Skip to main content

PROSES KEMATIAN BANK SISTEMIK DAN NON SISTEMIK SERTA DAMPAKNYA PADA NASABAH

Definisi bank gagal berdampak sistemik dan bank gagal tidak berdampak sistemik
1. Bank gagal berdampak sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun  terhadap kelancaran dan kelangsungan roda  perekonomian secara nasional. Bank gagal berdampak sistemik:
· Berpotensi menimbulkan moral hazard
Memanfaatkan celah hukum dan keadaan demi keuntungan pribadi dan pihak lain merupakan perilaku yang sering di dunia bisnis apabila tidak diatur dan kelola sebaik-baiknya. Keterbukaan kebijakan sangat penting tetapi keterbukaan yang berlihan bagaimanapun juga dapat berbahaya. Bagi seseorang yang merasa terdesak akibat kegiatan usaha yang tidak menguntungkan bukanlah sesuatu yang mustahil bagi mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang nekad untuk memanfaat semua keadaan demi keselamatan usahanya atau ke luar dari bisnisnya dengan cara-cara yang kurang wajar dan merugikan pihak lain.
Demikian halnya dengan di dunia perbankan, Jika semua bank tahu tentang kriteria berdampak sistemik, dikhawatirkan bank-bank itu akan dengan sengaja mengkondisikan diri masuk ke kriteria “berdampak sistemik” agar bisa minta bantuan pemerintah. Hal ini dapat mendorong manajemen bank tidak berhati-hati (prudent) dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Ini adalah bentuk dari moral hazard.
· Pengukuran Dampak Sistemik Bersifat Situasional
Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal adalah masalah di dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun serangan teroris. Ini menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi berbeda. Perlu professional judgement untuk memutuskan hal tersebut.

2. Bank gagal tidak berdampak sistemik adalah ketidakmampuan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada para deposannya atau karena tidak bisa membayar atau pemenuhan permintaan dana-dana lainnya yang masih merupakan bagian dari kewajibannya dan kegagalan bank tersebut tidak berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Bank gagal bisa terjadi karena:
· pemiliknya melarikan asetnya ke luar negeri dan kabur dari Indonesia untuk mengeruk keuntungan dari tabungan nasabahnya.
· Terjadi krisis ekonomi
· Manajemennya kacau dan tidak bisa mengurusnya.

