Skip to main content

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEBIJAKAN PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN TINDAK PIDANA PERBANKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan kejahatan tidak terlepas dari perkembangan masyarakatnya itu sendiri. Semula, hanya kejahatan konvensional yang dianggap sebagai kejahatan yang sesungguhnya, namun dalam perkembangannya seiring dengan pertumbuhan korporasi yang semakin pesat dalam bidang kegiatan ekonomi, muncul apa yang disebut dengan kejahatan korporasi. Demikian juga, halnya dengan wacana tentang korban, dalam perkembangannya pun, dikenal adanya korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan sebagai akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh bank (korporasi).
Mengkaji perlindungan korban, dasar  filosofisnya sangat terkait  dengan tujuan diselenggarakannya Negara Republik Indonesia, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945   Alinea ke-4 :  “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…..”.
Ini  berarti,  negara  turut  bertanggung  jawab  dalam  upaya  mengangkat harkat dan martabat manusia yang merupakan perwujudan  perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam konteks demikian, Hadjon menulis bahwa :

“Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal itu, dapat ditelusuri melalui sejarahnya di Barat, di mana lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan  terhadap  hak-hak  asasi  manusia  diarahkan  kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.”
Kaitannya dengan perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, pada dasarnya, merupakan bagian dari perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara keseluruhan (universal). Munculnya kecenderungan perhatian   terhadap   studi   tentang   korban   terdapat   beberapa   alasan,   yaitu sebagaimana yang pernah ditulis oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa ada dua arus yang perlu diketahui sehubungan dengan perhatian para ilmuwan terhadap viktimologi yaitu:
1. Adanya pikiran bahwa negara turut bersalah dalam terjadinya korban, karena   itu   sewajarnyalah   negara   memberikan   kompensasi  kepada korban;
2.   Adanya  aliran pemikiran  baru  dalam kriminologi  yang  meninggalkan pendekatan  positivis,  dan  lebih  memperhatikan  proses-proses  yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya (critical criminology), pandangan kriminologi kritis ini banyak mempengaruhi pemikiran dalam viktimologi.”
Apabila mengaitkan perkembangan konsep serta asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum tentang bagaimana seharusnya perlindungan terhadap korban, khususnya korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan di dalam hukum pidana positif, ini berarti sudah mengarah pada wacana politik hukum. Perlindungan terhadap  korban kejahatan ekonomi di bidang  perbankan  merupakan salah  satu bidang kajian yang perlu dikedepankan, karena mengingat perkembangan ekonomi dan perbankan yang  begitu  cepat. Demikian juga, kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak  selalu  sesuai  dengan tujuan  yang  hendak  dicapai,  akan  tetapi malah  sebaliknya   Sebagai  contoh,   berbagai  kebijakan  deregulasi  di  bidang perbankan yang diawali dengan paket Juni 1983 sampai dengan paket 27 Oktober 1988 telah memunculkan sejumlah persoalan di bidang perbankan.  Belum lagi kebijakan-kebijakan  susulan  lainnya,  seperti petunjuk  Presiden Soeharto  kepada Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekkuwasbang dan Prodis tanggal 3 September 1997 serta Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, tanggal 26 Januari 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 29) tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum.
Deregulasi di bidang perbankan tersebut, ide dasarnya, bertujuan membangkitkan kembali kelesuan yang dialami oleh industri perbankan serta untuk memudahkan pendirian bank dan pembukaan bank sehingga dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Itulah sebabnya, sejak ditetapkannya deregulasi tersebut, dunia perbankan semakin berkembang, terbukti dengan munculnya sejumlah bank-bank baru yang berhasil dalam meningkatkan pengerahan dana dan menyalurkannya kembali ke dalam masyarakat. Sejak Pakto 1988 dikeluarkan, dana yang dihimpun oleh perbankan telah naik dari Rp 36,9 triliun pada akhir Oktober 1988 menjadi sekitar Rp 51,8 triliun pada akhir Desember 1989. Di samping itu, pengerahan dana masyarakat melalui pasar modal dalam kurun waktu yang sama meningkat dari 1,0 triliun menjadi Rp 3,2 triliun.
Demikian juga, jumlah bank yang beroperasi, jika pada saat Pakto 1988 diluncurkan, sebanyak 128 bank maka sampai dengan akhir Oktober 1997 (sebelumnkebijakan likuidasi 16 bank umum tanggal 1 November 1997) jumlahnya meningkat menjadi 239 bank, menggambarkan suatu kondisi overbanked. Peningkatan jumlah bank sebanyak itu, menurut Ryan Kiryanto, menyebabkan pengawasan dan pembinaan dari otoritas moneter (Bank Indonesia) menjadi kurang optimal. Di samping, juga menyebabkan tingkat persaingan antarbank menjadi semakin tinggi sehingga menjurus kepada persaingan yang tidak sehat, yaitu, antara lain, terjadinya perang suku bunga.
Dengan demikian, kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Pakto tersebut, belum menjamin ke arah kelangsungan pertumbuhan ekonomi yangntangguh sesuai dengan ide dasarnya itu, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, yaitu ambruknya sejumlah bank, seperti, antara lain, dalam kasus kredit macet yang menimpa 16 bank umum swasta nasional, yang berakibat dengan dilikuidasinya ke- 16 bank tersebut pada tanggal 1 November 1997.
Untuk menjamin dana nasabah yang disimpan dalam bank-bank yang terkena likuidasi tersebut, pemerintah berkeinginan membantu dengan tujuan menjaga stabilitas moneter nasional dan menjaga agar kepercayaan masyarakat terhadap bank tidak berkurang. Untuk keperluan itu, pemerintah menerbitkan satu kebijakan baru yang dituangkan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, yang pada hakikatnya dalam upaya untuk melindungi korban (nasabah), akan tetapi yang terjadi justru membuka peluang praktik-praktik yang menyalahi aturan.
Akibat dari berbagai kebijakan itu telah mendorong bagi timbulnya kejahatan ekonomi di bidang perbankan yang dilakukan oleh bank (korporasi) dan sekaligus juga telah memunculkan adanya korban akibat dari kejahatan korporasi.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penulisan Karya Ilmiah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kejahatan ekonomi yang dilakukan di bidang perbankan ?
2. Bagaimana kebijakan perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penulisan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji ruang lingkup kejahatan ekonomi yang dilakukan di bidang perbankan.
2. Untuk menganalisis konsep kebijakan konsep kebijakan perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan.

D. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
Negara Indonesia, yang diselenggarakan oleh pemerintahannya, berkewajiban“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pernyataan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan kedah konstitusional dari kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia, guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap ummat manusia,  termasuk melindungi hak-hak nilai keadilan bagi setiap warga di negara Indonesia.
Pancasila, bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan landasan filosofis kekuasaan negara bagi terciptanya keadilan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kekuasaan ini merupakan penjabaran dari nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana terdapat dalam sila kelima Falsafah Pancasila. Teori kekuasaan negara atas ekonomi dan pengaturan hak-hak warganya merupakan jiwa dari sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana sila kelima ini dijiwai dan menjiwai sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Menurut teori sociological jurisprudence yang dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dan Roscou Pound, hukum yang hidup (living law) dan keefektifan hukum di dalam masyarakat yang menjalankan fungsi sebagai social engineeringkeberadaan hukum yang penting bukanlah sebagaimana ia tertera dalam buku perundang-undangan (law in book), melainkan adalah bagaimana senyatanya perilaku masyarakat sehubungan dengan keberadaan suatu hukum (law in action). Inti pemikiran teori ini adalah, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.  Pemikiran yang terkandung dalam teori ini menunjukkan adanya kompromi antara hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan sebagai kebutuhan demi adanya kepastian hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) berupa hukum adat atau hukum kebiasaan dalam pembentukan hukum. Sehingga menurut teori ini, hukum tidak melulu dapat dilihat dalam kaidah-kaidahnya yang normatif, melainkan harus pula dicermati dalam kehidupan pergaulan masyarakat itu sendiri.
Eugen Ehrlich menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dan bahwa perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri.  Hukum Indonesia, menurut Benda Beckmann, tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu, berupa hukum adatnya. Oleh karena itu, ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penetapannya secara resmi oleh negara.
Pound menganjurkan, perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial, baik dalam hal pembuatan hukum ataupun penafsiran serta penerapan peraturan-peraturan hukum. Ia menegaskan agar perhatian lebih diarahkan kepada efek-efek nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum. Kehidupan hukum terletak pada pelaksananaannya(law in action).  Tugas utama hukum menurut Pound adalah “social engineering”.  Tujuan social engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat, sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan, dengan seminimum mungkin benturan dan pemborosan.
Sehubungan dengan fungsi hukum sebagai sarana social engineering, Benda-Beckmann mengemukakan, hukum baru bermakna secara sosial jika perilaku orangorang yang diatur berperilaku sesuai dengan perintah hukum tersebut dan jika orang-orang menggunakan hukum tersebut untuk mendukung perilakunya.
Dalam Falsafah Pancasila, harus dipahami bahwa antara sila yang satu dengan sila yang lainnya saling menjiwai dan dijiwai. Sehingga, antara sila-sila dari kelima sila tersebut terdapat hubungan yang saling bertautan dan komplementer sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh bagaikan sebuah piramida.  Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari sila-sila lainnya, dan puncaknya adalah sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila, khususnya sila kelima, merupakan sumber dari segala sumber hukum harus menjadi landasan teori utama dalam terciptanya keadilan dalam penyelenggaran ekonomi di Indonesia. Selain itu, teori ini juga merupakan landasan kebijakan bagi politik pengaturan hukum bidang-bidang perbankan dan sekaligus merupakan landasan politik ekonomi Indonesia, yang kemudian secara normative dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.  Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm).  Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi satu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).
Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, Jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkhi sebagaimana dimaksudkan di atas. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana disebutkan diatas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hukum kepustakaan yakni dengan “cara meneliti bahan pustaka” atau yang dinamakan penelitian hukum normatif.”
Secara terperinci, metode-metode dan teknik-teknik penelitian yang digunakan ialah :
1. Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research) yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mempelajari buku literatur, perundangundangan dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan materi pembahasan yang digunakan untuk mendukung pembahasan ini.
2. Metode Komparasi (Comparative Research), yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mengadakan perbandingan terhadap sesuatu masalah yang dibahas, kemudian diambil untuk mendukung pembahasan ini, misalnya: perbandingan antara pendapat para pakar-pakar hukum.
Data yang terkumpul kemudian diolah dengan suatu teknik pengolahan data secara Deduksi dan Induksi, sebagai berikut :
1. Secara Deduksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian dibahas menjadi suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
2. Secara Induksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dibahas menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum (merupakan kebalikan dari metode Deduksi).

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tugas akhir ini, disusun sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang penelitian, pokok permasalahan, maksud dan tujuan penelitian, kerangka teori dan konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II RUANG LINGKUP KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN
Bab ini merupakan pembahasan tentang apa yang dipertanyakan dalam permasalahan pertama dalam penelitian ini, berisi gambaran mengenai ruang lingkup kejahatan yang terjadi di bidang kejahatan.
BAB III KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN
Bab ini menjelaskan jawaban permasalahan kedua, yakni berisi gambaran dan penjelasan tentang kebijakan pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap korban kejahatan di bidang perbankan.
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini berisikan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.











BAB II
RUANG LINGKUP KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru, akhir-akhir ini, menunjukkan kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Demikian juga, kejahatan yang dilakukan oleh korporasi tidak lepas dari perkembangan tersebut.
Kejahatan yang berupa penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi telah menjadi permasalahan negara-negara, terlebih negara  sedang  berkembang,  termasuk  Indonesia.  Kejahatan  korporasi  sebagai bagian dari kejahatan white-collar merupakan bentuk dari kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh korporasi. Sehubungan dengan kejahatan ekonomi tersebut, pada dasarnya, kejahatan ekonomi dapat dibagi menjadi dua, yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Drt. 1955 (LN. No. 27 Tahun 1955), pengertian kejahatan ekonomi dipersamakan dengan tindak pidana ekonomi yang hanya mencakup perbuatan yang melanggar sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan peraturan-peraturan yang disebut dalam Pasal 1 tersebut. Di sini, ada tiga kategori tindak pidana ekonomi sebagai berikut:
1. Jenis pertama,  berhubungan dengan peraturan-peraturan  yang disebut dengan tegas dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Drt. 1955.
2. Jenis kedua, berhubungan dengan Pasal-Pasal: 26,32, dan 33 Undang-Undang No. 7 Drt. 1955.
3. Jenis ketiga, yang memberikan kewenangan kepada lembaga legislatif untuk   menamakan   suatu   perbuatan   menjadi   suatu   tindak   pidana ekonomi.
Di luar batasan-batasan tersebut, perbuatan apa pun yang melanggar peraturan perundang-undangan dan merugikan perekonomian Indonesia tidak dapat dinamakan kejahatan ekonomi. Misalnya, pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan bukanlah suatu kejahatan ekonomi menurut Undang-Undang No. 7 Drt. 1955.
Dalam arti luas, kejahatan ekonomi, diatur di dalam maupun di luar Undang-Undang No. 7 Drt. 1955. Kejahatan ekonomi di bidang perbankan, sebagai suatu bentuk perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang perekonomian dan bidang keuangan, merupakan bagian dari kejahatan ekonomi.
Dengan demikian, kejahatan yang berkaitan dengan perbankan merupakan salah  satu  bentuk  kejahatan  ekonomi.  Kejahatan  ekonomi  yang  terdiri  atas kejahatan di bidang perdagangan, investasi, perusahaan, lingkungan hidup, asuransi, pajak, dan kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi lainnya.
Karena kejahatan di bidang perbankan termasuk dalam bidang kejahatan ekonomi, perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi tersebut. Dalam menetapkan batasan yang tepat tentang kejahatan ekonomi cukup sulit    karena,    mengingat,    kejahatan    ekono mi   berkembang    sesuai    dengan perkembangan teknologi, ekonomi, dan sosial suatu masyarakat. Hal itu juga diakui oleh Muladi bahwa:
“Kesulitan tersebut  disebabkan persoalan-persoalan ekonomi merupakan bagian dari kehidupan antarbangsa dalam rangka globalisasi ekonomi. Hubungan-hubungan ekonomi antarbangsa menjadi bersifat interdepedensi dan melewati batas-batas nasional. Sebagai bahan acuan, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang  perekonomian  dan  bidang  keuangan  serta  mempunyai  sanksi pidana.”
