BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Seiring dengan
tuntutan reformasi di segala bidang termasuk dalam hal pengelolaan keuangan
negara, maka penyelenggaraan keuangan negara perlu dikelola secara profesional,
terbuka, dan bertanggung jawab sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sejalan dengan hal tersebut telah disahkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan paket peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, serta Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara, yang
menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dan perkembangan pada sistem
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Perubahan dan perkembangan
dalam sistem pengelolaan keuangan negara tersebut diharapkan menjadikan
pengelolaan keuangan negara menjadi efektif, efisien, diharapkan lebih memberi
kemanfaatan bagi rakyat di segala bidang, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengelolaan
keuangan negara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat
mengakibatkan terjadinya kerugian negara. Untuk mengatasi terjadinya hal
tersebut, dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa setiap kerugian
negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang
harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan demikian, kerugian negara/daerah
yang telah terjadi dapat dipulihkan kembali.
Dalam Pasal 23
ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004, BPK memantau penyelesaian pengenaan
ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau
pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Ketentuan ini
diperluas sehingga kewenangan BPK untuk memantau penyelesaian ganti kerugian
negara/daerah tidak hanya terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau
pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah, akan tetapi
mencakup juga memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap
pegawai negeri bendahara dan pengelola badan usaha milik negara (BUMN).
Ketentuan ini diperlukan agar ada pihak ekstern yang melakukan pemantauan atas
semua kerugian negara yang terjadi dan tingkat penyelesaiannya, sehingga
penyelesaian kerugian negara dapat lebih efektif.
Maka oleh karena
itu, penulis memilih untuk membahas mengenai “Konsep Ganti Kerugian Ditinjau
Dari Hukum Keuangan Negara”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
permasalahan, maka dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a. Apakah
Pengertian Ganti Rugi?
b.
Bagaimana konsep ganti kerugian dalam
hukum keuangan negara?
C. Kerangka
Pemikiran
Teori Hukum
dalam penulisan ini dipahami sebagai sebuah sistem, sehingga perlu diketahui
terlebih dahulu mengenai pengertian dari sistem hukum, yaitu sebagai berikut:
“Legal
system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules. In
this sense there are one federal and fifty state legal system in the United
States, separate legal system in each of the other nations, and still other
distinct legal system in such organization as the European Economic Community
and the United Nations.”[1]
BAB II LANDASAN TEORI
Menurut Friedman sistem hukum
merupakan suatu sistem yang meliputi tiga hal, yaitu :[2]
a. Structure,
yang dimaksud dalam komponen ini adalah adanya institusi atau lembaga peradilan
yang dibuat dalam rangka penegakan hukum, komponen ini telah tercermin dengan
adanya lembaga-lembaga seperti : pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian;
b. Substance,
yang dimaksud dalam komponen ini adalah peraturan atau perundang-undangan;
c. Legal
Culture, yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi
tindakannya dalam menjalankan peraturan dalam masyarakat.
Hukum sebagai
sistem diartikan sebagai satu kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur yang
mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan
kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur
yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Dengan
demikian, sistem hukum termasuk sistem konseptual, dilihat dari sifatnya
termasuk terbuka.[3]
Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum itu mendapat pengaruh secara timbal
balik dari sistem di luar hukum, dan sebaliknya sistem hukum juga mempengaruhi
sistem di luar sistem hukum, sehingga sifatnya dinamis, berkembang, sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Sistem hukum itu bersifat lengkap, melengkapi
ketidaklengkapan atau menjelaskan ketidakjelasan peraturan perundangundangan.
Jadi peraturan perundang-undangan itulah yang tidak lengkap, tetapi sistemnya
lengkap dan mengenal konsep fundamental.
