Skip to main content

POLITIK HUKUM DALAM PEMBERIAN SANKSI PIDANA DALAM PEMBAYARAN UPAH BURUH DIBAWAH UPAH MINIMUM SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003

POLITIK HUKUM DALAM PEMBERIAN SANKSI PIDANA DALAM PEMBAYARAN UPAH BURUH DIBAWAH UPAH MINIMUM SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003

I. PENDAHULUAN
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang No. 13 Tahun 2003, Perlindungan Upah Buruh di Indonesia tidak dikenal adanya sanksi pidana. Setelah dikeluarkannya undang-undang No. 13 Tahun 2003, dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu: Perlindungan secara Hukum Pidana, Perdata dan Administrasi Negara. Hal ini dikarenakan adanya intervensi pemerintah dalam sistem hukum perburuhan di Indonesia, yang menjadi sifat Hukum Perburuhan di Indonesia menjadi ganda, yakni sifat privat dan publik.
Sehingga adalah suatu hal baru dalam pembentukan undang-undang ini menetapkan perlindungan secara hukum pidana dalam hal perlindungan upah.Dimana hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya politik dalam proses pembentukan undang-undang ini.
Sehingga pada dasarnya aspek hukum pidana tidak bisa terlepas dari hukum ketenagakerjaan di Indonesia.Dengan adanya turut serta pemerintah dalam hubungan industrial melalui undang-undang ini, sehingga menciptakan sifat hukum publik dalam hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh.Dimana lewat perundang-undangan tersebut diletakkan serangkaian hak, kewajiban, dan tanggung jawab kepada pekerja/buruh dan pengusaha sebagai pihak yang terlibak dalam hubungan kerja, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana dan denda.
Hal ini dapat terlihat dari adanya Sanksi Pidana dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003, yang diatur dalam BAB XVI Bagian Pertama yang mulai dari Pasal 183 sampai dengan pasal 189.
Dimana dalam hukum perburuhan di Indonesia termasuk juga undang-undang ini, membedakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan atas dua, yaitu kejahatan dan pelanggaran.Begitu juga terkait tindak pidana pelanggaran pembayaran upah.
Kejahatan terhadap pembayaran upah diatur dalam pasal 185 Undang-undang No. 13 Tahun 2003.Kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 90 ayat (2), yaitu Pengusaha dilarang membayar upah dibawah Upah Minimum. Sedangkan pelanggaran terhadap pembayaran upah menurut Undang-undang ini diatur dalam Pasal 186 ayat (1) adalah bentuk pelanggaran terhadap ketentuan pasal 93 ayat (2), yaitu Pembayaran Upah yang dilakukan oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika buruh dalam kondisi tertentu.
Berangkat dari Hal diatas maka adapun yang menjadi rumusan masalah pada tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah Politik Hukum Perburuhan dalam Hal Pengupahan di Indonesia?
2. Bagaimanakah Ketentuan Upah Minimum Sebagai Jaring Pengaman?
3. Bagaimana Politik Hukum Dalam Pemberian Sanksi Pidana Dalam Pembayaran Upah Buruh Dibawah Upah Minimum Setelah Berlakunya UU No.13 tahun 2003?