Kejahatan ekonomi lebih menampakkan dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis, yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukan untuk menilai kasus yang terjadi. Atas dasar konstruksi yang demikian, kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang dan atau badan hukum, tanpa menggunakan kekerasan, bersifat melawan hukum, yang hakikatnya mengandung unsur-unsur penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan, atau pengelakan peraturan.
Muladi mengidentifikasikan beberapa tipe kejahatan ekonomi sebagai berikut:
1. Kejahatan   yang   dilakukan  dalam   kerangka   kepentingan   individu, contohnya adalah credit card frauds;
2. Kejahatan yang dilakukan dalam kerangka perdagangan, pemerintahan atau kelembagaan lain, dalam kerangka menjalankan pekerjaan, tetapi dengan cara melanggar kepercayaan, contohnya adalah banking violations by bank officers and employees (embezzlement and misapplication of funds);
3. kejahatan  yang  berhubungan  atau  merupakan kelanjutan operasional perdagangan, tetapi bukan merupakan tujuan utama perdagangan tersebut, contohnya adalah suap-menyuap dan memberikan informasi yang salah untuk memperoleh kredit;
4. kejahatan sosio-ekonomi  sebagai usaha  bisnis atau  sebagai  aktivitas utama, contohnya adalah penyalahgunaan kredit bank.

Sedangkan, pengertian kejahatan di bidang perbankan berbeda dengan kejahatan perbankan. Kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan maupun dalam perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kejahatan ekonomi di bidang perbankan merupakan bagian dari kejahatan ekonomi dalam arti luas, yaitu meliputi, antara lain, kejahatan-kejahatan yang diatur dalam KUHP (W.v.S), Undang-Undang No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau yang dikenal dengan sebutan UUTPE (Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 27), Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134), Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 30), dan Undang-Undang tentang Perbankan yang merupakan undang-undang administrasi yang bersanksi pidana (Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998) dan dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tersebut. Di dalam Undang-Undang tentang Perbankan, yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah sebagai berikut:
1. Pelanggaran yang Menyangkut Izin Usaha
Ketentuan mengenai izin usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan berikut ini:
1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a) susunan organisasi dan kepengurusan;
b) permodalan;
c) kepemilikan;
d) keahlian di bidang perbankan;
e) kelayakan rencana kerja.
3) Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Menurut penjelasan Pasal 16 diatas, (1) kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun, pada dasarnya, merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Selanjutnya, dalam ayat (1) ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan: Dalam hal memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antarbank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Pelanggaran ketentuan Pasal 16 tersebut, menurut ketentuan Pasal 46 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya lima tahun dan paling lama lima belas tahun serta denda sekurang-kurangnya sepuluh miliar rupiah dan paling banyak dua ratus miliar rupiah.
Namun, terhadap kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh nonbank, misalnya kantor pos, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan karena itu tidak termasuk yang dilarang menurut ketentuan Pasal 46. Oleh sebab itu, kegiatan tersebut diatur dengan undang-undang tersendiri.
2. Larangan   dan kewajiban   Pemberian   Keterangan   mengenai   Keadaan Keuangan Nasabah (Berkaitan dengan rahasia bank)
Pada bagian tentang Rahasia Bank, Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menentukan: Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali yang dimaksud dalam Pasal-Pasal 41,41 A, 42,43,44, dan 44A. Begitu pula, terhadap pihak terafiliasi ayat (2). Ketentuan tentang pihak terafiliasi tersebut, diatur dalam Pasal 1 angka 22, yang menyebutkan, bahwa pihak terafiliasi adalah:
a. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
Penjelasan Pasal 40 ayat (1) menyatakan: Apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.
Pelanggaran terhadap yang wajib dirahasiakan itu, menurut Pasal 47 diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya dua tahun dan paling lama empat tahun, serta denda sekurang-kurangnya sepuluh miliar rupiah dan paling banyak dua ratus miliar rupiah. Terhadap pihak terafiliasi yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya dua tahun dan paling lama empat tahun, serta denda sekurang- kurangnya empat miliar rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah.
3. Pelanggaran terhadap Kewajiban Memberikan Keterangan untuk Kepentingan Perpajakan, Penyelesaian Piutang BerKepentingan Peradilan, dan Permintaan Kuasa dari Nasabah Penyimpan
Pasal 42A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan, bahwa bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42.
Pelanggaran terhadap apa yang diwajibkan dalam ketiga Pasal tersebut, menurut ketentuan Pasal 47A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya dua tahun dan paling lama tujuh tahun, serta denda sekurang-kurangnya empat miliar rupiah dan paling banyak lima belas miliar rupiah.
4. Keterangan yang Wajib Disampaikan oleh Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pegawai Bank kepada Bank Indonesia (Berkaitan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia)
Ketentuan mengenai hal tersebut, diatur dalam Pasal 48 dan 49 Perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh Pasal 48 adalah kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2). Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2).
