the exporters have to pay an export tax of 20 percent, a tax that will increase over time (Howes and Davies, 2014). In the past these three minerals have not been processed in Indonesia (Howes and Davies, 2014). As a consequence exports of all three have stopped (Howes and Davies, 2014). Eva Warburton (2014) puts it this way in describing the proffered reasons for the Mining Law Reforms: The government argues that if Indonesians are to prosper, the country should no longer export raw commodities to richer countries via multinational companies. Officials have stated that if Indonesia is to move beyond the middle-income bracket it must begin adding value domestically and building its domestic mining industry. State officials also defend nationalist policies as a necessary step towards more just systems of rent distribution. Former Director General for Coal and Mineral Resources Thamrin Sihite, for example, said the government wants 'the benefits of our country's resources to reach more Indonesians.' President Yudhoyono himself claimed that, 'many multinational corporations take too much and do not leave behind enough for the people of those countries.
Namun pembangunan smelter ini mungkin tidak sepenuhnya dapat terealisasi pada 2017. Menurut Menteri ESDM Sudirman Said, melambatnya pembangunan smelter bukan dikarenakan pembangkangan atau niat untuk melanggar peraturan oleh perusahaan. Kondisi di lapangan, khususnya harga mineral yang ambruk sejak 2014, membuat perusahaan kesulitan mengejar target tersebut. Dengan begitu, pemerintah bisa saja melonggarkan regulasi tersebut dengan memperbolehkan ekspor mineral hasil pengolahan setelah 11 Januari 2017. Hal tersebut diharapkan mampu membantu perusahaan yang kesulitan dalam membangun smelter. Namun, dari sekian banyak perusahaan yang tengah membangun smelter, sebenarnya hanya ada delapan perusahaan yang masih bisa melakukan ekspor setelah pemerintah memberlakukan larangan ekspor mineral mentah pada Januari 2014. Delapan perusahaan itu adalah PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Lumbung Mineral Sentosa, PT Sumber Baja Prima, PT Smelting.PT Kapuas Prima Coal, PT Megatop Inti Selaras, PT Newmont Nusa Tenggara, dan PT Freeport Indonesia.
Terdapat beberapa izin terkait usaha pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 khususnya dalam meningkatkan nilai tambah untuk pengolahan dan pemurnian, yakni izin untuk melaksanakan usaha pertambangan atau IUP (Izin Usaha Pertambangan), yaitu IUP Operasi Produksi (IUP OP) dan IUP Operasi Produksi Khusus (IUP OPK). Operasi Produksi merupakan tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. IUP OP adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Sedangkan, IUP OPK merupakan izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Perusahaan yang belum memiliki IUP OP, tetapi ingin membuat smelter dapat mengurus perizinan IUP OPK ke Kementerian ESDM agar memperoleh izin untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam pembangunan smelter. Bagi perusahaan yang sudah memiliki IUP OP tidak perlu mengurus IUP OPK, karena dalam IUP OP sudah diperoleh izin untuk melakukan pengolahan dan pemurnian.  Namun, perusahaan tetap harus mengurus perizinan berdirinya pabrik di Kementerian Perindustrian dan pemerintah daerah setempat.  Perusahaan dapat mengajukan permohonan IUP OPK dengan cara:
a. Melampirkan surat permohonan pengajuan IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian;
b. Melampirkan format lampiran permohonan baru IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian; dan
c. Melampirkan cek list evaluasi permohonan IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian.
d. Melampirkan surat pernyataan permohonan pengajuan IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian;
Sedangkan, dokumen persyaratan yang harus dilampirkan Permohonan IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian Mineral adalah:
a. Profil Perusahaan dengan mencantumkan :
1) Akta Pendirian dan Perubahan Perusahaan
a) Pertambangan dan Perdagangan (pengolahan komoditas mineral yang dituju)
b) Susunan Direksi Perusahaan
c) Pemegang Saham
2) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
3) SIUP
4)    Surat Keterangan Domisili
5)    Tanda Daftar Perusahaan
6)    Pengesahan Akta Pendirian Perusahaan dari yang Berwenang
