Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Senin, 07 Agustus 2017

PENALARAN HUKUM OLEH HAKIM

Saat seorang hakim menjalankan tugasnya, maka sesungguhnya ia tidak diperkenankan memihak kepada siapa pun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai 'mulut' undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga 'mulut' keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.[1]
Proses mengadili suatu perkara, seorang hakim sebagai aparat penegak hukum yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara termasuk dalam hal ini perkara pidana, akan selalu dihadapkan pada tugas untuk menilai buktibukti yang dihadapkan kepadanya kemudian mendapatkan keyakinan dari hati nuraninya. Setelah itu, ia memberikan pertimbangan dan putusan yang tepat bagi seorang terdakwa. Ketika memutuskan suatu perkara, hakim seringkali menghadapi masalah yang seringkali dibuktikan dengan hukum tertulis yang tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam kondisi ini, hakim harus menemukan undang-undang dan/atau membuat undang-undang yang melengkapi undang-undang yang  ada saat memutus  perkara. Hal ini juga didasarkan  pada prinsip bahwa seorang hakim tidak dapat memberhentikan suatu proses persidangan dengan perdebatan hukum yang tidak jelas.[2]
Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: [3]
“Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.”

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan Disidang pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
Undang-Undang no. 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat (1) juga menjelaskan "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kata "menggali" biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[4]
Kebebasan hakim merupakan kewenangan yang melekat pada diri pribadi hakim dan tugasnya dalam mengadili, kebebasan hakim yang melekat pada diri perseorangan hakim. Kebebasan hakim sangat berkaitan dengan kemampuan intelektualitas dan moralitas pribadi hakim, sehingga putusan pengadilan sebagai hasil karya para hakim, pada hakikatnya ditentukan pikiran dan mind set hakim. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pikiran atau mind set seorang hakim sangat berpengaruh dan tentunya memberi warna terhadap putusan yang telah dibuatnya, seorang hakim yang berpikiran legalistik formal dalam membuat putusan atas suatu perkara pidana, tentu warna putusan juga berdasarkan kaca mata legalistik yang menjadi pengetahuannya.[5]
Peraturan perundang-undangan mempunyai banyak masalah antara lain tidak fleksibel, tidak pemah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan bukan kekosongan hukum. Kelemahan-kelemahan dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian membutuhkan suatu konsep penemuan hukum oleh hakim meskipun dalam hal tertentu penemuan hukum ini dibatasi demi keadilan. Kekosongan hukum sangat mudah terjadi jika sumber hukum satu-satunya adalah undang-undang. Peran hakim pun dituntut bukan hanya sebagai terompet undang-undang.
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran namun khusus untuk peradilan pidana, analogi tidak diperkenankan. Kewenanganhakim untuk melakukan penemuan hukum juga merupakan konsekuensi dari asas peradilan di mana "pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya"
Penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan tiukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Sedangkan, penerapan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit tertentu (das Sein). Penemuan hukum dalam arti ini oleh van Eikema Hommes disebut sebagai pandangan peradilan yang typis logicistic, di mana aspek logis analitis dibuat absolut, atau yang oleh Wiarda disebut penemuan hukum heteronom. [6]
Achmad Ali membedakan penemuan hukum, yaitu penemuan hukum metode interpretasi dan penemuan hukum dengan metode konstruksi. Interpretasi adalah penafsiran yang dilakukan hakim masih berpegang pada teks undang-undang, sedangkan pada konstruksi seorang hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks" undang-undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Penemuan hukum dilakukan dalam suatu kondisi tertentu. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) pendapat, yaitu pendapat dari penganut doktrin seins-clair yang menyatakan penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan ketika: [7]
1.      Tidak ditemukan peraturan untuk suatu kasus yang konkrit, dan
2.      Peraturan yang ada belum/tidak jelas. Pendapat kedua menyatakan hakim selalu dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. Dalam menghadapi setiap kasus yang diajukannya, hakim selalu melakukan penemuan hukum dengan menerapkan hukum yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkret.

Ada putusan yang tidak dicapai penalaran yang runtut dan sistematis, serta ada penarikan kesimpulan yang melompat (jumping to conclusion). Sebagai contoh, ada unsur “setiap orang” yang telah mengubah konstruksi yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).  Yaitu, dalam putusan Mahkamah Agung No. 868 K/Pid.Sus/2008, yang menyatakan unsur “setiap orang” ini akan bermakna apabila dikaitkan dengan pembuktian unsur-unsur yang lain, sehingga Pasal 2 tersebut juga berlaku terhadap pegawai negeri, karena walaupun perkara tipikor berlaku asas spesialis, tetapi mengenai pengertian “setiap orang” tersebut tidak bersifat khusus. Jadi, jika seorang pegawai negeri didakwa dengan Pasal 2 dan Pasal 3 secara subsidaritas, maka jika terbukti, terdakwa dikenakan Pasal 2 undang-undang tersebut karena unsur “setiap orang” dalam tersebut berarti siapapun baik pegawai negeri/pejabat atau swasta. Hakim pengadilan tinggi dalam putusan kasus di atas menilai keliru pemahaman majelis hakim tingkat pertama yang berpendapat bahwa dakwaan primer (Pasal 2 ayat [1]) tidaklah dapat dibuktikan dan lebih memilih dakwaan subsider (Pasal 3). Oleh sebab itu, hakim tingkat banding menyatakan pertimbangan hakim tingkat pertama itu harus diperbaiki.
Dalam proses penalaran hukum, terbukti bahwa pemaknaan terhadap terma-terma hukum memegang peranan sangat penting. Sebab, dari pemaknaan inilah premis mayor dibangun. Premis mayor tersebut dipakai sebagai landasan inferensial (penarikan kesimpulan) dalam logika deduktif. Tentu saja, satu pemaknaan definitif harus ditetapkan pada akhirnya oleh majelis hakim. Pemaknaan definitif baru ditampilkan setelah hakim mendengarkan pemaknaan-pemaknaan yang mungkin berbeda  sebagaimana ditunjukkan oleh para pihak yang bersengketa. Apabila ada pemaknaan yang tidak terwakilkan, misalnya ada argumentasi penasihat hukum yang tidak ikut ditunjukkan di dalam pertimbangan hukum maka dengan mudah akan melahirkan anggapan bahwa hakim tidak cukup menalar putusannya dengan  runtut dan sistematis.



