Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Sabtu, 22 April 2017

pengadilan pajak dalam kekuasaaan kehakiman di Indonesia.


A. Pendahuluan
Kedudukan lembaga-lembaga peradilan di Indonesia tidak bisa terlepas dari konsep Negara hukum yang menghendaki adanya supremasi dan penegakkan hukum.  Keberadaan lembaga-lembaga peradilan tersebut menjadi sangat penting karena dapat dipastikan tanpa adanya lembaga-lembaga peradilan yang diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, maka hukum tidak akan memiliki banyak maknanya dalam masyarakat. Salah satu lembaga peradilan yang bertugas melakukan penegakan hukum tersebut adalah lembaga peradilan pajak.
Sebagaimana diketahui, bahwa pajak merupakan salah satu iuran rakyat yang dipungut oleh Negara. Pajak ini pula dijadikan sebagai pendapatan Negara selain Bea dan Cukai dan beberapa pendapatan Negara bukan pajak lainnya. Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.
Eksistensi pengadilan pajak sebagai suatu kebutuhan dalam penyelesaian sengketa perpajakan telah lama ada. Pada mulanya dikenal dengan nama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang dibentuk berdasarkan Regeling van het Beroep in Belastingzaken (Staatsblad No. 29 Tahun 1927) yang terakhir telah diubah dengan UU No.5 Tahun 1959.  Dalam perkembangannya karena keberadaan MPP tidak memadai lagi, maka pada tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) melalui Undang-Undang No 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Terbentuknya BPSP diharapkan terwujudnya suatu peradilan pajak yang independen sebagai tempat para wajib pajak mencari keadilan dengan proses yang sederhana, cepat dan biaya murah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya ditemui kendala, antara lain yang paling prinsip adalah keberadaan BPSP tidak begitu efektif dalam penyelesaian sengketa perpajakan sebab posisi BPSP berada di luar sistem peradilan yang berlaku, sehingga BPSP dianggap sebagai badan penyelesaian sengketa yang bersifat semu, sebab layaknya suatu badan penyelesaian sengketa seharusnya terdapat tiga pihak, namun dalam sengketa pajak hanya terdapat dua pihak, anara wajib pajak dan pemerintah (dalam hal ini adalah Dirjen Pajak atau fiskus) yang juga berperan sebagai salah satu pihak yang memutuskan sengketa perpajakan yang timbul antara wajib pajak dan Dirjen Pajak. Dengan demikian tidak mungkin terhadap setiap sengketa pajak BPSP dapat bersifat independen dalam memberikan rasa keadilan bagi para wajib pajak yang menyelesaikan sengketa melalui badan ini, terutama bila dikaitkan dengan kesempatan untuk menempuh upaya hukum lebih lanjut.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, maka pada tahun 2002 telah diberlakukan UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu peradilan yang independen dalam menyelesaikan sengketa perpajakan. Menurut ketentuan Pasal 33 ayat (1) bahwa, pengadilan pajak merupakan suatu pengadilan khusus di bidang perpajakan yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Ketentuan ini mengandung makna bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pengadilan pajak ini merupakan upaya hukum terakhir, hal ini berarti bahwa tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh, baik banding ke pengadilan tinggi maupun kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada tahun 2002 setelah UUD 1945 diamandemen untuk kedua kalinya, UU Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dasar Pertimbangan dilakukan pergantian dapat dilihat dalam konsideran UU Pengadilan Pajak, yang menegaskan:
a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat;
b. bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan;
c. bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana;
d. bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung;
e. bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak.
Sebagaimana diketahui posisi Kementerian Keuangan sebagai pintu keluar masuknya anggaran negara memiliki peran yang strategis sebagai katalisator keberhasilan reformasi birokrasi. Ironisnya, justru berbagai kasus korupsi yang terungkap belakangan ini bersumber dari instansi tersebut, terutama dari Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Dari sekian banyak kasus yang muncul terkait dengan perpajakan, lembaga yang turut menjadi sorotan publik adalah Pengadilan Pajak yang dinilai tidak independen karena berada di bawah dua atap.
Banyak kasus yang terjadi di sektor pajak mulai dari hal yang kecil seperti Keberatan yang diajukan wajib pajak sampai kasus yang paling hangat dan kontroversial yaitu kasus Gayus Tambunan. Sektor-sektor dalam pajak adalah sektor yang paling urgen untuk melakukan tindak kriminal karena menyangkut keuangan Negara. Namun dalam hal ini tidaklah membahas tentang kasus Gayus Tambunan di atas, melainkan fokus kepada independensi Pengadilan Pajak di Indonesia.
Salah satu syarat penting bagi tegak dan kokohnya negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama karena pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman masih memerlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar lembaga-lembaga lain tersebut tidak berada di luar salah satu lingkungan peradilan yang telah ditentukan. Salah satunya adalah, pengadilan pajak yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta memberikan perlindungan hukum wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur pada Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya di sebut UUD 1945) pasal 24. Ayat (2), pasal tersebut berbunyi: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”, selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai UU Kekuasaan Kehakiman) pasal 25 menyatakan bahwa Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Merujuk pada ketentuan tersebut lembaga-lembaga yang berwenang melakukan kekuasaan kehakiman telah disebutkan secara terbatas (limitatif). Dengan kata lain tidak ada yang namanya lembaga peradilan selain yang telah disebutkan secara tegas (expressive verbis) dalam konstitusi. Meskipun ada pengadilan selain sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi maka pengadilan tersebut haruslah berada dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu, misalnya lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha Negara.
Pada sisi lain kedudukan pengadilan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya di sebut UU Pengadilan Pajak), pasal 2 dinyatakan bahwa “pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak”, sehingga dalam hal ini menjadi ambigu, pada UU Kekuasaan Kehakiman hanya terdapat empat pengadilan yang tercantum pada pasal 25 di atas, sehingga di sini terjadi ketidaksinkronan.
Apabila ditelaah lebih jauh dari struktur dan muatan pada undang-undang tersebut di atas terdapat tiga hal yang mendasar yang akan dikaji lebih jauh berkaitan dengan eksistensi peradilan pajak dengan berlakukan UU No. 14 Tahun 2002. Pertama adalah, dari segi bentuk kelembagaan pengadilan pajak yang berada di bawah kewenangan kekuasaan eksekutif, dan kedua dari segi eksistensi dan independensi pengadilan pajak dalam kekuasaaan kehakiman di Indonesia.

B. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
1. Pengadilan Pajak sebagai Instrumen Penegakan Hukum
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut sebagai hukum. Hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara.  Penegakan hukum yang berwibawa akan dapat menjamin terpeliharanya kepastian dan keadilan.  Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan yang tak kalah penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur berbagai kegiatan. Termasuk kegiatan perekonomian suatu Negara.
Pemungutan pajak di tengah masyarakat dipandang perlu ditegakkan dengan baik, dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar kewajibannya terhadap pajak berpengaruh pula terhadap peningkatan jumlah pemungutan pajak yang dilakukan oleh aparat pajak (fiskus). Pemungutan pajak oleh pemerintah akan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan pemungutan pajak ditengah masyarakat yang tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib pajak dengan pejabat atau aparatur pajak (fiskus). Oleh sebab Pengadilan pajak hadir demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas, yakni untuk lebih memberikan pelayanan dan perlindungan kepada warga masyarakat sebagai pembayar pajak, yang dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak, serta dapat memberikan kepastian hukum (legal certainty) dan keadilan (fairness), atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat, dan murah, sesuai dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia.

