Skip to main content

Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment

1. Latar Belakang
Setiap negara di dunia memiliki karakteristik masing-masing yang berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan, salah satunya adalah terhadap pemenuhan kebutuhan domestik dari negara yang bersangkutan. Perbedaan karakteristik ini juga mendorong setiap negara untuk bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Untuk itu dibutuhkan globalisasi sebagai penghubung kepentingan antar negara tersebut.
The Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (Byrd amendment)  adalah hukum Amerika Serikat yang mengatur tentang distribusi bea masuk impor yang dikumpulkan dari pengenaan aturan antidumping (AD) atau countervailing duty (CVD) atas permohonan dari industri domestik Amerika Serikat dan/atau pihak lain yang berkepentingan dalam penyelidikan atas adanya dugaan pelaksanaan dumping dari eksportir negara lain. Di bawah Byrd Amendment, produsen Amerika Serikat yang mendukung permohonan distribusi bantuan impor, menerima bea masuk anti dumping dan countervailing duty yang dikumpulkan oleh United States Customs and Border Protection (CBP). Sebelum diberlakukan Byrd Amendment, biaya-biaya tersebut ini dibayarkan langsung kepada Departemen Keuangan Amerika Serikat.  Namun sejak berlakunya Byrd Amandment pada tanggal 1 Oktober 2007145, CBP telah mendistribusikan sekitar $1 miliar bea masuk anti dumping dan countervailing duty kepada para pemohon yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Namun, sebuah studi mengungkapkan bahwa lebih dari setengah dari uang ini pergi ke hanya 5 (lima) perusahaan Amerika Serikat.
Terkait dengan pelaksanaan retaliasi, Meksiko sebagai salah satu negara penggugat dalam kasus Byrd Amendment, adalah negara berkembang yang berhasil melaksanakan retaliasi terhadap Amerika Serikat sebagai negara maju. Hal tersebut dapat dilihat dari langkah yang ditempuh Meksiko dalam menyampaikan argumennya dalam keputusan arbiter.
Maka menarik untuk dibahas dalam makalah ini Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan diangkat oleh penulis yaitu:
1. Bagaimanakah Retaliasi dalam Perdagangan Internasional?
2. Bagaimanakah Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment?

2. Retaliasi dalam Perdagangan Internasional
Ketentuan penyelesaian sengketa perdagangan internasional, baik yang diatur dalam GATT maupun WTO tidak secara tegas menggunakan istilah retaliasi. Menurut H.S. Kartadjoemena , seorang mantan Duta Besar RI untuk GATT mengatakan bahwa istilah retaliasi adalah istilah yang lebih lunak daripada istilah penangguhan konsesi. Secara umum, retaliasi dapat diartikan sebagai tindakan suatu negara untuk menangguhkan konsesi/kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah dinikmati oleh negara lain tersebut, sebagai balasan akibat adanya tindakan kebijakan perdagangan dari negara lain tersebut yang merugikan kepentingan perdagangannya.  Dalam sistem perdagangan internasional, penggunaan retaliasi dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Retaliasi yang digunakan oleh negara anggota secara sepihak (unilateral) terhadap negara anggota lain; dan
b. Retaliasi yang dilakukan berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa

Baik retaliasi yang dilakukan secara sepihak maupun retaliasi yang dilakukan berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa, tujuan utama dari retaliasi adalah untuk mengamankan perdagangan negara anggota yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh penerapan retaliasi pada sengketa perdagangan internasional, misalnya dalam kasus Banana  yang dimulai pada tahun 1995 mengenai kecaman terhadap kebijakan European Community (EC) yang sangat rumit dalam perdagangan pisang dimana EC memberikan kekhususan dalam impor pisang dari negara bekas koloni negara yang tergabung dalam EC serta memberikan perlakuan khusus kepada importir pisang dari negara-negara bekas koloni tersebut.
Selain pembagian pelaksanaan retaliasi berdasarkan penggunaannya, berdasarkan Pasal 22 ayat (3) DSU, bentuk pelaksanaan retaliasi juga dapat dibagi 3 (tiga), yaitu:
a. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk yang sama;
b. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk berbeda namun tetap sektor dan bidang yang sama; dan
c. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor dan bidang yang berbeda dengan bidang dimana negara yang bersangkutan dirugikan (cross retaliation)
Cross retaliation ini dibagi kembali menjadi 2 (dua), yaitu:
- Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor yang berbeda namun tetap di bawah perjanjian yang sama
- Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor berbeda dan di bawah perjanjian yang berbeda
Dari praktik penyelesaian sengketa yang biasa dilakukan dalam GATT terlihat bahwa proses retaliasi sudah diakui dan diakomodasi sejak ketentuan perdagangan internasional diatur dalam GATT. GATT tidak menyebutkan secara langsung mengenai retaliasi namun ketentuan retaliasi dapat disimpulkan dari rumusan Pasal XXIII ayat (2) GATT yang berbunyi:
“…If the CONTRACTING PARTIES consider that the circumstances are serious enough to justify such action, they may authorize a contracting party or parties to suspend the application to any other contracting party or parties of such concessions or other obligations under this Agreement as they determine to be appropriate in the circumstances…”
Ketentuan lebih lanjut mengenai retaliasi dalam GATT diatur kembali dalam Decision Of 5 April 1966 On Procedures Under Article XXIII Paragraph 9 yang berbunyi:
“If… contracting party to which a recommendation has been directed has not complied in full with the relevant recommendation of the Contracting Parties or the Council, and that any benefit accruing directly or indirectly … to be nullified or impaired, and that the circumstances are serious enough to justify such action, the Contracting Parties may authorize the affected contracting party or parties to suspend, in regard to the contracting party causing the damage, application of any concession or any other obligation under the General Agreement whose suspension is considered warranted, taking account of the circumstances.”

