Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Kamis, 05 Agustus 2021

Sejarah Perkembangan Merek di Indonesia

Sejarah Perundang-Undangan merek di Indonesia dimulai pada masa kolonial Belanda, yaitu dengan berlakunya Reglement Industrialle Eigendom (RIE) atau Reglement Hak Milik Perindustrian tahun 1912 yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 Jo. Stb. 1913 No. 214. RIE ini merupakan duplikat dari Undang-Undang Merek Belanda yang terdiri dari 27 Pasal. Sistem yang dianut dalam RIE adalah sistem deklaratif yang artinya, pihak yang mendapat perlindungan utama adalah pemakai merek pertama bukan pendaftar pertama.[1]

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, RIE dinyatakan terus berlaku berdasarkan aturan Peralihan UUD 1945 hingga tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Undang-Undang ini dibuat terlalu sederhana, banyak kesamaan antara RIE dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1961, selain tidak mencantumkan sanksi pidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 juga tidak adanya peraturan lebih lanjut tentang peraturan pelaksanaannya.[2] Adapun Perbedaannya adalah:

1.    Masa berlaku perlindungan merek menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, yaitu 10 tahun dan 20 Tahun menurut RIE,

2.    Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dikenal adanya penggolongan barang-barang dalam 35 kelas sedangkan dalam RIE hal ini tidak dikenal.

Pada tahun 1992, Undang-Undang Merek diperbaharui dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang mulai diberlakukan sejak Tanggal 1 April 1993. Undang-Undang Merek Tahun 1961 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan[3], sehingga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi, tetapi semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 yang telah ada pada tanggal 1 April 1993 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang - Undang Nomor 19 Tahun 1992.[4]

Perubahan dari Undang-Undang Merek Tahun 1961 ke Undang-Undang Merek Tahun 1992 yang signifikan adalah berubahnya sistem pendaftaran merek. Perbedaan Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 adalah:[5]

1.    Undang-Undang lama (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961) hanya mengatur merek dagang sedangkan Undang-Undang baru (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992) mengatur merek barang dan merek jasa;

2.    Undang-Undang lama menganut sistem pendaftaran deklaratif, sedangkan Undang-Undang baru menganut sistem pendaftaran konstitutif.

3.    Pendaftaran berdasarkan Undang-Undang lama hanya dengan pemeriksaan formal saja, sedangkan pemeriksaan berdasarkan undang-undang dilakukan melalui pemeriksaan substantif;

4.    Undang-Undang baru menerapkan hak prioritas, pengalihan merek dengan lisensi dan sanksi pidana sementara dalam Undang-Undang lama tidak diatur tentang hak prioritas, pengalihan merek dengan lisensi maupun sanksi pidana;

5.    Undang-Undang baru dikenal adanya sanksi pidana sementara dalam Undang-Undang lama tidak dikenal adanya sanksi pidana;

Kemudian Undang-Undang Merek Tahun 1992 disempurnakan lagi guna menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam TRIPs yaitu dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Undang-Undang Merek Tahun 1997 sifatnya melengkapi, menambah dan mengubah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Merek Tahun 1992, dan bukan mengganti. Adapun hal-hal yang ditambah ialah:[6]

1.    perlindungan terhadap indikasi geografis yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk lingkungan faktor alam atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

2.    diatur pula perlindungan terhadap indikasi asal, yaitu tanda yang hampir serupa dengan tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis, tetapi perlindungannya diberikan tanpa harus didaftarkan.

3.    Hal-hal lain yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 adalah hak atas merek jasa terdaftar yang erat kaitannya dengan kemampuan atau keterampilan pribadi seseorang, dapat dialihkan maupun dilisensikan kepada pihak lain dengan ketentuan harus disertai dengan jaminan kualitas dari pemilik merek tersebut.

 

Tahun 2001, Undang-Undang Merek kembali mengalami perubahan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001. Perubahan ini dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang telah menjadikan kegiatan disektor perdagangan semakin meningkat secara pesat dan juga untuk mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat, serta untuk menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam persetujuan TRIPs yang belum ditampung dalam Undang-Undang Merek Tahun 1997.

Beberapa perbedaan yang menonjol dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini dibandingkan dengan Undang-Undang merek lama antara lain:

1.    Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pemeriksaan subtantif dilakukan setelah permohonan pendaftaran dinyatakan diterima secara administratif. Sebelumnya pemeriksaan subtantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman tentang adanya permohonan.

2.    Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini jangka waktu pengumuman dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-Undang Merek lama

3.    Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, didaur bahwa penyelesaian sengketa merek dilakukan melalui badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga. Hal ini diharapkan agar sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Kemudian juga pemilik merek diberikan upaya perlindungan hukum lain, yaitu Penetapan Sementara Pengadilan yang bertujuan untuk melindungi merek guna mencegah kerugian yang lebih besar. Untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dalam Undang-Undang ini dimuat ketentuan tentang Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.[7]

 

Kemudian untuk lebih memberikan perlindungan terhadap para pelaku ekonomi dan untuk semakin menguatkan peran Kemenkumham dalam bidang pelayanan publik, maka dilakukan penyempurnaan Undang- Undang Merek, UU No. 15 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang baru ini diklaim dapat memberikan solusi pengaturan mengenai beberapa substansi penting tentang Merek dan Indikasi Geografis. Seperti diantaranya pemberlakuan sistem pendaftaran merek internasional berdasarkan Protokol Madrid, yang mempermudah pelaku usaha nasional untuk mendaftarkan mereknya di luar negeri dengan biaya yang terjangkau.[8]



[1] HD.Effendy, Hasibuan, Perlindungan Merek, Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, (Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003) h. 29.

[2] Ibid., hal. 51

[3] Gatot Suparmono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992, (Jakarta: Djambatan, 1996). h. 6

[4] C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 145

[5] HD.Effendy Hasibuan, Op cit, h. 58

[6] Ibid, h. 61

[7] Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 314.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Yuridis Pemberian Abolisi dan Amnesti: Studi Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia

  Analisis Yuridis Pemberian Abolisi dan Amnesti: Studi Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia...