Skip to main content

PENGATURAN HUKUM PAJAK DALAM MEMPENGARUHI KEBERHASILAN SELF ASSESSMENT SYSTEM

I. LATAR BELAKANG
    Persepsi yang baik tentunya berasal dari tanggapan yang baik terhadap sesuatu.  Adanya persepsi yang baik akan hukum pajak bisa jadi menjadi salah satu factor yang membawa dampak ke arah dimanna terciptanya kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak penghasilan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2000 bahkan diharapkan kepatuhan wajib pajak voluntary compliance (kepatuhan sukarela), dimana kepatuhan tersebut timbul dari kesadaran diri sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan akan berpengaruh terhadap keberhasilan Self Assessment System.
    Berdasarkan ketentuan pasal 29 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2007. Sejak tanggal 1 Januari 1984 sistem pemungutan di Indonesia telah diubah, yaitu dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan kepada wajib pajak dalam Self Assessment System tersebut tanpa melakukan pengawasan merupakan suatu kelemahan yang mendasar, dengan demikian upaya pengawasan pun dilakukan antara lain melalui jalur pemeriksaan sehingga mampu mengantisipasi segala ketidakbenaran yang terdapat dalam laporan penghasilan wajib pajak. Persepsi yang terjadi pada diri perseptor dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pengalaman, kepribadian, motivasi, kecemasan, dan pengharapan. Dengan banyaknya persepsi masyarakat yang negatif mengenai ketentuan perpajakan yang berlaku tentunya dapat memberikan pengaruh yang buruk terhadap penerimaan pajak.
    Bila kita lihat dalam penelitian dilakukan oleh Dwi Ratna Apriani tahun 2011 dengan judul Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Badan Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System. Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Lama. Penelitian ini menggunakan data primer dengan cara penyebaran kuesioner dengan 30 sampel wajib pajak orang pribadi yang terdapat di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama. Teknik penentuan sampel menggunakan Random Sampling dengan menggunakan skala likert 5 point mulai dari skala 1 „sangat tidak setuju‟ sampai skala 5 „sangat setuju‟. Data dianalisa menggunakan analisa Regresi Linier Sederhana dan uji hipotesisnya menggunakan Ftest. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi wajib pajak badan berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan Self Assessment System dan persepsi memiliki hubungan yang kuat dan positif terhadap pelaksanaan Self Assessment System sebesar 35,6% atau dengan kata lain 64,4% ditentukan oleh faktor lain. Adapun pengembangan yang dilakukan oleh penulis menggunakan Teknik Random Sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer, yaitu data yang diambil langsung dari responden dengan teknik kuesioner. Responden pada penelitian ini yaitu sejumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibeunying Bandung yang bertempat di Jalan Punawarman No.21 Bandung. Adapun jenis analisis yang digunakan adalah metode Regresi Linier Sederhana dan uji hipotesisnya menggunakan t (t-Test). Berdasarkan uraian di atas maka dalam tulisan ini mengambil judul “Hukum Pajak Dalam Mempengaruhi Keberhasilan Self Assessment System”.

II. PERMASALAHAN
    Dalam menjalankan Self Assessment System, masih terdapat banyak kendala. Salah satunya adalah karena masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga berdampak pada berkurangnya penerimaan pajak. Fakta yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak seperti dari penelitian diatas, umumnya tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia seperti masih adanya potensi wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri, adanya wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan tidak benar, tidak menyetorkan pajak yang seharusnya maupun usaha untuk melakukan konspirasi dengan petugas pajak. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi perpajakan mengenai kewajiban wajib pajak dalam pelaksanaan Self Assessment System, terlihat dari adanya upaya penggelapan pajak melalui penghapusan NPWAJIB PAJAK. Sehingga dalam makalah ini akan dilihat sejauh mana Kaitan Ketentuan Hukum Pajak Dalam Mempengaruhi Keberhasilan Self Assessment dalam Hukum Pajak
    Sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka rumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Tinjauan umum Terhadap Hukum Pajak?.
2. Bagaimana Hukum Pajak Dalam Mempengaruhi Keberhasilan Self Assassment?

III. PEMBAHASAN
1. Tinjauan umum Terhadap Hukum Pajak
    Pada dasarnya Pajak Negara membutuhkan dana pembangunan yang besar untuk membiayai segala kebutuhannya. Pengeluaran utama negara adalah untuk pengeluaran rutin seperti gaji pegawai pemerintahan, berbagai macam subsidi diantaranya pada sektor pendidikan, kesehatan, pertahanan dan keamanan, perumahan rakyat, ketenagakerjaan, agama, lingkungan hidup, dan pengeluaran pembangunan lainya. Untuk membiayai seluruh kepentingan umum tersebut, salah satu yang dibutuhkan dan terpenting adalah suatu peran aktif dari warganya untuk ikut memberikan iuran kepada negara dalam bentuk pajak, sehingga segala keperluan pembangunan dapat dibiayai. Pajak semula merupakan pemberian berupa pungutan, hal ini dikarenakan kebutuhan negara akan dana semakin besar dalam rangka untuk memelihara kepentingan negara. Banyak para ahli dalam bidang perpajakan memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai pajak.
    Pengertian pajak menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut: “Pajak adalah konribusi wajib kepada negara terhutang oleh orang pribadi atau badan yang besifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
    Kemudian definisi pajak menurut Brotodiharjo   yaitu iuran kepada negara (dapat dipaksakan) yang tentang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintah. Juga ada beberapa pengertian pajak lainnya yang dikemukakan para ahli yang dikutip oleh Siti Resmi  yaitu sebagai berikut: “S.I. Djajaningrat: Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang di tetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum, N.J. Feldmann: Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa ada kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran pengeluaran umum, Rochmat Soemitro: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

    Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, pajak memiliki fungsi-fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Menurut pandangan Richard Burton dan Wirawan B Ilyas  terdapat pula fungsi pajak yang lain yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgetair) adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyakbanyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dan bila ada surplus akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
2. Fungsi mengatur (regulerend) yaitu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.
3. Fungsi demokrasi yaitu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak seseorang untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah apabila telah melakukan kewajibannya membayar pajak, bila pemerintah tidak memberikan pelayanan yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes (complaint).
4. Fungsi distribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur dalam masyarakat”.

    Dari uraian terkait fungsi diatas dapat dikatakan bahwa pajak sebagai fungsi penerimaan merupakan sumber dana utama bagi penerimaan dalam negeri yang memberikan konstribusi yang besar terhadap pembangunan, oleh karena itu, pemungutan atas pajak bisa dipaksakan kepada orang-orang yang memang wajib dikenakan pajak tentunya kesemuanya sudah diatur dalam undang-undang. Dalam fungsi mengatur, pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi, misalnya dengan rendahnya tarif pemungutan pajak sehingga dapat mendorong investasi dalam negeri. Terkait pengelompokan pajak, menurut Mardiasmo , pajak dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Golongannya
a. Pajak Langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Sistem pemungutan pajak menurut Waluyo  ada tiga macam, yaitu:
1. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak yang dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan seperti karcis dan nota pesanan (bill).
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b. Wajib pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Self Assessment Sytem Yaitu memberikan wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri besarnya hutang pajak.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukkan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak itu sendiri.
b. Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. Witholding System Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukkan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya: Wewenang menentukkan besarnya pajak yang terutang adalah pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
Terkait definisi Wajib pajak  menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 28 tahun 2007 Tentang Tata Cara Perpajakan bahwa yang dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukkan untuk melakukkan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Sehingga wajib pajak dituntut untuk melakukkan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Oleh karena itu pemerintah terus mengupayakan agar wajib pajak memahami sepenuhnya kewajibannya terhadap negara dan mau melaksanakannya dengan itikad baik kewajiban perpajakannya.
Kemudian berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Huruf a UU PPh terkait definisi pribadi adalah sebagai berikut: “Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di indonesia”. Orang Pribadi dianggap subjek pajak karena telah dituju oleh Undang-undang untuk dikenakkan pajak. Karena penghasilan orang pribadi merupakan pajak subjektif sehingga yang pertama dilihat adalah kondisi subjeknya. Setelah itu baru dilihat apakah objek pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU PPh.
Menurut Mardiasmo  terdapat dua subjek pajak orang pribadi dalam negeri dan luar negeri karena terdapat perbedaan tarif pajak antara kedua subjek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam negeri ada 2 yaitu:
a. Orang pribadi dianggap subjek dalam negri bila bertempat tinggal di indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau berada di indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di indonesia.
b. Warisan yang belum sesuai satu kesatuan menggantikan yang berhak dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri mengikuti status pewaris, di mana pemenuhan kewajiban pajaknya digantikan oleh warisan tersebut. Selanjutnya bila warisan tersebut telah terbagi maka kewajiban pajaknya berubah kepada ahli waris. Apabila ditinggalkan oleh wajib pajak luar negeri maka warisan tersebut tidak dianggap sebagai subjek pajak.
2. Subjek pajak orang pribadi luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi memperoleh penghasilan dari indonesia, batasan 183 hari adalah batasan waktu (time test) yang digunakan untuk memutuskan status wajib pajak jika antara Indonesia dan negara asal wajib pajak belum ada perjanjian penghindaran pajak berganda. Bila ada, maka batasan waktu didasarkan ketetapan dalam (Tax Treaty).
Kemudian kewajiban wajib pajak khususnya kewajiban yang berhubungan dengan wajib pajak orang pribadi yang diatur dalam Undang-undang perpajakan adalah sebagai berikut:
1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai pemotong pajak penghasilan, pasal 2 KUP menegaskan bahwa setiap wajib pajak wajib mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal pajak yang wilayah kerjanya meliputi tenpat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWAJIB PAJAK).
2. Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dilakukan oleh wajib pajak terhadap pihak lain dalam rangka melaksanakan kewajiban perpajakannya.
3. Kewajiban mengisi dan menyampaikan SPT masa pajak penghasilan orang pribadi, pasal 3 ayat (1) Undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap wajib pajak mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pajak tempat wajib pajak terdaftar.
4. Kewajiban membayar atau menyetor pajak, menurut pasal 10 ayat (1) Undang-undang KUP kewajiban membayar dan menyetor pajak dilakukan di kas negara melalui kantor pos atau Bank BUMN atau BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan menteri Keuangan. 5. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan, pasal 28 ayat (1) Undang-undang KUP. 6. Kewajiban mentaati pemeriksaan, pasal 29 ayat (3) Undang-undang KUP

2. Hukum Pajak Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Self Assassment
Self Assessment System merupakan metode yang memberikan tanggung-jawab yang besar kepada wajib pajak karena semua proses dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Menurut Waluyo  definisi Self assessment System adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Sedangkan menurut Mardiasmo  terkait definisi dan ciri-ciri self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dengan ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:
1. Wewenang untuk menentukkan besarnya pajak ada pada wajib pajak
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa terkait perhitungan pajak dengan Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang menekankan kepada wajib pajak untuk bersikap aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, karena sistem pemungutan ini memberi kebebasan kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri tanpa adanya campur tangan fiskus atau pemungut pajak.
Dalam pelaksanaan self assessment system, Wajib Pajak tidak serta merta mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus. Persoalan yang akan dihadapi kedepan adalah betapa pentingnya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan dan berbagai peraturannya yang dituangkan secara gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna ganda, dan tidak terlalu sering berubah .
Selanjutnya harus disampaikan kepada wajib pajak sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah. Jadi, self assessment system adalah suatu system perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal dengan:
1. Mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak.
2. Menghitung dan/atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang.
3. Menyetor pajak tersebut ke bank persepsi/kantor pos.
4. Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.
5. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar.
Tata cara pemungutan pajak dengan menggunakan Self Assessment System berhasil dengan baik jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, di mana ciri-ciri Self Assessment System adalah adanya kepastian hukum, sederhana perhitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak.
Kemudian Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak dan tidak menimbulkan hambatan, maka perlu adanya asas-asas dalam pemungutan pajak. Menurut Mardiasmo  asas pemungutan pajak terdiri dari asas tempat tinggal, asas sumber dan asas kebangsaan
Menurut Rimsky K. Judisseno selanjutnya dikutip oleh Siti Kurnia Rahayu dan Sony Devano  menjelaskan bahwa Sistem self-assessment diberlakukan untuk memberikan kepercayaan sebesar-besarnya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Konsekuensinya, masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara penghitungan pajak dan segala sesuatu yang berkaitan dengan regulasi pemenuhan pajak. Dimana dapat dikatakan kemudian bahwa Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang harusnya dibayarkan.
Adapun ciri self assessment system, antara lain:
a. Wajib pajak (dapat dibantu oleh konsultan pajak) melakukan peran aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
b. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
c. Pemerintah dalam hal ini instansi perpajakan, melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku.
Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa pemberian kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan penetapan besarnya pajak yang terutang sendiri dan kemudian melaporkan pembayaran pajak dan penghitungan pajak secara teratur jumlah pajak terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sistem self-assessment pertama kali diperkenalkan pada saat reformasi perpajakan, yang dimulai pada 1 Januari 1984 sebagai pengganti sistem penilaian resmi sebelumnya. Pengenalan sistem self-assessment diharapkan dapat membawa misi dan konsekuensi dari perubahan sikap kesadaran warga untuk membayar pajak secara sukarela. Karena dari segi administrasi dan pengawasan, semakin besar tingkat kepatuhan sukarela, semakin kecil kebutuhan untuk mengawasinya. Pengawasan ini terutama ditunjukkan terhadap wajib pajak yang berusaha menghindari atau tidak membuat laporan pajak, hal ini merupakan salah satu masalah bagi penegak hukum administrasi perpajakan di negara manapun.
Dimana Sebelum UU No. 6 Tahun 1983 lahir, penghitungan pajak dilakukan oleh fiskus (aparat pajak). Sistem pemungutannya dikenal dengan istilah official assessment system. Perpindahan dari official assessment ke self assessment inilah yang kemudian ditandai sebagai reformasi perpajakan. Prinsip self assessment ini sesungguhnya terlihat dalam Pasal 12 UU KUP yaitu:
1. Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak
2. Jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pada ayat (1) terlihat bahwa UU KUP menghendaki wajib pajak bersifat aktif dalam membayar pajak. Aktif di sini berarti menghitung sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak. Prinsip self assessment pada UU KUP bahkan mengandung makna bahwa hasil perhitungan WAJIB PAJAK, berapa pun itu, untuk sementara dianggap sebagai perhitungan menurut ketentuan yang berlaku, sebagaimana dinyatakan pada ayat (2). Pasal 12 kemudian ditutup dengan ayat (3) yang berbunyi, “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.”
Kemudian, ayat (3) ini berfungsi sebagai pengendali. Jadi, apabila kemudian diketahui bahwa perhitungan yang dilakukan oleh WAJIB PAJAK keliru, barulah fiskus membenarkannya. Namun, dengan aturan daluarsa pajak berjangka 5 tahun, perlu diketahui bahwa perhitungan WAJIB PAJAK dianggap benar dan sah untuk selamanya apabila dalam jangka waktu 5 tahun tidak ada pemberitahuan kesalahan perhitungan. Self assessment system memindahkan beban pembuktian kepada fiskus. Wajib pajak dianggap benar sampai fiskus dapat membuktikan adanya kesalahan tersebut.
Berbicara self assessment sehungguhnya tidak dapat dipisahkan dari apa yang dinamakan persepsi. Persepsi seseorang terhadap sesuatu obyek tidak berdiri sendiri akan tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu obyek yang sama.
