Skip to main content

Tinjauan Politik Hukum Dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan Implikasinya Terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

I. PENDAHULUAN
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikeluarkan pada masa Presiden Megawati. Dimana Secara yuridis dalam Pasal 5 Undang-Undang ini memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Perlindungan tenaga kerja sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu : Perlindungan secara ekonomis, yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak bekerja diluar kehendaknya, Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan hak untuk berserikat dan hak untuk berorganisasi, dan Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan. Terkait Politik Hukum dalam pembentukan undang-undang ini, memang menarik untuk dibahas dikarenakan selama dua ratus (200) tahun terakhir, lembaga legislative merupakan institusi kunci dalam perkembangan politik Negara-negara modern.
Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dimensi kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang.undangan.
Dalam pandangan Machiavelli yang menghapuskan jarak antara hukum dan kekuatan menyatakan bahwa hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan dan bisa menjadi alat pembenaran kekerasan.
Perlindungan sosial pada dasarnya merupakan suatu perlindungan perburuhan yang bertujuan agar pekerja/buruh dihargai harkat dan martabatnya sebagai manusia, bukan hanya sebagai faktor produksi (faktor ekstern, melainkan diperlakukan sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya (faktor intern atau konstitutif).
Berangkat dari Hal diatas maka adapun yang menjadi rumusan masalah pada tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah Politik Hukum Dalam Pembentukan UU No.13 tahun 2003?
2. Bagaimanakah Implikasi Politik Hukum dalam Pembentukan UU No. 13 Tahun 2003 Terhadap Perlindungan Buruh Dalam PKWT?