b.   Memorandum of understanding (“MoU”)/Perjanjian Jual Beli Antara Pemohon IUP Operasi Produksi Khusus dengan Pemegang IUP Operasi Produksi yang masih berlaku, dengan data:
1) Spesifikasi Bahan Galian
2) Volume (Tonase)
3) Jangka Waktu MOU/Perjanjian
4) Bermaterai Cukup
c. MoU/Perjanjian Jual Beli/Purchase Order Antara Pemohon IUP Operasi Produksi Khusus dengan Pembeli (End User) yang masih berlaku, dengan data:
1) Spesifikasi Bahan Galian
2) Volume (Tonase)
3) Tujuan Penjualan
4) Jangka Waktu MoU/Perjanjian
d. Legalitas IUP Produksi SK IUP Operasi Produksi yang telah teregistrasi di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara/Clean and Clear (CNC) Dilampirkan.
e. Data Teknis Pemilik Tambang/IUP Operasi Produksi (Cadangan/Sumber Daya – Kapasitas Produksi) – Surat Persetujuan Amdal atau FS/Studi Kelayakan
f. Laporan Finansial Perusahaan Pemegang IUP Operasi Produksi
1) Bukti Pembayaran Iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir
2) Bukti Pembayaran royalti 3 (tiga) tahun terakhir
g. Perizinan Industri/Perizinan berdirinya pabrik
h. Laporan Keuangan Perusahaan 3 Tahun Terakhir
i. Laporan RKAB tahun terakhir (dilegalisir dari Dinas Pertambangan setempat)
j. Persetujuan AMDAL atau UKL dan UPL
k. Persetujuan FS/Studi Kelayakan Pabrik yang dikeluarkan oleh Pejabat setempat
l. Daftar Tenaga Ahli
Berdasarkan Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 11.E/30/DJB/2011 tentang Klasifikasi Badan Usaha di Bidang Pertambangan dalam Akta Pendirian Badan Usaha, bahwa Badan Usaha yang akan mendapatkan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian dalam akta pendiriannya harus mencantumkan bergerak di bidang usaha pertambangan khususnya di bidang pengolahan dan pemurnian mineral dan/atau batubara serta dapat digabung dengan sektor perindustrian, perdagangan, perhubungan, energi, dan penanaman modal.
Meskipun pemerintah membuat kelonggaran waktu pembangunan smelter hingga 2017, masih terdapat dualisme izin pembangunan smelter, yaitu Izin Usaha Industri (IUI) yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Pengolahan dan Pemurnian dari Kementerian ESDM.  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sudah membuat kriteria mengenai pengolahan mineral dan industri. Namun, muncul peraturan pemerintah dan keputusan menterinya yang mengatur soal perizinan pembangunan smelter.  Pengusaha pemurnian atau smelter merasa diberatkan dengan perizinan Izin Usaha Pertambangan Khusus dari Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, padahal telah ada rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.Selama ini, industri smelter sudah merasa aman mengantongi Izin Usaha Industri (IUI) yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui rekomendasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Namun, ketika pengusaha smelter memohon pasokan bahan baku tambang, mereka diminta untuk membuat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) oleh Kementerian Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM). Mengurus perizinan di Kementerian ESDM merepotkan salah satunya karena harus membuat laporan selama tiga bulan sekali, sedangkan BKPM hanya setahun sekali. IUPK, Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), dan dokumen lainnya dibuat kembali. Industri tambang ada yang sudah memiliki IUI. Padahal, industri smelter yang berasal dari penanaman modal asing bahkan mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk untuk memasukkan mesin dan peralatannya dari BKPM.  Selain itu, pengusaha mengeluhkan pengajukan permohonan ke Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM melalui prosedur yang berbelit dan lamanya proses perizinan. Pemerintah dalam hal ini harus melakukan upaya agar palaksanaan permohonan izin pengolahan dan pemurnian lebih efektif, sehingga menguntungkan bagi pengusaha tambang untuk meningkatkan nilai tambah tambang mineral dan negara demi meningkatkan nilai tambah pada pendapatan negara.
Regulasi yang ditetapkan pemerintah terkait pengajuan izin pengolahan dan pemurnian dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau pun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri sebenarnya tidak ada tarik ulur mengenai perizinan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM. Kementerian Perindustrian berwenang mengeluarkan izin pembangunan atau pendirian smelter pada pemegang IUP OP, sedangkan Kementerian ESDM menerbitkan Izin IUP-OPK agar dapat melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