Pasal XXIII ayat (2) GATT serta Decision Of 5 April 1966 On Procedures Under Article XXIII Paragraph 9 memberikan kemungkinan dilakukannya retaliasi apabila:
a. Tindakan retaliasi dapat dilakukan setelah adanya otorisasi dari CONTRACTING PARTIES.
b. Tidak dilaksanakannya putusan atau rekomendasi Council oleh negara Tergugat yang dinyatakan bersalah (Defendant Party).
c. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian yang cukup serius bagi negara Penggugat (Complainant Party).
Terkait dengan retaliasi, penyempurnaan ketentuan GATT melalui WTO berdampak juga pada ketentuan realiasi. Terdapat 2 (dua) alasan utama yang menyebabkan negara-negara anggota beranggapan bahwa ketentuan retaliasi perlu dilakukan penyempurnaan, yaitu:
a. Tindakan retaliasi dalam GATT tidak dapat melindungi negara penggugat dalam hal negara penggugat adalah negara berkembang dan terbelakang serta; dan
b. Tindakan retaliasi tidak dapat dilaksanakan secara langsung (selfexecuting) dalam arti sebuah ‘legal victory’ tidak secara otomatis diperoleh berdasarkan putusan Council. Ada hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung ‘legal victory’ tersebut seperti misalnya kekuatan ekonomi dan politik. Terkait dengan hal tersebut, sangat jelas bahwa retaliasi dapat berjalan apabila dilaksanakan oleh negara maju.

Kemudian dalam Pasal 22 ayat (2) DSU sendiri tidak secara jelas mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi agar dapat meminta otorisasi dalam hal akan melakukan retaliasi. Mengenai syarat minimal pengajuan otorisasi retaliasi dapat dilihat dalam putusan arbiter dalam kasus Hormones antara Amerika Serikat dan EC yaitu:
1. Permintaan otorisasi retaliasi harus menetapkan tingkat tertentu dari pelaksanaan retaliasi,
2. Permintaan otorisasi retaliasi harus menentukan di sektor mana retaliasi akan dilaksanakan.
Dua tujuan retaliasi menurut Bown dan Pauwelyn, dapat disimpulkan dalam tabel sebagai berikut:
Compensation (Focus on Victim) Sanction (Focus on Violator)
Rebalance damages Inducing compliance

