Sejarah
Perundang-Undangan merek di Indonesia dimulai pada masa kolonial Belanda, yaitu
dengan berlakunya Reglement Industrialle Eigendom (RIE) atau Reglement
Hak Milik Perindustrian tahun 1912 yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 Jo. Stb.
1913 No. 214. RIE ini merupakan duplikat dari Undang-Undang Merek Belanda yang
terdiri dari 27 Pasal. Sistem yang dianut dalam RIE adalah sistem deklaratif
yang artinya, pihak yang mendapat perlindungan utama adalah pemakai merek
pertama bukan pendaftar pertama.[1]
Setelah
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, RIE dinyatakan terus berlaku
berdasarkan aturan Peralihan UUD 1945 hingga tahun 1961 dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan. Undang-Undang ini dibuat terlalu sederhana, banyak kesamaan antara
RIE dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1961, selain tidak mencantumkan sanksi
pidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 juga tidak adanya peraturan lebih
lanjut tentang peraturan pelaksanaannya.[2] Adapun Perbedaannya
adalah:
1. Masa
berlaku perlindungan merek menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, yaitu 10
tahun dan 20 Tahun menurut RIE,
2. Dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dikenal adanya penggolongan barang-barang
dalam 35 kelas sedangkan dalam RIE hal ini tidak dikenal.
Pada
tahun 1992, Undang-Undang Merek diperbaharui dan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang mulai diberlakukan sejak Tanggal 1 April
1993. Undang-Undang Merek Tahun 1961 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan dan kebutuhan[3], sehingga Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi, tetapi semua peraturan
pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 yang telah
ada pada tanggal 1 April 1993 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang - Undang
Nomor 19 Tahun 1992.[4]
Perubahan
dari Undang-Undang Merek Tahun 1961 ke Undang-Undang Merek Tahun 1992 yang
signifikan adalah berubahnya sistem pendaftaran merek. Perbedaan Undang-Undang
Merek Nomor 21 Tahun 1961 dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 adalah:[5]
1. Undang-Undang
lama (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961) hanya mengatur merek dagang sedangkan
Undang-Undang baru (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992) mengatur merek barang
dan merek jasa;
2. Undang-Undang
lama menganut sistem pendaftaran deklaratif, sedangkan Undang-Undang baru
menganut sistem pendaftaran konstitutif.
3. Pendaftaran
berdasarkan Undang-Undang lama hanya dengan pemeriksaan formal saja, sedangkan
pemeriksaan berdasarkan undang-undang dilakukan melalui pemeriksaan substantif;
4. Undang-Undang
baru menerapkan hak prioritas, pengalihan merek dengan lisensi dan sanksi
pidana sementara dalam Undang-Undang lama tidak diatur tentang hak prioritas,
pengalihan merek dengan lisensi maupun sanksi pidana;
5. Undang-Undang
baru dikenal adanya sanksi pidana sementara dalam Undang-Undang lama tidak
dikenal adanya sanksi pidana;
Kemudian
Undang-Undang Merek Tahun 1992 disempurnakan lagi guna menyesuaikan diri dengan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam TRIPs yaitu dengan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Undang-Undang Merek Tahun 1997 sifatnya
melengkapi, menambah dan mengubah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Merek
Tahun 1992, dan bukan mengganti. Adapun hal-hal yang ditambah ialah:[6]
1. perlindungan
terhadap indikasi geografis yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk lingkungan faktor alam
atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri
dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
2. diatur
pula perlindungan terhadap indikasi asal, yaitu tanda yang hampir serupa dengan
tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis, tetapi perlindungannya
diberikan tanpa harus didaftarkan.
3. Hal-hal
lain yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 adalah hak atas merek
jasa terdaftar yang erat kaitannya dengan kemampuan atau keterampilan pribadi
seseorang, dapat dialihkan maupun dilisensikan kepada pihak lain dengan
ketentuan harus disertai dengan jaminan kualitas dari pemilik merek tersebut.
Tahun
2001, Undang-Undang Merek kembali mengalami perubahan dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang mulai berlaku sejak
tanggal 1 Agustus 2001. Perubahan ini dilakukan untuk mengantisipasi
perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang telah menjadikan
kegiatan disektor perdagangan semakin meningkat secara pesat dan juga untuk
mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat, serta untuk menampung
beberapa aspek atau ketentuan dalam persetujuan TRIPs yang belum
ditampung dalam Undang-Undang Merek Tahun 1997.
Beberapa
perbedaan yang menonjol dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini
dibandingkan dengan Undang-Undang merek lama antara lain:
1. Dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pemeriksaan subtantif dilakukan setelah
permohonan pendaftaran dinyatakan diterima secara administratif. Sebelumnya
pemeriksaan subtantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman tentang
adanya permohonan.
2. Dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini jangka waktu pengumuman dilaksanakan
selama 3 (tiga) bulan, lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan
Undang-Undang Merek lama
3. Dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, didaur bahwa penyelesaian sengketa merek
dilakukan melalui badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga. Hal ini
diharapkan agar sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif
cepat. Kemudian juga pemilik merek diberikan upaya perlindungan hukum lain,
yaitu Penetapan Sementara Pengadilan yang bertujuan untuk melindungi merek guna
mencegah kerugian yang lebih besar. Untuk memberikan kesempatan yang lebih luas
dalam penyelesaian sengketa, dalam Undang-Undang ini dimuat ketentuan tentang
Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.[7]
Kemudian untuk lebih
memberikan perlindungan terhadap para pelaku ekonomi dan untuk semakin
menguatkan peran Kemenkumham dalam bidang pelayanan publik, maka dilakukan
penyempurnaan Undang- Undang Merek, UU No. 15 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang No. 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang
baru ini diklaim dapat memberikan solusi pengaturan mengenai beberapa substansi
penting tentang Merek dan Indikasi Geografis. Seperti diantaranya pemberlakuan
sistem pendaftaran merek internasional berdasarkan Protokol Madrid, yang
mempermudah pelaku usaha nasional untuk mendaftarkan mereknya di luar negeri
dengan biaya yang terjangkau.[8]
[1]
HD.Effendy, Hasibuan, Perlindungan Merek, Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat, (Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2003) h. 29.
[2] Ibid., hal. 51
[3]
Gatot Suparmono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun
1992, (Jakarta: Djambatan, 1996). h. 6
[4]
C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 145
[5]
HD.Effendy Hasibuan, Op cit, h. 58
[6] Ibid,
h. 61
[7]
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 314.
Comments
Post a Comment