Skip to main content

pengadilan pajak dalam kekuasaaan kehakiman di Indonesia.


A. Pendahuluan
Kedudukan lembaga-lembaga peradilan di Indonesia tidak bisa terlepas dari konsep Negara hukum yang menghendaki adanya supremasi dan penegakkan hukum.  Keberadaan lembaga-lembaga peradilan tersebut menjadi sangat penting karena dapat dipastikan tanpa adanya lembaga-lembaga peradilan yang diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, maka hukum tidak akan memiliki banyak maknanya dalam masyarakat. Salah satu lembaga peradilan yang bertugas melakukan penegakan hukum tersebut adalah lembaga peradilan pajak.
Sebagaimana diketahui, bahwa pajak merupakan salah satu iuran rakyat yang dipungut oleh Negara. Pajak ini pula dijadikan sebagai pendapatan Negara selain Bea dan Cukai dan beberapa pendapatan Negara bukan pajak lainnya. Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.
Eksistensi pengadilan pajak sebagai suatu kebutuhan dalam penyelesaian sengketa perpajakan telah lama ada. Pada mulanya dikenal dengan nama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang dibentuk berdasarkan Regeling van het Beroep in Belastingzaken (Staatsblad No. 29 Tahun 1927) yang terakhir telah diubah dengan UU No.5 Tahun 1959.  Dalam perkembangannya karena keberadaan MPP tidak memadai lagi, maka pada tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) melalui Undang-Undang No 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Terbentuknya BPSP diharapkan terwujudnya suatu peradilan pajak yang independen sebagai tempat para wajib pajak mencari keadilan dengan proses yang sederhana, cepat dan biaya murah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya ditemui kendala, antara lain yang paling prinsip adalah keberadaan BPSP tidak begitu efektif dalam penyelesaian sengketa perpajakan sebab posisi BPSP berada di luar sistem peradilan yang berlaku, sehingga BPSP dianggap sebagai badan penyelesaian sengketa yang bersifat semu, sebab layaknya suatu badan penyelesaian sengketa seharusnya terdapat tiga pihak, namun dalam sengketa pajak hanya terdapat dua pihak, anara wajib pajak dan pemerintah (dalam hal ini adalah Dirjen Pajak atau fiskus) yang juga berperan sebagai salah satu pihak yang memutuskan sengketa perpajakan yang timbul antara wajib pajak dan Dirjen Pajak. Dengan demikian tidak mungkin terhadap setiap sengketa pajak BPSP dapat bersifat independen dalam memberikan rasa keadilan bagi para wajib pajak yang menyelesaikan sengketa melalui badan ini, terutama bila dikaitkan dengan kesempatan untuk menempuh upaya hukum lebih lanjut.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, maka pada tahun 2002 telah diberlakukan UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu peradilan yang independen dalam menyelesaikan sengketa perpajakan. Menurut ketentuan Pasal 33 ayat (1) bahwa, pengadilan pajak merupakan suatu pengadilan khusus di bidang perpajakan yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Ketentuan ini mengandung makna bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pengadilan pajak ini merupakan upaya hukum terakhir, hal ini berarti bahwa tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh, baik banding ke pengadilan tinggi maupun kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada tahun 2002 setelah UUD 1945 diamandemen untuk kedua kalinya, UU Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dasar Pertimbangan dilakukan pergantian dapat dilihat dalam konsideran UU Pengadilan Pajak, yang menegaskan:
