Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Kamis, 05 Agustus 2021

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016

.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, merek diartikan sebagai suatu tanda yang dapat ditampilkan secara grafis—baik berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna dalam bentuk dua atau tiga dimensi, suara, hologram, atau gabungan dari dua atau lebih unsur tersebut—yang digunakan untuk membedakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh individu maupun badan hukum dalam kegiatan perdagangan.

Sementara itu, pengertian merek dalam Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreement menyatakan bahwa setiap tanda, atau kombinasi tanda, yang mampu membedakan barang atau jasa suatu pihak dengan pihak lainnya, dapat dianggap sebagai merek dagang. Tanda-tanda tersebut bisa berupa kata, termasuk nama pribadi, huruf, angka, elemen bergambar, kombinasi warna, ataupun gabungan dari berbagai unsur tersebut. Jika tanda tersebut tidak memiliki daya pembeda secara alami, maka penggunaannya secara terus-menerus dapat menciptakan daya pembeda yang sah. Negara anggota juga diperbolehkan mensyaratkan bahwa tanda tersebut harus dapat dilihat secara visual untuk bisa didaftarkan sebagai merek.

Menurut Black’s Law Dictionary, merek merupakan tanda, tulisan, atau label yang ditempelkan pada suatu barang buatan untuk membedakannya dari barang sejenis milik pihak lain. Dalam konteks hukum merek, istilah “mark” mencakup berbagai jenis seperti merek dagang, merek jasa, merek kolektif, dan merek sertifikasi.

Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa merek adalah suatu identitas atau penanda yang melekat pada produk. Merek bisa berupa nama, istilah, simbol, warna, gerakan, atau gabungan dari unsur-unsur tersebut. Peran utama merek adalah untuk membedakan produk satu dengan yang lainnya, sekaligus menjadi alat promosi, jaminan mutu, dan penunjuk asal barang atau jasa.[1]

Selain definisi di atas, beberapa ahli hukum juga memberikan definisi mengenai merek, sebagaimana ungkapan lama quot homines, tot sententiae, yang berarti sebanyak jumlah manusia, sebanyak itulah jumlah pengertian.[2] Beberapa diantaranya adalah:

1.    H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H.[3]

Menurut beliau, merek adalah sebuah tanda yang memberikan identitas khusus pada suatu barang, sehingga barang tersebut dapat dibedakan dari produk lain yang sejenis..

2.    A.B. Loebis[4]

Ia mendefinisikan merek sebagai nama atau tanda yang secara sengaja digunakan untuk menandai produk suatu perusahaan atau pelaku usaha, dengan tujuan membedakannya dari produk sejenis milik pihak lain..

3.    Saidin.[5]

Dalam pandangannya, merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa yang sejenis, baik yang diproduksi maupun diperdagangkan oleh seseorang, kelompok, atau badan hukum, dari barang atau jasa milik pihak lain. Tanda ini harus memiliki daya pembeda, sekaligus menjadi jaminan atas mutu dan dipakai dalam aktivitas perdagangan.

 

Berdasarkan berbagai definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, secara umum merek memiliki fungsi utama sebagai pembeda. Artinya, merek membantu membedakan produk atau jasa satu pihak dengan pihak lainnya. Namun, lebih dari sekadar alat pembeda, merek juga memiliki beberapa fungsi lain yang tak kalah penting, antara lain:[6]

1.  Sebagai penghubung antara produk dan produsen — merek memberikan jaminan bahwa barang atau jasa tersebut berasal dari produsen tertentu.

2. Sebagai jaminan mutu dan nilai — merek mencerminkan kualitas produk dan memberikan rasa aman bagi konsumen, sekaligus menguntungkan produsen karena meningkatkan kepercayaan pasar.

3.  Sebagai sarana promosi — merek menjadi identitas yang digunakan produsen untuk memperkenalkan dan memasarkan produknya secara luas.

 

Jika dilihat dari sudut pandang produsen, merek memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:[7]

1.  Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang dibelinya berasal dari perusahaannya.

2.    Menjamin konsistensi kualitas atau mutu barang yang ditawarkan.

3.    Memberikan identitas atau nama pada barang.

4.  Memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek dari praktik peniruan atau pemalsuan oleh pihak lain.

5.  Untuk pedagang, merek menjadi alat untuk memasarkan produk kepada konsumen dan membangun loyalitas pasar. Sedangkan bagi konsumen, merek membantu dalam membuat pilihan terhadap produk yang akan dibeli.