3.2. Upaya yang dilakukan Pemerintah dan Pelaku Usaha Tambang dalam Kewajiban Meningkatkan Nilai Tambah dengan Pemurnian dan Pengolahan Mineral Logam terkait Penanaman Modal atau Investasi

Proses pembangunan smelter sangatlah tidak mudah terutama dari sisi hukum dan hukum ekonomi secara khusus. Di satu sisi, perusahaan membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk melakukan pengolahan dan pemurnian. Untuk itu, perusahaan tambang memerlukan investor untuk dapat memberikan dukungan finansial dalam proyek pembangunan smelter untuk meningkatkan nilai tmbah dalam pengolahan dan pemurnian mineral.
Badan usaha milik negara (BUMN) dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan tambang swasta untuk mengembangkan pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) mineral bila swasta tidak mampu mendirikan smelter baik sendiri maupun konsorsium. Kerjasama pemerintah dan swasta dimungkinkan karena pemerintah mempunyai perwakilan, yakni perusahaan BUMN selaku pelaksana. Pemerintah dalam hal ini adalah pemberi penyertaan modal.
Kementerian Perindustrian secara prinsip mendukung skema keria sama BUMN dan swasta karena dari segi aturan memungkinkan. Jika ada BUMN nanti juga ada penyertaan modal pemerintah yang bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Tinggal persoalannya mengenai ada tidak kekuatan modal dari pemerintah, alokasi penyertaan modal pemerintah antara lain bisa didapat dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Pusat Investasi Pemerintah, bergantung pada kebijakan pemerintah mana yang akan dipilih. Pemerintah akan menjembatani perusahaan yang kesulitan pembangunan smelter. Kementerian ESDM akan memfasilitasi perusahaan yang akan membangun smleter dan yang tidak. Apalagi ada perusahaan tambang yang memiliki produk mineral mentah tapi tak punya pasar, sedangkan ekspor sudah tidak boleh. Jika tidak ada yang sanggup, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang harus maju. Skema kerja sama pembangunan smelter antara BUMN dan perusahaan swasta dilakukan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Freeport Indonesia. Pada 10 Februari 2014, Aneka Tambang dan Freeport menjalin kesepakatan untuk melakukan studi kelayakan pembangunan smelter tembaga selama tiga bulan. Nilai investasi pabrik smelter tembaga tersebut diperkirakan mencapai US$ 2,2 miliar dengan kapasitas produksi 300 ribu ton per tahun. Nilai investasi tersebut diharapkan turun seiring dengan berjalannya studi kelayakan. Tato Miraza, Direktur Utama Aneka Tambang, mengatakan dalam studi kelayakan tersebut, Aneka Tambang dan Freeport perusahaan akan mengevaluasi kelayakan teknis, ekonomi, dan komersial dari pabrik peleburan tembaga tersebut.
Selain investor dalam negeri, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak menutup adanya investor asing dalam usaha pertambangan dalam negeri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Besarnya kebutuhan dalam melakukan pengolahan dan pemurnian, tidak dapat dipungkiri juga adanya suntikan tambahan dari investor asing yang akan menanamkan modal untuk membantu suatu perusahaan.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan agar investor asing tertarik untuk berinvestasi, setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat:
1. Adanya economic opportunity (investasi mampu memberi keuntungan secara ekonomis bagi investor). Untuk menarik modal asing dibutuhkan adanya kesempatan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedia bahan baku, tersediaan lokasi untuk mendirikan pabrik yang cukup, tersedianya tenaga kerja yang murah, dan tersedianya pasar yang prospektif. Ditinjau dari aspek ekonomi, Indonesia secara umum masih memiliki keunggulan alamiah dan komparatif, seperti negeri yang sangat luas dengan diberkahi kelimpahan kekayaan alam (sumber daya alam Indonesia masih cukup banyak) dan jumlah penduduk sangat besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah.
2. Adanya political stability (investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik). Untuk menjamin keberlangsungan investasi asing diperlukan adanya stabilitas politik. Terjadinya konflik elit politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh pada iklim investasi. Penanam modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional.  Seperti dikutip dari Mustafa Erkan (International Energy Investment Law) mengenai risiko kestabilan politik, In the energy industry, political risks arises mainly in reference to relationships between the investor and the host state, but relationships with other palyer in the industry may also create political risk. Host state have ‘a wide variety of mechanisms available to interfere with rights in privete property.  Two types of political risks based on Wagner, ‘government risks’ and ‘instability risks’. Government risks’are those that arise from the actions of a governmental authority, whether the authority is used legally or not’, such as discriminatory regulations and creeping expropriations. However, political power struggles may also cause political risks, called instability risks, such as mass labour strikes, civil war or urban rioting.