[1] Jimly Asshiddiqie. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Konstitusi Press, Jakarta. Hal. 11-12
[2] Lintong Oloan Siahaan. Reran 2006 Hakim dalam Pembaharuan Hukum di Indonesia, Hal-hal yang Harus diketahui (Proses Berpikir) Hakim agar Menghasilkan Putusan yang Berkualitas dalam Jumal Hukum dan Pembangunan Tahun 36 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok hal. 32-33
[3] Lilik Mulyadi. Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter pradilan. Mandar Maju. 2007. hal 127
[4] Lintong Oloan Siahaan. Op.cit
[5] Satjipto Rahardjo, Lapisan - Lapisan Dalam Sudut Hukum, Bayu Media Publishing, Malang, 2008. Hal. 69
[6] Sudikno Mertukusumo. 2004, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,Yogyakarta Hal. 37
[7] Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung Jakarta. Edisi kedua. Hal. 138

Sabtu, 05 Agustus 2017

Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment

1. Latar Belakang
Setiap negara di dunia memiliki karakteristik masing-masing yang berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan, salah satunya adalah terhadap pemenuhan kebutuhan domestik dari negara yang bersangkutan. Perbedaan karakteristik ini juga mendorong setiap negara untuk bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Untuk itu dibutuhkan globalisasi sebagai penghubung kepentingan antar negara tersebut.
The Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (Byrd amendment)  adalah hukum Amerika Serikat yang mengatur tentang distribusi bea masuk impor yang dikumpulkan dari pengenaan aturan antidumping (AD) atau countervailing duty (CVD) atas permohonan dari industri domestik Amerika Serikat dan/atau pihak lain yang berkepentingan dalam penyelidikan atas adanya dugaan pelaksanaan dumping dari eksportir negara lain. Di bawah Byrd Amendment, produsen Amerika Serikat yang mendukung permohonan distribusi bantuan impor, menerima bea masuk anti dumping dan countervailing duty yang dikumpulkan oleh United States Customs and Border Protection (CBP). Sebelum diberlakukan Byrd Amendment, biaya-biaya tersebut ini dibayarkan langsung kepada Departemen Keuangan Amerika Serikat.  Namun sejak berlakunya Byrd Amandment pada tanggal 1 Oktober 2007145, CBP telah mendistribusikan sekitar $1 miliar bea masuk anti dumping dan countervailing duty kepada para pemohon yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Namun, sebuah studi mengungkapkan bahwa lebih dari setengah dari uang ini pergi ke hanya 5 (lima) perusahaan Amerika Serikat.
Terkait dengan pelaksanaan retaliasi, Meksiko sebagai salah satu negara penggugat dalam kasus Byrd Amendment, adalah negara berkembang yang berhasil melaksanakan retaliasi terhadap Amerika Serikat sebagai negara maju. Hal tersebut dapat dilihat dari langkah yang ditempuh Meksiko dalam menyampaikan argumennya dalam keputusan arbiter.
Maka menarik untuk dibahas dalam makalah ini Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan diangkat oleh penulis yaitu:
1. Bagaimanakah Retaliasi dalam Perdagangan Internasional?
2. Bagaimanakah Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment?

2. Retaliasi dalam Perdagangan Internasional
Ketentuan penyelesaian sengketa perdagangan internasional, baik yang diatur dalam GATT maupun WTO tidak secara tegas menggunakan istilah retaliasi. Menurut H.S. Kartadjoemena , seorang mantan Duta Besar RI untuk GATT mengatakan bahwa istilah retaliasi adalah istilah yang lebih lunak daripada istilah penangguhan konsesi. Secara umum, retaliasi dapat diartikan sebagai tindakan suatu negara untuk menangguhkan konsesi/kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah dinikmati oleh negara lain tersebut, sebagai balasan akibat adanya tindakan kebijakan perdagangan dari negara lain tersebut yang merugikan kepentingan perdagangannya.  Dalam sistem perdagangan internasional, penggunaan retaliasi dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Retaliasi yang digunakan oleh negara anggota secara sepihak (unilateral) terhadap negara anggota lain; dan
b. Retaliasi yang dilakukan berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa

Baik retaliasi yang dilakukan secara sepihak maupun retaliasi yang dilakukan berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa, tujuan utama dari retaliasi adalah untuk mengamankan perdagangan negara anggota yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh penerapan retaliasi pada sengketa perdagangan internasional, misalnya dalam kasus Banana  yang dimulai pada tahun 1995 mengenai kecaman terhadap kebijakan European Community (EC) yang sangat rumit dalam perdagangan pisang dimana EC memberikan kekhususan dalam impor pisang dari negara bekas koloni negara yang tergabung dalam EC serta memberikan perlakuan khusus kepada importir pisang dari negara-negara bekas koloni tersebut.
Selain pembagian pelaksanaan retaliasi berdasarkan penggunaannya, berdasarkan Pasal 22 ayat (3) DSU, bentuk pelaksanaan retaliasi juga dapat dibagi 3 (tiga), yaitu:
a. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk yang sama;
b. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk berbeda namun tetap sektor dan bidang yang sama; dan
c. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor dan bidang yang berbeda dengan bidang dimana negara yang bersangkutan dirugikan (cross retaliation)
Cross retaliation ini dibagi kembali menjadi 2 (dua), yaitu:
- Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor yang berbeda namun tetap di bawah perjanjian yang sama
- Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor berbeda dan di bawah perjanjian yang berbeda
Dari praktik penyelesaian sengketa yang biasa dilakukan dalam GATT terlihat bahwa proses retaliasi sudah diakui dan diakomodasi sejak ketentuan perdagangan internasional diatur dalam GATT. GATT tidak menyebutkan secara langsung mengenai retaliasi namun ketentuan retaliasi dapat disimpulkan dari rumusan Pasal XXIII ayat (2) GATT yang berbunyi:
“…If the CONTRACTING PARTIES consider that the circumstances are serious enough to justify such action, they may authorize a contracting party or parties to suspend the application to any other contracting party or parties of such concessions or other obligations under this Agreement as they determine to be appropriate in the circumstances…”
Ketentuan lebih lanjut mengenai retaliasi dalam GATT diatur kembali dalam Decision Of 5 April 1966 On Procedures Under Article XXIII Paragraph 9 yang berbunyi:
“If… contracting party to which a recommendation has been directed has not complied in full with the relevant recommendation of the Contracting Parties or the Council, and that any benefit accruing directly or indirectly … to be nullified or impaired, and that the circumstances are serious enough to justify such action, the Contracting Parties may authorize the affected contracting party or parties to suspend, in regard to the contracting party causing the damage, application of any concession or any other obligation under the General Agreement whose suspension is considered warranted, taking account of the circumstances.”