2. Penyelesaian Masalah Sengketa Pajak Melalui Pengadilan Pajak
Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment di mana dengan sistem ini Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak. Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat WP terhadap ketentuan perpajakan. Dalam konteks inilah, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP kepada sebagian WP.
Pasal 29 ayat (1) UU KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP) di mana SKP ini berfungsi untuk melakukan koreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh Wajib pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Dalam proses penetapan pajak melalui pemeriksaan ini sering timbul sengketa pajak antara Wajib pajak dan otoritas pajak. Sengketa ini bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan, perbedaan pemahaman atas ketentuan perpajakan, perbedaan sudut pandang dalam menilai suatu fakta, bisa juga karena ketidaksepakatan dalam hal proses pembuktian.
Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana ketentuan UU KUP dalam Pasal 25, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain dari pada itu surat keberatan dapat disampaikan oleh Wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagaimana ketentuan dalam UU KUP Pasal 25 ayat-ayat berikut; (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan; Ayat (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya; Ayat (3a) Dalam hal Wajib pajak mengajukan keberatan atas surat etetapan pajak, Wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sejumlah yang telah disetujui Wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, um surat keberatan disampaikan; ayat (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana imaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan WP dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib pajak. Namun demikian, Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Dalam hal tersebut, apabila WP masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, WP masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 angka 6 yaitu : “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. Sedangkan badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Lebih lanjut sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (1) bahwa pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan sengketa pajak. Sedangkan kekuasaan pengadilan pajak diatur dalam Pasal 33 bahwa pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa, sehingga putusan pengadilan pajak bersifat final and binding (putusan terakhir dan memilki kekuatan hukum tetap).
Adapun syarat mengajukan banding yang harus dipenuhi Wajib pajak diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yaitu: Pasal 35, yaitu ;
a. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
b. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Jangka  waktu  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding.
Dan Pasal 36, yaitu ;
a. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
b. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
c. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.
d. Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
Selanjutnya masih ada upaya lain yang dapat ditempuh oleh WP, yaitu; dengan melakukan upaya Peninjauan Kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana ketentuan UU Peradilan Pajak, Pasal 77 Ayat (3) ”Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”.
Sedangkan Pasal 91 UU Peradilan Pajak, Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a) Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b) Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada, yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 (1) b dan c UU Pengadilan Pajak;
d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e) Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.
Selanjutnya dalam Pasal 89 UU Peradilan Pajak, Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

3. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Menurut Apeldoorn, Peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.  Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya.
Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi.
Perlunya suatu lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa pajak merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP disebutkan bahwa, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”. Karakteristik sengketa pajak, merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha Negara). Pendapat ini didasarkan atas ruang lingkup hukum pajak yang masuk dalam lingkup hukum publik. Bahkan menurut Brotodihardjo , hukum pajak merupakan anak bagian dari administrasi.
Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi tidak murni, yaitu :
a. Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
b. Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau pembatalan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan).
Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga). Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 di atas berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan.
Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur rakyat sebagai perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit (ketetapan/beschikking) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai perorangan.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.

C. Eksistensi dan Independensi Pengadilan Pajak
1. Eksistensi Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
Dalam sebuah negara hukum peranan dari lembaga-lembaga peradilan sangat diperlukan demi tercapainya sebuah supremasi hukum. Upaya penegakan hukum ini diterapkan diberbagai bidang, dan salah satunya adalah di bidang Perpajakan untuk memberikan keadilan sebagai akibat timbulnya permasalahan antara subjek pajak (rakyat) dengan pemungut pajak (pemerintah) atau dapat pula disebut sebagai sengketa pajak. Dari hal tersebut maka dibentuklah Pengadilan Pajak melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Pengadilan  Pajak  yang  dibuat  atas  dasar  Undang-undang  Nomor  14 Tahun 2002. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan yang mengurusi masalah perpajakan pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor.14 Tahun 2002). Secara hirarki Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan khusus  dari  lingkungan  Pengadilan  Tata  Usaha  Negara,  karena  melihat  dari wewenang yang sama-sama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Administrasi  Negara.  Melihat  secara  hirarki  Pengadilan  pajak  merupakan peradilan administrasi (yudicial control) yang salah satu tujuannya adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada rakyat yang merasa dirugikan sebagia  akibat  dari  keputusan  administrasi  negara  dalam  bentuk  ketetapan (beschikking) yang diterbitkan oleh pejabat atau badan Administrasi Negara. Pada dasarnya  keberadaan  Pengadilan  Pajak  diharapkan  mampu  memberikan  rasa keadilan kepada pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah masyarakat, tetapi dalam  perjalanannya  banyak  masalah-masalah  yang  timbul  baik  dari  segi kelembagaan, pembinaan, dan sistem regulasi yang mengatur Pengadilan Pajak itu sendiri.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keempat peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut. Apabila dilihat dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, di dalamnya tidak terdapat sebuah ketetapan mengenai letak dan kedudukan pengadilan pajak. Hal ini yang menimbulkan kesan bahwa pengadilan pajak merupakan sebuah lembaga peradilan baru selain keempat peradilan yang ditetapkan oleh Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945. Dalam Pasal 2 Undang-undang nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Ketentuan tersebut walaupun tidak konkrit disebutkan namun dapat dipahami kehendak pasal tersebut adalah menginginkan adanya badan peradilan pajak secara mandiri sebagaimana Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang sama-sama berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi keberadaannya, disamping karakteristik proses penyelesaian sengketa yang berbeda dengan badan peradilan lainnya.
Terbentuknya Pengadilan Pajak tidak terlepas dari upaya perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan salah satu yang sangat esensial dalam suatu negara hukum. Perlindungan dalam bidang perpajakan ini diberikan mengingat pemerintah selaku penguasa negara yang memiliki kewenangan atas hukum publik yang dengan hal itu dapat menentukan secara sepihak mengenai pemungutan pajak dan dalam proses pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah tersebut sangat mungkin dan bahkan sering terjadi kelalaian atau kesalahan dalam menetapkan hutang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak serta agar rakyat tidak diperlakukan semena-mena. Sehingga dalam menyelesaikan suatu sengketa pajak, kedudukan pemungut pajak (pemerintah) dan wajib pajak (rakyat) adalah sama.
Eksistensi Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal setiap badan pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman.