Menurut Robin Stephen persepsi dipengaruhi oleh:
1. Kepribadian Semua corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam.
2. Kepentingan Hal yang paling utama yang ingin diperoleh atau yang ingin didapatkan yang dapat berguna bagi individu.
3. Harapan-harapan yang akan menentukan pesan mana yang akan dipilih untuk diterima selanjutnya sebagaimana pesan yang dipilih tersebut akan ditata dan diinterprestasi.
4. Motif Merupakan factor internal yang dapat merangsang perhatian. Adanya motif menyebabkan munculnya keinginan individu melakukan sesuatu dan juga sebaliknya.
5. Pengalaman Masa Lalu Suatu rangsangan yang muncul atau terjadi secara berulang-ulang akan menarik perhatian sebelum mencapai titik jenuh.
Dari keterangan di atas dapat dikemukakan bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi sebuah persepsi tergantung kepada setiap individu dalam menafsirkan sebuah atau sesuatu lingkungan pada tingkat kondisi tertentu yang terjadi pada saat itu, berdasarkan beberapa faktor. Sehinggal menghasilkan sebuah persepsi yang beragam.
Menurut Soemitro  bahwa keberhasilan self assessment system ditentukan oleh:
1. Kesadaran pajak dari wajib pajak Tingkat kesadaran akan membayar pajak didasarkan oleh tingkat kepatuhan wajib pajak yang berpijak pada tingginya kesadaran hukum dalam membayar pajak. Dalam hal ini peran fiskus amatlah berarti karena pada dasarnya tingkat kepatuhan wajib pajak berdasarkan tingkat pemahaman yang baik seputar pajak.
2. Kejujuran wajib pajak Faktor kejujuran dalam membayar pajak sangatlah penting, karena dengan self assessment system pemerintah memberikan sepenuhnya kepercayaan masyarakat untuk menetapkan berapa jumlah pajak yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan. Masyarakat diharapkan melaporkan jumlah kewajiban pajaknya sebenar-benarnya tanpa adanya manipulasi.
3. Hasrat untuk membayar pajak (tax mindedness) Hasrat untuk membayar pajak pada dasarnya kepatuhan sukarela dalam membayar pajak haruslah diikuti oleh hasrat yang tinggi untuk membayar pajak.
4. Disiplin dalam membayar pajak (tax discipline) Tax Discipline berdasar pada tingkat pemahaman yang sesuai terhadap hukum pajak yang dianut suatu negara serta saksi-saksi yang menyertainya, dengan harapan masyarakat tidak menunda-nunda membayar pajak.
Dalam self assessment system pihak fiskus memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, menyetorkan dan melaporkan sendiri besarnya pajak terhutang. Inti asas atau sistem ini adalah adanya peralihan sebagian wewenang Dirjen Pajak dalam menetapkan besarnya kewajiban pajak kepada wajib pajak.
Seperti yang diuraikan diatas bahwa Negara membutuhkan dana pembangunan yang besar untuk membiayai segala kebutuhannya, pengeluaran utama negara adalah untuk pengeluaran rutin seperti gaji pegawai pemerintahan, berbagai macam subsidi diantaranya pada sektor pendidikan, kesehatan, pertahanan dan keamanan, perumahan rakyat, ketenagakerjaan, agama, lingkungan hidup, dan pengeluaran pembangunan lainya. Karena itu, untuk membiayai seluruh kepentingan umum tersebut, salah satu yang dibutuhkan dan terpenting adalah suatu peran aktif dari warganya untuk ikut memberikan iuran kepada negara dalam bentuk pajak, sehingga segala keperluan pembangunan dapat dibiayai.
Agar pelaksanaan self assessment system berjalan dengan baik maka diperlukan persepsi yang baik atau positif dari para wajib pajak khususnya dan masyarakat pada umumnya. Terciptanya persepsi yang baik atau positif dari para wajib pajak dilihat dari banyaknya pengalaman yang dimiliki oleh wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yang dapat mempengaruhi persepsi wajib pajak terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan harapan dianggap sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong kegiatan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapi suatu tujuan.