II. Pembahasan
1. Politik Hukum Dalam Pembentukan UU No.13 tahun 2003
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin agar Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.  Juga Tujuan pembentukan Pemerintahan Negara dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV, di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial menurut Pembukaan UUD 1945 membuktikan bahwa negara Indonesia sejak awal didirikan sebagai negara kesejahteraan.
Sehingga dalam Proses Pembentukan Undang-undang Ketenagakerjaan sesungguhnya memerhatikan Perlindungan Hukum terhadap Buruh karena sesungguhnya Apapun yang dilakukan dalam hukum, tak boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian yang sentral dari hukum itu, karena hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam setiap proses hukum dalam suatu Negara berdasarkan hukum, aspek manusia harus menempati posisi sentral, termasuk memungkinkan manusia untuk ikut dalam proses yang menentukan nasibnya itu. Hanya dengan demikianlah, cita-cita untuk menjadikan Negara berdasarkan hukum sebagai rumah rakyat Indonesia yang tertib dan nyaman menjadi kenyataan.
Namun Sesungguhnya, dapat diketahui bahwa wujud perhatian pemerintah seringkali dengan mengeluarkan sebuah produk hukum namun seringkali peran golongan kepentingan dalam pembentukan hukum sangat dominan, sehingga hukum seolah tidak seteriil dari subsistem kemasyarakatan lainnya termasuk dalam produk.
Hukum sebagaimana banyak diterjemahkan melalui materialisasi teks-teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh pembuat/pengambil kebijaksanaan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu, hukum meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang sangat penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya.
Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Penegakan hukum menjadi kehilangan ruang, terkait dengan hal tersebut Ronald Katz menyatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.
Buruh merupakan kelompok pekerja dalam suatu bidang usaha merupakan mitra yang penting bagi pengusaha didalam menjalankan roda kegiatan ekonomi. Disatu pihak pengusaha memiliki modal dan membutuhkan buruh untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu untuk kepentingan pengusaha, dan dilain pihak buruh membutuhkan pekerjaan dan memberikan kontribusi tenaga dan pikirannya untuk melaksanakan pekerjaan yang dibebankan pengusaha kepadanya dengan menerima sejumlah imbalan yang ditentukan. Namun seringkali terjadi pelanggaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh pengusaha, yang mana pelanggaran tersebut misalnya pembayaran upah yang dibawah standar peraturan pemerintah atau pembayaran lembur yang dibawah ketentuan pemerintah dan lain-lain.
Pembaharuan peraturan-peraturan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dari waktu ke waktu merupakan wujud komitmen pemerintah untuk terus menyempurnakan aturan-aturan normatif ketenagakerjaan untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi dunia ketenagakerjaan yang didalamnya terdapat pihak pengusaha dan buruh (pekerja). Ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan ketenagakerjaan di Indonesia, akan tetapi pemerintah pula sering mengeluarkan kebijaksanaan aturan normatif yang tidak jelas dan tidak mengatur secara mendetil aturan-aturan tersebut sehingga menimbulkan banyak makna penafsiran oleh pihak pengusaha, hal ini tentu akan banyak menimbulkan konflik antara pengusaha dan tenaga kerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Namun dalam perjanjian kerja bukanlah sepenuhnya bersifat perdata. Karena Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menganut Sistem Hubungan Industrial, dimana didalamnya hubungan ini terdapat pihak terkait, yaitu Pekerja/Buruh, Pengusaha dan Pemerintah.  Dimana Hal ini timbul dikarenakan adanya turut serta pemerintah dalam menangani masalah ketenagakerjaan melalui perundang-undangan, dengan tujuan menciptakan dan mewujudkan hubungan kerja yang adil.
Bila kita melihat kembali bagaimana Politik hukum perburuhan setelah kemerdekaan Indonesia di era orde lama atau setidak-tidaknya sampai dengan tahun 1965, adalah memposisikan kaum buruh hanya diperuntukkan bagi eksploitasi kebutuhan fisik semata, yaitu hanya dipekerjakan di pabrik guna kepentingan proses produksi dan tidak pernah diperhatikan hak hakiki buruh berupa pemberian kesejahteraan yang meliputi ; masalah upah kerja yang layak untuk diberikan pengusaha kepada buruh.