2. Indepensi Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam konteks tersebut, maka ketentuan Pasal 24 UUD 1945 ayat (2) mengenai adanya kekuasaan kehakiman menjadi relevan. Salah satu konsekwensi Pasal 24 ayat (2) adalah munculnya berbagai lembaga peradilan, diantaranya adalah Lembaga Peradilan Pajak. Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyat.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demikian menjadi instrumen penting bagi demokrasi. Seperti proposisi berikut ini: ..Independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding is the nation that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also almost involve independence in relation to the legislative power, as well as in relation to political, economic, or social pressure group…
Begitu tingginya tingkat urgensi kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai instrument utama the rule of law, maka jaminan proteksi terhadapnya perlu ditegaskan. Alexander Hamilton dalam the Federalist Papers No. 78 telah mengingatkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karena itu diperlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar.  Terutama di negara-negara yang digolongkan ke dalam emerging democratic countries atau yang acapkali disebut sebagai negara-negara transisi.
Kekuasaan kehakiman dan peradilan dalam pandangan Moh. Mahfud M.D adalah Kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Oleh karena itu, badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau kekuasaan pemerintah.
Begitu pula yang di kemukakan oleh Suseno, bahwa Salah satu syarat penting bagi tegak dan kokohnya negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama karena pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang
penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa.  Kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demikian menjadi instrumen penting bagi demokrasi.
Pada sisi lain Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman baru yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lama.
Dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Artinya, pengadilan pajak merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung karena menjalankan fungsi yudisial. Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:
“Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879).”
Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman 2009, sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.”
Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Kompetensi Relatif, Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.
Kompetensi Absolut, Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum. Kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.
Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut tolak ukur sebagai berikut:
a. Tolak Ukur Subyek
Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi:
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah  bahwa manakala sengketa itu terjadi antara rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata Usaha Negara.
b. Tolak Ukur Obyek
Yang menjadi obyek dalam sengketa pajak berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut Pasal 1 butir 4 UU Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diamandemen pertama dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004 dam amandemen kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, berbunyi sebagai berikut :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak merupakan Sengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi bagian dari Sistem Peradilan Tata Usaha Negara.  Sebagai sebuah lembaga peradilan, yang tujuannya adalah menegakkan keadilan berdasarkan rule of law, sehingga perlu adanya kemandirian dan ketidakberpihakan dalam memutus suatu perkara. Namun, Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak independen.
Pengadilan pajak sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman seharusnya kaidah-kaidahnya menyesuaikan dengan UU Kekuasaan Kehakiman. Hal ini termuat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka harus dipahami sebagai terbebas dari pengaruh kekuasaan lain yakni, eksekutif dan legislatif, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini sebagai perwujudan dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut oleh negara hukum.
Pengadilan Pajak “dua atap” berimplikasi pada kinerja Pengadilan Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya pendukungnya, serta pengejawantahan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi “satu atap” dan mutlak sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan teknis peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung. Konstruksi Pengadilan Pajak sebagai “satu atap” merujuk pada sebuah perancangan tersendiri Pengadilan Pajak di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan khusus.
Peran pengawasan yang tumpang tindih antara Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial, berpotensi menimbulkan penolakan pengawasan pada setiap instansi yang akan mengawasi atas dasar kewenangan instansi pengawasan.
Pebinaan teknis peradilan  dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembinaan organisasi , administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak oleh Kementerian Keuangan. Adapun Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.  Dengan beradanya pembinaan di satu sisi di Mahkamah Agung (sebagai lembaga yudikatif) dan di sisi lain di Kementerian Keuangan (sebagai lembaga eksekutif) akan mempengaruhi independen pengadilan pajak karena di wilayah tersebut menimbulkan kotradiksi yakni, Kementerian Keuangan yang menjalankan fungsi eksekutif dan ketika terjadi sengketa pajak menjalankan fungsi yudikatif. Padahal kedua lembaga tersebut seharusnya terpisah untuk menjalankan fungsi saling mengontrol atau mengawasi. Dalam keadaan yang demikian memunculkan kondisi untuk mengawasi institusi sendiri.
Bahwa terhadap seluruh pembinaan baik teknis maupun organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung. maka Pengadilan Pajak sebagai badan yang menjalankan kewenangan peradilan di bidang perpajakan harus disesuaikan dengan konstruksi yuridis yang mengharuskan Pengadilan Pajak berada di bawah Mahkamah Agung, baik dari segi pembinaan teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. Hal ini juga selaras dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya terkait dengan tingkat independensi hakim dalam memutus perkara, faktor utamanya bukan pada di mana badan peradilan pajak tersebut bernaung, tetapi didasarkan sejauh mana putusan hakim tersebut bisa diakses dan diperdebatkan oleh publik, sehingga dapat dipetakan sebagai “common sense” yang bisa dijadikan acuan atas sengketa pajak yang sama.
Keberadaan pengadilan pajak menjadi penting juga karena lembaga tersebut berada pada posisi di tengah antara wajib pajak dan pemungut pajak saat keduanya terlibat dalam sengketa pajak. Namun demikian, dengan kewenangan yang diberikan Undang-undang kepadanya, pengadilan pajak mempunyai otoritas untuk menjadi penyelesai masalah. Pengadilan pajak dapat berperan sebagai penengah yang bersifat independen, sehingga dengan demikian kedua belah pihak yang bersengketa dapat mempercayakan penyelesaian sengketa mereka kepadanya.
Pada sisi lain, Independensi peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi, dimana hal itu hanya dapat dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis keterkaitannya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik. Filsuf Jeremy Bentham memiliki pendapat yang lebih tajam tentang imparsialitas hakim, yaitu; ” where is the cause of in which any the slightest departure from the rule of impartiality is, in the eye of justice and reason, anything else than criminal on the part of the judge?.
Dengan demikian, harapan akan hadirnya keadilan di tengah sengketa dapat dipenuhi. Selain itu, adanya pengadilan pajak dapat mendukung upaya peningkatan pelayanan publik yang sederhana, cepat, dan murah. Pengadilan pajak yang termasuk dalam kelompok pengadilan khusus sengaja dibentuk agar masyarakat yang secara khusus berselisih atas pajak dengan pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahannya dengan cepat dan murah.

D. Kesimpulan
1. Pengadilan Pajak merupakan institusi di bawah dua atap, dimana pembinaan teknis peradilan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan. Sebagai sebuah institusi peradilan yang seharusnya independen dan tidak memihak, Pengadilan Pajak dua atap menyiratkan ketidakmandirian dan bertentangan dengan Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 
serta prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) atau Trias Politica. 

2. Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dimana Pengadilan Pajak merupakan bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya memiliki hukum acara tersendiri, dimana setiap badan pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, sedangkan indenpendensi jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka nampaknya Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri terpisah dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan serta rekrutmen para Hakim Pengadilan Pajak.


DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal Hukum:
Asmara, Galang, 2006, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: Laks Bang Pressindo.
Brotodihardjo, R. Santoso, 2010, Pengantar Ilmu hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama.
Juwana, Hikmahanto, 2002, Bunga  Rampai  Hukum  Ekonomi  dan  Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta.
Kumariah dan Ali Purwito, 2006. Pengadilan Pajak, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Nakazato, Minoru, Mark Ramseyer, dan Yasutaka Nishikori, (2004), “General Description Japan”, dalam Comparative Income Taxation, editor: Hught J. Ault dan Brian J. Arnold,  Kluwer Law International.
Nusantara, Abdul Hakim dan Nasroen Yasabari (ed.), (1980), Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, (Bandung : Penerbit Alumni.
Pratt, James W. dan William N. Kulsrud, (1998) Disarikan dari tulisan, Federal Taxation, Dame Publication.
Raad, Kees van, 2004, “General Description The Netherlands” dalam dalam Comparative Income Taxation: A Structural Analysis (Second Edition), editor: Hught J. Ault dan Brian J. Arnold, Kluwer Law International.
 Radjagukguk, Erman, 1995, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Universitas Indonesia, Jakarta.
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, (2005), Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Rumokoy, Donald A., (2001) Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya, dalam Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII Press.
Ryaas Rasyid, Muhammad, 2002, Makna Pemerintahan Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan.
Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni.
Soemitro, Rochmat, (1964), Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia, Bandung: Eresco.
Suandy, Erly, 2011, Hukum Pajak, Salemba Empat, Yogyakarta.
Sugiharti, Dewi Kania, 2005, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.
Suseno, Frans Magnis, 2003, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Thomas N. Frank, 1989, The New Development, Can American Law and Legal Institution Help DevelopingCountries?, Wisconsin Law Review.
Tunggul, Anshari Setia, (2005), Pengantar Hukum Pajak, Malan: Bayu Media.
U., Bahari, 2001, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yun, Sai Ree, 2003, Disarikan dari tulisan, “Tax Controversies”, dalam Asia Pacific Tax Bulletin, IBFD.

Bahan Lain:
Tjip Ismail, 2016, Bahan Ajar Kuliah Hukum Pajak, Program Magister Fakultas Hukum UI.
Ilyas, Wirawan B. & Richard Burton, (2004), Hukum Pajak, Jakarta, Alumni. Istiani, Nisa, 2013, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak,tulisan bisa dilihat dihttp://www.pemantauperadilan.com/opini/21.MENELAAH%20KEBERADAAN%20PENGADILAN%20PAJAK.pdf, di unduh 20 Desember 2016.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Rabu, 19 April 2017

POLITIK HUKUM DALAM PEMBERIAN SANKSI PIDANA DALAM PEMBAYARAN UPAH BURUH DIBAWAH UPAH MINIMUM SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003

POLITIK HUKUM DALAM PEMBERIAN SANKSI PIDANA DALAM PEMBAYARAN UPAH BURUH DIBAWAH UPAH MINIMUM SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003