II. Politik Hukum Perburuhan di Indonesia Dalam Hal Pengupahan
Dalam membahas Politik Hukum Perburuhan di Indonesia ada baiknya kita membahas terlebih dahulu Proses Pembentukan Undang-undang Ketenagakerjaan.Negara kita adalah Negara berdasarkan hukum, sehingga sudah sepatutnya aspek manusia harus menempati posisi sentral, termasuk memungkinkan manusia untuk ikut dalam proses yang menentukan nasibnya itu. Hanya dengan demikianlah, cita-cita untuk menjadikan Negara berdasarkan hukum sebagai rumah rakyat Indonesia yang tertib dan nyaman menjadi kenyataan.
Namun Sesungguhnya, dapat diketahui bahwa wujud perhatian pemerintah seringkali dengan mengeluarkan sebuah produk hukum namun seringkali peran golongan kepentingan dalam pembentukan hukum sangat dominan, sehingga hukum seolah tidak seteriil dari subsistem kemasyarakatan lainnya termasuk dalam produk.
Hukum sebagaimana banyak diterjemahkan melalui materialisasi teks-teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja.Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh pembuat/pengambil kebijaksanaan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu, hukum meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang sangat penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya.
Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Penegakan hukum menjadi kehilangan ruang, terkait dengan hal tersebut Ronald Katz menyatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.
Pembaharuan peraturan-peraturan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dari waktu ke waktu merupakan wujud komitmen pemerintah untuk terus menyempurnakan aturan-aturan normatif ketenagakerjaan untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi dunia ketenagakerjaan yang didalamnya terdapat pihak pengusaha dan buruh (pekerja). Ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan ketenagakerjaan di Indonesia, akan tetapi pemerintah pula sering mengeluarkan kebijaksanaan aturan normatif yang tidak jelas dan tidak mengatur secara mendetil aturan-aturan tersebut sehingga menimbulkan banyak makna penafsiran oleh pihak pengusaha, hal ini tentu akan banyak menimbulkan konflik antara pengusaha dan tenaga kerja.
Politik hukum perburuhan setelah kemerdekaan Indonesia di era orde lama atau setidak-tidaknya sampai dengan tahun 1965, adalah memposisikan kaum buruh hanya diperuntukkan bagi eksploitasi kebutuhan fisik semata, yaitu hanya dipekerjakan di pabrik guna kepentingan proses produksi dan tidak pernah diperhatikan hak hakiki buruh berupa pemberian kesejahteraan yang meliputi ; masalah upah kerja yang layak untuk diberikan pengusaha kepada buruh.
Di era orde lama, pengupahan ditekankan pada rasio tertinggi dan terendah pada suatu jawatan atau instansi tertentu.Juga selain menerima upah dalam bentuk nominal, buruh juga menerima tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh dan keluarganya.
Dengan adanya campur tangan kaum buruh dalam pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di pemerintahan, maka peraturan yang terbentuk cenderung maju dan melindungi kaum buruh, diantaranya ; UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Buruh, UU No. 2 Tahun 1951 tentang Berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan di Tempat Kerja, UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan, Undang-Undang No. 18 tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 98 Tentang Hak Berorganisasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang No. 3 Tahun 1958 Tentang Penempatan Tenaga Asing, dan Undang-Undang 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pada Masa orde baru Kebijakan Soeharto , kontrol politik penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri dari gerakan buruh dalam arena politik secara luas.Selain itu, ciri utama akomodasi buruh-majikan-negara selama orde baru adalah kontrol negara yang sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terusmenerus kelas buruh sebagai kekuatan sosial.
Dalam artian kebijakan-kebijakan perburuhan yang dilakukan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh suatu stabilitas ekonomi untuk menghentikan kemerosotan ekonomi setelah kejadian G30S/PKI.Hal ini sesungguhnya terlihat dari program REPELITA oleh orde baru.
Memasuki era reformasi tahun 1998, dengan semangat reformasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada era reformasi dalam masalah ekonomi juga diarahkan untuk mengikuti kebijakan fleksibilitas hubungan kerja dan iklim investasi yang telah mendunia sesuai dengan perkembangan globalisasi, liberalisasi, dan pasar bebas.Karena inti dari fleksibilitas hubungan kerja adalah keleluasaan untuk memobilisasi dan menerapkan sistem hubungan kerja sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang fleksibel.
Sehingga dari kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah di era reformasi baik yang secara langsung berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan maupun berhubungan dengan kebijakan investasi, jelas terlihat bahwa kebijakan fleksibilitas hubungan kerja yang diarahkan.
Kemudian dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait dengan sektor - sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor – sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang ekonomi.
Bila membahas ekonomi maka ada baiknya kita membahas Negara Tiongkok. Tiongkok yang merupaka macan asia yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang ada.Dimana Negara ini Sejak awal tahun 1980-an, dimulai dari perkembangan pesat hak kompensasi kekuasaan legislatif tidak bisa dihindari. Mekanisme hukum yang penting bagi suatu negara modern untuk memperkuat administrasi, sistem ini hak kompensasi kekuasaan legislatif juga mempromosikan pengembangan negara, merupakan cerminan dari konsekuensi positif dari pembangunan kembali sistem hukum China dan restrukturisasi ekonomi.
Dari sejarah panjang tentang pengaturan serta perlindugan upah yang telah dibahas sebelumnya di Indonesia, maka pada bagian ini akan dilihat tentang bagaimana pengaturan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh di Indonesia saat ini sebagai suatu kewajiban pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang dasar dalam menjamin terpenuhinya penghasilan yang layak, yaitu:
1. Upah Minimum
Tentang upah minimum yang merupakan jaring pengaman dalam pembayaran upah, maka pengusaha dilarang membayar upah tenaga kerja lebih rendah dari ketentuan upah minimum. Dimana pembayaran upah dibawah upah minimum merupakan suatu tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah).
Selain itu ketentuan perdata terkait upah minimum adalah sesuai dengan bunyi Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, kesepakatan tentang pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh rendah dari ketentuan upah minimum. Dimana bila hal ini dilanggar, maka kesepakatan itu akan batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah tenaga kerja tersebut sesuai dengan upah minimum. Kecuali telah dikabulkannya permohonan penangguhan upah yang diajukan oleh pengusaha.
2. Upah yang dibayar pekerja/buruh karena berhalangan
Dalam hal kewajiban pembayaran upah oleh pengusaha, prinsip dasar dari pengupahan adalah dibayarkan kepada pekerja/buruh bila pekerja/buruh tersebut bekerja. Namun ada hal pengecualian yang membuat pengusaha wajib membayar upah walaupun buruh tidak bekerja menurut Pasal 93 ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2003, yaitu:
1) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
2) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
3) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
4) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
5) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;
6) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
7) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
8) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
9) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
3. Upah Kerja Lembur
Pengertian upah kerja lembur upah menurut Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah imbalan kepada pekerja/buruh karena telah melakukan pekerjaan atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan hari kerja (tujuh jam sehari dan empat puluh jam seminggu) atau pada hari istirahat mingguan atau hari-hari libur resmi.
Menurut Pasal 77, jumlah waktu kerja adalah: 7 (tujuh) jam hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 6 (enam) hari kerja per minggu atau 8 (delapan) jam kerja per hari dan 40 (empat puluh) jam kerja seminggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 5 (lima) hari kerja per minggu. Ketentuan waktu kerja tersebut berdasarkan pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) Kepmenakertrans No.Kep.102/MEN/VI/2004 tidak berlaku untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya idak dapat dibatasi menurut waktu jam kerja yang ditetapkan perusahaan, namun dengan ketentuan harus mendapat upah yang lebih tinggi.
Menurut Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan dari pekerja/buruh bersangkutan, dimana persetujuan ini harus ada persetujuan tertulis atas perintah tertulis dari pengusaha; dan
b. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam per hari dan 14 (empat belas) jam dalam satu minggu.
4. Upah Tidak Masuk Kerja Karena Melakukan Kegiatan Lain Diluar Pekerjaannya
Adapun pekerjaan diluar tersebut adalah:
a. Pekerja/buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena menjalankan kewajiban Negara tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun, upahnya harus tetap dibayar oleh perusahaan. Apabila dalam menjalankan kewajiban Negara ini pekerja/buruh memperoleh penghasilan yang lebih besar sama dengan upah yang diterima, maka perusahaan tidak diwajibkan membayar upah. Bila penghasilan yang diterima pekerja/ buruh dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut lebih kecil dari upah yang bisa diterima maka perusahaan wajib membayar kekurangannya;
b. Perusahaan wajib membayar upah pekerja/buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang menunaikan kewajiban ibadah agamanya untuk yang pertama kali selama tidak lebih dari 3 (tiga) bulan. Apabila lebih dari tiga bulan dari waktu yang telah ditentukan itu perusahan tidak berkewajiban membayar upah, demikian pula apabila ibadah tersebut untuk waktu yang lebih dari satu kali.
5. Upah Karena Menjalankan Hak Waktu Istirahat Kerjanya;
Ketentuan waktu istirahat menurut Pasal 79 ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan antara lain adalah:
a. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya ½ jam setelah bekerja 4 jam terus menerus, waktu istirahat ini tidak termasuk jam kerja;
b. Istirahat mingguan, sekurang-kurangnya 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. Istirahat Tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 10 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 (satu) minggu, setelah pekerja selama 12 (dua belas) secara terus-menerus.
d. Selain hal yang di atas pekerja berhak mendapatkan istirahat panjang paling lama 3 (tiga) bulan setelah yang bersangkutan bekerja secara terus-menerus selama 6 (enam) Tahun.
Perusahaan tetap wajib membayar upah pekerja/buruh yang tidak melakukan pekerjaan karena pekerja/ buruh melaksanakan hak istirahat mingguan atau cuti tahunan. Peraturan pelaksanaan ketentuan tidak masuk kerja tetapi tetap menerima upah dari perusahaan harus ditetapkan dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 79 ayat (1), (3), (4) dan (5))
6. Tunjangan Hari Raya Keagamaan
Tunjangan Hari Raya Keagamaan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/1994 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (THR), Pasal 1 butir (d) adalah pendapatan pekerja/buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarga menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.
7. Bentuk Dan Cara Pembayaran Upah;
Pada prinsipnya upah dibayarkan dalam bentuk uang. Prinsip ini dapat dikatakan diwajibkan agar pekerja/buruh dapat menggunakan upahnya tersebut dengan bebas sesuai dengan membeli langsung apa yang menjadi kebutuhan hidup mereka dan kebutuhan hidup mereka. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah, menyatakan bahwa pembayaran upah diperbolehkan dalam bentuk lain sepanjang tidak melebihi 25 % dari nilai upah yang seharusnya diterima dan bukan dalam bentuk minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan.
Pembayaran upah harus dibayar secara langsung kepada pekerja yang bersangkutan pada waktu yang telah di janjikan sesuai dengan perjanjian kerja. Upah dibayarkan seminggu sekali atau sebulan sekali kecuali untuk perjanjian kerja kurang dari seminggu (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).
Dalam hal pembayaran upah terlambat dilakukan oleh pengusaha, maka menurut Pasal 19 mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari dimana upah seharusnya dibayar, maka harus ditambah 5% untuk setiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% untuk setiap keterlambatan dengan ketentuan bahwa tambahan untuk satu bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan.
8. Hal-hal Yang Dapat Diperhitungkan Dengan Upah;
Dalam hal-hal tertentu, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal 95 ayat (1), (2), dan (3) memberikan kemungkinan pembayaran upah tidak seluruhnya kepada pekerja tetapi ada dilakukan pemotongan upah antara lain yakni:
a. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya.
b. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
c. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah
9. Struktur Dan Skala Upah yang Proporsional
Struktur upah merupakan susunan tingkat upah untuk setiap pekerjaan/jabatan yang dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertinggi, mengikuti struktur golongan jabatan yang ada pada perusahaan (Pasal 1 Kepmenkertrans No.Kep.49/MEN/2004).
Menurut Pasal 2, Penyusunan struktur dan skala upah dalam penetapatan upah pekerja/buruh di suatu perusahaan dilakukan oleh Pengusaha. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah, menurut Pasal 92 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
10. Upah Untuk Pembayaran Pesangon
Pesangon berdasarkan Pasal 156 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, diberikan pada pekerja yang karena sebab mengalami pemutusan hubungan kerja dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dengan diberikannya pembayaran pesangon ini yentunya dapat menolong kelurga si pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan pekerjaan sehingga kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Uang penghargaan kerja adalah uang jasa yang diberikan oleh pengusaha sebagai penghargaan kepada pekerja/buruh yang dikaitkan dengan lamanya kerja (Pasal 1 angka 7 Kepmenaker No.KEP.150/MEN/2000). Ganti Kerugian adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan, dan lain-lain (Pasal 1 angka 7). Tunjangan tetap adalah suatu imbalan yang diterima oleh pekerja/buruh secara tetap jumlahnya dan teratur pembayarannya yang tidak dikaitkan dengan kehadiran atau pencapaian prestasi kerja tertentu (Pasal 1 angka 8).
Komponen upah yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, berdasarkan Pasal 157 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan terdiri atas:
a. Upah pokok,
b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
11. Upah Untuk Perhitungan pajak Penghasilan
Upah Untuk perhitungan pajak penghasilan tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Namun diatur dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Dalam pasal 21, yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan (PPh) Karyawan Pribadi adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa dan kegiatan.