a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat;
b. bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan;
c. bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana;
d. bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung;
e. bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak.
Sebagaimana diketahui posisi Kementerian Keuangan sebagai pintu keluar masuknya anggaran negara memiliki peran yang strategis sebagai katalisator keberhasilan reformasi birokrasi. Ironisnya, justru berbagai kasus korupsi yang terungkap belakangan ini bersumber dari instansi tersebut, terutama dari Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Dari sekian banyak kasus yang muncul terkait dengan perpajakan, lembaga yang turut menjadi sorotan publik adalah Pengadilan Pajak yang dinilai tidak independen karena berada di bawah dua atap.
Banyak kasus yang terjadi di sektor pajak mulai dari hal yang kecil seperti Keberatan yang diajukan wajib pajak sampai kasus yang paling hangat dan kontroversial yaitu kasus Gayus Tambunan. Sektor-sektor dalam pajak adalah sektor yang paling urgen untuk melakukan tindak kriminal karena menyangkut keuangan Negara. Namun dalam hal ini tidaklah membahas tentang kasus Gayus Tambunan di atas, melainkan fokus kepada independensi Pengadilan Pajak di Indonesia.
Salah satu syarat penting bagi tegak dan kokohnya negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama karena pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman masih memerlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar lembaga-lembaga lain tersebut tidak berada di luar salah satu lingkungan peradilan yang telah ditentukan. Salah satunya adalah, pengadilan pajak yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta memberikan perlindungan hukum wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur pada Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya di sebut UUD 1945) pasal 24. Ayat (2), pasal tersebut berbunyi: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”, selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai UU Kekuasaan Kehakiman) pasal 25 menyatakan bahwa Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Merujuk pada ketentuan tersebut lembaga-lembaga yang berwenang melakukan kekuasaan kehakiman telah disebutkan secara terbatas (limitatif). Dengan kata lain tidak ada yang namanya lembaga peradilan selain yang telah disebutkan secara tegas (expressive verbis) dalam konstitusi. Meskipun ada pengadilan selain sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi maka pengadilan tersebut haruslah berada dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu, misalnya lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha Negara.
Pada sisi lain kedudukan pengadilan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya di sebut UU Pengadilan Pajak), pasal 2 dinyatakan bahwa “pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak”, sehingga dalam hal ini menjadi ambigu, pada UU Kekuasaan Kehakiman hanya terdapat empat pengadilan yang tercantum pada pasal 25 di atas, sehingga di sini terjadi ketidaksinkronan.
Apabila ditelaah lebih jauh dari struktur dan muatan pada undang-undang tersebut di atas terdapat tiga hal yang mendasar yang akan dikaji lebih jauh berkaitan dengan eksistensi peradilan pajak dengan berlakukan UU No. 14 Tahun 2002. Pertama adalah, dari segi bentuk kelembagaan pengadilan pajak yang berada di bawah kewenangan kekuasaan eksekutif, dan kedua dari segi eksistensi dan independensi pengadilan pajak dalam kekuasaaan kehakiman di Indonesia.

B. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
1. Pengadilan Pajak sebagai Instrumen Penegakan Hukum
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut sebagai hukum. Hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara.  Penegakan hukum yang berwibawa akan dapat menjamin terpeliharanya kepastian dan keadilan.  Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan yang tak kalah penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur berbagai kegiatan. Termasuk kegiatan perekonomian suatu Negara.
Pemungutan pajak di tengah masyarakat dipandang perlu ditegakkan dengan baik, dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar kewajibannya terhadap pajak berpengaruh pula terhadap peningkatan jumlah pemungutan pajak yang dilakukan oleh aparat pajak (fiskus). Pemungutan pajak oleh pemerintah akan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan pemungutan pajak ditengah masyarakat yang tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib pajak dengan pejabat atau aparatur pajak (fiskus). Oleh sebab Pengadilan pajak hadir demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas, yakni untuk lebih memberikan pelayanan dan perlindungan kepada warga masyarakat sebagai pembayar pajak, yang dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak, serta dapat memberikan kepastian hukum (legal certainty) dan keadilan (fairness), atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat, dan murah, sesuai dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia.

2. Penyelesaian Masalah Sengketa Pajak Melalui Pengadilan Pajak
Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment di mana dengan sistem ini Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak. Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat WP terhadap ketentuan perpajakan. Dalam konteks inilah, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP kepada sebagian WP.
Pasal 29 ayat (1) UU KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP) di mana SKP ini berfungsi untuk melakukan koreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh Wajib pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Dalam proses penetapan pajak melalui pemeriksaan ini sering timbul sengketa pajak antara Wajib pajak dan otoritas pajak. Sengketa ini bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan, perbedaan pemahaman atas ketentuan perpajakan, perbedaan sudut pandang dalam menilai suatu fakta, bisa juga karena ketidaksepakatan dalam hal proses pembuktian.
Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana ketentuan UU KUP dalam Pasal 25, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain dari pada itu surat keberatan dapat disampaikan oleh Wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagaimana ketentuan dalam UU KUP Pasal 25 ayat-ayat berikut; (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan; Ayat (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya; Ayat (3a) Dalam hal Wajib pajak mengajukan keberatan atas surat etetapan pajak, Wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sejumlah yang telah disetujui Wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, um surat keberatan disampaikan; ayat (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana imaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan WP dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib pajak. Namun demikian, Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Dalam hal tersebut, apabila WP masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, WP masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 angka 6 yaitu : “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. Sedangkan badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Lebih lanjut sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (1) bahwa pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan sengketa pajak. Sedangkan kekuasaan pengadilan pajak diatur dalam Pasal 33 bahwa pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa, sehingga putusan pengadilan pajak bersifat final and binding (putusan terakhir dan memilki kekuatan hukum tetap).
Adapun syarat mengajukan banding yang harus dipenuhi Wajib pajak diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yaitu: Pasal 35, yaitu ;
a. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
b. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Jangka  waktu  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding.
Dan Pasal 36, yaitu ;
a. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
b. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
c. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.
d. Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
Selanjutnya masih ada upaya lain yang dapat ditempuh oleh WP, yaitu; dengan melakukan upaya Peninjauan Kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana ketentuan UU Peradilan Pajak, Pasal 77 Ayat (3) ”Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”.
Sedangkan Pasal 91 UU Peradilan Pajak, Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a) Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b) Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada, yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 (1) b dan c UU Pengadilan Pajak;
d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e) Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.
Selanjutnya dalam Pasal 89 UU Peradilan Pajak, Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

3. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Menurut Apeldoorn, Peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.  Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya.
Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi.
Perlunya suatu lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa pajak merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP disebutkan bahwa, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”. Karakteristik sengketa pajak, merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha Negara). Pendapat ini didasarkan atas ruang lingkup hukum pajak yang masuk dalam lingkup hukum publik. Bahkan menurut Brotodihardjo , hukum pajak merupakan anak bagian dari administrasi.
Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi tidak murni, yaitu :
a. Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
b. Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau pembatalan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan).
Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga). Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 di atas berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan.
Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur rakyat sebagai perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit (ketetapan/beschikking) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai perorangan.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.