Pasal XXIII ayat (2) GATT serta Decision Of 5 April 1966 On Procedures Under Article XXIII Paragraph 9 memberikan kemungkinan dilakukannya retaliasi apabila:
a. Tindakan retaliasi dapat dilakukan setelah adanya otorisasi dari CONTRACTING PARTIES.
b. Tidak dilaksanakannya putusan atau rekomendasi Council oleh negara Tergugat yang dinyatakan bersalah (Defendant Party).
c. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian yang cukup serius bagi negara Penggugat (Complainant Party).
Terkait dengan retaliasi, penyempurnaan ketentuan GATT melalui WTO berdampak juga pada ketentuan realiasi. Terdapat 2 (dua) alasan utama yang menyebabkan negara-negara anggota beranggapan bahwa ketentuan retaliasi perlu dilakukan penyempurnaan, yaitu:
a. Tindakan retaliasi dalam GATT tidak dapat melindungi negara penggugat dalam hal negara penggugat adalah negara berkembang dan terbelakang serta; dan
b. Tindakan retaliasi tidak dapat dilaksanakan secara langsung (selfexecuting) dalam arti sebuah ‘legal victory’ tidak secara otomatis diperoleh berdasarkan putusan Council. Ada hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung ‘legal victory’ tersebut seperti misalnya kekuatan ekonomi dan politik. Terkait dengan hal tersebut, sangat jelas bahwa retaliasi dapat berjalan apabila dilaksanakan oleh negara maju.

Kemudian dalam Pasal 22 ayat (2) DSU sendiri tidak secara jelas mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi agar dapat meminta otorisasi dalam hal akan melakukan retaliasi. Mengenai syarat minimal pengajuan otorisasi retaliasi dapat dilihat dalam putusan arbiter dalam kasus Hormones antara Amerika Serikat dan EC yaitu:
1. Permintaan otorisasi retaliasi harus menetapkan tingkat tertentu dari pelaksanaan retaliasi,
2. Permintaan otorisasi retaliasi harus menentukan di sektor mana retaliasi akan dilaksanakan.
Dua tujuan retaliasi menurut Bown dan Pauwelyn, dapat disimpulkan dalam tabel sebagai berikut:
Compensation (Focus on Victim) Sanction (Focus on Violator)
Rebalance damages Inducing compliance