Di era orde lama, peranan kaum buruh sangat penting dalam keterlibatan mempertahankan kemerdekaan nasional dengan membuat sebuah gerakan “Lasykar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat Buruh di Indonesia” yang aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia untuk lepas dari penjajahan Belanda, Jepang, dan Sekutu yang ingin merebut kembali yaitu pada bentuk campur tangan kaum buruh dalam pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di pemerintahankemerdekaan indonesia setelah tahun 1945. Kemudian, sumbangan keberhasilan dari gerakan buruh untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia menempatkan posisi kaum buruh berada pada posisi yang strategis.
Dengan adanya campur tangan kaum buruh dalam pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di pemerintahan, maka peraturan yang terbentuk cenderung maju dan melindungi kaum buruh, diantaranya ; UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Buruh, UU No. 2 Tahun 1951 tentang Berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan di Tempat Kerja, UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan, Undang-Undang No. 18 tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 98 Tentang Hak Berorganisasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang No. 3 Tahun 1958 Tentang Penempatan Tenaga Asing, dan Undang-Undang 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pada Masa orde baru Kebijakan Soeharto , kontrol politik penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri dari gerakan buruh dalam arena politik secara luas. Selain itu, ciri utama akomodasi buruh-majikan-negara selama orde baru adalah kontrol negara yang sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terusmenerus kelas buruh sebagai kekuatan sosial.
Dalam artian kebijakan-kebijakan perburuhan yang dilakukan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh suatu stabilitas ekonomi untuk menghentikan kemerosotan ekonomi setelah kejadian G30S/PKI. Hal ini sesungguhnya terlihat dari program REPELITA oleh orde baru.
Memasuki era reformasi tahun 1998, dengan semangat reformasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada era reformasi dalam masalah ekonomi juga diarahkan untuk mengikuti kebijakan fleksibilitas hubungan kerja dan iklim investasi yang telah mendunia sesuai dengan perkembangan globalisasi, liberalisasi, dan pasar bebas. Karena inti dari fleksibilitas hubungan kerja adalah keleluasaan untuk memobilisasi dan menerapkan sistem hubungan kerja sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang fleksibel.
Sehingga dari kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah di era reformasi baik yang secara langsung berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan maupun berhubungan dengan kebijakan investasi, jelas terlihat bahwa kebijakan fleksibilitas hubungan kerja yang diarahkan.
Kemudian dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait dengan sektor - sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor – sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang ekonomi.
Bila membahas ekonomi maka ada baiknya kita membahas Negara Tiongkok. Tiongkok yang merupaka macan asia yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang ada. Dimana Negara ini Sejak awal tahun 1980-an, dimulai dari perkembangan pesat hak kompensasi kekuasaan legislatif tidak bisa dihindari. Mekanisme hukum yang penting bagi suatu negara modern untuk memperkuat administrasi, sistem ini hak kompensasi kekuasaan legislatif juga mempromosikan pengembangan negara, merupakan cerminan dari konsekuensi positif dari pembangunan kembali sistem hukum China dan restrukturisasi ekonomi.
Hal ini perlu dibahas juga karena perekonomian erat kaitannnya dengan masalah perburuhan seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa Buruh merupakan kelompok pekerja dalam suatu bidang usaha merupakan mitra yang penting bagi pengusaha didalam menjalankan roda kegiatan ekonomi.
Karena memang permasalahan perburuhan yang didasari oleh semangat reformasi ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997, hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perekonomian bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk dilakukannya reformasi dimana gangguan ekonomi membawa penderitaan besar bagi banyak penduduk dan memberikan kontribusi untuk wabah reguler konflik sosial, termasuk beberapa bentrokan etnis dan agama, di berbagai bagian negara ini.  Sehingga timbulnya Pemutusan hubungan Kerja dimana-dimana padahal banyak diantara mereka, terutama pekerja yang berstatus sebagai karyawan PKWT.
Hubungan antara perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dengan bidang ekonomi, karena PKWT merupakan bagian dari perubahan hukum di bidang ketenagakerjaan/perburuhan. Dimana ini Indonesia pasca reformasi, dan akan meenjalani fase indusrialisasi.
Dalam fase industrialisasi yang ditandai dengan akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi, dimana hukum berpihak pada kaum industrialis, aturan PKWT lahir untuk menjawab kebutuhan industrialisasi.