C. Eksistensi dan Independensi Pengadilan Pajak
1. Eksistensi Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
Dalam sebuah negara hukum peranan dari lembaga-lembaga peradilan sangat diperlukan demi tercapainya sebuah supremasi hukum. Upaya penegakan hukum ini diterapkan diberbagai bidang, dan salah satunya adalah di bidang Perpajakan untuk memberikan keadilan sebagai akibat timbulnya permasalahan antara subjek pajak (rakyat) dengan pemungut pajak (pemerintah) atau dapat pula disebut sebagai sengketa pajak. Dari hal tersebut maka dibentuklah Pengadilan Pajak melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Pengadilan  Pajak  yang  dibuat  atas  dasar  Undang-undang  Nomor  14 Tahun 2002. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan yang mengurusi masalah perpajakan pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor.14 Tahun 2002). Secara hirarki Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan khusus  dari  lingkungan  Pengadilan  Tata  Usaha  Negara,  karena  melihat  dari wewenang yang sama-sama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Administrasi  Negara.  Melihat  secara  hirarki  Pengadilan  pajak  merupakan peradilan administrasi (yudicial control) yang salah satu tujuannya adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada rakyat yang merasa dirugikan sebagia  akibat  dari  keputusan  administrasi  negara  dalam  bentuk  ketetapan (beschikking) yang diterbitkan oleh pejabat atau badan Administrasi Negara. Pada dasarnya  keberadaan  Pengadilan  Pajak  diharapkan  mampu  memberikan  rasa keadilan kepada pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah masyarakat, tetapi dalam  perjalanannya  banyak  masalah-masalah  yang  timbul  baik  dari  segi kelembagaan, pembinaan, dan sistem regulasi yang mengatur Pengadilan Pajak itu sendiri.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keempat peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut. Apabila dilihat dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, di dalamnya tidak terdapat sebuah ketetapan mengenai letak dan kedudukan pengadilan pajak. Hal ini yang menimbulkan kesan bahwa pengadilan pajak merupakan sebuah lembaga peradilan baru selain keempat peradilan yang ditetapkan oleh Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945. Dalam Pasal 2 Undang-undang nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Ketentuan tersebut walaupun tidak konkrit disebutkan namun dapat dipahami kehendak pasal tersebut adalah menginginkan adanya badan peradilan pajak secara mandiri sebagaimana Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang sama-sama berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi keberadaannya, disamping karakteristik proses penyelesaian sengketa yang berbeda dengan badan peradilan lainnya.
Terbentuknya Pengadilan Pajak tidak terlepas dari upaya perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan salah satu yang sangat esensial dalam suatu negara hukum. Perlindungan dalam bidang perpajakan ini diberikan mengingat pemerintah selaku penguasa negara yang memiliki kewenangan atas hukum publik yang dengan hal itu dapat menentukan secara sepihak mengenai pemungutan pajak dan dalam proses pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah tersebut sangat mungkin dan bahkan sering terjadi kelalaian atau kesalahan dalam menetapkan hutang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak serta agar rakyat tidak diperlakukan semena-mena. Sehingga dalam menyelesaikan suatu sengketa pajak, kedudukan pemungut pajak (pemerintah) dan wajib pajak (rakyat) adalah sama.
Eksistensi Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal setiap badan pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman.