III. Upah Minimum Sebagai Jaring Pengaman
Upah dalam UU No. 13 Tahun 2003 diatur dalam BAB X Bagian Kedua mulai Pasal 88 sampai 98. Menurut Pasal 1 angka 30 yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan kerja, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Dari pengertian di atas, terdapat beberapa unsur, yaitu :
- Upah adalah Hak dari pekerja/buruh
- Upah dibayarkan dalam bentuk uang
- Upah yang dibayarkan adalah sebagai imbalan atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
- Pembayaran upah ditetapkan melalui suatu perjanjian kerja, kesepakatan kerja atau peraturan perundang-undangan
- Upah yang dimaksud juga termasuk tunjungan bagi pekerja/buruh dan keluarganya
Prinsip dasar pembayaran upah di Indonesia adalah ‘No Work, No pay’ yang artinya upah dibayar hanya ketika si pekerja/buruh tersebut bekerja (Pasal 93 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003). Namun terdapat beberapa pengeucalian yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 walaupun si pekerja/buruh tidak bekerja tetap mendapat upah dari pengusaha.
Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu saja, tepatnya Februari 2014 tercatat partisipasi angkat kerja sebesar 69,17%.  Maka mau tak mau para angkatan kerja ini merelakan dirinya untuk harus bekerja, walaupun mungkin upah yang diterima tidak seperti ketentuan yang ada, yang paling penting cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya daripada tidak sama sekali. Dimana tentunya hal ini sangat berkaitan dengan teori penentuan upah.
Pasal 1 angka 1 Permenkertrans No. 7 Tahun 2013 tentang upah minimum, menyatakan bahwa Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman.
Satu hal baru yang ada pada pengertian upah minimum menurut pasal ini adalah penambahan pernyataan “jaring pengaman”. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya Upah Minimum ditetapkan oleh pemerintah untuk menahan merosotnya tingkat upah, khususnya bagi pekerja/buruh tingkat terbawah. Sehingga dikatakan bahwa Upah Minimum merupakan “jaring pengaman” adalah supaya tingkat upah tidak lebih rendah dari “jaring” tersebut. Di lain pihak pemerintah memberi kebebasan untuk mengatur upah yang berada di atas Upah Minimum.
Selain itu, dari pengertian upah minimum menurut Permenkertrans No. 7 Tahun 2013 dapat dikatakan, jika upah pokok Pekerja/Buruh dibawah ketentuan upah minimum yang berlaku dan tunjangan yang Pekerja/Buruh terima bukanlah tunjangan tetap maka upah pokok Pekerja/Buruh harus disesuaikan agar mengikuti upah minimum yang berlaku. Sebaliknya, jika Pekerja/Buruh menerima tunjangan tetap dan penjumlahan antara upah pokok dan tunjangan tetap di atas atau sama dengan ketentuan upah minimum yang berlaku maka tidak perlu dilakukan penyesuaian upah pokok Pekerja/Buruh tersebut.
Kebijakan penetapan upah minimum juga dapat dikatakan merupakan salah satu perangkat pencegah diskriminasi upah bagi pekerja/buruh perempuan dan laki-laki yang baru memulai pekerjaan dengan nilai pekerjaan terendah. Upah minimum merupakan tingkat upah terendah yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh laki-laki dan perempuan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun untuk suatu wilayah atau sektor tertentu.   Tanpa ada pembedaan ataupun diskriminatif dalam penetapan upah minimum yang dibayarkan baik kepada pekerja/buruh laki-laki maupun perempuan.
Penetapan Upah Minimum menurut Pasal 3 Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Penetapan Upah Minimum diarahkan pada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yaitu perbandingan besarnya Upah Minimum terhadap nilai KHL pada periode yang sama. Untuk pencapaian KHL tersebut, Gubernur menetapkan tahapan pencapaian KHL dalam bentuk peta jalan pencapaian KHL bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu dan bagi perusahaan lainnya dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha.
Peta jalan pencapaian KHL yang diatur dalam Pasal 4 adalah sebagai berikut:
a. menentukan Tahun pencapaian Upah Minimum sama dengan KHL;
b. memprediksi nilai KHL sampai akhir Tahun pencapaian;
c. memprediksi besararan nilai Upah Minimum setiap Tahun;
d. menetapkan presentase pencapaian KHL dengan membandingkan prediksi besaran Upah Minimum dengan prediksi nilai KHL setiap Tahun.
Sedangkan untuk menetapkan upah minimum sektoral provinsi (UMSP) dan/atau upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menurut Pasal 13 ayat (1) melakukan penelitian serta menghimpun data dan informasi mengenai:
a. homogenitas perusahaan;
b. jumlah perusahaan;
c. jumlah tenaga kerja;
d. devisa yang dihasilkan;
e. nilai tambah yang dihasilkan;
f. kemampuan perusahaan;
g. asosiasi perusahaan; dan
h. serikat pekerja/serikat buruh terkait.
Dewan Pengupahan kemudian melakukan penelitian untuk menentukan sektor unggulan yang selanjutnya disampaikan kepada asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh di sektor yang bersangkutan untuk dirundingkan. (Pasal 13 ayat (2))
Dalam pelaksanaannya, berdasarkan Pasal 15 sampai dengan Pasal 19, yaitu:
1. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
2. Dan upah minimum sendiri hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai masaa kerja kurang dari 1 (satu) Tahun.
3. Upah minimum wajib dibayarkan bulanan pada pekerja/buruh. Namun bila terdapat kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, upah minimum dapat dibayarkan mingguan atau 2 (dua) mingguan dengan ketentuan penghitungan upah minimum berdasarkan upah bulanan.
4. Upah minimum yang berlaku bagi pekerja/buruh harian lepas atau dengan sistem kerja borongan yang dilaksanakan 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah minimum yang dilaksanakan di perusahaan yang bersangkutan.
5. Upah pekerja/buruh harian lepas, ditetapkan secara bulanan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari:
a. Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 25 (dua puluh lima)
b. Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 21 (dua puluh satu)
6. Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor, upah minimum yang berlaku sesuai dengan UMSP (upah minimum sektoral provinsi) atau UMSK (upah minimum sektoral kota/kabupaten). Namun bila belum ada penetapan UMSP dan/atau UMSK, maka upah terendah di perusahaan tersebut disepakati secara bipartit, yaitu antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada perusahaan tersebut.
7. Besaran kenaikan upah di perusahaan yang upah minimumnya telah mencapai KHL (Kebutuhan Hidup Layak), atau lebih, ditetapkan secara bipartit di perusahaan masing-masing.
Untuk mengawasi pelaksanaan upah minimum ini, maka menurut Pasal 20 Permenkertrans ini mengamanahkan kepada Pegawai Pegawas Ketenagakerjaan. Hal ini terjadi karena pelanggaran terhadap upah minimum menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 adalah Tindak Pidana. Maka pelaksanaannya dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
Koffi Anan sendiri berpendapat bahwa hak ekonomi dan tanggung jawab sosial adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Itu sebabnya beberapa tahun lalu di Davos,beliau mengusulkan persamaan global antara bisnis PBB. Beliau juga meminta mereka untuk bertindak, dalam lingkup pengaruh mereka (PBB), sesuai dengan standar yang diterima secara internasional di bidang hak asasi manusia, standar buruh, dan lingkungan-dan menawarkan jasa sistem PBB untuk membantu mereka melakukannya.
Kemudian Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan Perburuhan juga sangat diperlukan dalam system Hubungan Industrial Pacasila.Selain itu upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa bisnis termasuk masalah perburuhan harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.Dimana memang dikedepankan Bipartit dan Tripartit dalam sengketa perburuhan. Karena sebagaimana menurut Friedman Pada akhirnya, jika pengadilan tidak bisa memecahkan masalah dan jika masalah tidak lenyap dengan sendirinya (melalui perubahan radikal dalam selera populer atau tingkat toleransi), beberapa solusi di luar hukum akan dicapai.