Menurut Komisaris Independen PT Bank Mandiri Tbk, Goei Siauw Hong dalam Diskusi Media Training : Memahami Industri Perbankan mengungkapkan, kegagalan perbankan menyebabkan kerugian lebih besar kepada nasabah dibanding pemegang saham atau pemilik modal, ada empat risiko utama yang bisa mengancam kelangsungan bisnis para bankir, yakni risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional dan risiko likuiditas. Dia menuturkan, risiko kredit merupakan kerugian akibat gagal bayar dari debitur bank. Risiko ini bisa timbul dari kredit macet, transaksi forward atau derivatif (treasury), investasi dan pembiayaan perdagangan.
Risiko pasar terjadi karena perubahan faktor pasar, yaitu perubahan suku bunga dan nilai tukar. Misalnya kenaikan suku bunga mengakibatkan harga obligasi turun dan timbul kerugian bagi bank. Ketiga, risiko operasional. Kerugian ini disebabkan faktor sistem, seperti kegagalan teknologi informasi bank yang disebabkan komputer di hack, kegagalan ATM dan sistem off line. Faktor manusia karena kejahatan internal, kompetensi karyawan tidak memadai dan perselisihan perburuhan.
Dari faktor proses internal adalah akibat kegagalan proses dan prosedur bank. Misalnya proses pengecekan yang kurang memadai dan kejadian eksternal akibat sesuatu di luar kendali bank, contohnya perampokan, kebakaran, gempa bumi dan lainnya.
Keempat, risiko likuiditas akibat ketidakmampuan ‎bank memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagungkan.
Bank juga menghadapi risiko lain selain empat risiko utama, antara lain risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik dan risiko kepatuhan. Risiko hukum terkait kelemahan kontrak atau tuntutan hukum, risiko reputasi persepsi negatif terhadap bank, risiko strategik akibat perencanaan st‎rategis yang kurang baik, dan risiko kepatuhan diakibatkan adanya pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku. Sehingga menurutnya kalau empat risiko utama ini penting untuk dikelola dengan baik dan harus diantisipasi dengan kecukupan modal. Jika tidak, perbankan bisa babak belur atau bangkrut alias mati.
Dalam  hal terjadinya kematian Bank yang berdampak system, maka UU Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) terdapat 3 (tiga) langkah, yaitu
Langkah pertama yaitu LPS diperkenankan melakukan skema purchase and assumption. Melalui skema ini, nantinya jika ditetapkan ada bank yang gagal dan diputuskan harus diselamatkan, maka aset dan kewajiban dengan status hukum yang paling kuat milik bank tersebut harus dikeluarkan dari bank yang gagal tersebut.
Langkah kedua, yaitu bilamana nantinya aset tersebut sepi pembeli akibat kondisi pasar keuangan tidak dalam kondisi yang baik, maka aset dan kewajiban milik bank gagal tersebut akan ditampung sementara oleh bank perantara (bridge bank) yang dikelola oleh LPS. Pembentukan bank perantara tersebut nantinya akan diatur dalam bentuk peraturan turunan berupa peraturan LPS. Aset tersebut nantinya bisa dilelang ke investor jika sewaktu-waktu keadaan pasar finansial membaik
Langkah ketiga, LPS diperkenankan menerbitkan surat utang (obligasi) yang dananya bisa digunakan untuk menginjeksi permodalan bank yang dianggap tidak mampu melakukan bail in. Dalam prinsip bail in kerugian bank sistemik harus di upshort dulu oleh pertama yaitu pemilik bank, kedua yakni investor, dan ketiga pemegang obligasi yang convertible. Dengan sistem bail in, bank sistemik diwajibkan untuk memiliki atau menerbitkan convertible bond yang sewaktu-waktu bisa diubah menjadi ekuitas saham pada saat dalam keadaan krisis.
Kemudian apabila ternyata bantalan modal tersebut tidak cukup, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melimpahkan bank gagal itu ke LPS. Jika nanti dananya tidak cukup, otomatis LPS dapat menerbitkan obligasi. Dalam hal penerbitan obligasi LPS sebelum menerbitkan obligasi, LPS harus melalui tahap akreditasi oleh lembaga rating kredit. Jika dalam keadaan krisis keuangan pasar obligasi terpuruk dan tidak memungkinkan LPS untuk menerbitkan obligasi, maka KSSK akan berkonsultasi dengan presiden dan meminta presiden untuk menggali sumber pendanaan lain.
Langkah-langkah ini berbeda dengan skema penyelamatan Bank Century yang pernah dilakukan oleh LPS tahun 2008 lalu. Pada saat itu, LPS secara langsung menyuntik dana segar sebesar Rp1,6 triliun kepada Bank Century menggunakan dana cadangan yang dimiliki oleh LPS berdasarkan persetujuan KKSK.
Sehingga ketika ada bank yang gagal dan harus diselamatkan, maka satu-satunya cara berdasarkan UU LPS adalah menyuntik modal segar. Tapi sekarang cara tersebut sudah ditinggalkan oleh LPS di negara lain.
Lalu Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memegang kendali penuh dalam penanganan krisis sistem keuangan, serta mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi KSSK dan memutuskan program restrukturisasi perbankan. Presiden pun bertindak selaku penentu akhir untuk memutuskan kondisi stabilitas sistem keuangan dalam kondisi normal atau krisis sistem keuangan setelah mendapat rekomendasi dari KSSK. Presiden pun dapat memutuskan atau mengakhiri program restrukturisasi perbankan apabila terjadi permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