 

Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, disebutkan bahwa merek terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu merek dagang dan merek jasa. Meski istilah “merek dagang” digunakan dalam undang-undang, pada dasarnya istilah tersebut merujuk pada merek yang digunakan untuk barang, yang fungsinya berlawanan dengan merek jasa[16] Penjelasan lebih lanjut mengenai kedua jenis merek tersebut terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang yang sama, yaitu::

1.   Merek Dagang: adalah merek yang digunakan untuk barang-barang yang diperdagangkan oleh seseorang, sekelompok orang, atau badan hukum, yang tujuannya untuk membedakan barang tersebut dari barang lain yang sejenis. (angka 2)

2.    Merek Jasa: adalah merek yang digunakan untuk jasa yang diperdagangkan oleh individu, kelompok, atau badan hukum, agar dapat dibedakan dari jasa serupa lainnya.


Jika dibandingkan dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 (sebelum digantikan oleh UU No. 20 Tahun 2016), definisi dari merek dagang dan merek jasa secara umum tidak berubah secara signifikan.

Selain kedua jenis tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 juga diperkenalkan satu kategori baru, yaitu merek kolektif. Berdasarkan Pasal 1 angka 4, merek kolektif adalah merek yang digunakan untuk barang dan/atau jasa yang memiliki karakteristik serupa, baik dari segi sifat, ciri umum, maupun mutu. Merek ini dipakai oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama, dan tetap berada di bawah pengawasan tertentu, untuk membedakan produk atau jasa mereka dari produk sejenis milik pihak lain.



[1] http://e-tutorial.dgip.go.id/fungsi-merek/ diakses pada 08 Mei 2017

[2]Marzuki, Peter Mahmud,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009). h. 1

[3] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum dagang Indonesia, Djambatan, 1984, h. 82.

[4] H. OK. Saidin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 343

[5] Ibid

[6] Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, (jakarta: Akademika Pressindo, 1990), h. 45

[7] Ibid

[8] HD.Effendy, Hasibuan, Perlindungan Merek, Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, (Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003) h. 29.

[9] Ibid., hal. 51

[10] Gatot Suparmono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992, (Jakarta: Djambatan, 1996). h. 6

[11] C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 145

[12] HD.Effendy Hasibuan, Op cit, h. 58

[13] Ibid, h. 61

[14] Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 314.

[16] Ahmadi Miru, Hukum Merek, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 11

Sejarah Perkembangan Merek di Indonesia

Sejarah Perundang-Undangan merek di Indonesia dimulai pada masa kolonial Belanda, yaitu dengan berlakunya Reglement Industrialle Eigendom (RIE) atau Reglement Hak Milik Perindustrian tahun 1912 yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 Jo. Stb. 1913 No. 214. RIE ini merupakan duplikat dari Undang-Undang Merek Belanda yang terdiri dari 27 Pasal. Sistem yang dianut dalam RIE adalah sistem deklaratif yang artinya, pihak yang mendapat perlindungan utama adalah pemakai merek pertama bukan pendaftar pertama.[1]

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, RIE dinyatakan terus berlaku berdasarkan aturan Peralihan UUD 1945 hingga tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Undang-Undang ini dibuat terlalu sederhana, banyak kesamaan antara RIE dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1961, selain tidak mencantumkan sanksi pidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 juga tidak adanya peraturan lebih lanjut tentang peraturan pelaksanaannya.[2] Adapun Perbedaannya adalah:

1.    Masa berlaku perlindungan merek menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, yaitu 10 tahun dan 20 Tahun menurut RIE,

2.    Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dikenal adanya penggolongan barang-barang dalam 35 kelas sedangkan dalam RIE hal ini tidak dikenal.

Pada tahun 1992, Undang-Undang Merek diperbaharui dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang mulai diberlakukan sejak Tanggal 1 April 1993. Undang-Undang Merek Tahun 1961 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan[3], sehingga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi, tetapi semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 yang telah ada pada tanggal 1 April 1993 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang - Undang Nomor 19 Tahun 1992.[4]

Perubahan dari Undang-Undang Merek Tahun 1961 ke Undang-Undang Merek Tahun 1992 yang signifikan adalah berubahnya sistem pendaftaran merek. Perbedaan Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 adalah:[5]

1.    Undang-Undang lama (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961) hanya mengatur merek dagang sedangkan Undang-Undang baru (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992) mengatur merek barang dan merek jasa;

2.    Undang-Undang lama menganut sistem pendaftaran deklaratif, sedangkan Undang-Undang baru menganut sistem pendaftaran konstitutif.