IV. Politik Hukum Dalam Pemberian Sanksi Dalam Pembayaran Upah Buruh Dibawah Upah Minimum Setelah Berlakunya UU No.13 tahun 2003
Aspek hukum pidana tidak mungkin terlepas dari hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hal ini tidak terlepas dari adanya turut serta pemerintah dalam Hubungan Industial melalui peraturan perundangan-undangan. Sehingga menciptakan sifat Hukum Publik dalam Hubungan Kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dimana lewat perundang-undangan tersebut diletakkan serangkaian Hak, Kewajiban dan tanggung jawab kepada pekerja/buruh dan pengusaha sebagai pihak yang terlibat dalam hubungan kerja, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana dan denda.
Hal di atas dapat terlihat dari adanya eksistensi Sanksi Pidana dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, yang diatur dalam BAB XVI Bagian Pertama yang dimulai dari Pasal 183 sampai dengan Pasal 189. Selain termuat dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan juga termuat dalam beberapa Undang-undang yang mengatur tentang Ketengakerjaan lainnya, yaitu Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pasal 9 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta Pasal 55 Undang-undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini mutlak diperlukan untuk menjaga hak-hak normatif dari pekerja/buruh. Sehingga pekerja/buruh tidak lagi dianggap sebagai barang yang diperjanjian seperti yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang membuat mereka bebas diekploitasi oleh Pengusaha.
Dalam Hukum Ketengakerjaan di Indonesia, Tindak Pidana Ketenagakerjaan dibagi atas 2, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Perbedaan antara tindak pidana kejahatan dan pelanggaran:
1. Ancaman pidana bagi kejahatan lebih berat dari pelanggaran
2. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan
3. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak perlu.
4. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60)
5. Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu dan dua Tahun
6. Dalam hal perbarengan (concursus) para pemindanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (Pasal 65, 66 dan 70)
Pembagian tindak pidana ketengakerjaan adalah:
1. Tindak Pidana Kejahatan Ketenagakerjaan, yang diatur di dalam:
a. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
- Pasal 183 ayat (1) adalah melanggar pasal 74, yaitu larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk. Dengan sanksi pidana paling singkat 2 (dua) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
- Pasal 184 ayat (1) adalah melanggar 167 ayat (5) buruh yang di-PHK karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2x ketentuan Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan. Dengan sanksi Pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Pasal 185 ayat (1) adalah tindak pidana ketenagakerjaan dengan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 4 (empat) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) 42 ayat (1) dan (2), yaitu larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing
2) 68, yaitu larangan mempekerjakan anak
3) 69 ayat (2), yaitu mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya
4) 80, yaitu jaminan kesempatan beribadah yang cukup
5) 82, yaitu cuti karena melahirkan dan keguguran
6) 90 ayat (1), yaitu pembayaran upah di bawah Upah Minimum
7) 143, yaitu menghalang-halangi kebebasan buruh untuk berserikat
8) 160 ayat (4) dan (7), yaitu mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana.
b. Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu pelanggaran terhadap Pasal 28 yang tentang mereka yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh, diancam dengan sanksi pidana sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c. Pasal 55 Undang-undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS yaitu pelanggaran terhadap pasal 19 ayat (1) atau (2) tentang Pemberi Kerja yang memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya tapi tidak menyetorkannya kepada BPJS dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama 8 (delapan) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
2. Tindak Pidana Pelanggaran Ketenagakerjaan, terdapat dalam ketentuan berikut ini:
a. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
- Pasal 186 ayat (1) adalah pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) 35 ayat (2), yaitu kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja,
2) 35 ayat (3), yaitu perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik.
3) 93 ayat (2), yaitu pembayaran upah karena sakit/karena tugas negara/pengusaha tidak mau memperkerjakan pekerja/buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat),
4) 137 hak mogok
5) 138 ayat (1) menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja
- Pasal 187 adalah pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) Pasal 37 ayat (2), yaitu Lembaga penempatan tenaga kerja swasta yang dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk
2) 44 ayat (1), yaitu pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart dan kompetensi yang berlaku
3) 45 ayat (1), yaitu tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing
4) 67 ayat (1), yaitu pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun
5) 71 ayat (2), yaitu syarat-syarat mempekerjakan anak
6) 76, yaitu perlindungan bagi buruh perempuan
7) 78 ayat (2), yaitu wajib bayar upah pada jam kerja lembur
8) 79 ayat (1) dan ayat (2), yaitu waktu istirahat bagi buruh
9) 85 ayat (3), yaitu pembayaran upah lembur pada hari libur resmi
10) 144, yaitu mengganti buruh yang mogok dengan buruh yang baru
- Pasal 187 adalah pelanggaran dengan ancaman sanksi pidana pidana pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yaitu pelanggaran terhadap pasal:
1) 14 ayat (2), yaitu perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta
2) 38 ayat (2), yaitu biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta
3) 63 ayat (1), yaitu PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan
4) 78 ayat (1), yaitu syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam kerja
5) 108 ayat (1), yaitu wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10 orang buruh
6) 111 ayat (3), yaitu masa berlaku Peraturan Perusahaan 2 Tahun dan wajib diperbaharui
7) 114, yaitu peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya
8) 148, yaitu syarat-syarat lock out
b. Pasal 29 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Yaitu pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2),dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana ini untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama -lamanya 8 (delapan) bulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka tindak pidana ketanagakerjaan dapat digambarkan pada tabel berikut ini
Tabel 1
Jenis-jenis Tindak Pidana Ketenagakerjaan

TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN
KEJAHATAN PELANGGARAN
Diatur dalam Pasal Pelanggaran Terhadap Pasal Diatur dalam Pasal Pelanggaran Terhadap Pasal
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 183 74 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 186 35 ayat (2)
184 167 ayat (5) 35 ayat (3)
185 42 ayat (1) dan (2) 93 ayat (2)
68 137
69 ayat (2) 138 ayat (1)
80 187 44 ayat (1)
82 45 ayat (1)
90 ayat (1) 67 ayat (1)
143 71 ayat (2)
160 ayat (4) dan ayat (7) 76
Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh 43 28 78 ayat (2)
Undang-undang No 24 tahun 2011 tentang BPJS 55 19 ayat (1) atau ayat (2) 79 ayat (1) dan ayat (2)
85 ayat (3)
188 144
14 ayat (2)
38 ayat (2)
63 ayat (1)
78 ayat (1)
108 ayat (1)
111 ayat (3)
114
148
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 29 4 ayat (1)
10 ayat (1), (2), dan (3)
18 ayat (1
18 ayat (2), ayat (3), (4) dan (5)
19 ayat (2)
22 ayat (1)
26

Seperti yangt telah dijelaskan diatas, dalam pembayaran upah, menyangkut beberapa aspek hukum salah satunya hukum pidana dimana dalam aspek hukum pidana, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara antara 1 (satu) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun dan/atau denda antara Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan. Serta pembayaran upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika pekerja/buruh dalam Kondisi tertentu. Dengan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Terkait pelanggaran ketentuan pembayaran upah dapat tidaknya diselesaikan secara hukum pidana melalui peradilan negeri berkaitan dengan kompetensi absolute. Berdasarkan dengan Pasal 50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Kekusaan Kehakiman, menyatakan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Selain itu juga menurut Pasal 84 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya.
Dari 2 (dua) pasal tersebut, memberikan pengertian bahwa Pidana Ketenagakerjaan dapat diselesaikan secara Hukum Pidana melalui Peradilan Umum. Karena adanya kewenangan absolut dari pengadilan negeri untuk memerika segala tindak pidana sesuai dengan daerah hukumnya, termasuk tindak pidana ketengakerjaan tentang upah. Daerah hukum dari suatu pengadilan negeri untuk mengadili perkara pidana ketenagakerjaan tentang upah berkaitan dengan kompetensi relatif. Kompetensi relatif dalam perkara pidana ketenagakerjaan berbeda dengan kompetensi relatif peradilan hubungan industrial. Bila dalam peradilan hubungan industrial, kompetensi relatif berdasarkan tempat pekerja/buruh tersebut bekerja, sedangkan dalam penyelesaian pidana ketenagakerjaan kompetensi relatifnya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Hal ini dikarenakan tidak diaturnya kompentensi relatif di dalam Undang-undang ketenagakerjaan.
Kompentensi relatif ataupun dapat dikatakan, bila terjadinya pelanggaran ketentuan pengupahan yang dilakukan oleh pengusaha, dan pekerja/buruh ingin menyelesaikan secara hukum pidana, harus memperhatikan kompetensi relatif dalam penyelesaian pidana ketenagakerjaan tentang upah, yaitu:  Pengadilan negeri dimana tempat pengusaha selaku terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat pengusaha diketemukan ditahan atau ditahan, berwenang mengadili perkara pengusaha tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana ketenagakerjaan tentang upah tersebut dilakukan.
Hal ini penting untuk diketahui oleh pekerja/buruh agar dakwaan mereka kepada pengusaha selaku terdakwa, tidak dapat diajukan nota keberatan oleh pengusaha ataupun advokat dari pengusaha tersebut, sehingga proses pemeriksaan pidana ketenagakerjaan tentang upah tersebut dapat berlanjut sampai putusan. Selain karena kompetensi tersebut, hal lain yang dapat dijadikan alasan pengajuan nota keberatan oleh pengusaha selaku terdakwa ataupun advokat dari pengusaha tersebut adalah surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima. Surat dakwaan yang tidak dapat diterima adalah dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Pasal 176 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan, Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Sehingga apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh adalah melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Pengawasan Ketenegakerjaan sendiri menurut Pasal 1 angka 32 adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 181 wajib:
1. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
2. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Penyidik dalam pidana ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 181 ayat (2) adalah polisi, dan Pegawai Negeri Sipil Pengawas ketenagakerjaan. Dimana Pegawai Negeri Sipil Pengawas ketenagakerjaan selain bertugas melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Pasal 182 ayat (1) dan (2), adalah:
1) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
2) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
3) meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
4) melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenaga kerjaan;
5) melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
6) meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
7) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Hal yang patut digaris-bawahi adalah bahwa hal yang berkaitan dengan proses pemeriksaan, penahanan, pembuktian, penyidikan, penuntutan, putusan, upaya hukum baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa serta proses beracara lainnya dalam penyelesaian tindak pidana ketenagakerjaan tidak diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, sehingga hal tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan umum tentang pelaksanaan beracara dalam penyelesaian hukum pidana, yaitu yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Membandingkan dengan negara lain yang lebih maju, penggunaan ancaman sanksi pidana telah merupakan cara yang paling efektif dalam melawan pelanggaran kebijakan upah oleh pengusaha. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, tepatnya di kota New York dan Los Angeles, penerapan sanksi pidana kepada pengusaha yang melanggar ketentuan upah dan jam kerja, telah memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kesadaran publik bahwa tidak memberikan upah atau memberikan upah dibawah upah minimum sebagai sebuah kejahatan.
Hanya saja patut menjadi perhatian bagi kita, adalah penyelesaian hukum ketika dilanggarnya ketentuan hukum pembayaran upah secara hukum pidana melalui Pengadilan Negeri adalah tidak adanya kompensasi ataupun restitusi. Dengan kata lain, pekerja/buruh tidak dapat menuntut adanya ganti rugi kepada pengusaha yang telah melanggar ketentuan pembayaran upah tersebut. Karena dalam pidana ketenagakerjaan tentang upah, yang ada hanya pidana denda yang dibayarkan kepada negara. Hal ini tentu bisa diselesaikan melalui Peradilan Hubungan Industrial, dimana diperkenankan adanya ganti kerugian yang diterima oleh Pekerja/buruh terkait denda-denda yang dibebankan pada pengusaha.
Sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981, yaitu “apabila upah dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari seharusnya upah dibayar, maka upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan maka tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan syarat tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak melebihi 50 % (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayar.” Kemudian setelah lewat sebulan upah si pekerja/buruh masih belum dibayar, maka sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (3) PP No. 8 Tahun 1981, selain membayar ganti rugi tersebut pengusaha juga berkewajiban membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
Selain adanya efek jera, bila kita analisa dari aspek keadilan, terlihat bahwa sanksi pidana yang diberikan kepada Terdakwa, secara nilai ekonomi tidak memberikan keadilan apapun kepada pekerja/buruh sebagai Korban. Tanpa bermaksud mengesampingkan aspek hukum ataupun nilai-nilai lainnya seperti nilai budaya, dikatakan secara nilai ekonomi tidak memberikan keuntungan karena tidak menerima sisa upah yang dibayarkan oleh Terdakwa yang kurang dalam pembayaran upah, ketika upah dibayarkan dibawah upah minimum.
Dalam kasus pelanggaran ketentuan upah minimum diatas, dimana Tjioe Christina Chandra, sebagai Terdakwa yang membayar upah dibawah upah minimum dengan diselesaikan secara Hukum Pidana melalui Pengadilan Negeri dapat dikatakan suatu cara yang efektif dalam memberikan efek jera kepada pengusaha bahwa ketidakpatuhan terhadap kebijakan upah minimum merupakan suatu kejahatan.   Untuk sanksi pidana yang diberikan oleh Majelis Hakim Agung sendiri dapat dikatakan telah diputuskan dengan tepat oleh Majelis Hakim Agung. Adanya ketidakadilan dari nilai ekonomi dari sanksi pidana tersebut, bukanlah kesalahan yang dibuat oleh Majelis Hakim Agung, karena dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, hanya mengatur sanksi pidana penjara dan denda terhadap pekerja yang membayar upah kepada pekerja/buruh dibawah upah minimum.