3. Adanya legal certainty (kepastian hukum). Para investor akan datang ke suatu negara, bila negara tersebut dalam situasi yang kondusif. Untuk mewujudkan sistem yang mampu mendukung iklim investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin usaha sampai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk mencapai kondisi ini adalah dengan penegakkan supremasi hukum (rule of law). Perlu adanya kepastian hukum yang mencerminkan nilai kebenaran dan keadilan serta tidak diskriminatif. Kepastian hukum ini harus meliputi aspek substansi hukum, mulai dari undang-undang sampai dengan peraturan-peraturan daerah dan putusan-putusan pengadilan. Untuk menjamin adanya konsistensi dalam pelaksanaan peraturan diperlukan adanya dukungan aparatur hukum yang profesional dan bermoral serta didukung dengan adanya budaya hukum masyarakat.
Investasi asing dalam dunia pertambangan dapat berbeda secara substansif dengan investasi asing lainnya, dikutip dari Marc Frillet (2011): Real world of foreign investments in mining and public infrastructure projects. It is important to note at the outset that this world is substantially different from the world of traditional international investments. This is mainly because of two factors:
1. The risk profile of the investment. In most cases, the investment is based on an economic analysis, which includes a robust economic scenario an internal rate of return depending itself on various factors, in particular those associated with the country itself. Some of these risks can be reasonably appraised with ad hoc sensitivity ratios if the project is to last for a few years only. It is much more difficult, indeed virtually impossible, to assess risks with, for instance, a 20-year horizon necessary to recover the investment.
2. The nature of the investments, which always end up with a main contractual agreement being entered into with a state or with the licence subject to many conditions and having in fact a contractual nature.
Contoh investor asing yang tertarik menanamkan modalnya adalah investor dari Tiongkok. Para investor dari Tiongkok makin gencar membangun pabrik pemurnian mineral atau smelter di Indonesia dalam waktu dekat. Sebab, pengoperasian smelter di Tiongkok sudah tidak cukup ekonomis, apalagi kondisi ekonomi global yang buruk mengharuskan adanya efisiensi. Dalam kondisi ekonomi global saat ini, banyak smelter di Tiongkok berhenti produksi, bahkan tutup.Kalau harus investasi smelter, sangat kompetitif. Permintaan alumina di Tiongkok sudah melebihi kemampuan pasokan (under supply) dan membutuhkan investasi besar, untuk membangun fasilitas pemurnian baru setelah 2021. Indonesia akan menjadi salah satu tujuan investasi pembangunan industri aluminium, karena Indonesia memiliki cadangan biji bauksit dalam jumlah melimpah, dan meningkatnya permintaan aluminium di dalam negeri. Prospek pembangunan pabrik pemurnian alumina di Indonesia dalam jangka panjang, akan menjanjikan karena Indonesia memiliki cadangan bauksit berlimpah dan meningkatnya permintaan dalam negeri. Selain itu, kompetisi di pasar global yang makin ketat mengharuskan efisiensi, karena itu industri aluminium akan berkembang di Indonesia. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, mineral yang diekspor wajib diolah atau dimurnikan di pabrik smelter.
Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini, yaitu kerjasama BUMN dalam menigkatkan nilai tambah dalam pengolahan dan pemurnian mineral logam sekaligus mendatangkan investor asing adalah kerjasama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) berencana membentuk perusahaan patungan (joint venture/JV) untuk menggarap proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat. Dua perusahaan itu akan segera membuat skema kerja sama yang akan dituangkan dalam suatu perjanjian antara pemegang saham (shareholder agreement) sebelum mendirikan perusahaan patungan tersebut. Kedua belah pihak juga mengundang investor asing dari Rusia, Tiongkok atau Uni Emirat Arab untuk bekerja sama dalam proyek ini. Investor tersebut telah memiliki pengalaman di industri aluminium dan pengolahan bijih bauksit menjadi alumina. Pembangunan SGAR Mempawah akan meningkatkan nilai cadangan bauksit Aneka Tambang yang besar melalui kegiatan hilirisasi. Proyek SGAR itu rencananya memiliki kapasitas sebesar 2 juta ton SGA per tahun yang akan dibangun secara bertahap. Pada tahap pertama, kapasitas diperkirakan mencapai 1 juta ton per tahun dengan kebutuhan bijih baukit sebesar 6 juta wet metric ton (wmt). Dengan proyek tersebut, emiten berkode saham ANTM dan Inalum dapat mengolah cadangan bauksit yang tersedia. Inalum dapat memperoleh pasokan bahan baku alumunium dari dalam negeri ehingga mengurangi ketergantungan impor alumina. Berdasarkan suatu dokumen perjanjian antara Kementerian BUMN dan China Development Bank (CDB), nilai investasi proyek SGAR itu diperkirakan mencapai US$1,7 miliar-US$1,8 miliar atau lebih dari Rp20 triliun. CDB diperkirakan bakal mengucurkan pinjaman senilai US$1 miliar-US$1,5 miliar kepada Aneka Tambang untuk menggarap proyek tersebut. Pada saat ini, Inalum memliki kapasitas pelebuhan alumunium sebesar 250.000 ton alumunium per tahun yang membutuhkan minimal 500.000 ton alumina per tahun. Pada 2020, perusahaan ingin meningkatkan kapasitas peleburan menjadi 500.000 ton yang membutuhkan 1 juta ton alumina sebagai bahan baku.
Dengan adanya, kerjasama antara BUMN dan swasta maupun investor khususnya investor asing dalam kegiatan pemurnian dan pengolahan diharapkan agar para pelaku usaha tidak merasa diberatkan lagi dan mampu aktif dalam meningkatkan nilai tambah serta kualitas dari hasil tambang yang diperoleh.