I. PENDAHULUAN
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang No. 13 Tahun 2003, Perlindungan Upah Buruh di Indonesia tidak dikenal adanya sanksi pidana. Setelah dikeluarkannya undang-undang No. 13 Tahun 2003, dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu: Perlindungan secara Hukum Pidana, Perdata dan Administrasi Negara. Hal ini dikarenakan adanya intervensi pemerintah dalam sistem hukum perburuhan di Indonesia, yang menjadi sifat Hukum Perburuhan di Indonesia menjadi ganda, yakni sifat privat dan publik.
Sehingga adalah suatu hal baru dalam pembentukan undang-undang ini menetapkan perlindungan secara hukum pidana dalam hal perlindungan upah.Dimana hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya politik dalam proses pembentukan undang-undang ini.
Sehingga pada dasarnya aspek hukum pidana tidak bisa terlepas dari hukum ketenagakerjaan di Indonesia.Dengan adanya turut serta pemerintah dalam hubungan industrial melalui undang-undang ini, sehingga menciptakan sifat hukum publik dalam hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh.Dimana lewat perundang-undangan tersebut diletakkan serangkaian hak, kewajiban, dan tanggung jawab kepada pekerja/buruh dan pengusaha sebagai pihak yang terlibak dalam hubungan kerja, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana dan denda.
Hal ini dapat terlihat dari adanya Sanksi Pidana dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003, yang diatur dalam BAB XVI Bagian Pertama yang mulai dari Pasal 183 sampai dengan pasal 189.
Dimana dalam hukum perburuhan di Indonesia termasuk juga undang-undang ini, membedakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan atas dua, yaitu kejahatan dan pelanggaran.Begitu juga terkait tindak pidana pelanggaran pembayaran upah.
Kejahatan terhadap pembayaran upah diatur dalam pasal 185 Undang-undang No. 13 Tahun 2003.Kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 90 ayat (2), yaitu Pengusaha dilarang membayar upah dibawah Upah Minimum. Sedangkan pelanggaran terhadap pembayaran upah menurut Undang-undang ini diatur dalam Pasal 186 ayat (1) adalah bentuk pelanggaran terhadap ketentuan pasal 93 ayat (2), yaitu Pembayaran Upah yang dilakukan oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika buruh dalam kondisi tertentu.
Berangkat dari Hal diatas maka adapun yang menjadi rumusan masalah pada tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah Politik Hukum Perburuhan dalam Hal Pengupahan di Indonesia?
2. Bagaimanakah Ketentuan Upah Minimum Sebagai Jaring Pengaman?
3. Bagaimana Politik Hukum Dalam Pemberian Sanksi Pidana Dalam Pembayaran Upah Buruh Dibawah Upah Minimum Setelah Berlakunya UU No.13 tahun 2003?

II. Politik Hukum Perburuhan di Indonesia Dalam Hal Pengupahan
Dalam membahas Politik Hukum Perburuhan di Indonesia ada baiknya kita membahas terlebih dahulu Proses Pembentukan Undang-undang Ketenagakerjaan.Negara kita adalah Negara berdasarkan hukum, sehingga sudah sepatutnya aspek manusia harus menempati posisi sentral, termasuk memungkinkan manusia untuk ikut dalam proses yang menentukan nasibnya itu. Hanya dengan demikianlah, cita-cita untuk menjadikan Negara berdasarkan hukum sebagai rumah rakyat Indonesia yang tertib dan nyaman menjadi kenyataan.
Namun Sesungguhnya, dapat diketahui bahwa wujud perhatian pemerintah seringkali dengan mengeluarkan sebuah produk hukum namun seringkali peran golongan kepentingan dalam pembentukan hukum sangat dominan, sehingga hukum seolah tidak seteriil dari subsistem kemasyarakatan lainnya termasuk dalam produk.
Hukum sebagaimana banyak diterjemahkan melalui materialisasi teks-teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja.Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh pembuat/pengambil kebijaksanaan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu, hukum meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang sangat penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya.
Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Penegakan hukum menjadi kehilangan ruang, terkait dengan hal tersebut Ronald Katz menyatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.
Pembaharuan peraturan-peraturan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dari waktu ke waktu merupakan wujud komitmen pemerintah untuk terus menyempurnakan aturan-aturan normatif ketenagakerjaan untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi dunia ketenagakerjaan yang didalamnya terdapat pihak pengusaha dan buruh (pekerja). Ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan ketenagakerjaan di Indonesia, akan tetapi pemerintah pula sering mengeluarkan kebijaksanaan aturan normatif yang tidak jelas dan tidak mengatur secara mendetil aturan-aturan tersebut sehingga menimbulkan banyak makna penafsiran oleh pihak pengusaha, hal ini tentu akan banyak menimbulkan konflik antara pengusaha dan tenaga kerja.
Politik hukum perburuhan setelah kemerdekaan Indonesia di era orde lama atau setidak-tidaknya sampai dengan tahun 1965, adalah memposisikan kaum buruh hanya diperuntukkan bagi eksploitasi kebutuhan fisik semata, yaitu hanya dipekerjakan di pabrik guna kepentingan proses produksi dan tidak pernah diperhatikan hak hakiki buruh berupa pemberian kesejahteraan yang meliputi ; masalah upah kerja yang layak untuk diberikan pengusaha kepada buruh.
Di era orde lama, pengupahan ditekankan pada rasio tertinggi dan terendah pada suatu jawatan atau instansi tertentu.Juga selain menerima upah dalam bentuk nominal, buruh juga menerima tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh dan keluarganya.
Dengan adanya campur tangan kaum buruh dalam pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di pemerintahan, maka peraturan yang terbentuk cenderung maju dan melindungi kaum buruh, diantaranya ; UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Buruh, UU No. 2 Tahun 1951 tentang Berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan di Tempat Kerja, UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan, Undang-Undang No. 18 tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 98 Tentang Hak Berorganisasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang No. 3 Tahun 1958 Tentang Penempatan Tenaga Asing, dan Undang-Undang 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pada Masa orde baru Kebijakan Soeharto , kontrol politik penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri dari gerakan buruh dalam arena politik secara luas.Selain itu, ciri utama akomodasi buruh-majikan-negara selama orde baru adalah kontrol negara yang sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terusmenerus kelas buruh sebagai kekuatan sosial.
Dalam artian kebijakan-kebijakan perburuhan yang dilakukan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh suatu stabilitas ekonomi untuk menghentikan kemerosotan ekonomi setelah kejadian G30S/PKI.Hal ini sesungguhnya terlihat dari program REPELITA oleh orde baru.
Memasuki era reformasi tahun 1998, dengan semangat reformasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada era reformasi dalam masalah ekonomi juga diarahkan untuk mengikuti kebijakan fleksibilitas hubungan kerja dan iklim investasi yang telah mendunia sesuai dengan perkembangan globalisasi, liberalisasi, dan pasar bebas.Karena inti dari fleksibilitas hubungan kerja adalah keleluasaan untuk memobilisasi dan menerapkan sistem hubungan kerja sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang fleksibel.
Sehingga dari kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah di era reformasi baik yang secara langsung berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan maupun berhubungan dengan kebijakan investasi, jelas terlihat bahwa kebijakan fleksibilitas hubungan kerja yang diarahkan.
Kemudian dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait dengan sektor - sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor – sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang ekonomi.
Bila membahas ekonomi maka ada baiknya kita membahas Negara Tiongkok. Tiongkok yang merupaka macan asia yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang ada.Dimana Negara ini Sejak awal tahun 1980-an, dimulai dari perkembangan pesat hak kompensasi kekuasaan legislatif tidak bisa dihindari. Mekanisme hukum yang penting bagi suatu negara modern untuk memperkuat administrasi, sistem ini hak kompensasi kekuasaan legislatif juga mempromosikan pengembangan negara, merupakan cerminan dari konsekuensi positif dari pembangunan kembali sistem hukum China dan restrukturisasi ekonomi.
Dari sejarah panjang tentang pengaturan serta perlindugan upah yang telah dibahas sebelumnya di Indonesia, maka pada bagian ini akan dilihat tentang bagaimana pengaturan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh di Indonesia saat ini sebagai suatu kewajiban pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang dasar dalam menjamin terpenuhinya penghasilan yang layak, yaitu:
1. Upah Minimum
Tentang upah minimum yang merupakan jaring pengaman dalam pembayaran upah, maka pengusaha dilarang membayar upah tenaga kerja lebih rendah dari ketentuan upah minimum. Dimana pembayaran upah dibawah upah minimum merupakan suatu tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah).
Selain itu ketentuan perdata terkait upah minimum adalah sesuai dengan bunyi Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, kesepakatan tentang pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh rendah dari ketentuan upah minimum. Dimana bila hal ini dilanggar, maka kesepakatan itu akan batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah tenaga kerja tersebut sesuai dengan upah minimum. Kecuali telah dikabulkannya permohonan penangguhan upah yang diajukan oleh pengusaha.
2. Upah yang dibayar pekerja/buruh karena berhalangan
Dalam hal kewajiban pembayaran upah oleh pengusaha, prinsip dasar dari pengupahan adalah dibayarkan kepada pekerja/buruh bila pekerja/buruh tersebut bekerja. Namun ada hal pengecualian yang membuat pengusaha wajib membayar upah walaupun buruh tidak bekerja menurut Pasal 93 ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2003, yaitu:
1) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
2) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
3) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
4) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
5) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;
6) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
7) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
8) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
9) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
3. Upah Kerja Lembur
Pengertian upah kerja lembur upah menurut Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah imbalan kepada pekerja/buruh karena telah melakukan pekerjaan atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan hari kerja (tujuh jam sehari dan empat puluh jam seminggu) atau pada hari istirahat mingguan atau hari-hari libur resmi.
Menurut Pasal 77, jumlah waktu kerja adalah: 7 (tujuh) jam hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 6 (enam) hari kerja per minggu atau 8 (delapan) jam kerja per hari dan 40 (empat puluh) jam kerja seminggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 5 (lima) hari kerja per minggu. Ketentuan waktu kerja tersebut berdasarkan pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) Kepmenakertrans No.Kep.102/MEN/VI/2004 tidak berlaku untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya idak dapat dibatasi menurut waktu jam kerja yang ditetapkan perusahaan, namun dengan ketentuan harus mendapat upah yang lebih tinggi.
Menurut Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan dari pekerja/buruh bersangkutan, dimana persetujuan ini harus ada persetujuan tertulis atas perintah tertulis dari pengusaha; dan
b. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam per hari dan 14 (empat belas) jam dalam satu minggu.
4. Upah Tidak Masuk Kerja Karena Melakukan Kegiatan Lain Diluar Pekerjaannya
Adapun pekerjaan diluar tersebut adalah:
a. Pekerja/buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena menjalankan kewajiban Negara tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun, upahnya harus tetap dibayar oleh perusahaan. Apabila dalam menjalankan kewajiban Negara ini pekerja/buruh memperoleh penghasilan yang lebih besar sama dengan upah yang diterima, maka perusahaan tidak diwajibkan membayar upah. Bila penghasilan yang diterima pekerja/ buruh dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut lebih kecil dari upah yang bisa diterima maka perusahaan wajib membayar kekurangannya;
b. Perusahaan wajib membayar upah pekerja/buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang menunaikan kewajiban ibadah agamanya untuk yang pertama kali selama tidak lebih dari 3 (tiga) bulan. Apabila lebih dari tiga bulan dari waktu yang telah ditentukan itu perusahan tidak berkewajiban membayar upah, demikian pula apabila ibadah tersebut untuk waktu yang lebih dari satu kali.
5. Upah Karena Menjalankan Hak Waktu Istirahat Kerjanya;
Ketentuan waktu istirahat menurut Pasal 79 ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan antara lain adalah:
a. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya ½ jam setelah bekerja 4 jam terus menerus, waktu istirahat ini tidak termasuk jam kerja;
b. Istirahat mingguan, sekurang-kurangnya 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. Istirahat Tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 10 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 (satu) minggu, setelah pekerja selama 12 (dua belas) secara terus-menerus.
d. Selain hal yang di atas pekerja berhak mendapatkan istirahat panjang paling lama 3 (tiga) bulan setelah yang bersangkutan bekerja secara terus-menerus selama 6 (enam) Tahun.
Perusahaan tetap wajib membayar upah pekerja/buruh yang tidak melakukan pekerjaan karena pekerja/ buruh melaksanakan hak istirahat mingguan atau cuti tahunan. Peraturan pelaksanaan ketentuan tidak masuk kerja tetapi tetap menerima upah dari perusahaan harus ditetapkan dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 79 ayat (1), (3), (4) dan (5))
6. Tunjangan Hari Raya Keagamaan
Tunjangan Hari Raya Keagamaan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/1994 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (THR), Pasal 1 butir (d) adalah pendapatan pekerja/buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarga menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.
7. Bentuk Dan Cara Pembayaran Upah;
Pada prinsipnya upah dibayarkan dalam bentuk uang. Prinsip ini dapat dikatakan diwajibkan agar pekerja/buruh dapat menggunakan upahnya tersebut dengan bebas sesuai dengan membeli langsung apa yang menjadi kebutuhan hidup mereka dan kebutuhan hidup mereka. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah, menyatakan bahwa pembayaran upah diperbolehkan dalam bentuk lain sepanjang tidak melebihi 25 % dari nilai upah yang seharusnya diterima dan bukan dalam bentuk minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan.
Pembayaran upah harus dibayar secara langsung kepada pekerja yang bersangkutan pada waktu yang telah di janjikan sesuai dengan perjanjian kerja. Upah dibayarkan seminggu sekali atau sebulan sekali kecuali untuk perjanjian kerja kurang dari seminggu (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).
Dalam hal pembayaran upah terlambat dilakukan oleh pengusaha, maka menurut Pasal 19 mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari dimana upah seharusnya dibayar, maka harus ditambah 5% untuk setiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% untuk setiap keterlambatan dengan ketentuan bahwa tambahan untuk satu bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan.
8. Hal-hal Yang Dapat Diperhitungkan Dengan Upah;
Dalam hal-hal tertentu, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal 95 ayat (1), (2), dan (3) memberikan kemungkinan pembayaran upah tidak seluruhnya kepada pekerja tetapi ada dilakukan pemotongan upah antara lain yakni:
a. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya.
b. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
c. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah
9. Struktur Dan Skala Upah yang Proporsional
Struktur upah merupakan susunan tingkat upah untuk setiap pekerjaan/jabatan yang dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertinggi, mengikuti struktur golongan jabatan yang ada pada perusahaan (Pasal 1 Kepmenkertrans No.Kep.49/MEN/2004).
Menurut Pasal 2, Penyusunan struktur dan skala upah dalam penetapatan upah pekerja/buruh di suatu perusahaan dilakukan oleh Pengusaha. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah, menurut Pasal 92 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
10. Upah Untuk Pembayaran Pesangon
Pesangon berdasarkan Pasal 156 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, diberikan pada pekerja yang karena sebab mengalami pemutusan hubungan kerja dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dengan diberikannya pembayaran pesangon ini yentunya dapat menolong kelurga si pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan pekerjaan sehingga kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Uang penghargaan kerja adalah uang jasa yang diberikan oleh pengusaha sebagai penghargaan kepada pekerja/buruh yang dikaitkan dengan lamanya kerja (Pasal 1 angka 7 Kepmenaker No.KEP.150/MEN/2000). Ganti Kerugian adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan, dan lain-lain (Pasal 1 angka 7). Tunjangan tetap adalah suatu imbalan yang diterima oleh pekerja/buruh secara tetap jumlahnya dan teratur pembayarannya yang tidak dikaitkan dengan kehadiran atau pencapaian prestasi kerja tertentu (Pasal 1 angka 8).
Komponen upah yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, berdasarkan Pasal 157 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan terdiri atas:
a. Upah pokok,
b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
11. Upah Untuk Perhitungan pajak Penghasilan
Upah Untuk perhitungan pajak penghasilan tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Namun diatur dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Dalam pasal 21, yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan (PPh) Karyawan Pribadi adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa dan kegiatan.