2. Indepensi Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam konteks tersebut, maka ketentuan Pasal 24 UUD 1945 ayat (2) mengenai adanya kekuasaan kehakiman menjadi relevan. Salah satu konsekwensi Pasal 24 ayat (2) adalah munculnya berbagai lembaga peradilan, diantaranya adalah Lembaga Peradilan Pajak. Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyat.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demikian menjadi instrumen penting bagi demokrasi. Seperti proposisi berikut ini: ..Independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding is the nation that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also almost involve independence in relation to the legislative power, as well as in relation to political, economic, or social pressure group…
Begitu tingginya tingkat urgensi kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai instrument utama the rule of law, maka jaminan proteksi terhadapnya perlu ditegaskan. Alexander Hamilton dalam the Federalist Papers No. 78 telah mengingatkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karena itu diperlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar.  Terutama di negara-negara yang digolongkan ke dalam emerging democratic countries atau yang acapkali disebut sebagai negara-negara transisi.
Kekuasaan kehakiman dan peradilan dalam pandangan Moh. Mahfud M.D adalah Kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Oleh karena itu, badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau kekuasaan pemerintah.
Begitu pula yang di kemukakan oleh Suseno, bahwa Salah satu syarat penting bagi tegak dan kokohnya negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama karena pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang
penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa.  Kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demikian menjadi instrumen penting bagi demokrasi.
Pada sisi lain Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman baru yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lama.
Dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Artinya, pengadilan pajak merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung karena menjalankan fungsi yudisial. Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:
“Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879).”
Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman 2009, sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.”
Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Kompetensi Relatif, Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.
Kompetensi Absolut, Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum. Kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.
Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut tolak ukur sebagai berikut:
a. Tolak Ukur Subyek
Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi:
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah  bahwa manakala sengketa itu terjadi antara rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata Usaha Negara.
b. Tolak Ukur Obyek
Yang menjadi obyek dalam sengketa pajak berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut Pasal 1 butir 4 UU Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diamandemen pertama dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004 dam amandemen kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, berbunyi sebagai berikut :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak merupakan Sengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi bagian dari Sistem Peradilan Tata Usaha Negara.  Sebagai sebuah lembaga peradilan, yang tujuannya adalah menegakkan keadilan berdasarkan rule of law, sehingga perlu adanya kemandirian dan ketidakberpihakan dalam memutus suatu perkara. Namun, Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak independen.
Pengadilan pajak sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman seharusnya kaidah-kaidahnya menyesuaikan dengan UU Kekuasaan Kehakiman. Hal ini termuat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka harus dipahami sebagai terbebas dari pengaruh kekuasaan lain yakni, eksekutif dan legislatif, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini sebagai perwujudan dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut oleh negara hukum.
Pengadilan Pajak “dua atap” berimplikasi pada kinerja Pengadilan Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya pendukungnya, serta pengejawantahan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi “satu atap” dan mutlak sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan teknis peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung. Konstruksi Pengadilan Pajak sebagai “satu atap” merujuk pada sebuah perancangan tersendiri Pengadilan Pajak di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan khusus.
Peran pengawasan yang tumpang tindih antara Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial, berpotensi menimbulkan penolakan pengawasan pada setiap instansi yang akan mengawasi atas dasar kewenangan instansi pengawasan.
Pebinaan teknis peradilan  dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembinaan organisasi , administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak oleh Kementerian Keuangan. Adapun Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.  Dengan beradanya pembinaan di satu sisi di Mahkamah Agung (sebagai lembaga yudikatif) dan di sisi lain di Kementerian Keuangan (sebagai lembaga eksekutif) akan mempengaruhi independen pengadilan pajak karena di wilayah tersebut menimbulkan kotradiksi yakni, Kementerian Keuangan yang menjalankan fungsi eksekutif dan ketika terjadi sengketa pajak menjalankan fungsi yudikatif. Padahal kedua lembaga tersebut seharusnya terpisah untuk menjalankan fungsi saling mengontrol atau mengawasi. Dalam keadaan yang demikian memunculkan kondisi untuk mengawasi institusi sendiri.
Bahwa terhadap seluruh pembinaan baik teknis maupun organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung. maka Pengadilan Pajak sebagai badan yang menjalankan kewenangan peradilan di bidang perpajakan harus disesuaikan dengan konstruksi yuridis yang mengharuskan Pengadilan Pajak berada di bawah Mahkamah Agung, baik dari segi pembinaan teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. Hal ini juga selaras dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya terkait dengan tingkat independensi hakim dalam memutus perkara, faktor utamanya bukan pada di mana badan peradilan pajak tersebut bernaung, tetapi didasarkan sejauh mana putusan hakim tersebut bisa diakses dan diperdebatkan oleh publik, sehingga dapat dipetakan sebagai “common sense” yang bisa dijadikan acuan atas sengketa pajak yang sama.
Keberadaan pengadilan pajak menjadi penting juga karena lembaga tersebut berada pada posisi di tengah antara wajib pajak dan pemungut pajak saat keduanya terlibat dalam sengketa pajak. Namun demikian, dengan kewenangan yang diberikan Undang-undang kepadanya, pengadilan pajak mempunyai otoritas untuk menjadi penyelesai masalah. Pengadilan pajak dapat berperan sebagai penengah yang bersifat independen, sehingga dengan demikian kedua belah pihak yang bersengketa dapat mempercayakan penyelesaian sengketa mereka kepadanya.
Pada sisi lain, Independensi peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi, dimana hal itu hanya dapat dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis keterkaitannya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik. Filsuf Jeremy Bentham memiliki pendapat yang lebih tajam tentang imparsialitas hakim, yaitu; ” where is the cause of in which any the slightest departure from the rule of impartiality is, in the eye of justice and reason, anything else than criminal on the part of the judge?.
Dengan demikian, harapan akan hadirnya keadilan di tengah sengketa dapat dipenuhi. Selain itu, adanya pengadilan pajak dapat mendukung upaya peningkatan pelayanan publik yang sederhana, cepat, dan murah. Pengadilan pajak yang termasuk dalam kelompok pengadilan khusus sengaja dibentuk agar masyarakat yang secara khusus berselisih atas pajak dengan pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahannya dengan cepat dan murah.