IIl. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Politik Hukum dalam Pembuatan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 terkait pengupahan sangatlah dilatarbelakangi semangat perubahan untuk memberikan perlinndungan pengupahan terhadap Buruh sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dalam UU ini perlindungan upah buruh menyangkut beberapa aspek hukum, salah satunya hukum pidana dimana pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan menurut Pasal 185 Undang-undang Ketenagakerjaan. Serta pembayaran upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika pekerja/buruh dalam Kondisi tertentu adalah pelanggaran pidana berdasarkan pasal 186. DImana terlihat bahwa upah minimum berperan sebagai jarring pengaman. Kemudian Dalam penyelesaian secara Pidana, menurut undang-undang Ketenagakerjaan pengawasan dan penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan. Dimana proses beracara mengikuti aturan pada KUHAP. Dimana dalam pemilihan cara penyelesaian hukum terkait pelangggaran ketentuan pembayaran upah membawa konsekuensi tersendiri. Bila diselesaikan melalui Peradilan Hubungan Industial (PHI), maka pekerja/buruh dapat menuntut ganti rugi atas pelanggaran pembayaran upah namun pengusaha tidak dapat menuntut pengusaha atas pelanggaran yang telah diperbuatnya. Dan bila diselesaikan secara Pidana Melalui Peradilan Negeri, maka pekerja/buruh dapat menuntut pengusaha, namun pekerja/buruh tidak dapat menuntut ganti kerugian atas pelanggaran pembayaran upah kepada pengusaha.