Sebagai salah satu tindakan formal, beban pembuktian dalam Pasal 22 ayat (6) untuk proses arbitrase sama halnya dari beban pembuktian dalam proses Panel dalam WTO. Baik negara anggota yang dianggap bertindak sesuai dengan kewajibannya dalam WTO maupun yang dianggap sebaliknya, memiliki beban pembuktian yang sama. Terkait dengan permintaan otorisasi pelaksanaan retaliasi, arbiter biasanya akan meminta Retaliating Country untuk memberikan perhitungan metodologis mengenai apa saja yang akan dikenakan tindakan retaliasi. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat bahaya yang akan ditimbulkan apabila retaliasi dilaksanakan hanya sebagai ‘pemuas’ bagi Retaliating Country dan digunakan sebagai alat penekan bagi Non Compliance Country.
Mengenai berakhirnya retaliasi diatur dalam Pasal 22 ayat (8) DSU yang berbunyi:
“The suspension of concessions or other obligations shall be temporary and shall only be applied until such time as the measure found to be inconsistent with a covered agreement has been removed, or the Member that must implement recommendations or rulings provides a solution to the nullification or impairment of benefits, or a mutually satisfactory solution is reached.”
Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa retaliasi dapat berakhir karena 3 (tiga) hal, yaitu :
1. Pihak yang dituntut bertindak sesuai dengan putusan atau rekomendasi DSB.
2. Pihak yang dituntut untuk melaksanakan putusan atau rekomendasi DSB telah memberikan solusi terhadap hilangnya kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
3. Adanya penyelesaian masalah yang disepakati bersama dan saling menguntungkan.
Terhadap penentuan berakhirnya tindakan retaliasi, AB menyatakan bahwa 3 (tiga) kondisi dalam Pasal 22 ayat (8) bersifat alternatif  agar penerapan dari retaliasi ini sendiri tidak disalahgunakan oleh pihak penggugat untuk mengambil tindakan-tindakan lain yang tidak sah untuk menekan pihak yang kalah agar melaksanakan putusan atau rekomendasi DSB. Berdasarkan pendapat AB tersebut, dapat diartikan bahwa setelah pelanggaran telah berhenti, maka retaliasi harus berhenti pada saat yang sama (Pasal 22 ayat (8) DSU). Jadi ketika pelanggaran berakhir, hak (right) untuk melakukan retaliasi dan pemberian hak (entitlement) untuk melakukan retaliasi juga harus berakhir. Hal ini merupakan indikasi bahwa hak untuk membalas dan hak untuk membalas bersifat contemporaneous. Hal ini bertujuan untuk mencegah kemungkinan tidak terkendalinya tindakan retaliasi yang dilakukan oleh negara anggota.
3. Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment
Terhadap ketentuan The Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (Byrd amendment), pada tahun 2001, 11 (sebelas) negara anggota WTO (Australia, Brazil, Kanada, Chile, EC, India, Indonesia, Jepang, Korea, Meksiko dan Thailand) melaporkan hal tersebut kepada WTO karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dalam WTO. Panel yang diselenggarakan pada bulan September 2002 dan proses Banding yang dilakukan pada bulan Januari 2003 menegaskan bahwa Byrd Amendment adalah respon terhadap dumping yang tidak sesuai dengan Agreement On Implementation Of article VI Of The General Agreement On Tariffs And Trade atau Anti Dumping Agreement (ADA)  secara efektif memberi hukuman ganda kepada produsen negara lain yang mengekspor barangnya ke dalam Amerika Serikat, yaitu pertama dengan memberlakukan bea anti dumping pada impor Amerika Serikat dan kedua dengan kewajiban membayar sejumlah biaya kepada pesaing mereka di AS. Dengan demikian, Byrd Amandement memberikan keuntungan besar bagi industri domestik Amerika Serikat melebihi tujuan pengaturan anti dumping yang sebenarnya.  Terkait dengan pelaksanaan retaliasi, Meksiko sebagai salah satu negara penggugat dalam kasus Byrd Amendment, adalah negara berkembang yang berhasil melaksanakan retaliasi terhadap Amerika Serikat sebagai negara maju. Hal tersebut dapat dilihat dari langkah yang ditempuh Meksiko dalam menyampaikan argumennya dalam keputusan arbiter. Mengenai permohonan otorisasi retaliasi, Meksiko mengungkapkan 3 (tiga) hal yaitu:
1. Retaliasi sebagai sebagai kewajiban terhadap jumlah perdagangan tidak dapat ditentukan (undetermined quantity of trade) dan bukan sebagai retaliasi terhadap nilai perdagangan yang dapat ditentukan (determined value of trade)
Amerika Serikat sangat menentang sikap Meksiko dan para penggugat lainnya untuk meminta otorisasi pelaksanaan retaliasi karena Meksiko dan para penggugat tidak menetapkan batas terhadap jumlah perdagangan yang tercakup dalam permohonan otorisasi mereka. Hal ini berdampak besar pada ekspor yang dilakukan Amerika Serikat. Lebih jauh, Amerika Serikat berargumen bahwa dampak tersebut akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan Byrd Amendment terhadap ekspor dari negara anggota lain. Terhadap argumen ini, Meksiko membantah dengan menyatakan bahwa Amerika Serikat sedang mencoba memperkenalkan konsep “uji efek perdagangan (trade effect test)” yang sebenarnya tidak disyaratkan dalam Pasal 22 DSU sehingga Meksiko berpendapat bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Selain itu dalam praktik, uji efek perdagangan tersebut sulit dilakukan karena tidak mungkin dapat memprediksi efek perdagangan dari kenaikan tarif.
2. Retaliasi sebagai upaya untuk mengganti jumlah pencairan dana yang dilakukan berdasarkan Byrd Amendment
Amerika Serikat berargumen bahwa permohonan otorisasi dari Meksiko dan para penggugat lainnya tidak berdasarkan pada Pasal 22 DSU. Amerika Serikat juga berargumen bahwa Meksiko dan para penggugat tidak mungkin bisa dirugikan apabila tidak ada permintaan atau kewajiban untuk melaksanakan ketentuan Byrd Amendment. Selain itu, Meksiko dan para penggugat juga dapat meminta 1/7 (satu per tujuh) bagian dari pencairan dana yang dibayarkan oleh Meksiko dan para penggugat kepada Amerika Serikat. Terhadap argumen ini, Meksiko membantah dengan menyatakan bahwa pencairan dana tersebut tidak sesuai dengan ketentuan WTO karena jumlah kerugian dihitung berdasarkan konsep objektif dari kerugian yang disebabkan oleh ketentuan Byrd Amandment. Dengan demikian, karena semua pembayaran seimbang dengan jumlah kerugian, maka retaliasi harus diotorisasi dalam jumlah yang sama.
3. Penetapan Variabel Tingkat Retaliasi
Amerika Serikat berargumen bahwa arbiter harus menetapkan tingkat retaliasi tunggal (single level of suspension) untuk setiap negara penggugat dan terhadap tingkat ini tidak boleh diubah di masa depan serta harus ditentukan saat pelaksanaan arbitrase. Amerika Serikat juga berargumen bahwa jika tingkat tersebut dapat diubah berdasarkan ketentuan DSU, pengubahan tersebut tidak tepat dalam kasus ini. Terhadap argument tersebut Meksiko membantah dengan menyatakan bahwa tujuan Pasal 22 ayat (4) DSU adalah untuk menjamin kesetaraan tingkat retaliasi dengan tingkat kerugian. Meksiko berpendapat akan sangat spekulatif apabila memperkirakan tingkat yang pasti terhadap kerugian dan retaliasi tersebut mengingat pelaksanaan Byrd Amendment di tahun pertama juga sangat bervariasi. Jika dalam kasus terdapat peraturan yang dianggap tidak sesuai dengan WTO dan tingkat retaliasi ditentukan pada satu titik waktu maka negara yang melanggar dapat melakukan tindakan yang lebih merugikan lagi. Argumen Amerika Serikat justru menggagalkan tujuan dari retaliasi tersebut.