Semakin besar harapan yang dimiliki oleh wajib pajak maka pemenuhan akan kewajiban perpajakan wajib pajak akan semakin meningkat. Begitu pula dengan kepribadian. Semakin baik kepribadian wajib pajak maka semakin baik pula pelaksanaan perpajakannya sehingga dapat memberikan persepsi yang positif terhadap pelaksanaan self assessment system.
Adapun faktor-faktor yang dipengaruhi selain faktor tersebut, seperti perlu diupayakannya peningkatan kualitas pelayanan, profesionalisme serta integritas para petugas pajak, atau fiskus, kepentingan para wajib pajak, motif dan lain-lain. Dengan adanya hubungan yang baik antara wajib pajak dengan fiskus maka diharapkan pelaksanaan self assessment system ini berhasil membuat para wajib pajak untuk memiliki kesadaran dalam memenuhi kewajiban membayar pajak dan tidak merasa sebagi beban.
Harahap menyatakan bahwa dianutnya self assessments ystem membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Kepatuhan memiliki kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung self assessment system. Wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut
Berkaitan dengan hal di atas, maka penelitian yang dilakukan oleh Cullis, John dan Jones, Philip (2012) dalam jurnal internasionalnya mengemukakan bahwa tingkat diamati kepatuhan pajak lebih tinggi dari tingkat diprediksi (ketika prediksi didasarkan pada Allingham dan model neoklasik Sandmo''s penghindaran pajak). Mereka lebih tinggi jika norma-norma sosial mengakui pentingnya kepatuhan. Tapi bagaimana keputusan bingkai sosial norma untuk membayar pajak. Dapatkah teori prospek diterapkan untuk menumpahkan wawasan tentang cara yang norma-norma sosial menggunakan pengaruh mereka. Analisis respon kuesioner (dari Italia dan dari Inggris) menunjukkan bahwa mereka menggunakan pengaruh mereka dengan mengubah titik referensi bahwa individu digunakan saat mereka perubahan kode sebagai 'keuntungan', atau 'kerugian'. Bukti menunjukkan bahwa norma-norma sosial membingkai keputusan untuk membayar pajak dengan mengubah persepsi individu dari hak mereka untuk pendapatan. Pertimbangan ini penting ketika merancang kebijakan untuk mencegah penghindaran.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan self assessment system dengan kepatuhan wajib pajak badan. Keberhasilan sistem self-assessment tidak tercapai tanpa kerja sama yang baik antara otoritas pajak dan wajib pajak. Faktor utama penentu keberhasilan sistem self-assessment ini adalah terwujudnya kesadaran kejujuran dari masyarakat khususnya wajib pajak untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Tujuan ini harus dicapai dengan program-program yang dilaksanakan oleh Dirjen Pajak agar masyarakat taat dalam melaksanakan pembayaran pajaknya.
Pernyataan di atas didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Atika Irmawati Lestari tahun dengan berjudul Pengaruh Penerapan Self Assessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP DKI Jakarta Khususnya Jakarta Pusat, yang mengemukakan bahwa hasil analisis yang didapat dengan menggunakan Statistical Package Sosial Science atau SPSS Versi 12.0 pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat. Uji normalitas menyatakan bahwa sebaran data dari KPP tersebut adalah normal. Analisis korelasi antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,486 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WAJIB PAJAK Badan Terdaftar dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,4 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WAJIB PAJAK Badan Efektif dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,232 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan lemah. Hasil anova (Uji F) adalah sebesar F hitung 7,694 dengan F tabel 2,87, maka Ha diterima secara bersama-sama variabel bebas.
Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang harusnya dibayarkan.
Pada prinsipnya, kepatuhan pajak adalah tindakan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menerapkan perpajakan yang berlaku di suatu negara. Predikat wajib pajak taat dalam arti disiplin dan taat tidak sama dengan wajib pajak yang berpredikat sebagai wajib pajak besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan ke kas Negara. Sebab, wajib pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang patuh, meskipun memberikan kontribusi yang besar kepada negara, namun tetap memiliki tunggakan atau keterlambatan setoran pajak, maka tidak bisa diberi gelar wajib pajak yang patuh.