4. ANALISIS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TERKAIT KEWAJIBAN PERUSAHAAN PERTAMBANGAN PEMEGANG IUP DAN IUPK DALAM MELAKUKAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PERTAMBANGAN DI DALAM NEGERI (STUDI PUTUSAN MK No. 10/PUU-XII/2014)

Bahwa dalam Bagian ini kami akan mengkaji dan menganalisis mengenai penerapan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) khususnya dalam hal pengelolaan dan pemurnian hasil pertambangan, dimana sebelumnya telah diajukan permohonan uji materiil terhadap undang-undang tersebut khususnya Pasal 102 dan Pasal 103 terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia  Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat  (1), dan Pasal 33 Ayat (3).
Permohonan ini bermula ketika sejumlah perusahaan memohon uji materi atas pasal 102 dan pasal 103 dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan alasan bahwa pasal-pasal tersebut merugikan hak konstitusional dari para mereka. Kerugian konstitusional tersebut berkaitan dengan Pasal 22A, Pasal  27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Kerugian konstitusional tersebut didasarkan pada atas terhentinya kegiatan usaha para pemohon yaitu melakukan pengiriman eksport mineral mentah hasil pertambangan. Berhentinya usaha tersebut disebabkan karena atas adanya kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian atas mineral hasil pertambangan sebagaimana dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dengan adanya hal tersebut maka para pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusional untuk melakukan pembatalan atas Pasal 102 dan Pasal 103 tersebut.
Bahwa dalam pertimbangannya Majelis Hakim berpendapat regulasi pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM yang melarang ekspor biji mineral mentah berdasarkan nalar hukum dapat dibenarkan dengan pertimbangan, bahwa regulasi mengenai hal tersebut secara konstitusional merupakan kewenangan Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara, yang dalam urusan tertentu dibantu oleh Menterinya. Bahwa subtansi ketentuan dalam pasal tersebut mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan dan pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Bahwa dengan adanya larangan tersebut merupakan salah satu bentuk regulasi yang menjadi kewenangan pemerintah. Bahwa peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan harus dilakukan dengan melakukan pegolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri.
Kebijakan dalam regulasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan peraturan turunannya dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM mengenai adanya kewajiban meningkatkan nilai tambah dengan pengolahan dan pemurnian yang secara otomatis melarang ekspor bijih (ore) adalah sesuatu hal yang konstitusional. Pengaturan tersebut adalah bentuk kewenangan dari pemerintah sendiri. Indonesia merupakan negara hukum dan menganut prinsip negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsep negara hukum Rule of Law menurut A.V. Dicey memiliki tiga unsur utama,  yaitu supremacy of law, equality before the law, and the constitution based on the individual rights. Pemerintah mewajibkan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum di ekspor. Hal ini tidak menyulitkan para pelaku usaha pertambangan. Adanya pelarangan ekspor ini dilakukan karena pemerintah menetapkan kebijakan hasil pertambangan harus melalui pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu di dalam negeri sebelum di ekspor. Implementasi dari Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mewajibkan para pemegang IUP dan/atau IUPK melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri melalui pembangunan smelter atau bergabung dengan perusahaan lain di dalam negeri yang memiliki smelter. Tidak secara mutlak adanya peraturan tersebut berarti ada larangan ekspor. Hal ini yang harus dicermati oleh para pemohon sebagai pelaku usaha.
Ketentuan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 memberikan peluang besar bagi para perusahaan jasa pertambangan nasional untuk berinvestasi dalam kegiatan usaha pertambangan, pengutamaan ini juga merupakan bagian dari program pemerintah dalam mengembangkan dan pemberdayaan masyarakat dan ketentuan tersebut diharapkan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional dapat menjadi tuan di negeri sendiri.  Bahwa dalam Pasal tersebut juga merupakan salah satu cara untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam, juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam industri pertambangan mineral dan batubara.
Namun terdapat implikasi dari minimnya smelter untuk melakukan pengolahan dan pemurnian adalah banyak bahan mentah tambang yang tidak dapat dijual, pada akhirnya membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup usahanya. Hal ini akan berdampak pada tiga hal. Pertama, berkurangnya penerimaan negara. Kedua, pengurangan tenaga kerja di sektor tambang, dan ketiga,semakin tergerusnya neraca perdagangan.
Bahwa terkait Perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada sidang pengucapan putusan Perkara 10/PUU-XII/2014 yang dipimpin oleh Ketua MK, Hamdan Zoelva, berpendapat berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Berdasarkan pasal tersebut sumber daya mineral dan batubara, adalah termasuk sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara maka negara berhak melakukan pengaturan terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh negara atas sumber daya mineral dan batubara berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur dan membuat kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara dengan batasan ukuran konstitusional, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di samping hal itu pengolahan dan pemurnian bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara, sebagaimana terdapat dalam pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Hal tersebut sebagai salah satu cara untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam.  Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam industri pertambangan.
Terkait dalil para pemohon yang mempersoalkan regulasi Pemerintah yang melarang ekspor bijih mineral mentah (raw material atau core). Hal tersebut dapat dibenarkan dengan pertimbangan, bahwa regulasi mengenai hal tersebut secara konstitusional merupakan kewenangan Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara, yang dalam bidang urusan tertentu dibantu oleh menteri negara.
Majelis MK berpendapat bahwa  kerugian yang dialami para Pemohon adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri yang mengabaikan terhadap perintah Pasal 102 serta Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Oleh karena itu, norma Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut adalah dalam rangka melindungi sumber daya mineral dan batu bara guna dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan “larangan ekspor” akan menyebabkan ratusan pengusaha tambang dan puluhan ribu karyawan perusahaan tambang akan kehilangan pekerjaan dan secara potensial bertentangan dengan konstitusi, menurut kami, pemutusan hubungan kerja itu tidak akan terjadi apabila perusahaan tambang sejak awal melaksanakan ketentuan yang termuat dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan cara mendirikan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) sendiri ataupun melalui cara melakukan kerjasama dengan perusahaan lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Namun kenyataanya, hal itu tidak dilakukan dengan dalih biaya yang terlalu mahal untuk membangun smelter. Padahal ketika akan mengajukan izin mereka sudah mengetahui adanya ketentuan untuk melakukan pemurnian di dalam negeri sehingga mereka siap menanggung segala akibat hukum sebagaimana ditentukan pada Pasal 102 dan Pasal 103.
Berdasarkan pada hal-hal sebagaimana diatas, dapat diketahui bahwa keputusan MK untuk mendukung kebijakan pemerintah melalui Kementerian ESDM terkait dengan pelaksanaan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dinilai tepat. Penilaian ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan-pertimbangan MK yang menyetujui kebijakan pemerintah untuk melindungi kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut terkait dengan pemanfaaatan sumber daya alam dengan seefektif dan seefisien mungkin, mengingat bahwa sumber daya tersebut tidak dapat diperbaharui. Selain itu, dengan adanya kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut maka berdampak positif pada peningkatan nilai ekonomi dari sumber daya tersebut, kelestarian lingkungan, serta penyerapan sumber daya manusia. Peningkatan nilai ekonomi tersebut ialah bertambahnya nilai harga ekonomis dari sumber daya alam mineral yang telah diolah dan dimurnikan tersebut. Sedangkan kelestarian lingkungan tersebut terkait dengan terjaganya cadangan sumber daya alam mineral. Lalu terkait dengan penyerapan sumber daya manusia tersebut ialah mengenai perluasan lapangan pekerjaan yang tentunya membutuhkan lebih banyak tenaga kerja.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada permasalahan konstitusional dengan norma tersebut. Sehingga kelompok kami setuju dengan penolakan MK terkait dengan permohonan yang diajukan bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 merupakan ketentuan yang bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat  (1), dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Alasan persetujuan kami ialah sangat terkait dengan kepentingan nasional untuk melakukan pengolahan dan pemurnian sumber daya alam mineral tersebut dengan maksud untuk meningkatkan ekonomi, kelestarian alam dan sumber daya manusia.