III. Upah Minimum Sebagai Jaring Pengaman
Upah dalam UU No. 13 Tahun 2003 diatur dalam BAB X Bagian Kedua mulai Pasal 88 sampai 98. Menurut Pasal 1 angka 30 yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan kerja, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Dari pengertian di atas, terdapat beberapa unsur, yaitu :
- Upah adalah Hak dari pekerja/buruh
- Upah dibayarkan dalam bentuk uang
- Upah yang dibayarkan adalah sebagai imbalan atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
- Pembayaran upah ditetapkan melalui suatu perjanjian kerja, kesepakatan kerja atau peraturan perundang-undangan
- Upah yang dimaksud juga termasuk tunjungan bagi pekerja/buruh dan keluarganya
Prinsip dasar pembayaran upah di Indonesia adalah ‘No Work, No pay’ yang artinya upah dibayar hanya ketika si pekerja/buruh tersebut bekerja (Pasal 93 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003). Namun terdapat beberapa pengeucalian yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 walaupun si pekerja/buruh tidak bekerja tetap mendapat upah dari pengusaha.
Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu saja, tepatnya Februari 2014 tercatat partisipasi angkat kerja sebesar 69,17%.  Maka mau tak mau para angkatan kerja ini merelakan dirinya untuk harus bekerja, walaupun mungkin upah yang diterima tidak seperti ketentuan yang ada, yang paling penting cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya daripada tidak sama sekali. Dimana tentunya hal ini sangat berkaitan dengan teori penentuan upah.
Pasal 1 angka 1 Permenkertrans No. 7 Tahun 2013 tentang upah minimum, menyatakan bahwa Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman.
Satu hal baru yang ada pada pengertian upah minimum menurut pasal ini adalah penambahan pernyataan “jaring pengaman”. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya Upah Minimum ditetapkan oleh pemerintah untuk menahan merosotnya tingkat upah, khususnya bagi pekerja/buruh tingkat terbawah. Sehingga dikatakan bahwa Upah Minimum merupakan “jaring pengaman” adalah supaya tingkat upah tidak lebih rendah dari “jaring” tersebut. Di lain pihak pemerintah memberi kebebasan untuk mengatur upah yang berada di atas Upah Minimum.
Selain itu, dari pengertian upah minimum menurut Permenkertrans No. 7 Tahun 2013 dapat dikatakan, jika upah pokok Pekerja/Buruh dibawah ketentuan upah minimum yang berlaku dan tunjangan yang Pekerja/Buruh terima bukanlah tunjangan tetap maka upah pokok Pekerja/Buruh harus disesuaikan agar mengikuti upah minimum yang berlaku. Sebaliknya, jika Pekerja/Buruh menerima tunjangan tetap dan penjumlahan antara upah pokok dan tunjangan tetap di atas atau sama dengan ketentuan upah minimum yang berlaku maka tidak perlu dilakukan penyesuaian upah pokok Pekerja/Buruh tersebut.
Kebijakan penetapan upah minimum juga dapat dikatakan merupakan salah satu perangkat pencegah diskriminasi upah bagi pekerja/buruh perempuan dan laki-laki yang baru memulai pekerjaan dengan nilai pekerjaan terendah. Upah minimum merupakan tingkat upah terendah yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh laki-laki dan perempuan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun untuk suatu wilayah atau sektor tertentu.   Tanpa ada pembedaan ataupun diskriminatif dalam penetapan upah minimum yang dibayarkan baik kepada pekerja/buruh laki-laki maupun perempuan.
Penetapan Upah Minimum menurut Pasal 3 Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Penetapan Upah Minimum diarahkan pada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yaitu perbandingan besarnya Upah Minimum terhadap nilai KHL pada periode yang sama. Untuk pencapaian KHL tersebut, Gubernur menetapkan tahapan pencapaian KHL dalam bentuk peta jalan pencapaian KHL bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu dan bagi perusahaan lainnya dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha.
Peta jalan pencapaian KHL yang diatur dalam Pasal 4 adalah sebagai berikut:
a. menentukan Tahun pencapaian Upah Minimum sama dengan KHL;
b. memprediksi nilai KHL sampai akhir Tahun pencapaian;
c. memprediksi besararan nilai Upah Minimum setiap Tahun;
d. menetapkan presentase pencapaian KHL dengan membandingkan prediksi besaran Upah Minimum dengan prediksi nilai KHL setiap Tahun.
Sedangkan untuk menetapkan upah minimum sektoral provinsi (UMSP) dan/atau upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menurut Pasal 13 ayat (1) melakukan penelitian serta menghimpun data dan informasi mengenai:
a. homogenitas perusahaan;
b. jumlah perusahaan;
c. jumlah tenaga kerja;
d. devisa yang dihasilkan;
e. nilai tambah yang dihasilkan;
f. kemampuan perusahaan;
g. asosiasi perusahaan; dan
h. serikat pekerja/serikat buruh terkait.
Dewan Pengupahan kemudian melakukan penelitian untuk menentukan sektor unggulan yang selanjutnya disampaikan kepada asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh di sektor yang bersangkutan untuk dirundingkan. (Pasal 13 ayat (2))
Dalam pelaksanaannya, berdasarkan Pasal 15 sampai dengan Pasal 19, yaitu:
1. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
2. Dan upah minimum sendiri hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai masaa kerja kurang dari 1 (satu) Tahun.
3. Upah minimum wajib dibayarkan bulanan pada pekerja/buruh. Namun bila terdapat kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, upah minimum dapat dibayarkan mingguan atau 2 (dua) mingguan dengan ketentuan penghitungan upah minimum berdasarkan upah bulanan.
4. Upah minimum yang berlaku bagi pekerja/buruh harian lepas atau dengan sistem kerja borongan yang dilaksanakan 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah minimum yang dilaksanakan di perusahaan yang bersangkutan.
5. Upah pekerja/buruh harian lepas, ditetapkan secara bulanan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari:
a. Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 25 (dua puluh lima)
b. Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 21 (dua puluh satu)
6. Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor, upah minimum yang berlaku sesuai dengan UMSP (upah minimum sektoral provinsi) atau UMSK (upah minimum sektoral kota/kabupaten). Namun bila belum ada penetapan UMSP dan/atau UMSK, maka upah terendah di perusahaan tersebut disepakati secara bipartit, yaitu antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada perusahaan tersebut.
7. Besaran kenaikan upah di perusahaan yang upah minimumnya telah mencapai KHL (Kebutuhan Hidup Layak), atau lebih, ditetapkan secara bipartit di perusahaan masing-masing.
Untuk mengawasi pelaksanaan upah minimum ini, maka menurut Pasal 20 Permenkertrans ini mengamanahkan kepada Pegawai Pegawas Ketenagakerjaan. Hal ini terjadi karena pelanggaran terhadap upah minimum menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 adalah Tindak Pidana. Maka pelaksanaannya dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
Koffi Anan sendiri berpendapat bahwa hak ekonomi dan tanggung jawab sosial adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Itu sebabnya beberapa tahun lalu di Davos,beliau mengusulkan persamaan global antara bisnis PBB. Beliau juga meminta mereka untuk bertindak, dalam lingkup pengaruh mereka (PBB), sesuai dengan standar yang diterima secara internasional di bidang hak asasi manusia, standar buruh, dan lingkungan-dan menawarkan jasa sistem PBB untuk membantu mereka melakukannya.
Kemudian Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan Perburuhan juga sangat diperlukan dalam system Hubungan Industrial Pacasila.Selain itu upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa bisnis termasuk masalah perburuhan harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.Dimana memang dikedepankan Bipartit dan Tripartit dalam sengketa perburuhan. Karena sebagaimana menurut Friedman Pada akhirnya, jika pengadilan tidak bisa memecahkan masalah dan jika masalah tidak lenyap dengan sendirinya (melalui perubahan radikal dalam selera populer atau tingkat toleransi), beberapa solusi di luar hukum akan dicapai.