Penjelasan Pasal 30 ayat (1) dan (2) tersebut menyatakan kewajiban penyampaian keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu  bank  kepada  Bank  Indonesia  diperlukan  mengingat  keterangan  tersebut dibutuhkan untuk memantau keadaan dari suatu bank. Pemantauan keadaan bank perlu dilakukan dalam rangka melindungi dana masyarakat dan menjaga keberadaan lembaga perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kebenaran atas laporan yang disampaikan oleh bank, Bank Indonesia diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank.
Karena itu, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya dua tahun dan paling lama sepuluh tahun serta denda sekurang-kurangnya lima miliar rupiah dan paling banyak seratus miliar rupiah. Ancaman seberat itu, apabila dilakukan dengan sengaja. Sedangkan apabila dilakukan karena kelalaian, ancaman pidananya berupa pidana kurungan sekurang-kurangnya satu tahun dan paling lama dua tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya satu miliar rupiah dan paling banyak dua miliar rupiah.
5. Kecurangan dalam Pengadministrasian, Menerima Suap dan Tidak Menaati Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perbankan (Berkaitan dengan kegiatan menjalankan usaha bank)
Pasal 49 ayat (1) mengancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya lima tahun dan paling lama lima belas tahun serta denda sekurang-kurangnya sepuluh miliar dan paling banyak dua ratus miliar rupiah, yaitu bagi anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut.
Sanksi pidana bagi anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Perkreditan Rakyat, pada dasamya, menurut penjelasan Pasal 51 ayat (1), berlaku ketentuan-ketentuan tentang sanksi pidana dalam Bab VIII, mengingat sifat ancaman pidana dimaksud berlaku umum. Ketentuan yang dimaksud diatur dalam Pasal-Pasal: 46,47,48, 49,49,50,51,52, dan 53 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

6. Tidak Mengindahkan Peraturan Perundang- undangan di Bidang Perbankan (Berkaitan dengan pihak terafiliasi bank)
Pasal 50 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mengancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya tiga tahun dan paling lama delapan tahun serta denda sekurang-kurangnya lima miliar rupiah dan paling tinggi seratus miliar rupiah, yaitu bagi pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank.
7. Kejahatan yang Dilakukan oleh Pemegang Saham
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal-Pasal: 46, 47, 47A, 48 ayat (1), 49, 50, dan 50A, oleh Pasal 51, dikualifikasikan sebagai kejahatan. Dengan demikian, terhadap perbuatan-perbuatan tersebut akan dikenakan ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan apabila hanya sekadar sebagai pelanggaran. Formulasi seperti itu diambil karena mengingat bank yang merupakan lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepadanya sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dihindarkan. Namun, dari ketujuh jenis perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan ekonomi di bidang perbankan yang tidak termasuk bank sebagai pelaku kejahatan (kejahatan korporasi) adalah kejahatan yang dilakukan pemegang saham.
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan bank (korporasi sebagai subjek), maka dalam konteks kejahatan ekonomi di bidang perbankan ini meliputi:
“(1) bank sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, (2) bank sebagai sasaran untuk melakukan kejahatan, dan (3) bank sebagai pelaku kejahatan. Mengenai kualifikasi yang pertama, contohnya adalah kejahatan pemutihan uang (crime of money laundering). Sedangkan, bank sebagai sasaran kejahatan, berarti bank dijadikan objek kejahatan, baik secara konvensional (contohnya, perampokan terhadap Bank Lippo di Bandung beberapa waktu lalu) maupun nonkonvensional (contohnya, di antaranya, adalah kasus pembobolan Bank BNI New York Agency yang dilakukan oleh Rudy Demsy, mantan   karyawan   bank   tersebut   pada   tahun   1986,   dan   berdasarkan penyidikan Polri, bank tersebut rugi sebesar US$ 10,734.54.”
Dalam kualifikasi ini, bank yang menjadi korban. Kemudian, bank sebagai pelaku kejahatan, adalah bank sebagai korporasi melakukan kejahatan ekonomi di bidang perbankan.
Pada masa era yang disebut sebagai pasca reformasi, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait dengan sektor-sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor-sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Termasuk korupsi yang terjadi melalui perantara perbankan. Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang ekonomi.
Memfokuskan kajian pada bank sebagai pelaku kejahatan sejalan dengan pandangan sebagaimana yang ditulis oleh Mardjono Reksodiputro bahwa: “biasanya yang banyak kita dengar dan diberitakan dalam surat kabar adalah bank sebagai korban atau yang dirugikan oleh sejumlah individu (ataupun perusahaan) pembobol bank. Sedangkan bank sebagai pelaku jarang sekali ada pemberitaan.”