Menurut Safri Nurmantu  kepatuhan adalah kepatuhan wajib pajak yaitu kepatuhan perpajakan yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan membayar pajak sangat penting untuk diupayakan agar kewajiban tersebut lebih di dasarkan pada kesadaran dan kepatuhan masyarakat yang timbul dan dirasakan oleh wajib pajak sendiri (kepatuhan secara sukarela), dari pada hanya sebagai keharusan yang akan efektif apabila disertai dengan paksaan atau sanksi belaka.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dewasa ini di Indonesia pajak adalah salah satu penerimaan negara yang sangat penting  bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sesuai cita-cita bangsa Indonesia dalam UUD 1945 alinea 4. Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan Negara.
Reformasi perpajakan (tax reform) pada tahun 1983 yang mengakibatkan perubahan mendasar dalam sistem dan mekanisme pemungutan pajak dari penilaian resmi menjadi sistem self assessment, dalam hal ini wajib pajak harus aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, mulai dari mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, menghitung, menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) mereka. Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak, sehingga harus diimbangi dengan pengawasan yang diberikan agar tidak disalahgunakan. Hal ini membuat tugas Direktorat Jenderal Pajak untuk menentukan pajak masing-masing wajib pajak berkurang. Dimana sanksi dari denda hingga sanksi pidana merupakan produk regulasi hukum perpajakan yang diharapkan mampu mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan self-assessment di Indonesia.

2. Saran
Saran yang dapat diberikan terkait permasalahan yang dihadapi wajib pajak di Indonesia adalah belum siapnya masyarakat dalam penerapan sistem self assessment murni. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengetahuan perpajakan yang belum memadai tentang kesadaran dan kejujuran wajib pajak dalam melaporkan perhitungan pajak penghasilannya dengan benar dan lengkap. Rendahnya pengetahuan perpajakan masyarakat tentang pajak mengakibatkan sikap masyarakat yang cenderung apatis terhadap pajak yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku masyarakat dalam hal kedisiplinan pembayaran pajak. Ironisnya, masyarakat awam masih banyak yang belum memahami arti penting pajak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal pajak merupakan salah satu sumber terpenting untuk membiayai pembangunan suatu negara dan mensejahterakan warga negaranya. Maka disinilah peran pegawai direktorat pajak diharapkan untuk lebih giat lagi dalam mensosialisasikan hal ini. Jangan sampai masyarakat terkena sanksi tanpa mengetahui aturannya terlebih dahulu. Sehingga Peraturan Undang-Undang Perpajakan akan berpengaruh terhadap keberhasilan self assessment ini

V. Daftar Pustaka
Arsanti, Lutvy. Persepsi, diunduh pada http://lutvyar-fib13.web.unair.ac.id/artikel_detail-102882-Psikologi%20Pelayanan-Persepsi.html  tanggal 30 Oktober 2016
Brotodiharjo, R. Santoso Brotodiharjo. 2008. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama
Resmi, Siti. 2008. Perpajakan Teori dan Kasus,. Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Empat
Mardiasmo. 2011. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi Ofset
Illyas, B. Wirawan, dan Richard Button. 2007. Hukum Pajak. Edisi Lima. Jakarta: Salemba Empat
Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
Tardjo dan Sawardjono. 2005. Kepercayaan Wajib Pajak Terhadap Fiskus, Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Pentingnya Membayar Pajak, Rekayasa Akutansi dan Kepatuhan Wajib Pajak, Jurnal Manajemen, Akutansi dan Bisnis, Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Gama, Malang, Volume 3 Nomor 2, Agustus 2005, hal 25
Rahayu, Siti Kurnia dan Sony Devano. 2006. Perpajakan Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: PT. Kencana.
Stephen, Robin. 2002. Perilaku Organisasi. Edisi Lengkap. Jakarta: PT. Indeks.
Soemitro. 2011. Pengantar Ilmu Perpajakan. Jakarta: PT. Alex Komputindo

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S