5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengaturan pengolahan dan pemurnian mineral logam diatur dalam Undang-undang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Pengertian pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan. Pengolahan ini adalah upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat Mineral Logam atau batuan yang dipoles, sedangkan pemurnian adalah upaya untuk meningkatkan mutu Mineral Logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan. Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mewajibkan pada pemegang IUP dan IUPK untuk meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Undang-Undang memberikan jangka waktu lima tahun untuk melakukan pemurnian sampai tahun 2014 sesuai dengan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pengaturan lebih lanjut mengenai pengolahan dan pemurnian diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kemudian dengan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral dalam Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, jangka waktu tiga tahun untuk melakukan pengolahan dan pemurnian pada pasal 12 angka 15 sehingga menjadi tahun 2017. Bagi pemegang IUP dan IUPK yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 akan dijatuhi sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan IUP, IPR, atau IUPK yang diatur pada Pasal 151-157 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan sanksi pidana berupa pidana penjara, kurungan, denda, denda dengan pemberatan dan pidana tambahan (pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum) yang diatur dalam Pasal 158-165 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
2. Adanya ketentuan dalam pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dalam kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Peningkatan nilai tambah mineral pada dasarnya mengharuskan setiap pelaku usaha (perusahaan pertambangan mineral) untuk membangun pabrik pengolahan dan/atau pemurnian, tergantung kepada jenis mineral yang diusahakan; pengusaha mineral bukan logam dan batuan hanya membangun pabrik pengolahan, sedangkan pengusaha mineral logam harus membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Dalam hal melakukan pengolahan dan pemurnian, perusahaan yang belum memiliki IUP OP, tetapi ingin membuat smelter dapat mengurus perizinan IUP OPK agar memperoleh izin untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam pembangunan smelter. Bagi perusahaan yang sudah memiliki IUP OP tidak perlu mengurus IUP OPK, karena dalam IUP OP sudah diperoleh izin untuk melakukan pengolahan dan pemurnian. Namun, perusahaan tetap harus mengurus perizinan berdirinya pabrik di Kementerian Perindustrian dan pemerintah daerah setempat. Dalam hal ini, para pelaku usaha masih merasa diberatkan dengan adanya perizinan ke Kementerian ESDM dan juga ke Kementerian Perindustrian. Proses pembangunan smelter sangatlah tidak mudah, perusahaan membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk melakukan pengolahan dan pemurnian. Untuk itu, perusahaan tambang memerlukan investor untuk dapat memberikan dukungan finansial dalam proyek pembangunan smelter untuk meningkatkan nilai tambah dalam pengolahan dan pemurnian mineral. Badan usaha milik negara (BUMN) dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan tambang swasta untuk mengembangkan pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) mineral bila swasta tidak mampu mendirikan smelter baik sendiri maupun konsorsium. Kerjasama pemerintah dan swasta dimungkinkan karena pemerintah mempunyai perwakilan, yakni perusahaan BUMN selaku pelaksana. Pemerintah  dalam hal ini adalah pemberi penyertaan modal. Selain investor dalam negeri, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak menutup adanya investor asing dalam usaha pertambangan dalam negeri sesuai dengan uu penanaman modal asing. Besarnya kebutuhan dalam melakukan pengolahan dan pemurnian, tidak dapat dipungkiri juga adanya suntikan tambahan dari investor asing yang akan menanamkan modal untuk membantu suatu perusahaan. Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini, yaitu kerjasama BUMN dalam menigkatkan nilai tambah dalam pengolahan dan pemurnian mineral logam sekaligus mendatangkan investor asing adalah kerjasama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) berencana membentuk perusahaan patungan (joint venture/JV) untuk menggarap proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat, dan investor asing yang berasal dari Cina, yakni China Development Bank.
3. Permohonan uji materiil atas pasal 102 dan pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan alasan merugikan hak konstitusional Pemohon yang berkaitan dengan Pasal 22A, 27 Ayat (2), 28D Ayat (1), dan 33 Ayat (3) dari Undang-Undang Dasar 1945 dengan adanya kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian mineral hasil pertambangan sebagaimana dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Regulasi pemerintah (Menteri ESDM) yang melarang ekspor biji mineral mentah secara konstitusional merupakan kewenangan Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara, yang dalam urusan tertentu dibantu oleh Menterinya. Bahwa subtansi ketentuan dalam pasal tersebut mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan dan pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sumber daya mineral dan batubara, adalah termasuk sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara maka negara berhak melakukan pengaturan terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping hal itu pengolahan dan pemurnian bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara, sebagai salah satu cara untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam industri pertambangan. Keputusan MK untuk mendukung kebijakan pemerintah melalui Kementerian ESDM terkait dengan pelaksanaan Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dinilai tepat. Adanya kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut maka berdampak positif pada peningkatan nilai ekonomi dari sumber daya tersebut, yakni bertambahnya nilai harga ekonomis dari sumber daya alam mineral yang telah diolah dan dimurnikan tersebut; kelestarian lingkungan tersebut terkait dengan terjaganya cadangan sumber daya alam mineral; dan penyerapan sumber daya manusia mengenai perluasan lapangan pekerjaan yang tentunya membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Dengan demikian tidak ada permasalahan konstitusional dengan norma tersebut. Kami setuju dengan penolakan MK terkait dengan permohonan yang diajukan bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 merupakan ketentuan yang bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, hal ini terkait dengan kepentingan nasional untuk melakukan pengolahan dan pemurnian sumber daya alam mineral tersebut dengan maksud untuk meningkatkan ekonomi, kelestarian alam dan sumber daya manusia.