D. Kesimpulan
1. Pengadilan Pajak merupakan institusi di bawah dua atap, dimana pembinaan teknis peradilan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan. Sebagai sebuah institusi peradilan yang seharusnya independen dan tidak memihak, Pengadilan Pajak dua atap menyiratkan ketidakmandirian dan bertentangan dengan Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 
serta prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) atau Trias Politica. 

2. Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dimana Pengadilan Pajak merupakan bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya memiliki hukum acara tersendiri, dimana setiap badan pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, sedangkan indenpendensi jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka nampaknya Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri terpisah dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan serta rekrutmen para Hakim Pengadilan Pajak.


DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal Hukum:
Asmara, Galang, 2006, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: Laks Bang Pressindo.
Brotodihardjo, R. Santoso, 2010, Pengantar Ilmu hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama.
Juwana, Hikmahanto, 2002, Bunga  Rampai  Hukum  Ekonomi  dan  Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta.
Kumariah dan Ali Purwito, 2006. Pengadilan Pajak, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Nakazato, Minoru, Mark Ramseyer, dan Yasutaka Nishikori, (2004), “General Description Japan”, dalam Comparative Income Taxation, editor: Hught J. Ault dan Brian J. Arnold,  Kluwer Law International.
Nusantara, Abdul Hakim dan Nasroen Yasabari (ed.), (1980), Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, (Bandung : Penerbit Alumni.
Pratt, James W. dan William N. Kulsrud, (1998) Disarikan dari tulisan, Federal Taxation, Dame Publication.
Raad, Kees van, 2004, “General Description The Netherlands” dalam dalam Comparative Income Taxation: A Structural Analysis (Second Edition), editor: Hught J. Ault dan Brian J. Arnold, Kluwer Law International.
 Radjagukguk, Erman, 1995, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Universitas Indonesia, Jakarta.
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, (2005), Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Rumokoy, Donald A., (2001) Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya, dalam Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII Press.
Ryaas Rasyid, Muhammad, 2002, Makna Pemerintahan Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan.
Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni.
Soemitro, Rochmat, (1964), Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia, Bandung: Eresco.
Suandy, Erly, 2011, Hukum Pajak, Salemba Empat, Yogyakarta.
Sugiharti, Dewi Kania, 2005, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.
Suseno, Frans Magnis, 2003, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Thomas N. Frank, 1989, The New Development, Can American Law and Legal Institution Help DevelopingCountries?, Wisconsin Law Review.
Tunggul, Anshari Setia, (2005), Pengantar Hukum Pajak, Malan: Bayu Media.
U., Bahari, 2001, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yun, Sai Ree, 2003, Disarikan dari tulisan, “Tax Controversies”, dalam Asia Pacific Tax Bulletin, IBFD.

Bahan Lain:
Tjip Ismail, 2016, Bahan Ajar Kuliah Hukum Pajak, Program Magister Fakultas Hukum UI.
Ilyas, Wirawan B. & Richard Burton, (2004), Hukum Pajak, Jakarta, Alumni. Istiani, Nisa, 2013, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak,tulisan bisa dilihat dihttp://www.pemantauperadilan.com/opini/21.MENELAAH%20KEBERADAAN%20PENGADILAN%20PAJAK.pdf, di unduh 20 Desember 2016.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S