DSB WTO memutuskan untuk memberikan otorisasi kepada Meksiko untuk melakukan retaliasi terhadap Amerika Serikat. Setelah ada pemberitahuan bahwa Meksiko akan melakukan retaliasi, Consuming Industries Trade Action Coalition (CITAC) kembali meminta Amerika Serikat untuk mencabut ketentuan Byrd Amendment namun hal tersebut tetap tidak dilakukan. Oleh karena itu, Meksiko menetapkan akan mengenakan tarif retaliasi sebesar $20.9 juta terhadap 3 (tiga) produk Amerika Serikat dengan rinician sebagai berikut :
a. Penambahan bea masuk sebesar 30% terhadap produk susu dan olahannya (dairy products) termasuk di dalamnya susu formula bayi;
b. Penambahan bea masuk sebesar 20% terhadap produk anggur (wine products); dan
c. Penambahan bea masuk sebesar 9% terhadap produk permen dan permen karet (candy and chewing gum)

Terhadap tindakan ini, Dairy Export Council Amerika Serikat menyatakan bahwa penerapan bea masuk tambahan oleh Meksiko, khususnya untuk produk susu dan olahannya, akan merugikan eksportir Amerika Serikat sebesar $ 160.4 juta. Dalam kasus ini, Meksiko adalah negara keempat dari 11 (sebelas) negara penggugat yang mengajukan retaliasi terhadap Amerika Serikat terkait Byrd Amendment. Total dari tarif retaliasi dari negara-negara tersebut adalah sekitar $ 114 juta.
Berdasarkan argumen-argumen yang disampaikan oleh para pihak, arbiter berkesimpulan bahwa tingkat kerugian yang diderita oleh Meksiko pada tahun tertentu dapat dianggap sama dengan total pencairan dana dilakukan berdasarkan Byrd Amendment untuk tahun sebelumnya yang berkaitan dengan bea masuk antidumping atau countervailing duty dibayar oleh Meksiko. Dengan demikian, arbiter memutuskan bahwa Meksiko dapat melaksanakan retaliasi terhadap produk yang berasal dari Amerika Serikat meliputi nilai total perdagangan yang tidak melebihi jumlah pencairan dana yang dilaksanakan berdasarkan Byrd Amendment.

4. Kesimpulan
- Ketentuan pelaksanaan retaliasi yang diatur dalam GATT maupun DSU, pada dasarnya sama, namun yang membedakan retaliasi dalam GATT dan DSU adalah syarat kondisi yang harus dipenuhi agar Complainant Party dapat meminta otorisasi untuk melaksanakan retaliasi. Ketentuan retaliasi dalam GATT mensyaratkan bahwa Complainant Party dapat meminta otorisasi pelaksanaan retaliasi dalam hal Defendant Party yang tidak melaksanakan putusan Council serta tindakan tersebut menimbulkan kerugian bagi Complainant Party, sementara dalam DSU tidak mensyaratkan secara jelas mengenai adanya kerugian, meskipun dalam praktiknya ketidakpatuhan terhadap ketentuan WTO oleh suatu negara anggota akan menimbulkan kerugian bagi negara anggota lain.
- Pada kasus Byrd Amendment Melawan Amerika Serikat menunjukan bahwa pertimbangan yang didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan retaliasi, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penggunaan retaliasi tersebut, terlepas dari pelaksana retaliasi tesebut adalah negara berkembang maupun negara maju. Kasus ini juga dapat dijadikan contoh bagi negara anggota lain, khususnya negara berkembang dan terbelakang, agar dapat memanfaatkan secara maksimal fasilitas yang disediakan DSU dalam rangka penyelesaian sengketa perdagangan internasional sehingga dapat kepentingan nasional dapat dipertahankan dan fungsi DSU sebagai sarana meningkatkan kepatuhan dapat dijalankan dengan maksimal.

5. Daftar Pustaka
1. Buku
Kartadjoemena, H.S., GATT, WTO, dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: UI-Press, 1998
Hudec, R.E., et al., A Statistical Profile of GATT Dispute Settlement Cases: 1948-89, London: Routledge, 1993.
Bown, Chad P. dan Joost Pauwelyn, ed., The Law, Economics, and Politics of Retaliation in WTO Dispute Settlement, New York: Cambridge Press University, 2010

2. Jurnal/Artikel online
Jeanne J. Grimmett dan Vivian C. Jones, “CRS Report for Congress: The Continued Dumping and Subsidy Offset Act (“Byrd Amendment”)”, http://fpc.state.gov/documents/organization/57503.pdf, diunduh tanggal 23 Mei 2017
Gardner Carton dan Douglas, “Congress Repeals the Byrd Amendment”, http://www.drinkerbiddle.com/Templates/media/files/publications/2006/congress-repeals-thebyrd amendment.pdf, diunduh tanggal 22 Mei 2017
Freddy Josep Pelawi, “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO,” http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/images/Bulletin/Bulletin%2046.pdf, diunduh tanggal 20 Mei 2017.
Farzan Sabet, Kai Kan, dan Thibault Fresquet (Graduate Institute of International and Development Studies), “Retaliation under the WTO system: When does Nullification or Impairment Begin?”,http://graduateinstitute.ch/files/live/sites/iheid/files/sites/ctei/shared/CTEI /Law%20Clinic/Memoranda%202011/Memo-Retaliation_under_the_WTO.pdf, diunduh tanggal 21 Mei 2017.
Report of The Appelate Body dalam kasus Hormone Dispute antara Amerika Serikat dengan European Community dalam tingkat Banding (Continued Suspension Of Obligations)
Drinker Biddle dan Gardner Carton, “Retaliation Against Byrd Amendment Continues”, http://www.drinkerbiddle.com/Templates/media/files/publications/2007/retaliation-against-byrdamendment-continues.pdf, diunduh tanggal 22 Mei 2017.
“Mexico to Impose $21 Million in Retaliatory Tariffs Against US Exports; CITAC Says Byrd Amendment Must Be Repealed”, http://www.citac.info/press/release/2005 /08_18.php, diakses tanggal 24 Mei 2017

3. Tesis
YE Siyu, “The Legal Analysis of The Cross-Retaliation Under the WTO Framework,” Thesis LLM Gent University, 2012