5.2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Untuk mewujudkan kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian maka Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian ESDM harus bekerjasama secara maksimal untuk mengupayakan agar kebijakan nasional ini dapat terlaksana dengan baik. Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan Kepala Pemerintah di daerah harus mengoptimalkan koordinasi terkait perizinan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam pengurusan IUP OP, IUP  OPK, dan IUI pembangunan smelter, sehingga para pelaku usaha tidak merasa diberatkan. Pemerintah juga sedapat mungkin mengawasi pemegang Kontrak Karya sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, seperti PT Freeport Indonesia agar dalam perubahan Kontrak Karya tidak hanya menguntungkan salah satu pihak dan dapat berjalan dengan baik sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
2. Terkait adanya kewajiban Pemegang IUP dan IUP meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dengan pengolahan dan pemurnian, di atur dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Pemerintah wajib memberikan kepastian hukum dengan memperbaiki atau melakukan amandemen Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 karena Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan jangka waktu lima tahun hingga 2014 sudah tidak relevan lagi dengan adanya peraturan turunan atau peraturan pelaksana melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang memeberikan jangka waktu tiga tahun hingga tahun 2017 melalui Pasal 12 angka 15. Hal ini untuk memberikan payung hukum berupa Undang-Undang terkait Pertambangan Mineral dan Batubara yang dapat digunakan dalam waktu mendatang yang relevan sesuai perkembangan kondisi pertmabangan yang selalu berubah dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dalam meningkatkan nilai tambah dengan pelaksanaan pemurnian dan pengolahan di dalam negeri sesuai Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan terkait kerjasama antara Pemerintah selaku pemberi penyertaan modal bagi perusahaan yang tidak mampu mendirikan smelter sendiri atau konsorsium melalui BUMN selaku pelaksana, seperti PT Aneka Tambang Tbk.
3. Para pelaku usaha sebaiknya mampu meningkatkan kinerja dalam kegiatan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri sesuai Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Para perusahaan wajib menjalankan regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah. Dengan adanya peluang yang diberikan pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan BUMN, swasta, dan investor asing dalam pengolahan dan pemurnian atau pendirian smelter harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan perusahaan baik finansial maupun Sumber Daya manusia agar mampu bersaing sehat dalam industri pertambangan mineral.

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Abrar Saleng. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press, 2004.
A.V. Dicey. An Introduction to the study of The law of The Constitution. London: English Language Book Society and Mac Millan, 1971.
Erman Rajaguguk. Hukum Investasi di Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
Mustafa Erkan. International Energy Investment Law,  Stability through Contractual Clauses. New York: Wolters Kluwer Legal, 2011.
Salim H.S. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

2. MAJALAH

Egenius Soda, “Prospek Batubara Terbaik”, Majalah Tambang, Desember 2008.