IV. Politik Hukum Dalam Pemberian Sanksi Dalam Pembayaran Upah Buruh Dibawah Upah Minimum Setelah Berlakunya UU No.13 tahun 2003
Aspek hukum pidana tidak mungkin terlepas dari hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hal ini tidak terlepas dari adanya turut serta pemerintah dalam Hubungan Industial melalui peraturan perundangan-undangan. Sehingga menciptakan sifat Hukum Publik dalam Hubungan Kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dimana lewat perundang-undangan tersebut diletakkan serangkaian Hak, Kewajiban dan tanggung jawab kepada pekerja/buruh dan pengusaha sebagai pihak yang terlibat dalam hubungan kerja, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana dan denda.
Hal di atas dapat terlihat dari adanya eksistensi Sanksi Pidana dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, yang diatur dalam BAB XVI Bagian Pertama yang dimulai dari Pasal 183 sampai dengan Pasal 189. Selain termuat dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan juga termuat dalam beberapa Undang-undang yang mengatur tentang Ketengakerjaan lainnya, yaitu Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pasal 9 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta Pasal 55 Undang-undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini mutlak diperlukan untuk menjaga hak-hak normatif dari pekerja/buruh. Sehingga pekerja/buruh tidak lagi dianggap sebagai barang yang diperjanjian seperti yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang membuat mereka bebas diekploitasi oleh Pengusaha.
Dalam Hukum Ketengakerjaan di Indonesia, Tindak Pidana Ketenagakerjaan dibagi atas 2, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Perbedaan antara tindak pidana kejahatan dan pelanggaran:
1. Ancaman pidana bagi kejahatan lebih berat dari pelanggaran
2. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan
3. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak perlu.
4. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60)
5. Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu dan dua Tahun
6. Dalam hal perbarengan (concursus) para pemindanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (Pasal 65, 66 dan 70)
Pembagian tindak pidana ketengakerjaan adalah:
1. Tindak Pidana Kejahatan Ketenagakerjaan, yang diatur di dalam:
a. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
- Pasal 183 ayat (1) adalah melanggar pasal 74, yaitu larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk. Dengan sanksi pidana paling singkat 2 (dua) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
- Pasal 184 ayat (1) adalah melanggar 167 ayat (5) buruh yang di-PHK karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2x ketentuan Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan. Dengan sanksi Pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Pasal 185 ayat (1) adalah tindak pidana ketenagakerjaan dengan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 4 (empat) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) 42 ayat (1) dan (2), yaitu larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing
2) 68, yaitu larangan mempekerjakan anak
3) 69 ayat (2), yaitu mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya
4) 80, yaitu jaminan kesempatan beribadah yang cukup
5) 82, yaitu cuti karena melahirkan dan keguguran
6) 90 ayat (1), yaitu pembayaran upah di bawah Upah Minimum
7) 143, yaitu menghalang-halangi kebebasan buruh untuk berserikat
8) 160 ayat (4) dan (7), yaitu mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana.
b. Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu pelanggaran terhadap Pasal 28 yang tentang mereka yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh, diancam dengan sanksi pidana sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c. Pasal 55 Undang-undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS yaitu pelanggaran terhadap pasal 19 ayat (1) atau (2) tentang Pemberi Kerja yang memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya tapi tidak menyetorkannya kepada BPJS dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama 8 (delapan) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
2. Tindak Pidana Pelanggaran Ketenagakerjaan, terdapat dalam ketentuan berikut ini:
a. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
- Pasal 186 ayat (1) adalah pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) 35 ayat (2), yaitu kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja,
2) 35 ayat (3), yaitu perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik.
3) 93 ayat (2), yaitu pembayaran upah karena sakit/karena tugas negara/pengusaha tidak mau memperkerjakan pekerja/buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat),
4) 137 hak mogok
5) 138 ayat (1) menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja
- Pasal 187 adalah pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) Pasal 37 ayat (2), yaitu Lembaga penempatan tenaga kerja swasta yang dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk
2) 44 ayat (1), yaitu pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart dan kompetensi yang berlaku
3) 45 ayat (1), yaitu tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing
4) 67 ayat (1), yaitu pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun
5) 71 ayat (2), yaitu syarat-syarat mempekerjakan anak
6) 76, yaitu perlindungan bagi buruh perempuan
7) 78 ayat (2), yaitu wajib bayar upah pada jam kerja lembur
8) 79 ayat (1) dan ayat (2), yaitu waktu istirahat bagi buruh
9) 85 ayat (3), yaitu pembayaran upah lembur pada hari libur resmi
10) 144, yaitu mengganti buruh yang mogok dengan buruh yang baru
- Pasal 187 adalah pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana pidana pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) 14 ayat (2), yaitu perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta
2) 38 ayat (2), yaitu biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta
3) 63 ayat (1), yaitu PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan
4) 78 ayat (1), yaitu syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam kerja
5) 108 ayat (1), yaitu wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10 orang buruh
6) 111 ayat (3), yaitu masa berlaku Peraturan Perusahaan 2 Tahun dan wajib diperbaharui
7) 114, yaitu peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya
8) 148, yaitu syarat-syarat lock out
b. Pasal 29 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Yaitu pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2),dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana ini untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama -lamanya 8 (delapan) bulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka tindak pidana ketanagakerjaan dapat digambarkan pada tabel berikut ini
Tabel 1
Jenis-jenis Tindak Pidana Ketenagakerjaan

TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN
KEJAHATAN PELANGGARAN
Diatur dalam Pasal Pelanggaran Terhadap Pasal Diatur dalam Pasal Pelanggaran Terhadap Pasal
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 183 74 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 186 35 ayat (2)
184 167 ayat (5) 35 ayat (3)
185 42 ayat (1) dan (2) 93 ayat (2)
68 137
69 ayat (2) 138 ayat (1)
80 187 44 ayat (1)
82 45 ayat (1)
90 ayat (1) 67 ayat (1)
143 71 ayat (2)
160 ayat (4) dan ayat (7) 76
Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh 43 28 78 ayat (2)
Undang-undang No 24 tahun 2011 tentang BPJS 55 19 ayat (1) atau ayat (2) 79 ayat (1) dan ayat (2)
85 ayat (3)
188 144
14 ayat (2)
38 ayat (2)
63 ayat (1)
78 ayat (1)
108 ayat (1)
111 ayat (3)
114
148
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 29 4 ayat (1)
10 ayat (1), (2), dan (3)
18 ayat (1
18 ayat (2), ayat (3), (4) dan (5)
19 ayat (2)
22 ayat (1)
26

Seperti yangt telah dijelaskan diatas, dalam pembayaran upah, menyangkut beberapa aspek hukum salah satunya hukum pidana dimana dalam aspek hukum pidana, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara antara 1 (satu) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun dan/atau denda antara Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan. Serta pembayaran upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika pekerja/buruh dalam Kondisi tertentu. Dengan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Terkait pelanggaran ketentuan pembayaran upah dapat tidaknya diselesaikan secara hukum pidana melalui peradilan negeri berkaitan dengan kompetensi absolute. Berdasarkan dengan Pasal 50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Kekusaan Kehakiman, menyatakan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Selain itu juga menurut Pasal 84 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya.
Dari 2 (dua) pasal tersebut, memberikan pengertian bahwa Pidana Ketenagakerjaan dapat diselesaikan secara Hukum Pidana melalui Peradilan Umum. Karena adanya kewenangan absolut dari pengadilan negeri untuk memerika segala tindak pidana sesuai dengan daerah hukumnya, termasuk tindak pidana ketengakerjaan tentang upah. Daerah hukum dari suatu pengadilan negeri untuk mengadili perkara pidana ketenagakerjaan tentang upah berkaitan dengan kompetensi relatif. Kompetensi relatif dalam perkara pidana ketenagakerjaan berbeda dengan kompetensi relatif peradilan hubungan industrial. Bila dalam peradilan hubungan industrial, kompetensi relatif berdasarkan tempat pekerja/buruh tersebut bekerja, sedangkan dalam penyelesaian pidana ketenagakerjaan kompetensi relatifnya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Hal ini dikarenakan tidak diaturnya kompentensi relatif di dalam Undang-undang ketenagakerjaan.
Kompentensi relatif ataupun dapat dikatakan, bila terjadinya pelanggaran ketentuan pengupahan yang dilakukan oleh pengusaha, dan pekerja/buruh ingin menyelesaikan secara hukum pidana, harus memperhatikan kompetensi relatif dalam penyelesaian pidana ketenagakerjaan tentang upah, yaitu:  Pengadilan negeri dimana tempat pengusaha selaku terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat pengusaha diketemukan ditahan atau ditahan, berwenang mengadili perkara pengusaha tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana ketenagakerjaan tentang upah tersebut dilakukan.
Hal ini penting untuk diketahui oleh pekerja/buruh agar dakwaan mereka kepada pengusaha selaku terdakwa, tidak dapat diajukan nota keberatan oleh pengusaha ataupun advokat dari pengusaha tersebut, sehingga proses pemeriksaan pidana ketenagakerjaan tentang upah tersebut dapat berlanjut sampai putusan. Selain karena kompetensi tersebut, hal lain yang dapat dijadikan alasan pengajuan nota keberatan oleh pengusaha selaku terdakwa ataupun advokat dari pengusaha tersebut adalah surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima. Surat dakwaan yang tidak dapat diterima adalah dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Pasal 176 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan, Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Sehingga apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh adalah melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Pengawasan Ketenegakerjaan sendiri menurut Pasal 1 angka 32 adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 181 wajib:
1. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
2. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Penyidik dalam pidana ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 181 ayat (2) adalah polisi, dan Pegawai Negeri Sipil Pengawas ketenagakerjaan. Dimana Pegawai Negeri Sipil Pengawas ketenagakerjaan selain bertugas melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Pasal 182 ayat (1) dan (2), adalah:
1) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
2) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
3) meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
4) melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenaga kerjaan;
5) melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
6) meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
7) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Hal yang patut digaris-bawahi adalah bahwa hal yang berkaitan dengan proses pemeriksaan, penahanan, pembuktian, penyidikan, penuntutan, putusan, upaya hukum baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa serta proses beracara lainnya dalam penyelesaian tindak pidana ketenagakerjaan tidak diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, sehingga hal tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan umum tentang pelaksanaan beracara dalam penyelesaian hukum pidana, yaitu yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Membandingkan dengan negara lain yang lebih maju, penggunaan ancaman sanksi pidana telah merupakan cara yang paling efektif dalam melawan pelanggaran kebijakan upah oleh pengusaha. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, tepatnya di kota New York dan Los Angeles, penerapan sanksi pidana kepada pengusaha yang melanggar ketentuan upah dan jam kerja, telah memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kesadaran publik bahwa tidak memberikan upah atau memberikan upah dibawah upah minimum sebagai sebuah kejahatan.
Hanya saja patut menjadi perhatian bagi kita, adalah penyelesaian hukum ketika dilanggarnya ketentuan hukum pembayaran upah secara hukum pidana melalui Pengadilan Negeri adalah tidak adanya kompensasi ataupun restitusi. Dengan kata lain, pekerja/buruh tidak dapat menuntut adanya ganti rugi kepada pengusaha yang telah melanggar ketentuan pembayaran upah tersebut. Karena dalam pidana ketenagakerjaan tentang upah, yang ada hanya pidana denda yang dibayarkan kepada negara. Hal ini tentu bisa diselesaikan melalui Peradilan Hubungan Industrial, dimana diperkenankan adanya ganti kerugian yang diterima oleh Pekerja/buruh terkait denda-denda yang dibebankan pada pengusaha.
Sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981, yaitu “apabila upah dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari seharusnya upah dibayar, maka upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan maka tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan syarat tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak melebihi 50 % (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayar.” Kemudian setelah lewat sebulan upah si pekerja/buruh masih belum dibayar, maka sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (3) PP No. 8 Tahun 1981, selain membayar ganti rugi tersebut pengusaha juga berkewajiban membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
Selain adanya efek jera, bila kita analisa dari aspek keadilan, terlihat bahwa sanksi pidana yang diberikan kepada Terdakwa, secara nilai ekonomi tidak memberikan keadilan apapun kepada pekerja/buruh sebagai Korban. Tanpa bermaksud mengesampingkan aspek hukum ataupun nilai-nilai lainnya seperti nilai budaya, dikatakan secara nilai ekonomi tidak memberikan keuntungan karena tidak menerima sisa upah yang dibayarkan oleh Terdakwa yang kurang dalam pembayaran upah, ketika upah dibayarkan dibawah upah minimum.
Dalam kasus pelanggaran ketentuan upah minimum diatas, dimana Tjioe Christina Chandra, sebagai Terdakwa yang membayar upah dibawah upah minimum dengan diselesaikan secara Hukum Pidana melalui Pengadilan Negeri dapat dikatakan suatu cara yang efektif dalam memberikan efek jera kepada pengusaha bahwa ketidakpatuhan terhadap kebijakan upah minimum merupakan suatu kejahatan.   Untuk sanksi pidana yang diberikan oleh Majelis Hakim Agung sendiri dapat dikatakan telah diputuskan dengan tepat oleh Majelis Hakim Agung. Adanya ketidakadilan dari nilai ekonomi dari sanksi pidana tersebut, bukanlah kesalahan yang dibuat oleh Majelis Hakim Agung, karena dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, hanya mengatur sanksi pidana penjara dan denda terhadap pekerja yang membayar upah kepada pekerja/buruh dibawah upah minimum.