3.    Pendaftaran berdasarkan Undang-Undang lama hanya dengan pemeriksaan formal saja, sedangkan pemeriksaan berdasarkan undang-undang dilakukan melalui pemeriksaan substantif;

4.    Undang-Undang baru menerapkan hak prioritas, pengalihan merek dengan lisensi dan sanksi pidana sementara dalam Undang-Undang lama tidak diatur tentang hak prioritas, pengalihan merek dengan lisensi maupun sanksi pidana;

5.    Undang-Undang baru dikenal adanya sanksi pidana sementara dalam Undang-Undang lama tidak dikenal adanya sanksi pidana;

Kemudian Undang-Undang Merek Tahun 1992 disempurnakan lagi guna menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam TRIPs yaitu dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Undang-Undang Merek Tahun 1997 sifatnya melengkapi, menambah dan mengubah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Merek Tahun 1992, dan bukan mengganti. Adapun hal-hal yang ditambah ialah:[6]

1.    perlindungan terhadap indikasi geografis yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk lingkungan faktor alam atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

2.    diatur pula perlindungan terhadap indikasi asal, yaitu tanda yang hampir serupa dengan tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis, tetapi perlindungannya diberikan tanpa harus didaftarkan.

3.    Hal-hal lain yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 adalah hak atas merek jasa terdaftar yang erat kaitannya dengan kemampuan atau keterampilan pribadi seseorang, dapat dialihkan maupun dilisensikan kepada pihak lain dengan ketentuan harus disertai dengan jaminan kualitas dari pemilik merek tersebut.

 

Tahun 2001, Undang-Undang Merek kembali mengalami perubahan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001. Perubahan ini dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang telah menjadikan kegiatan disektor perdagangan semakin meningkat secara pesat dan juga untuk mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat, serta untuk menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam persetujuan TRIPs yang belum ditampung dalam Undang-Undang Merek Tahun 1997.

Beberapa perbedaan yang menonjol dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini dibandingkan dengan Undang-Undang merek lama antara lain:

1.    Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pemeriksaan subtantif dilakukan setelah permohonan pendaftaran dinyatakan diterima secara administratif. Sebelumnya pemeriksaan subtantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman tentang adanya permohonan.

2.    Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini jangka waktu pengumuman dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-Undang Merek lama

3.    Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, didaur bahwa penyelesaian sengketa merek dilakukan melalui badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga. Hal ini diharapkan agar sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Kemudian juga pemilik merek diberikan upaya perlindungan hukum lain, yaitu Penetapan Sementara Pengadilan yang bertujuan untuk melindungi merek guna mencegah kerugian yang lebih besar. Untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dalam Undang-Undang ini dimuat ketentuan tentang Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.[7]

 

Kemudian untuk lebih memberikan perlindungan terhadap para pelaku ekonomi dan untuk semakin menguatkan peran Kemenkumham dalam bidang pelayanan publik, maka dilakukan penyempurnaan Undang- Undang Merek, UU No. 15 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang baru ini diklaim dapat memberikan solusi pengaturan mengenai beberapa substansi penting tentang Merek dan Indikasi Geografis. Seperti diantaranya pemberlakuan sistem pendaftaran merek internasional berdasarkan Protokol Madrid, yang mempermudah pelaku usaha nasional untuk mendaftarkan mereknya di luar negeri dengan biaya yang terjangkau.[8]



[1] HD.Effendy, Hasibuan, Perlindungan Merek, Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, (Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003) h. 29.

[2] Ibid., hal. 51

[3] Gatot Suparmono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992, (Jakarta: Djambatan, 1996). h. 6

[4] C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 145

[5] HD.Effendy Hasibuan, Op cit, h. 58

[6] Ibid, h. 61

[7] Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 314.


ANALISIS KRITIS TATA CARA TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Hari ini saya memutuskan untuk mengembalikan pembayaran sebesar Rp105.000 kepada seorang calon klien. Bukan karena nilai nominalnya, melain...