1. Definisi
Terminologi Korupsi berasal dari bahasa latin corruption yang berarti kebusukan/ keburukan/ ketidak sucian.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan .
2. Kenapa tipikor jadi tindak pidana khusus?
Korupsi dapat diterima sebagai kaidah khusus yang menyimpangi kaidah umum, artinya ketentuan umum ini tidak dapat mengakomodir tindak pidana ini. Sehingga dengan demikian diperlukan ketentuan khusus yang dapat memberikan aturan khusus yang luar biasa untuk memberantasnya.
3. Tindak pidana ini melanggar hak-hak ekonomi masyarakat secara luas, dimana hak ekonomi ini merupakan hak asasi manusia.
4. Beda suap dan gratifikasi.
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pengecualian:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang Mengatur Gratifikasi
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan Aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001:
• Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar .
Perbedaan pasal 2 & pasal 3 UU Tipikor.
Ada hal yang selama ini keliru ketika memaknai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sayangnya, pihak yang acapkali keliru justru berasal dari kalangan yang semestinya punya pemahaman baik dalam memaknai kedua pasal tersebut, termasuk para penegak hukum.
Hal itu terungkap dalam sebuah diskusi bertema “Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi, Norma dan Praktiknya” di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera) di Jakarta, Selasa (29/3). Salah satu narasumber, Mantan Komisioner KPK, Chandra M Hamzah berpendapat bahwa banyak pihak yang terjebak pada unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
“Nggak perlu takut dikriminalisasi dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sepanjang konsisten dalam menafsirkannya,” kata Chandra.
Biasanya, lanjut Chandra, cukup banyak pihak yang terpaku pada unsur dalam dua pasal tersebut. Dimana, seolah-olah unsur tersebut adalah hal yang menjadi penekanan dan penegasan dalam pasal itu. Padahal, kata Chandra, unsur tersebut hanya sebatas sarana atau cara bagi pelaku untuk melakukan tindakan korupsi. Jika dikelompokan, ada tiga kelompok utama yang menjadi konstruksi dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Ketiga kelompok itu, yakni perbuatan, sarana, dan akibat. Misalnya dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, unsur “memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi masuk dalam kelompok perbuatan. Lalu unsur “secara melawan hukum” masuk dalam kelompok sarana. Selanjutnya, unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” masuk dalam kelompok akibat.
“Secara tata urutan memang unsur ‘secara melawan hukum’ terletak di depan. Tapi bukan berarti itu yang mesti dicari terlebih dahulu. Memulai dari unsur melawan hukum itu keliru besar tapi mulai dari perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau korporasi. Sehingga buktikan dulu perbuatan sebagai baru kemudian cari soal unsur melawan hukumnya,” kata Chandra.
Di tempat yang sama, Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil mengatakan pergeseran dalam memaknai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor secara tidak langsung membuat ketidakpastian hukum khususnya dalam hal apakah perbuatan seseorang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi atau tidak. Makanya, ia menilai perlu ada yang diluruskan dalam memaknai dua pasal secara tepat.
Contohnya, lanjut Arsil, ada pada beberapa putusan Mahkamah Agung (MA) salah satunya putusan MA No.69 K/Pid.Sus/2013/ Dalam putusan itu dinyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP maka Jaksa tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Menurut Arsil, pertimbangan tersebut memberi kesan bahwa audit BPK atau BPKP mutlak diperlukan untuk mengetahui kerugian keuangan negara. “Padahal itu sebagai akibat bukan sebagai inti delik,” katanya.
Menurutnya, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor cukup dipahami bahwa inti delik (Bestanddelen Van Het Delict), yakni “memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” dan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Sehingga, tak perlu membutuhkan bukti seperti audit BPK atau BPKP untuk mengetahui kerugian keuangan negara karena hal itu bukanlan inti dari delik.
“Memahami unsur pokok delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 terletak pada unsur ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum’ dapat menjangkau perbuatan koruptif secara luas tanpa menimbulkan kekhawatiran kriminalisasi,” kata Arsil
Legislative Error
Sementara itu, Ketua DPN PERADI Luhut MP Pangaribuan punya perspektif yang berbeda terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Ia berpendapat, bahwa ada yang keliru dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor khususnya terkait dengan konsep ancaman hukuman antara kedua pasal itu.
Menurut Luhut, oleh karena Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, mestinya ancaman pidana yang saat ini diatur dalam Pasal 2 mestinya tidak lebih tinggi dari Pasal 3. Sebab secara konsep, Pasal 3 UU Tipikor merupakan perberatan dari tindakan yang diatur di Pasal 2 UU Tipikor.
“Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ini terjadi legislative error, mestinya Pasal 3 harus lebih berat hukuman dibanding Pasal 2 karena dia tahu kalau dia menyalahgunakan wewenang untuk melakukan pidana,” tutup Luhut .
Tipikor dibagi jadi 3 kelompok:
a. perumusan delik dari pembuatan uu tipikor,
b. perumusan delik yang tercantum dalam pasal” KUHP yang ditarik jadi delik korupsi, yang dibagi: penyuapan, penggelapan, kerakusan, yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan
c. tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
11. Tipikor diatur dalam 2 yaitu dalam kuhp dan uu tipikor
12. Subjek tipikor ada org dan korporasi.
13. Pidana untuk korporasi hanyalah pidana denda.
14. Pembuktian terbalik pada gratifikasi
15. Pengembalian aset: intinya negara yang meratifikasi UNCAC harus saling mengembalikan
16. Definisi whistleblower dan collaborator justice.
Istilah whistle blower dan justice collaborator kini kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Istilah keduanya dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Terminologi Korupsi berasal dari bahasa latin corruption yang berarti kebusukan/ keburukan/ ketidak sucian.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan .
2. Kenapa tipikor jadi tindak pidana khusus?
Korupsi dapat diterima sebagai kaidah khusus yang menyimpangi kaidah umum, artinya ketentuan umum ini tidak dapat mengakomodir tindak pidana ini. Sehingga dengan demikian diperlukan ketentuan khusus yang dapat memberikan aturan khusus yang luar biasa untuk memberantasnya.
3. Tindak pidana ini melanggar hak-hak ekonomi masyarakat secara luas, dimana hak ekonomi ini merupakan hak asasi manusia.
4. Beda suap dan gratifikasi.
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pengecualian:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang Mengatur Gratifikasi
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan Aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001:
• Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar .
Perbedaan pasal 2 & pasal 3 UU Tipikor.
Ada hal yang selama ini keliru ketika memaknai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sayangnya, pihak yang acapkali keliru justru berasal dari kalangan yang semestinya punya pemahaman baik dalam memaknai kedua pasal tersebut, termasuk para penegak hukum.
Hal itu terungkap dalam sebuah diskusi bertema “Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi, Norma dan Praktiknya” di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera) di Jakarta, Selasa (29/3). Salah satu narasumber, Mantan Komisioner KPK, Chandra M Hamzah berpendapat bahwa banyak pihak yang terjebak pada unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
“Nggak perlu takut dikriminalisasi dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sepanjang konsisten dalam menafsirkannya,” kata Chandra.
Biasanya, lanjut Chandra, cukup banyak pihak yang terpaku pada unsur dalam dua pasal tersebut. Dimana, seolah-olah unsur tersebut adalah hal yang menjadi penekanan dan penegasan dalam pasal itu. Padahal, kata Chandra, unsur tersebut hanya sebatas sarana atau cara bagi pelaku untuk melakukan tindakan korupsi. Jika dikelompokan, ada tiga kelompok utama yang menjadi konstruksi dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Ketiga kelompok itu, yakni perbuatan, sarana, dan akibat. Misalnya dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, unsur “memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi masuk dalam kelompok perbuatan. Lalu unsur “secara melawan hukum” masuk dalam kelompok sarana. Selanjutnya, unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” masuk dalam kelompok akibat.
“Secara tata urutan memang unsur ‘secara melawan hukum’ terletak di depan. Tapi bukan berarti itu yang mesti dicari terlebih dahulu. Memulai dari unsur melawan hukum itu keliru besar tapi mulai dari perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau korporasi. Sehingga buktikan dulu perbuatan sebagai baru kemudian cari soal unsur melawan hukumnya,” kata Chandra.
Di tempat yang sama, Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil mengatakan pergeseran dalam memaknai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor secara tidak langsung membuat ketidakpastian hukum khususnya dalam hal apakah perbuatan seseorang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi atau tidak. Makanya, ia menilai perlu ada yang diluruskan dalam memaknai dua pasal secara tepat.
Contohnya, lanjut Arsil, ada pada beberapa putusan Mahkamah Agung (MA) salah satunya putusan MA No.69 K/Pid.Sus/2013/ Dalam putusan itu dinyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP maka Jaksa tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Menurut Arsil, pertimbangan tersebut memberi kesan bahwa audit BPK atau BPKP mutlak diperlukan untuk mengetahui kerugian keuangan negara. “Padahal itu sebagai akibat bukan sebagai inti delik,” katanya.
Menurutnya, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor cukup dipahami bahwa inti delik (Bestanddelen Van Het Delict), yakni “memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” dan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Sehingga, tak perlu membutuhkan bukti seperti audit BPK atau BPKP untuk mengetahui kerugian keuangan negara karena hal itu bukanlan inti dari delik.
“Memahami unsur pokok delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 terletak pada unsur ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum’ dapat menjangkau perbuatan koruptif secara luas tanpa menimbulkan kekhawatiran kriminalisasi,” kata Arsil
Legislative Error
Sementara itu, Ketua DPN PERADI Luhut MP Pangaribuan punya perspektif yang berbeda terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Ia berpendapat, bahwa ada yang keliru dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor khususnya terkait dengan konsep ancaman hukuman antara kedua pasal itu.
Menurut Luhut, oleh karena Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, mestinya ancaman pidana yang saat ini diatur dalam Pasal 2 mestinya tidak lebih tinggi dari Pasal 3. Sebab secara konsep, Pasal 3 UU Tipikor merupakan perberatan dari tindakan yang diatur di Pasal 2 UU Tipikor.
“Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ini terjadi legislative error, mestinya Pasal 3 harus lebih berat hukuman dibanding Pasal 2 karena dia tahu kalau dia menyalahgunakan wewenang untuk melakukan pidana,” tutup Luhut .
Tipikor dibagi jadi 3 kelompok:
a. perumusan delik dari pembuatan uu tipikor,
b. perumusan delik yang tercantum dalam pasal” KUHP yang ditarik jadi delik korupsi, yang dibagi: penyuapan, penggelapan, kerakusan, yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan
c. tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
11. Tipikor diatur dalam 2 yaitu dalam kuhp dan uu tipikor
12. Subjek tipikor ada org dan korporasi.
13. Pidana untuk korporasi hanyalah pidana denda.
14. Pembuktian terbalik pada gratifikasi
15. Pengembalian aset: intinya negara yang meratifikasi UNCAC harus saling mengembalikan
16. Definisi whistleblower dan collaborator justice.
Istilah whistle blower dan justice collaborator kini kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Istilah keduanya dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Comments
Post a Comment