Di samping itu menurut hemat penulis, kurangnya perhatian terhadap bank sebagai pelaku kejahatan, dapat dihubungkan dengan bank (korporasi) sebagai subjek hukum pidana Dalam Undang-undang Perbankan itu sendiri, mulai dari Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan sampai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana dirubah dengan Undang- undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tak satu Pasalpun yang menyatakan bahwa bank sebagai subjek hukum pidana yang dapat dijatuhi pidana berdasarkan Undang-undang Perbankan. Dengan tidak adanya pengakuan secara normatif atas keberadaan bank (korporasi) sebagai subjek hukum pidana dalam lingkup kejahatan ekonomi di bidang perbankan, menyebabkan seolah tidak ada kejahatan ekonomi yang dilakukan dilakukan oleh bank (bank sebagai pelaku).
Kemudian Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan tentang perbankan juga sangat diperlukan dalam sistem keuangan Negara. Selain itu upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa bisnis termasuk masalah perburuhan harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena sebagaimana menurut Friedman Pada akhirnya, jika pengadilan tidak bisa memecahkan masalah dan jika masalah tidak lenyap dengan sendirinya (melalui perubahan radikal dalam selera populer atau tingkat toleransi), beberapa solusi di luar hukum akan dicapai.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya, bank juga dapat menjadi pelaku kejahatan ekonomi di bidang perbankan. Berarti, berbicara mengenai pelaku dalam lingkup kejahatan ekonomi di bidang perbankan, jika semula yang dianggap sebagai pelaku hanyalah individu atau sejumlah individu, dalam perkembangannya terjadi pergeseran, karena bank juga dapat menjadi pelaku kejahatan.

BAB III
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN   KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN

Perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dengan menggunakan hukum pidana, bertitik tolak pada tiga pilar dalam hukum pidana, yaitu yang berkaitan dengan masalah tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana korporasi, dan pidana dan pemidanaan.
Pada masalah yang pertama, untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana (dipositifkan dalam undang-undang pidana) maka harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
1. Harus memperhatikan tujuan dari hukum pidana, yaitu menanggulangi kejahatan. Ini semua demi kesejahteraan masyarakat atau demi pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dengan menggunakan hukum pidana, adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki atau dicela oleh masyarakat.
3. Harus memperhitungkan antara biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diharapkan akan dicapai.
4. Dalam pembuatan peraturan hukum pidana perlu juga memperhitungkan kemampuan daya kerja dari aparat penegak hukum, jangan sampai ada kelampauan beban tugas sehingga akan mengakibatkan efek dari peraturan itu menjadi kurang.
Berikutnya adalah pertanggungjawaban pidana korporasi (bank sebagai pelaku). Untuk itu, terlebih dahulu, yang perlu dipertanyakan, apakah dalam hukum pidana  (positif)  telah  mengatur  korporasi  (bank)  sebagai  subjek  hukum pidana sehingga kepada korporasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan selanjutnya dijatuhi pidana. Karena sebagaimana menurut Friedman, Pada akhirnya, jika pengadilan tidak bisa memecahkan masalah dan jika masalah tidak lenyap dengan sendirinya (melalui perubahan radikal dalam selera populer atau tingkat toleransi), beberapa solusi di luar hukum akan dicapai.
Karena memang permasalahan ekonomi yang didasari oleh semangat reformasi ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997, khususdi bidang perbankan. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perekonomian bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk dilakukannya reformasi dimana gangguan ekonomi membawa penderitaan besar bagi banyak penduduk dan memberikan kontribusi untuk wabah reguler konflik sosial, termasuk beberapa bentrokan etnis dan agama, di berbagai bagian negara ini.
Setelah ditentukan bank (korporasi) merupakan subjek hukum pidana, langkah selanjutnya menentukan sanksi pidana apakah yang relevan atau yang tepat dikenakan kepada bank (korporasi) sebagai pelaku kejahatan ekonomi di bidang perbankan. Karena bank (korporasi) sebagai subjek hukum pidana berbeda dengan manusia alamiah (natural person) maka dengan adanya perkembangan subjek hukum pidana dari orang (manusia) ke korporasi (bank) harus pula diikuti dengan perubahan pola jenis sanksi pidananya.
Konsep keadilan dalamekonomi pun harus dijabarkan dalam masyarakat, terutama kedudukan masyarakat sebagai nasaba bank. Masyarakat Indonesia lebih memahami nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat sehingga masih banyak masyarakat yang masih menggunanakan hukum adat menyelesaikan setiap permasalahan hukum daripada mengetahui tentang hukum nasional itu sendiri.  Perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dengan menggunakan hukum pidana yang hendak diarahkan pada potential victim dan actual victim. Karena itu, seperti yang ditulis oleh Barda Nawawi Arief bahwa :
“konsep pemidanaan harus bertolak dari keseimbangan antara dua sasaran pokok, yaitu perlindungan asyarakat dan perlindungan individu. Perlindungan individu ini menurut hemat penulis harus pula diperluas untuk diarahkan pada  perlindungan terhadap actual victim.”

Dengan konsep demikian, hukum pidana yang akan datang mengimplementasikan perlindungan hukum pidana yang seimbang antara perlindungan masyarakat, pelaku, dan korban (baik korban potensial maupun korbanlangsung) merupakan konsep yang ideal dalam rangka membangun hukum pidana yang lebih bijak karena memperhatikan berbagai kepentingan tersebut.