4. Putusan
WT/DS165/R
WT/DS26/ARB
WT/DS234/ARB/MEX



Kamis, 03 Agustus 2017

KONSEP PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM KEUANGAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Seiring dengan tuntutan reformasi di segala bidang termasuk dalam hal pengelolaan keuangan negara, maka penyelenggaraan keuangan negara perlu dikelola secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sejalan dengan hal tersebut telah disahkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan paket peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara, yang menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dan perkembangan pada sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Perubahan dan perkembangan dalam sistem pengelolaan keuangan negara tersebut diharapkan menjadikan pengelolaan keuangan negara menjadi efektif, efisien, diharapkan lebih memberi kemanfaatan bagi rakyat di segala bidang, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengelolaan keuangan negara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat mengakibatkan terjadinya kerugian negara. Untuk mengatasi terjadinya hal tersebut, dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan demikian, kerugian negara/daerah yang telah terjadi dapat dipulihkan kembali.
Dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004, BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Ketentuan ini diperluas sehingga kewenangan BPK untuk memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah tidak hanya terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah, akan tetapi mencakup juga memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bendahara dan pengelola badan usaha milik negara (BUMN). Ketentuan ini diperlukan agar ada pihak ekstern yang melakukan pemantauan atas semua kerugian negara yang terjadi dan tingkat penyelesaiannya, sehingga penyelesaian kerugian negara dapat lebih efektif.
Maka oleh karena itu, penulis memilih untuk membahas mengenai “Konsep Ganti Kerugian Ditinjau Dari Hukum Keuangan Negara”

B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan, maka dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Apakah Pengertian Ganti Rugi?
b.      Bagaimana konsep ganti kerugian dalam hukum keuangan negara?

C.     Kerangka Pemikiran
Teori Hukum dalam penulisan ini dipahami sebagai sebuah sistem, sehingga perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian dari sistem hukum, yaitu sebagai berikut:
“Legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules. In this sense there are one federal and fifty state legal system in the United States, separate legal system in each of the other nations, and still other distinct legal system in such organization as the European Economic Community and the United Nations.”[1]

BAB II LANDASAN TEORI
Menurut Friedman sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi tiga hal, yaitu :[2]
a.       Structure, yang dimaksud dalam komponen ini adalah adanya institusi atau lembaga peradilan yang dibuat dalam rangka penegakan hukum, komponen ini telah tercermin dengan adanya lembaga-lembaga seperti : pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian;
b.      Substance, yang dimaksud dalam komponen ini adalah peraturan atau perundang-undangan;
c.       Legal Culture, yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi tindakannya dalam menjalankan peraturan dalam masyarakat.

Hukum sebagai sistem diartikan sebagai satu kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Dengan demikian, sistem hukum termasuk sistem konseptual, dilihat dari sifatnya termasuk terbuka.[3] Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum itu mendapat pengaruh secara timbal balik dari sistem di luar hukum, dan sebaliknya sistem hukum juga mempengaruhi sistem di luar sistem hukum, sehingga sifatnya dinamis, berkembang, sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sistem hukum itu bersifat lengkap, melengkapi ketidaklengkapan atau menjelaskan ketidakjelasan peraturan perundangundangan. Jadi peraturan perundang-undangan itulah yang tidak lengkap, tetapi sistemnya lengkap dan mengenal konsep fundamental.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur adanya sistem hukum yang dikemukakan oleh Fuller. Ukuran tersebut diletakkan pada delapan asas yang dinamakan principle of legallity, dan adanya asas ini merupakan ciri sistem hukum, yaitu:
a.       Harus mengandung peraturan;
b.      Peraturan yang telah dibuat harus diumumkan;
c.       Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, sebab peraturan yang demikian tidak dapat digunakan sebagai pedoman tingkah laku;
d.      Peraturan itu harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;
e.       Tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain;
f.       Peraturan itu tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi yang dapat dilakukan;
g.      Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi; dan
h.      Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Menurut Fuller, kedelapan asas ini sebenarnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya sistem hukum, yaitu memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum sebagai sistem hukum yang mengandung moralitas tertentu. Alasannya adalah kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang tidak baik, melainkan juga sesuatu yang tidak dapat disebut sebagai sistem hukum sama sekali.
Kelsen[4] mengatakan bahwa ada dua hal yang secara universal benar dari hukum, yakni ia memaksa dan ia merupakan sistem dari norma-norma. Untuk norma hukum yang dianggap valid, ia harus merupakan anggota/bagian dari suatu sistem. Untuk melihat validitas dari suatu norma adalah dari norma yang lain. Misalnya, suatu peraturan valid apabila ia memang valid menurut undang-undang, begitu seterusnya sehingga konstitusi menetapkannya sebagai suatu norma yang tertulis didalamnya, sebagai hasil pembentukan oleh pembentuk undang-undang. Namun demikian, kita harus melihat kebelakang untuk melihat kembali sejarah awal dari pembentukan/kreasi norma tersebut, dan tanpa itu rantai validitas tidak dapat ditelusuri kembali. Dalam keadaan yang demikian, menurut Kelsen[5], melakukan pra-anggapan mengenai suatu norma dasar (a basic norm) yang memberikan kekuasaan kepada hal itu pada waktu pertama kalinya konstitusi tersebut diundangkan di dalam sejarahnya.

BAB III FAKTA-FAKTA YANG DIDAPAT
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 136517 menyatakan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Kemudian undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan dan diundangkan tanggal 21 Nopember 2001; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150., yaitu pada:
a.       Pasal 4 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Penjelasan Pasal 4 menjelaskan bahwa dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tsb. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

b.      Pasal 32
(1)   Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2)   Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

Penjelasan ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Kemudian dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu pada:
1.       Pasal 1 angka 16 bahwa ganti kerugian adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang harus dikembalikan kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah melakukan perbuatan melawan hukum baik secara sengaja maupun lalai.
2.       Pasal 10
(1)    BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
(2)    Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
(3)    Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau :
1)      Penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
2)      Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
2)       Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4)    Hasil pemantauan sebagaimana dimasud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.