Sebagai salah satu tindakan formal, beban pembuktian dalam Pasal 22 ayat (6) untuk proses arbitrase sama halnya dari beban pembuktian dalam proses Panel dalam WTO. Baik negara anggota yang dianggap bertindak sesuai dengan kewajibannya dalam WTO maupun yang dianggap sebaliknya, memiliki beban pembuktian yang sama. Terkait dengan permintaan otorisasi pelaksanaan retaliasi, arbiter biasanya akan meminta Retaliating Country untuk memberikan perhitungan metodologis mengenai apa saja yang akan dikenakan tindakan retaliasi. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat bahaya yang akan ditimbulkan apabila retaliasi dilaksanakan hanya sebagai ‘pemuas’ bagi Retaliating Country dan digunakan sebagai alat penekan bagi Non Compliance Country.
Mengenai berakhirnya retaliasi diatur dalam Pasal 22 ayat (8) DSU yang berbunyi:
“The suspension of concessions or other obligations shall be temporary and shall only be applied until such time as the measure found to be inconsistent with a covered agreement has been removed, or the Member that must implement recommendations or rulings provides a solution to the nullification or impairment of benefits, or a mutually satisfactory solution is reached.”
Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa retaliasi dapat berakhir karena 3 (tiga) hal, yaitu :
1. Pihak yang dituntut bertindak sesuai dengan putusan atau rekomendasi DSB.
2. Pihak yang dituntut untuk melaksanakan putusan atau rekomendasi DSB telah memberikan solusi terhadap hilangnya kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
3. Adanya penyelesaian masalah yang disepakati bersama dan saling menguntungkan.
Terhadap penentuan berakhirnya tindakan retaliasi, AB menyatakan bahwa 3 (tiga) kondisi dalam Pasal 22 ayat (8) bersifat alternatif  agar penerapan dari retaliasi ini sendiri tidak disalahgunakan oleh pihak penggugat untuk mengambil tindakan-tindakan lain yang tidak sah untuk menekan pihak yang kalah agar melaksanakan putusan atau rekomendasi DSB. Berdasarkan pendapat AB tersebut, dapat diartikan bahwa setelah pelanggaran telah berhenti, maka retaliasi harus berhenti pada saat yang sama (Pasal 22 ayat (8) DSU). Jadi ketika pelanggaran berakhir, hak (right) untuk melakukan retaliasi dan pemberian hak (entitlement) untuk melakukan retaliasi juga harus berakhir. Hal ini merupakan indikasi bahwa hak untuk membalas dan hak untuk membalas bersifat contemporaneous. Hal ini bertujuan untuk mencegah kemungkinan tidak terkendalinya tindakan retaliasi yang dilakukan oleh negara anggota.
3. Penerapan Retaliasi yang Berhasil Dilaksanakan oleh Meksiko Melawan Amerika Serikat dalam Kasus Byrd Amendment
Terhadap ketentuan The Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (Byrd amendment), pada tahun 2001, 11 (sebelas) negara anggota WTO (Australia, Brazil, Kanada, Chile, EC, India, Indonesia, Jepang, Korea, Meksiko dan Thailand) melaporkan hal tersebut kepada WTO karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dalam WTO. Panel yang diselenggarakan pada bulan September 2002 dan proses Banding yang dilakukan pada bulan Januari 2003 menegaskan bahwa Byrd Amendment adalah respon terhadap dumping yang tidak sesuai dengan Agreement On Implementation Of article VI Of The General Agreement On Tariffs And Trade atau Anti Dumping Agreement (ADA)  secara efektif memberi hukuman ganda kepada produsen negara lain yang mengekspor barangnya ke dalam Amerika Serikat, yaitu pertama dengan memberlakukan bea anti dumping pada impor Amerika Serikat dan kedua dengan kewajiban membayar sejumlah biaya kepada pesaing mereka di AS. Dengan demikian, Byrd Amandement memberikan keuntungan besar bagi industri domestik Amerika Serikat melebihi tujuan pengaturan anti dumping yang sebenarnya.  Terkait dengan pelaksanaan retaliasi, Meksiko sebagai salah satu negara penggugat dalam kasus Byrd Amendment, adalah negara berkembang yang berhasil melaksanakan retaliasi terhadap Amerika Serikat sebagai negara maju. Hal tersebut dapat dilihat dari langkah yang ditempuh Meksiko dalam menyampaikan argumennya dalam keputusan arbiter. Mengenai permohonan otorisasi retaliasi, Meksiko mengungkapkan 3 (tiga) hal yaitu:
1. Retaliasi sebagai sebagai kewajiban terhadap jumlah perdagangan tidak dapat ditentukan (undetermined quantity of trade) dan bukan sebagai retaliasi terhadap nilai perdagangan yang dapat ditentukan (determined value of trade)
Amerika Serikat sangat menentang sikap Meksiko dan para penggugat lainnya untuk meminta otorisasi pelaksanaan retaliasi karena Meksiko dan para penggugat tidak menetapkan batas terhadap jumlah perdagangan yang tercakup dalam permohonan otorisasi mereka. Hal ini berdampak besar pada ekspor yang dilakukan Amerika Serikat. Lebih jauh, Amerika Serikat berargumen bahwa dampak tersebut akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan Byrd Amendment terhadap ekspor dari negara anggota lain. Terhadap argumen ini, Meksiko membantah dengan menyatakan bahwa Amerika Serikat sedang mencoba memperkenalkan konsep “uji efek perdagangan (trade effect test)” yang sebenarnya tidak disyaratkan dalam Pasal 22 DSU sehingga Meksiko berpendapat bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Selain itu dalam praktik, uji efek perdagangan tersebut sulit dilakukan karena tidak mungkin dapat memprediksi efek perdagangan dari kenaikan tarif.
2. Retaliasi sebagai upaya untuk mengganti jumlah pencairan dana yang dilakukan berdasarkan Byrd Amendment
Amerika Serikat berargumen bahwa permohonan otorisasi dari Meksiko dan para penggugat lainnya tidak berdasarkan pada Pasal 22 DSU. Amerika Serikat juga berargumen bahwa Meksiko dan para penggugat tidak mungkin bisa dirugikan apabila tidak ada permintaan atau kewajiban untuk melaksanakan ketentuan Byrd Amendment. Selain itu, Meksiko dan para penggugat juga dapat meminta 1/7 (satu per tujuh) bagian dari pencairan dana yang dibayarkan oleh Meksiko dan para penggugat kepada Amerika Serikat. Terhadap argumen ini, Meksiko membantah dengan menyatakan bahwa pencairan dana tersebut tidak sesuai dengan ketentuan WTO karena jumlah kerugian dihitung berdasarkan konsep objektif dari kerugian yang disebabkan oleh ketentuan Byrd Amandment. Dengan demikian, karena semua pembayaran seimbang dengan jumlah kerugian, maka retaliasi harus diotorisasi dalam jumlah yang sama.
3. Penetapan Variabel Tingkat Retaliasi
Amerika Serikat berargumen bahwa arbiter harus menetapkan tingkat retaliasi tunggal (single level of suspension) untuk setiap negara penggugat dan terhadap tingkat ini tidak boleh diubah di masa depan serta harus ditentukan saat pelaksanaan arbitrase. Amerika Serikat juga berargumen bahwa jika tingkat tersebut dapat diubah berdasarkan ketentuan DSU, pengubahan tersebut tidak tepat dalam kasus ini. Terhadap argument tersebut Meksiko membantah dengan menyatakan bahwa tujuan Pasal 22 ayat (4) DSU adalah untuk menjamin kesetaraan tingkat retaliasi dengan tingkat kerugian. Meksiko berpendapat akan sangat spekulatif apabila memperkirakan tingkat yang pasti terhadap kerugian dan retaliasi tersebut mengingat pelaksanaan Byrd Amendment di tahun pertama juga sangat bervariasi. Jika dalam kasus terdapat peraturan yang dianggap tidak sesuai dengan WTO dan tingkat retaliasi ditentukan pada satu titik waktu maka negara yang melanggar dapat melakukan tindakan yang lebih merugikan lagi. Argumen Amerika Serikat justru menggagalkan tujuan dari retaliasi tersebut.