Oleh karena perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dengan sarana hukum pidana mempunyai keterbatasan-keterbatasan maka, sejak awal dalam menentukan kebijakan ekonomi di bidang perbankan, para pengambil kebijakan sudah seharusnya memperhatikan bidang hukum (pidana). Suatu hal yang keliru apabila pembaharuan di bidang ekonomi dianggap terpisah dengan pembaharuan di bidang hukum karena sebagian besar kebijakan ekonomi diwujudkan  pelaksanaannya  melalui  hukum  dan,  di  sisi  lain,  analisis-analisis ekonomi akan dipakai sebagai panduan oleh para pembuat kebijakan ketika harus merancang hukum. Hukum sesungguhnya telah menjadi alat perubahan sosial. Hukum diperlukan untuk mengambil tindakan yang mempengaruhi orang, properti setiap tubuh atau hak. Permintaan untuk praktisi hukum tak pernah puas hingga saat ini.
C.F.Strong menjelaskan beberapa elemen penting suatu negara hukum demokratis, yaitu 1)bebas untuk menyatakan pilihan di dalam pemilihan umum (pemilu), 2) bebas menyatakan pendapat, dan 3) kebebasan pers.  hal ini  akan menopang terciptanya rasa keadilan dalam bidang ekonomi, bila terselenggaranya pemerintahan yang baik dan memenuhi rasa keadilan. Tentu kebijakan dalam dunia perbankan pun akan semakin baik.
Demikian juga apabila menyeimbangkan antara politik hukum pidana dalam rangka perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dengan kebijakan ekonomi di bidang perbankan yang hendak dikembangkan, jangan sampai kebijakan ekonomi di bidang perbankan yang telah diambil justru menimbulkan faktor kriminogen dan viktimogen. Mekanisme hukum yang penting bagi suatu negara modern untuk memperkuat administrasi, sistem ini hak kompensasi kekuasaan legislatif juga mempromosikan pengembangan negara, merupakan cerminan dari konsekuensi positif dari pembangunan kembali sistem hukum dan restrukturisasi ekonomi.
Karena itu, sebagaimana yang ditulis Sudarto bahwa jika hendak melibatkan pendekatan politik hukum pidana (dalam rangka melindungi korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan) harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal. Ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Koffi Anan sendiri berpendapat bahwa hak ekonomi dan tanggung jawab sosial adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Kemudian Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan Perbankan juga sangat diperlukan dalam sistem Keuangan dengan berdasarkan nilai Pacasila. Selain itu upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa bisnis termasuk masalah perbankan harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena sebagaimana menurut Friedman Pada akhirnya, jika pengadilan tidak bisa memecahkan masalah dan jika masalah tidak lenyap dengan sendirinya (melalui perubahan radikal dalam selera populer atau tingkat toleransi), beberapa solusi di luar hukum akan dicapai.
Pada akhirnya pembentukan undang-undang perbankan dan perturan tentang sistem keuangan lainnya dari yang telah dijelaskan sebelumnya karena lebih adanya kepentingan politis dalam ekonomi maka tidak terlepas dari pengujian undang-undang ini terhadap undang-undang dasar. Dimana pertama sekali dilakukan oleh Hakim John Marshall sebagai Hakim Agung Amerika dalam kasus Marbury v Madison yang terkenal dengan istilah Judiciary Act (1789) karena substansinya bertentangan dengan konstitusi.  Sehingga kedepannya perlu dirasa oleh penulis dilakukan Judicial Review  oleh DPR dengan lebih mengedepankan aspek Perlindungan Nasabah Bank daripada politiknya.










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan   apa   yang   dikemukakan   di   atas,   maka   dapatlah   ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Dalam hal pengidentifikasian terhadap korban akibat kejahatan yang dilakukan bank sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa ruang lingkup korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan sedemikian besar dibandingkan dengan kejahatan biasa (konvensional). Oleh karena itu perlu dikaji langkah-langkah atau kebijakan dalam rangka perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan tersebut.
Sebagaimana karakter yang ditampilkan oleh kejahatan ekonomi di bidang perbankan merupakan kejahatan tanpa menggunakan kekerasan, seperti pada kejahatan- kejahatan konvensional, namun dampaknya jauh lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional. Pelakunya pun berkembang, semula yang dapat melakukan kejahatan hanyalah manusia, namun dengan adanya temuan dari ilmu hukum (normatif), korporasi diakui sebagai subjek hukum pidana (kecuali dalam Undang-Undang tentang Perbankan). Akibatnya, maka telah menambah perbendaharaan tentang pelaku kejahatan tersebut, yaitu korporasi dianggap dapat melakukan kejahatan.