BAB IV GANTI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM KEUANGAN NEGARA
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut.[6] Dalam Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Ganti kerugian diartikan sebagai hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Ganti kerugian diisyaratkan sebagai akibat dari adanya suatu perbuatan melawan hukum baik karena kesalahan maupun karena kelalaian yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Ganti kerugian diharapkan dapat mengembalikan ke keadaan semula dimana sebelum kerugian tersebut terjadi atau bagaimana seharusnya apabila kerugian tersebut tidak terjadi. Dan ganti kerugian dapat dianggap sebagai suatu sanksi dalam hukum.
Berdasarkan analisa ekonomi terhadap hukum, ganti kerugian yang sempurna (perfect compensation) dicapai ketika para korban memperoleh sejumlah uang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan merasa adanya perbedaan antara situasi menderita kerugian tetapi memperoleh ganti kerugian dengan situasi sebelum menderita kerugian.3[7]Dalam istilah ekonomi, kerugian bisa berupa opportunity cost atau imputed cost, misalnya bunga yang tidak benar-benar dikeluarkan tetapi harus diperhitungkan. Padahal si penerima “keuntungan” betul-betul menerima aliran dana, yang bisa ditentukan lewat penggeledahan di kantor atau di rumah pejabat, ada dalam laporan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), ada temuan atas uang oleh penyidik. Kita seolah-olah memaksakan diri untuk membandingkan durian dan dukuh. Kita menghitung kerugian secara non-cash basis, sedangkan kita menelusuri aliran dana, dengan cash basis.[8]
Pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang digunakan adalah:
1.       Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasca-Perubahan), yaitu: Undang-Undang Dasar 1945 (Pasca-Perubahan) mengatur tentang hal keuangan pada Bab VIII Pasal 23 s.d. Pasal 23D. Khusus mengenai keuangan negara diatur pada Pasal 23 dan Pasal 23C, yaitu:
Pasal 23
(1)    Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2)    Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
(3)    Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
2.       Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Ketentuan Umum Penjelasannya menjelaskan bahwa keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena
a.       Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b.      Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat
3.       Pengertian dan ruang lingkup yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pendekatan yang dipergunakan untuk merumuskan definisi stipulatif keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan :[9]
a.       Dari sisi obyek Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
b.      Dari sisi subyek Keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/perusahaan daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
c.       Dari sisi proses Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
d.      Dari segi tujuan Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan bidang pengelolaan keuangan negara yang sangat luas dikelompokkan menjadi beberapa sub bidang, yaitu sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.[10]
Pasal 2 menyatakan tentang ruang lingkup keuangan negara, yaitu : keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a.       Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b.      Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.       Penerimaan negara;
d.      Pengeluaran negara;
e.      Penerimaan daerah;
f.        Pengeluaran daerah;
g.       Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h.      Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.         Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Dalam hukum keuangan negara, kewajiban melakukan ganti rugi diperuntukkan bagi pihak-pihak yang merugikan negara, baik pada tingkat pemerintah pusat yang berkaitan dengan pengelolaan APBN maupun pemerintah daerah yang berkaitan dengan pengelolaan APBD. Hal ini diatur pada Pasal 35 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :[11]
1.       Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
2.       Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
3.       Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
4.       Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara.
Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara.

BAB IV PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM KEUANGAN NEGARA
Dasar hukum penyelesaian ganti kerugian, dalam hal ini tidak terlepas dari ruang lingkup keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Penyelesaian ganti kerugian ini diatur mengenai penyelesaian ganti kerugian terhadap bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pada pengelola BUMN. Pada BUMN selalu dikaitkan bersama-bersama dengan BUMD.
Penyelesaian kerugian negara/daerah merupakan suatu rangkaian proses pemulihan keuangan negara/daerah, setelah terjadinya kerugian negara/daerah. Proses ini dapat dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam hukum administrasi negara berdasarkan undang-undang di bidang keuangan negara dan mekanisme yang diatur dalam hukum pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan ketentuan Pasal 62 dan 63 Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mekanisme melalui hukum administrasi negara ini dibagi dua, yaitu mekanisme yang dilakukan oleh BPK untuk kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, dan oleh pemerintah untuk kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh pegawai negeri bukan bendahara.
Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 menegaskan : “pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK”, hal ini kemudian ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 15 Tahun 2006 yang memberikan kewenangan pada BPK untuk “menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Selanjutnya Pasal 67 ayat (2) menegaskan bahwa “ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri”. Dalam hal kerugian negara/daerah tersebut terdapat unsur tindak pidana korupsi (TPK) yang memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, maka proses penuntutan dilakukan melalui proses peradilan.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara/daerah tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang menyatakan “putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi”.
Jelaslah pelaku atau penanggung jawab yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara/daerah atau perkonomian negara harus dituntut untuk mengembalikan/memulihkan kerugian negara/daerah, baik melalui proses penyelesaian kerugian negara/daerah yang dilaksanakan oleh internal instansi yang anggarannya dirugikan maupun oleh instansi yang khusus memiliki wewenang melakukan penuntutan terhadap penanggung jawab berdasarkan ketentuan yang diatur dalam hukum administrasi negara maupun penuntutan oleh institusi yang memiliki wewenang untuk memproses secara pidana berdasarkan ketentuan yang diatur dalam hukum pidana. Apabila terjadi kerugian negara/daerah maka setiap pejabat negara, pegawai negeri bukan bendahara, pengelola perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara dan bendahara yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang baik langsung atau tidak langsung sehingga merugikan keuangan negara/daerah harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 dan Pasal 59 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Pasal 1 angka 15 Tahun 2006 tentang BPK, ada 5 (lima) unsur kerugian negara/daerah, yaitu:
a.       Adanya pelaku/penanggung jawab;
b.      Adanya kekurangan uang, surat berharga, dan barang;
c.       Adanya kerugian yang jumlahnya nyata dan pasti;
d.      Adanya tindakan melanggar hukum atau kelalaian;
e.       Adanya kausalitas antara tindakan melawan hukum dengan kerugian yang terjadi.