DSB WTO memutuskan untuk memberikan otorisasi kepada Meksiko untuk melakukan retaliasi terhadap Amerika Serikat. Setelah ada pemberitahuan bahwa Meksiko akan melakukan retaliasi, Consuming Industries Trade Action Coalition (CITAC) kembali meminta Amerika Serikat untuk mencabut ketentuan Byrd Amendment namun hal tersebut tetap tidak dilakukan. Oleh karena itu, Meksiko menetapkan akan mengenakan tarif retaliasi sebesar $20.9 juta terhadap 3 (tiga) produk Amerika Serikat dengan rinician sebagai berikut :
a. Penambahan bea masuk sebesar 30% terhadap produk susu dan olahannya (dairy products) termasuk di dalamnya susu formula bayi;
b. Penambahan bea masuk sebesar 20% terhadap produk anggur (wine products); dan
c. Penambahan bea masuk sebesar 9% terhadap produk permen dan permen karet (candy and chewing gum)

Terhadap tindakan ini, Dairy Export Council Amerika Serikat menyatakan bahwa penerapan bea masuk tambahan oleh Meksiko, khususnya untuk produk susu dan olahannya, akan merugikan eksportir Amerika Serikat sebesar $ 160.4 juta. Dalam kasus ini, Meksiko adalah negara keempat dari 11 (sebelas) negara penggugat yang mengajukan retaliasi terhadap Amerika Serikat terkait Byrd Amendment. Total dari tarif retaliasi dari negara-negara tersebut adalah sekitar $ 114 juta.
Berdasarkan argumen-argumen yang disampaikan oleh para pihak, arbiter berkesimpulan bahwa tingkat kerugian yang diderita oleh Meksiko pada tahun tertentu dapat dianggap sama dengan total pencairan dana dilakukan berdasarkan Byrd Amendment untuk tahun sebelumnya yang berkaitan dengan bea masuk antidumping atau countervailing duty dibayar oleh Meksiko. Dengan demikian, arbiter memutuskan bahwa Meksiko dapat melaksanakan retaliasi terhadap produk yang berasal dari Amerika Serikat meliputi nilai total perdagangan yang tidak melebihi jumlah pencairan dana yang dilaksanakan berdasarkan Byrd Amendment.