2. Implikasi Politik Hukum Dalam Pembentukan Undang-Undang UU No. 13 Tahun 2013 Terhadap Imvestor Asing
Perjanjian Kerja menurut undang-undang No. 13 Tahun 2003, dibagi atas dua, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan. Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu (PKWT).  Dimana Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu (PKWT) harus dibuat secara tertulis.  Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. PKWT tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.
PKWT sebenarnya hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra. Dimana dalam pembentukan Undang-undang ini sesungguhnya para legislator berpendapat untuk mengurangi pengangguran.
Bila dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya yaitu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969, hubungan kerja tidak tetap tersebut tidak ada diatur, sebaliknya juga tidak ada dilarang, sehingga menggunakannya sebagai suatu kebiasaan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan landasan yuridis yang lebih kuat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. dimana PKWT terdapat pengaturan tersendiri dalam sub bab tentang hubungan kerja. Kemudian dibuatlah peratuan pelaksananya yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/VI/2004
Pasca reformasi dan keluarnya Undang-undang ini haruslah pada periode ini memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja kemudian tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat.  Terutama masalah PKWT ini yang seperti dijelaskan diatas menimbulkan pro dan kontra.
Banyaknya Praktik-praktik yang menyimpang dari ketentuan undang-undang ini merupakan salah satu dari tuntutan buruh pada saat melakukan demonstrasi besar-besaran.  Karena memang dalam proses pembentukannya seperti yang telah dijelaskan diatas untuk mempercepat proses pertumbuhan ekonomi tapi melupakan hak-hak buruh.
Karena pada dasarnya sistem hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha suatu bangsa senantiasa mencerminkan sistem pembangunan yang pada dasarnya adalah cerminan sistem ekonomi atau sistem pembangunan dan ideologi yang dianut. Misalnya sistem ekonomi yang serba liberalistik, kapitalistik ataupun serba etatis, komunistik akan melahirkan sistem hubungan industrial yang sama sebagai pencerminannya.
Sehingga pada akhirnya Pengaruh politik ekonomi juga sangat menentukan Hukum Ketenagakerjaan, karena memang pada dasarnya kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah menjadi semakin berkurang dan peranan swasta manjadi lebih besar. Hukum ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan.
Namun tidak semua hal dalam Hukum Ketenagakerjaan dapat diserahkan pada mekanisme pasar. Selain itu sistemhukum Indonesia juga tidak memberi ruang yang cukup luas untuk itu. Di sinilah pemerintah ditantang untuk menjalankan kebijakan perburuhan yang mampu mengakomodir semua kepentingan, baik pemilik modal, pekerja/buruh maupun pemerintah sendiri.
Belum lagi bilai memang masyarakat Indonesia lebih memahami nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat sehingga masih banyak masyarakat yang masih menggunanakan hukum adat menyelesaikan setiap permasalahan hukum daripada mengetahui tentang hukum nasional itu sendiri.  Tidak terkecuali para buruh yang tingkat pendidikan rendah yang tidak paham akan hukum nasional yang sebenarnya melindungi dia dalam persoalan PKWT. Sehingga terdapat kendala disana-sini dalam proses perlindungan hukum ini.
Hal ini juga dapat disebabkan bila melihat secara sosiologis buruh adalah orang atau kelompok yang tidak bebas, yang artinya adalah sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya saja, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain dan majikan inilah pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu.  Karena memang Indonesia adalah Negara berkembang dimana lapangan kerja tidak seimbang dengan tenaga kerja yang tersedia.
Hukum sesungguhnya telah menjadi alat perubahan sosial. Hukum diperlukan untuk mengambil tindakan yang mempengaruhi orang, properti setiap tubuh atau hak. Permintaan untuk praktisi hukum tak pernah puas hingga saat ini.  Hal ini juga berlaku dalam implikasi Politik Hukum Undang-undang ini terhadap Para Pekerja PKWT sehingga haruslah undang-undang ini menjadi alat untuk mempengaruhi para pengusaha untuk lebih memperhatikan ketentuan para pekerja/buruh PKWT
Koffi Anan sendiri berpendapat bahwa hak ekonomi dan tanggung jawab sosial adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Itu sebabnya beberapa tahun lalu di Davos, beliau mengusulkan persamaan global antara bisnis PBB. Beliau juga meminta mereka untuk bertindak, dalam lingkup pengaruh mereka (PBB), sesuai dengan standar yang diterima secara internasional di bidang hak asasi manusia, standar buruh, dan lingkungan-dan menawarkan jasa sistem PBB untuk membantu mereka melakukannya.
Kemudian Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan Perburuhan juga sangat diperlukan dalam system Hubungan Industrial Pacasila. Selain itu upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa bisnis termasuk masalahperburuhan harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Dimana memang dikedepankan Bipartit dan Tripartit dalam sengketa perburuhan. Karena sebagaimana menurut Friedman Pada akhirnya, jika pengadilan tidak bisa memecahkan masalah dan jika masalah tidak lenyap dengan sendirinya (melalui perubahan radikal dalam selera populer atau tingkat toleransi), beberapa solusi di luar hukum akan dicapai.
Pada akhirnya pembentukan undang-undang ketenagakerjaan ini dari yang telah dijelaskan sebelumnya karena lebih adanya kepentingan politis dalam ekonomi maka tidak terlepas dari pengujian undang-undang ini terhadap undang-undang dasar. Dimana pertama sekali dilakukan oleh Hakim John Marshall sebagai Hakim Agung Amerika dalam kasus Marbury v Madison yang terkenal dengan istilah Judiciary Act (1789) karena substansinya bertentangan dengan konstitusi.
Salah satu kasusnya adalah Putusan MK No. 7/PUU-XII/2014 tentang beralihnya status Pekerja PKWT menjadi PKWTT. Sehingga kedepannya perlu dirasa oleh penulis dilakukan Judicial Review  oleh DPR dengan lebih mengedepankan aspek Perlindungan Buruh/Pekerja daripada politiknya.