Para korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, meliputi: nasabah penyimpan dana, bank yang bersangkutan, bank-bank yang memberi pinjaman (bank-bank kreditur, baik swasta maupun pemerintah), rakyat dalam arti abstrak, karyawan dan karyawati yang harus meninggalkan pekerjaannya (adanya Pemutusan Hubungan Kerja) karena bank tempat mereka bekerja telah bangkrut; dan sistem ekonomi yang terganggu atau rusak akibat adanya kejahatan ekonomi di bidang perbankan.

B. Saran
Apabila kita melihat bahwa politik kriminal sebagai suatu bagian dari politik sosial hendaknya bukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan, melainkan merekayasa hukum dalam kebenaran dan keadilan, agar tercipta kedamaian dalam kesejahteraan, termasuk tentunya perlindungan kepada korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan.







DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya, Politik Hukum 1. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI, 2001
Arinanto, Satya, Politik Hukum 2. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI, 2001.
Arinanto, Satya, Politik Hukum 3. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI, 2001.
Barda Nawawi Arief,  Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
C. Morris, The Great Legal Philosophers, Univ. of Pennsylvania Press, Philadelphia, 1979.
Darji Darmodihardjo dan Sidarta, Pokok‐Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Departemen Penerangan RI, Paket Januari 1990 Sebagai Lanjutan Keppres No. 38 1998, Jakarta, 1990.
Du Xichuan and Zhang Lingyuan, China’s Legal System: A General Survey, New World Press, China.
Franz and Keebet von Benda‐Beckmann, The Social Life of Living Law of Indonesia, Living Law; Considering Eugen Erhlich, Hart Pubishing, Onati International Series in Law and Society, Nederland, 2008.
Franz von Benda‐Beckmann, “Why Law Does not Behave; Critical and Constructive Reflction on The Social Significant of Law, paper presented to the symposium on folk law and legal pluralism, XIth International Congress of Antropological and Ethnological Sciences, Vancouver, Canada, 1983.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell, 1945.
Harold Crouch, Indonesia Democration and the threat of Disintegration, Southeast Asian Affairs, 2000.
Julius Stone, Social Dimension of law and Juitice, Maitland Publication, Sydney, Australia, 1966.
Koesnardi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta, Cet. XIV, 1999.
Koesparmo Irsan, Kejahatan di Bidang Perbankan, dalam Rangkuman Seminar Ikhtisar dan Kumpulan Makalah tentang Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Jakarta: Bank Indonesia, 4-7 Januari 1993.
Kofi A. Annan, Global Values The United Nations and the Rule of Law in the 21st Century, Institute Of Southeast Asian Studies, Singapore, 2000.
Lawrence M. Friedman, Legal Rules and the Process of Social Change, W.W. Norton and Company, New York, 1967.
Lawrence M. Friedman, Legal Rules and the Process of Social Change, W.W. Norton and Company, New York, 1967.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar‐dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
M.P. Jain, Administrative Law Of Malaysia and Singapore, Malayan law Journal PTE. LTD., Singapore-Malaysia, 1989.
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban, dalam J.E. Sahetapy (Ed.), Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Mardjono Reksodiputro, Hukum Positif Mengenai Kejahatan Ekonomi dan Perkembangannya di Indonesia, dalam Rangkuman Seminar Ikhtisar dan Kumpulan Makalah tentang Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta 4-7 Januari 2013.
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang‐undangan; Dasar‐Dasar dan Pembentukannya, Sekretariat KIH – UI, Jakarta, 1996.
Muladi, Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.
Muladi, Politik Kriminal Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Perbankan Dalam Kerangka Tindak Pidana Perekonomian, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.
Philipus M. Hadjon,  Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia : Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya,Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Pound, R., Law Finding Through Experience and Reason, Univ. of Georgia Press, Atlanta, USA, 1960.
Ryan Kiryanto, dalam Bank dan Manajemen, (Nopember/Desember), No. 40, 1997.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hlm. 287. Lihat juga, Soerjono Soekanto, Pokok‐pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986.
Satya Arinanto, Politik Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2006.
Satya Arinanto. Indonesia: Democratization of Constitutional and Political Life since the 1992 General Election and the 1993 PlenarySession of the People’s Consultative Assembly, dalam Asia-Pacific Constitutional Year book 1993, Cheryl Saunders and Graham Hassal (ed.), (Melbourne: Centre for Comparative Constitutional Studies, University of Melbourne, 1995). Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2001.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali, 1985).
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983.
Sunarjo Wreksosuhardjo, Filsafat Pancasila secara Ilmiah dan Aplikatif, ANDI, Yogyakarta, 2004.
Sunoto, Filsafat Pancasila; Pendekatan melalui Metafisika, Logika, dan Etika, Hinindita,Yogyakarta, 1989.
Todung Mulya Lubis, In search of Human Right: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, Berkeley, California, 1990.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan PerbankanIndonesia, Jakarta: Grafiti, 1997.
William H Rehnquist, The Supreme Court; How it Was, How it Is, New York: 1989. Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal‐Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966‐1990.

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S