Kemudian dalam penggunaan anggaran negara, tidak banyak dipergunakan hanya untuk menangani bank sistemik, melainkan bank sistemik pun diwajibkan untuk secara mandiri menyelesaikan permasalahan likuiditas dan solvabilitasnya dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam bank sistemik tersebut. Hal ini sangatlah besar pengaruhnya dalam hal pembuatan suatu kebijakan perbankan oleh bank karena dalam UU ini tidaklah lagi diterapkan skema bail out yang justru membebani anggaran negara, namun menerapkan skema bail in dimana terlebih dahulu harus mengupayakan secara mandiri dalam menangani permasalahan bank sistemik sehingga bank tentunya akan semakin memperkuat sistem perbankannya sehingga ketika sewaktu-waktu menghadapi permasalahan likuiditas dan solvabilitas.
Pada dasarnya perlindungan hukum diperlukan oleh nasabah, baik nasabah penyimpan dana atau nasabah kreditur, juga nasabah penerima kredit atau disebut nasabah debitor serta pengguna jasa perbankan. Apabila dikaitkan dengan UU perlindungan konsumen yang memasukkan nasabah bank sebagai konsumen, maka dasar hubungan hokum kedua belah pihak adalah berakar dari suatu perjanjian.
System perbankan Indonesia sebenarnya telah memberikan perlindungan hukum melalui 2 cara, baik secara implisit maupun eksplisit. Sebenarnya dalam pasal 30 UU bank Sentral No. 13/1968 telah disebutkan untuk menjamin uang pihak ketiga yang dipercayakan kepada bank, dapat diadakan asuransi deposito untuk tujuan pembinaan  kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, sehingga lahirlah PP 34/1973 tentang jaminan simpanan uang pada bank.
Apabila berbicara tentang perlindungan nasabah sebagai Debitur, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari pembahasan isi suatu perjanjian kredit. Telah dibahas di awal bahwa hubungan bank dan nasabah antara lain berdasarkan asas kebebasan berkontrak, namun asas kebebasan berkontrak tidaklah bekerja secara tak terbatas. Pembatasan-pembatasan dilakukan dibuat untuk mengingat adanya kepentingan pihak yang lemah bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada.
Perlindungan hukum kreditor oleh LPS jika terjadi likuidasi ialah berdasarkan pada ketentuan Pasal 54 UU LPS hasil pencairan asset dan/ penagihan piutang didistribusikan oleh tim likuidasi dengan urutan sebagai berikut: (a) Pembayaran gaji pegawai yang terutang; (b) Pesangon pegawai; (c)  Biaya perkara, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; (d)  Biaya penyelesaian yang dilakukan oleh LPS dan atau pembayaran klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; (e) Pajak Terutang; (f) Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminanya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan (g) Hak kreditor lain.
Perlindungan hukum terhadap nasabah oleh Lembaga Penjamin Simpanan jika terjadi likuidasi Lembaga Penjamin Simpanan akan menjamin simpanan nasabah yang layak bayar dan untuk simpanan yang tidak layak bayar atau dijamin pembayarannya melalui mekanisme likuidasi.  Pada saat nasabah menyimpan dananya  pasa slah satu bank seketika itu terjadi hubungan hukum antara keduanya, mengenai hubungan hukum ini terdapat beberapa pendapat, namun yang bisa dijadikan acuan adalah hubungan hukum sebagaimana disebut dalam UU Pokok Perbankan, yaitu berupa hubungan hukum penitipan/penyimpanan dana.
Dalam pasal 1 UU Pokok Perbankan Tahun 1998 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan simpanan adalah: dana yang dipercayakaan kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro,deposito, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Hubungan antara bank dengan nasabah dalam menjalankan kegiatan usahanya, menimbulkan dua sisi tanggung jawab, yaitu kewajiban yang terletak pada bank itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban nasabah penyimpan dana sebagai akibat hubungan hukum dengan bank. Hak dan kewajiban antara bank dengan nasabah diwujudkan dalam suatu bentuk prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah.
Nasabah penyimpan dana perlu mendapatkan perlindungan hukum atas dana yang disimpannya tersebut, karena masyarakat menyimpan dananya hanya didasarkan atas kepercayaan bahwa nasabah percaya dana yang disimpan akan digunakan oleh bank sesuai dengan usaha bank dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan usaha bank. Pada kondisi yang demikian ini perlu ada suatu pengawasan terhadap bank tersebut agar dengan pengawasan tidak mengakibatkan timbulnya suatu kerugian bagi nasabah. Berbeda halnya dengan hubungan hukum antar bank dan nasabah debitor yang dapat diartikan bahwa bank berkedudukan sebagai lembaga penyedia dan bagi para debitornya.berdasarkn hubungan kontraktual antara nasabah penyimpan dana dengan suatu bank dilihat dari segi aspek hukumnya bisa dikaji tentang bagaimana sifat dari hubungan ini dengan melihat asas-asas dasar sebagaimana halnya dalam hukum perjanjian.
Pada akhirnya Perlindungan Hukum  terhadap para kreditor dalam hal “kematian Bank” seperti nasabah penyimpan dana tidak ditentukan  secara jelas kedudukan Nasabah dalam tingkatan kreditor, apakah yang didahulukan pembayarannya atau tidak sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 begitu juga Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata tidak menentukan kedudukan kreditor bagi Nasabah, sehingga Nasabah dapat dikategorikan sebagai kreditor Konkuren yang mendapat pembayaran secara pari passu dan pro rata setelah kreditor separatis dan kreditor preferen (istimewa) yang berarti mendapat pembayaran dari sisa pembagian harta pailit setelah kreditor separatis dan kreditor preferen. Meskipun kedudukan nasabah diperhatikan dan berkedudukan sebagai kreditor konkuren, namun perlindungan demikian masih belum sesuai, oleh karena menyangkut dana nasabah tersebut bukan merupakan harta pailit dan harus dekembalikan dan dijamin oleh sebuah lembaga, seperti Lembaga Penjamin Simpanan

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S