Apabila diyakini terdapat unsur kesalahan/kelalaian/perbuatan melawan hukum, pelaku/penanggung jawab yang dapat dimintakan pertanggungjawaban penggantian kerugian negara/daerah dan nilai kerugian negara/daerah yang pasti telah diketahui jumlahnya, maka dapat dilakukan cara penyelesaian sebagai berikut :
a.       Diselesaikan secara damai diluar proses penyelesaian kerugian negara/daerah atau melalui pengadilan;
b.      Diselesaikan melalui proses penuntutan diluar pengadilan yaitu proses tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi;
c.       Diselesaikan melalui proses peradilan perdata; atau
d.      Penagihan oleh instansi yang berwenang dhi. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

BABVI PENUTUP
1.      Kesimpulan
Konsep ganti kerugian dalam hukum keuangan negara sama dengan ganti kerugian dalam bidang lainnya, yaitu berkaitan dengan hak dan kewajiban serta adanya pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan. Dalam prakteknya, ganti kerugian dalam hukum keuangan negara selalu dikaitkan erat dengan ganti kerugian terhadap kerugian keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 35 Undang-undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu berdasarkan atas perbuatan melawan hukum atau kelalaian pengelola keuangan negara yang menyebabkan berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata keberadaannya dan pasti jumlahnya. Sedangkan hingga saat ini, diantara banyak kalangan, belum terdapat kesepakatan mengenai pengertian keuangan negara. Perluasan pengertian keuangan negara sebagaimana yang disebutkan pada Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah membuat penyertaan modal negara pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan Undang-undang Keuangan Negara tersebut, Undangundang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undangundang tentang Badan Usaha Milik Negara semakin membuat permasalahan BUMN menjadi tidak jelas. Hal ini tentunya berdampak pada kebijakan BUMN dalam melaksanakan usahanya.
Penyelesaian ganti kerugian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang keuangan negara secara teknis adalah berdasarkan Peraturan BPK RI, namun hingga kini Peraturan BPK tersebut belum tersedia. Sehingga penyelesaian ganti kerugian pada pengelola BUMN masih dianggap sama dengan penyelesaian ganti kerugian terhadap bendahara dan dapat dikenakan pidana. Ternyata dalam prakteknya, penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola BUMN tidak hanya melalui peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara namun juga berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi perseroan terbatas.

2.      Saran
a.       Sebaiknya ganti kerugian dalam hukum keuangan negara dilaksanakan sebagaimana mestinya, yaitu benar-benar berdasarkan konsep yang terdapat dalam lingkup hukum keuangan negara, tidak melebar hingga ke wilayah hukum perdata atau privat.
b.      Sebaiknya Pemerintah segera membuat ketentuan mengenai keuangan negara sebagaimana seharusnya, dan segera merubah peraturan perundang-undangan pelaksananya, agar terciptanya kesatuan pandangan dan pemahaman mengenai keuangan negara dan keuangan BUMN. Sehingga perselisihan pendapat dapat segera diakhiri.
c.       Pemerintah juga harus segera membuat aturan yang pasti dan tidak mempunyai makna ambigu terutama peraturan yang diterapkan pada penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola BUMN karena dengan sistem pertanggungjawaban yang multi dimensi ini menjadi sangat tidak adil bagi pengelola BUMN itu sendiri, sehingga sangat mempengaruhi kinerja mereka dalam menjalankan operasional BUMN.

7. DAFTAR PUSTAKA
Merryman, J. H., The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal Sytems of Western Europe and Latin America, 2 Ed., Stanford California : Stanford University Press, 1985.
Friedman, Lawrence M, American Law, New York-London : W. W. Norton & Company, 1984.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Liberty, 1986
Soedarso, Bambang Prabowo, Kelsen’s Pure Theory of Law, Bagan Kuliah Hukum Lingkungan, Jakarta : Yayasan Indonesia Lestari
Syafruddin, Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan di Masa Depan dalam Penanggulangan Kejahatan Tertentu, www.library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=downloads&file=index&req=getit&lid=
Wibisana, Andri G., Bagir Manan dan Teorema Coase, http://andriwibisana.multiply.com/journal/item/21, 18 Mei 2017.
Tuanakotta, Theodorus M.. Percikan Permenungan Tentang Kerugian Negara, Makalah, Jakarta : Workshop Pembuktian Unsur Kerugian Keuangan Negara dan Perhitungannya dalam Tindak Pidana Korupsi, 11 Desember 2007
Tjandra, W. Riawan, Hukum Keuangan Negara, Jakarta : PT Grasindo, 2006,
Atep Adya Barata dan Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah : Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2004




[1] Merryman, J. H., The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal Sytems of Western Europe and Latin America, 2 Ed., Stanford California : Stanford University Press, 1985, hal. 1.
[2] Friedman, Lawrence M, American Law, New York-London : W. W. Norton & Company, 1984.
[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Liberty, 1986, hal. 102-103.
[4] Bambang Prabowo Soedarso, Kelsen’s Pure Theory of Law, Bagan Kuliah Hukum Lingkungan, Jakarta : Yayasan Indonesia Lestari, hal. 4.
[5] Ibid.
[6] Syafruddin, Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan di Masa Depan dalam Penanggulangan Kejahatan Tertentu, www.library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=downloads&file=index&req=getit&lid=
[7] Andri G. Wibisana, Bagir Manan dan Teorema Coase, http://andriwibisana.multiply.com/journal/item/21, 18Mei 2017.
[8] Theodorus M. Tuanakotta, Percikan Permenungan Tentang Kerugian Negara, Makalah, Jakarta : Workshop Pembuktian Unsur Kerugian Keuangan Negara dan Perhitungannya dalam Tindak Pidana Korupsi, 11 Desember 2007
[9] W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta : PT Grasindo, 2006, hal. 3-4. Dari Penjelasan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada Bagian Umum angka 3.
[10] Ibid
[11] Atep Adya Barata dan Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah : Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2004, hal. 151.

ANALISIS KRITIS TATA CARA TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Hari ini saya memutuskan untuk mengembalikan pembayaran sebesar Rp105.000 kepada seorang calon klien. Bukan karena nilai nominalnya, melain...