IIl. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Politik Hukum dalam Pembuatan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 sangatlah terlihat. Dengan semangat reformasi untuk lebih memberikan perlindungan terhadap para buruh/pekerja setelah “era gelap” pada orde baru. Selain itu karena pemasalahan perburuhan erait kaitannya dengan permasalah ekonomi di suatu Negara terutama di Negara Indonesia yang merupakan Negara berkembang. Dimana dalam proses pembuatan undang-undag ini erat dengan politik ekonomi.
Hal ini dapat terlihat jelas dari implikasinya terhadap pekerja PKWT. Dimana hal ini masih menjadi pro dan kontra. Namun bagaimanapun ini seperti pisau bermata dua. Dalam hal politik jelas ini dapat mengurangi pengangguran namun juga banyaknya Buruh/Pekerja yang tidak tau dengan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan

2. SARAN
Adapun yang menjadi saran dari makalah ini, adalah: Perlunya Judicial review terhadap undang-undang ini agar yang lebih ditonjolkan adalah perlindungan hukum buruh sebagai warga Negara bukan malah lebih mengedepankan aspek politik hukum dan politik ekonomi untuk mempermudah para pengusaha dan investor dalam mempekerjakan para pekerja dalam PKWT. Sehingga perlu juga pengawasan dari pemerintah agar tercipta hubungan industrial pancasila yang dicita-citakan itu
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Arinanto, Satya. 2001. Politik Hukum 2. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI
Arinanto, Satya. 2001. Politik Hukum 3. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI
Asshiddiqie, Jimly. 2002. Konsilidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat.Jakarta : PSHTN FHUI
Chanddrawulan, An An. 2011. Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, cetakan ke-1, Bandung: Penerbit PT. Alumni
Friedmann. 1990. Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta:Rajawali Pers
Graham, E.M. and P. Krugman. 1995. Foreign Direct Investment in The United States, Washington, Institute for International Economics 3 rd edition.
Hartono, Sunaryati.1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Penerbit Binacipta.
Hampton, Mark R. and Jasson P. Abbott. 1999. Offshore Finance Centres and Tax Havens: The Rise of Global Capital, Mac Millan: London
Hatta, Mohammad. 1977. Menuju Negara Hukum, Jakarta : Idayu Press
Komar, Mieke.1999. Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Bandung: Alumni
Lev, Daniel S. 1990. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, Jakarta: LP3S.
Marbun ,S. F. 2011. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Adninistratif di Indonesia, cet. III, Yogyakarta : FH UII Press
MD, Moh.Mahfud,. 2006 Politik Hukum di Indonesia Jakarta: Rajawali Pers
Sihombing, Jonker. 2008. Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara di Pasar Modal Bandung: PT.Alumni

Rais, Mohammad Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, Yogyakarta : PPSK Press.
Mertokusumo , Sudikno. 2001. Penemuan Hukum suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty

2. Jurnal
Erawaty, Elly. 2015. Legal Aspects of Foreign Direct Investment In Indonesia: An Overview. Jakarta: ThaiFTA

3. Tesis
Nasution, Asmin. 2009. “Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulation WTO”. Medan: Tesis Magister Univesitas Sumatera Utara.

4. Webiste
http://catatansurya09.blogspot.co.id/2013/11/perbedaan-uu-no11967-dengan-uu-no252007_16.html
<http://www.jimly.com/pemikiran/view/11> , [10/04/2011]

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S