2. SARAN
Adapun yang menjadi saran dari makalah ini Perlindungan pengupahan secara hukum pidana harus diimbangi dengan penerapan dan penegakan hukum yang baik oleh para penegak hukum, dan juga Instansi Pemerintah yang membidangi masalah Ketenagakerjaan, sehingga pengaturan pengupahan dapat dilaksanakan secara efektif.
Juga diharapkan kepada seluruh pihak hubungan industrial, pekerja/buruh dalam hal ini serikat pekerja/buruh, pemerintah dan pengusaha untuk lebih memperkenalkan adanya perlindungan pengupahan secara hukum pidana, hukum perdata maupun hukum adminsitrasi negara serta cara penyelesaian hukumnya, sehingga para pekerja/buruh dapat lebih paham bagaimana perlindungan dalam pembayaran upah kepada dirinya dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Dan terakhir agar diterapkannya kompensasi dan/ataupun restitusi, dimana tujuannya agar pekerja/buruh dapat menuntut adanya ganti rugi kepada pengusaha yang telah melanggar ketentuan pembayaran upah sehingga pekerja/buruh dapat menerima ganti kerugian yang dialami  oleh pekerja/buruh saat upah yang selayaknya diterima tidak diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Agusmidah, dkk. 2012. Bab-bab Tentang Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Pustaka Lasaran
Agusmidah.2010.Dinamika Hukum Ketengakerjaan Indonesia.Medan: USU Press.
Arinanto, Satya. 2001. Politik Hukum 3. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia. 2005. Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang sama Dalam Pekerjaan di Indonesia. Jakarta: Depnakertrans.
Harjono. 2008. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Husni, Lalu. 2008. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press.
Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1988 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia.
MD, Moh.Mahfud. 2006. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Buku Kompas
Saleh, Mohammad, dan Lilik Mulyadi. 2012. Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sinaga, Mersen. 2006. Pengadilan Perburuhan di Indonesia (Tinjauan Hukum Kritis atas Undang-Undang PPHI. Yogyakarta: Perhimpunan Solidaritas Buruh.
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Undang-undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial
Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/1994 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (THR)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.102/MEN/VI/2004

3. Jurnal
Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya. 2001. Jurnal Dinamika Vol. 2, no. 1, 52 Halaman, Tersedia: https://books.google.coms? id=hym5EI9rZiwC
Wiratman, R. Herlambang Perdana. Kekuasaan Tafsir dan Tafsir Kekuasaan Dalam Hukum, Jurnal Forum Keadilan: no. 50, 16 APRIL 2006

4. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Arinanto, Satya. Politik Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2006

5. Skripsi
Ginting, Frimanda Perlindungan dan Penegakan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pembayaran Upah Berdasarkan Putusan MA No. 687 K/Pid.Sus/2012, Skripsi (Medan: Faklutas Hukum USU, 2015)

6. Artikel Internet
Al-Akhlaq,Mouvty Makaarim. Relasi Politik Dan Hukum Di Indonesia. Data diunduh pada http://makaarim.wordpress.com
Agusmidah, Outsourcing dan PKWT Dalam Sistem Hubungan Kerja Merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan.Dapat diunduh pada ocw.usu.ac.id.
http://www.imamanter.blogspot.com.
http://suaramahasiswa.com/mea-2015-ajang-kompetisi-kualitas-tenaga-kerja/

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S