IIl. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Politik Hukum dalam Pembuatan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 terkait pengupahan sangatlah dilatarbelakangi semangat perubahan untuk memberikan perlinndungan pengupahan terhadap Buruh sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dalam UU ini perlindungan upah buruh menyangkut beberapa aspek hukum, salah satunya hukum pidana dimana pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan menurut Pasal 185 Undang-undang Ketenagakerjaan. Serta pembayaran upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika pekerja/buruh dalam Kondisi tertentu adalah pelanggaran pidana berdasarkan pasal 186. DImana terlihat bahwa upah minimum berperan sebagai jarring pengaman. Kemudian Dalam penyelesaian secara Pidana, menurut undang-undang Ketenagakerjaan pengawasan dan penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan. Dimana proses beracara mengikuti aturan pada KUHAP. Dimana dalam pemilihan cara penyelesaian hukum terkait pelangggaran ketentuan pembayaran upah membawa konsekuensi tersendiri. Bila diselesaikan melalui Peradilan Hubungan Industial (PHI), maka pekerja/buruh dapat menuntut ganti rugi atas pelanggaran pembayaran upah namun pengusaha tidak dapat menuntut pengusaha atas pelanggaran yang telah diperbuatnya. Dan bila diselesaikan secara Pidana Melalui Peradilan Negeri, maka pekerja/buruh dapat menuntut pengusaha, namun pekerja/buruh tidak dapat menuntut ganti kerugian atas pelanggaran pembayaran upah kepada pengusaha.

2. SARAN
Adapun yang menjadi saran dari makalah ini Perlindungan pengupahan secara hukum pidana harus diimbangi dengan penerapan dan penegakan hukum yang baik oleh para penegak hukum, dan juga Instansi Pemerintah yang membidangi masalah Ketenagakerjaan, sehingga pengaturan pengupahan dapat dilaksanakan secara efektif.
Juga diharapkan kepada seluruh pihak hubungan industrial, pekerja/buruh dalam hal ini serikat pekerja/buruh, pemerintah dan pengusaha untuk lebih memperkenalkan adanya perlindungan pengupahan secara hukum pidana, hukum perdata maupun hukum adminsitrasi negara serta cara penyelesaian hukumnya, sehingga para pekerja/buruh dapat lebih paham bagaimana perlindungan dalam pembayaran upah kepada dirinya dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Dan terakhir agar diterapkannya kompensasi dan/ataupun restitusi, dimana tujuannya agar pekerja/buruh dapat menuntut adanya ganti rugi kepada pengusaha yang telah melanggar ketentuan pembayaran upah sehingga pekerja/buruh dapat menerima ganti kerugian yang dialami  oleh pekerja/buruh saat upah yang selayaknya diterima tidak diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Agusmidah, dkk. 2012. Bab-bab Tentang Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Pustaka Lasaran
Agusmidah.2010.Dinamika Hukum Ketengakerjaan Indonesia.Medan: USU Press.
Arinanto, Satya. 2001. Politik Hukum 3. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia. 2005. Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang sama Dalam Pekerjaan di Indonesia. Jakarta: Depnakertrans.
Harjono. 2008. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Husni, Lalu. 2008. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press.
Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1988 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia.
MD, Moh.Mahfud. 2006. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Buku Kompas
Saleh, Mohammad, dan Lilik Mulyadi. 2012. Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sinaga, Mersen. 2006. Pengadilan Perburuhan di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritis atas Undang-Undang PPHI. Yogyakarta: Perhimpunan Solidaritas Buruh.
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Undang-undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial
Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/1994 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (THR)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.102/MEN/VI/2004

3. Jurnal
Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya. 2001. Jurnal Dinamika Vol. 2, no. 1, 52 Halaman, Tersedia: https://books.google.coms? id=hym5EI9rZiwC
Wiratman, R. Herlambang Perdana. Kekuasaan Tafsir dan Tafsir Kekuasaan Dalam Hukum, Jurnal Forum Keadilan: no. 50, 16 APRIL 2006

4. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Arinanto, Satya. Politik Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2006

5. Skripsi
Ginting, Frimanda Perlindungan dan Penegakan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pembayaran Upah Berdasarkan Putusan MA No. 687 K/Pid.Sus/2012, Skripsi (Medan: Faklutas Hukum USU, 2015)

6. Artikel Internet
Al-Akhlaq,Mouvty Makaarim. Relasi Politik Dan Hukum Di Indonesia. Data diunduh pada http://makaarim.wordpress.com
Agusmidah, Outsourcing dan PKWT Dalam Sistem Hubungan Kerja Merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan.Dapat diunduh pada ocw.usu.ac.id.
http://www.imamanter.blogspot.com.
http://suaramahasiswa.com/mea-2015-ajang-kompetisi-kualitas-tenaga-kerja/

PERBANDINGAN PERKEMBANGAN HUKUM ADVOKAT DI INDONESIA DAN MYANMAR

  A.     PENDAHULUAN Salah satu penegak hukum yang seringkali menjadi perhatian adalah advokat, karena kedudukan yang istimewa dalam peneg...