3. ARTIKEL (ONLINE)

Ags. “Perizinan Smelter Bakal Diperjelas.” Maritim News, 1 September 2015, http://maritimenews.id/perizinan-smelter-bakal-diperjelas/ (Diunduh 29 Februari 2016).
Dtf. “Investor Tiongkok Bakal Gencar Bangun Smelter di RI.” Jurnal Asia, 17 Desember 2015, http://www.jurnalasia.com/2015/12/17/investor-tiongkok-bakal-gencar-bangun-smelter-di-ri/#sthash.EfhXNCyQ.dpuf (Diunduh 29 Februari 2016).
Lucky L. Leatemia dan Lukas Hendra, “Ekspor berpeluang dibuka Kembali,” Bisnis Indonesia, 17 Februari 2016, http://www.ima-api.com/index.php?view=article&catid=47%3Amedia-news&id=3118%3Aekspor-berpeluang-dibuka-kembali&format=pdf&option=com_content&Itemid=98&lang=id (diunduh 29 Februari 2016)
Nindya Aldila, “Pengusaha Smelter Merasa Diberatkan Perizinan,” Bisnis Indonesia, 28 Februari 2016, industri.bisnis.ccom/read/20160228/257/523427/pengusaha-smelter-merasa-diberatkan-perizinan (Diunduh 29 Februari 2016).
Rangga Prakoso dan Wahyu Sudoyo, “Definisi Pengolahan dan Pemurnian Perlu Diperjelas,” Beritasatu.com, 7 Januari 2014, http://www.ima-api.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1456:definisi-pengolahan-dan-pemurnian-perlu-diperjelas&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=id (diunduh 29 Februari 2016).
 Yodie Hardiyan, “Aneka Tambang (ANTM) Gandeng Inalum Garap Smelter”, Bisnis Indonesia, 15 Oktober 2015, http://finansial.bisnis.com/read/20151015/309/482609/aneka-tambang-antm-gandeng-inalum-garap-smelter (Diunduh 29 Februari 2016).






4. JURNAL INTERNASIONAL

M. Frilet, “Foreign investments in public infrastructure and mining: Facing the challenge in civil law africa.” Business Law International, 12(2), (2011): hal. 185-196, http://search.proquest.com/docview/879063851?accountid=17242 (Diunduh 29 Februari 2016).
R. Bassett, “Mining Law & Policy: International perspectives.” Journal of Energy & Natural Resources Law, 31(2), (2013): hal. 219-221,  http://search.proquest.com/docview/1437359823?accountid=17242 (Diunduh 29 Februari 2016).


5. DATA/SUMBER YANG TIDAK DITERBITKAN

Darsa Permana, Siti Rochani, Nuryadi Saleh, dkk. “Kajian Dampak Pasca Penerapan Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah Mineral,” Laporan Database Hasil Litbang Puslitbang tekMIRA, Kementerian ESDM, 2015, http://intranet.tekmira.esdm.go.id/litbang/filesmenteri/DAMPAK%20PERMEN%20FINAL.pdf  (Diunduh 29 Februari 2016).

6. WEBSITE

David Dwiarto. “Freeport mulai lakukan hilirisasi”,  Asosiasi Pertambangan Indonesia, 16 Agustus 2013, http://www.ima-api.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1109:freeport-mulai-lakukan-hilirisasi&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=en (Diunduh 29 Februari 2016).
http://www.majalahtambang.com/detail.berita.php?category=36&newssm=2395. (Diunduh tanggal 03 Maret 2016).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. “IUP OP Khusus Pengolahan dan Pemurnian Mineral”, http://www.minerba.esdm.go.id/library/rpiit/IUP%20OP%20Khusus%20Pengolahan%20Dan%20Pemurnian%20Mineral.pdf  (Diunduh 29 Februari 2016).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. http://minerba.esdm.go.id/library/rpiit/?data=79 (Diunduh 29 Februari 2016).
Kementerian Perindustrian. “Mau Bangun Smelter, Pengusaha Ngeluh Proses Izin yang Panjang”, http://kemenperin.go.id/artikel/4291/Mau-Bangun-Smelter,-Pengusaha-Ngeluh-Proses-Izin-Yang-Panjang (Diunduh 29 Februari 2016).
Kementerian Perindustrian. “BUMN dan Swasta bisa Bermitra untuk Bangun Smelter”, http://www.kemenperin.go.id/artikel/8777/BUMN-dan-Swasta-Bisa-Bermitra-untuk-Bangun-Smelter IFT (Diunduh 29 Februari 2016).

7. PUTUSAN PENGADILAN

Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 10/PUU-XII/2014, Tanggal 3 Desember 2014.

8. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, BN Nomor 35 Tahun 2014.
________. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara  dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjual Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, BN Nomor 185 Tahun 2016.
________. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 23 Tahun 2010,  LN Nomor 29, Tahun 2010, TLN Nomor 5111.
________. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 24 Tahun 2012, LN Nomor 45 Tahun 2012, TLN Nomor 5282.
________. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 1 Tahun 2014, LN Nomor 1 Tahun 2014, TLN Nomor 5489.
________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
________. Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 4 Tahun 2009, LN Nomor 4 Tahun 2009, TLN Nomor 4959.
________. Undang-Undang tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25 Tahun 2007, LN Nomor 67 Tahun 2007, TLN Noomor 4724.
________. Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Klasifikasi Badan Usaha di Bidang Pertambangan dalam Akta Pendirian Badan Usaha, SE Kementerian ESDM  Nomor: 11.E/30/DJB/2011.

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S