4. Kesimpulan
- Ketentuan pelaksanaan retaliasi yang diatur dalam GATT maupun DSU, pada dasarnya sama, namun yang membedakan retaliasi dalam GATT dan DSU adalah syarat kondisi yang harus dipenuhi agar Complainant Party dapat meminta otorisasi untuk melaksanakan retaliasi. Ketentuan retaliasi dalam GATT mensyaratkan bahwa Complainant Party dapat meminta otorisasi pelaksanaan retaliasi dalam hal Defendant Party yang tidak melaksanakan putusan Council serta tindakan tersebut menimbulkan kerugian bagi Complainant Party, sementara dalam DSU tidak mensyaratkan secara jelas mengenai adanya kerugian, meskipun dalam praktiknya ketidakpatuhan terhadap ketentuan WTO oleh suatu negara anggota akan menimbulkan kerugian bagi negara anggota lain.
- Pada kasus Byrd Amendment Melawan Amerika Serikat menunjukan bahwa pertimbangan yang didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan retaliasi, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penggunaan retaliasi tersebut, terlepas dari pelaksana retaliasi tesebut adalah negara berkembang maupun negara maju. Kasus ini juga dapat dijadikan contoh bagi negara anggota lain, khususnya negara berkembang dan terbelakang, agar dapat memanfaatkan secara maksimal fasilitas yang disediakan DSU dalam rangka penyelesaian sengketa perdagangan internasional sehingga dapat kepentingan nasional dapat dipertahankan dan fungsi DSU sebagai sarana meningkatkan kepatuhan dapat dijalankan dengan maksimal.

5. Daftar Pustaka
1. Buku
Kartadjoemena, H.S., GATT, WTO, dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: UI-Press, 1998
Hudec, R.E., et al., A Statistical Profile of GATT Dispute Settlement Cases: 1948-89, London: Routledge, 1993.
Bown, Chad P. dan Joost Pauwelyn, ed., The Law, Economics, and Politics of Retaliation in WTO Dispute Settlement, New York: Cambridge Press University, 2010

2. Jurnal/Artikel online
Jeanne J. Grimmett dan Vivian C. Jones, “CRS Report for Congress: The Continued Dumping and Subsidy Offset Act (“Byrd Amendment”)”, http://fpc.state.gov/documents/organization/57503.pdf, diunduh tanggal 23 Mei 2017
Gardner Carton dan Douglas, “Congress Repeals the Byrd Amendment”, http://www.drinkerbiddle.com/Templates/media/files/publications/2006/congress-repeals-thebyrd amendment.pdf, diunduh tanggal 22 Mei 2017
Freddy Josep Pelawi, “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO,” http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/images/Bulletin/Bulletin%2046.pdf, diunduh tanggal 20 Mei 2017.
Farzan Sabet, Kai Kan, dan Thibault Fresquet (Graduate Institute of International and Development Studies), “Retaliation under the WTO system: When does Nullification or Impairment Begin?”,http://graduateinstitute.ch/files/live/sites/iheid/files/sites/ctei/shared/CTEI /Law%20Clinic/Memoranda%202011/Memo-Retaliation_under_the_WTO.pdf, diunduh tanggal 21 Mei 2017.
Report of The Appelate Body dalam kasus Hormone Dispute antara Amerika Serikat dengan European Community dalam tingkat Banding (Continued Suspension Of Obligations)
Drinker Biddle dan Gardner Carton, “Retaliation Against Byrd Amendment Continues”, http://www.drinkerbiddle.com/Templates/media/files/publications/2007/retaliation-against-byrdamendment-continues.pdf, diunduh tanggal 22 Mei 2017.
“Mexico to Impose $21 Million in Retaliatory Tariffs Against US Exports; CITAC Says Byrd Amendment Must Be Repealed”, http://www.citac.info/press/release/2005 /08_18.php, diakses tanggal 24 Mei 2017

3. Tesis
YE Siyu, “The Legal Analysis of The Cross-Retaliation Under the WTO Framework,” Thesis LLM Gent University, 2012

4. Putusan
WT/DS165/R
WT/DS26/ARB
WT/DS234/ARB/MEX



Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S