Sehubungan
dengan hal tersebut, ada ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur adanya
sistem hukum yang dikemukakan oleh Fuller. Ukuran tersebut diletakkan pada
delapan asas yang dinamakan principle of legallity, dan adanya asas ini merupakan
ciri sistem hukum, yaitu:
a. Harus
mengandung peraturan;
b. Peraturan
yang telah dibuat harus diumumkan;
c. Tidak
boleh ada peraturan yang berlaku surut, sebab peraturan yang demikian tidak
dapat digunakan sebagai pedoman tingkah laku;
d. Peraturan
itu harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;
e. Tidak
boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain;
f. Peraturan
itu tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi yang dapat dilakukan;
g. Tidak
boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan
seseorang akan kehilangan orientasi; dan
h. Harus
ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya
sehari-hari.
Menurut Fuller,
kedelapan asas ini sebenarnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya sistem
hukum, yaitu memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum sebagai sistem
hukum yang mengandung moralitas tertentu. Alasannya adalah kegagalan untuk
menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang
tidak baik, melainkan juga sesuatu yang tidak dapat disebut sebagai sistem
hukum sama sekali.
Kelsen[4]
mengatakan bahwa ada dua hal yang secara universal benar dari hukum, yakni ia
memaksa dan ia merupakan sistem dari norma-norma. Untuk norma hukum yang
dianggap valid, ia harus merupakan anggota/bagian dari suatu sistem. Untuk
melihat validitas dari suatu norma adalah dari norma yang lain. Misalnya, suatu
peraturan valid apabila ia memang valid menurut undang-undang, begitu
seterusnya sehingga konstitusi menetapkannya sebagai suatu norma yang tertulis
didalamnya, sebagai hasil pembentukan oleh pembentuk undang-undang. Namun
demikian, kita harus melihat kebelakang untuk melihat kembali sejarah awal dari
pembentukan/kreasi norma tersebut, dan tanpa itu rantai validitas tidak dapat
ditelusuri kembali. Dalam keadaan yang demikian, menurut Kelsen[5],
melakukan pra-anggapan mengenai suatu norma dasar (a basic norm) yang
memberikan kekuasaan kepada hal itu pada waktu pertama kalinya konstitusi
tersebut diundangkan di dalam sejarahnya.
BAB III FAKTA-FAKTA YANG DIDAPAT
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 136517 menyatakan bahwa tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut. Kemudian undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan dan
diundangkan tanggal 21 Nopember 2001; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150., yaitu
pada:
a.
Pasal 4 Pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Penjelasan Pasal
4 menjelaskan bahwa dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak
menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tsb. Pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang
meringankan.
b.
Pasal 32
(1) Dalam
hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatan.
(2) Putusan
bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara.
Penjelasan ayat
(1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara" adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik
yang ditunjuk.
Kemudian dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu pada:
1.
Pasal 1 angka 16 bahwa ganti kerugian
adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang harus
dikembalikan kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah
melakukan perbuatan melawan hukum baik secara sengaja maupun lalai.
2.
Pasal 10
(1)
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga
atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
(2)
Penilaian kerugian keuangan negara
dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
(3)
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran
ganti kerugian, BPK berwenang memantau :
1) Penyelesaian
ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai
negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
2) Pelaksanaan
pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD,
dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah
ditetapkan oleh BPK; dan
2)
Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian
negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4)
Hasil pemantauan sebagaimana dimasud
pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya.
BAB IV GANTI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM KEUANGAN
NEGARA
Ganti kerugian
adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak
melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya
tersebut.[6] Dalam
Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Ganti kerugian diartikan sebagai hak seorang untuk
mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Ganti kerugian
diisyaratkan sebagai akibat dari adanya suatu perbuatan melawan hukum baik
karena kesalahan maupun karena kelalaian yang menimbulkan kerugian kepada pihak
lain. Ganti kerugian diharapkan dapat mengembalikan ke keadaan semula dimana
sebelum kerugian tersebut terjadi atau bagaimana seharusnya apabila kerugian
tersebut tidak terjadi. Dan ganti kerugian dapat dianggap sebagai suatu sanksi
dalam hukum.
Berdasarkan
analisa ekonomi terhadap hukum, ganti kerugian yang sempurna (perfect
compensation) dicapai ketika para korban memperoleh sejumlah uang sedemikian
rupa sehingga mereka tidak akan merasa adanya perbedaan antara situasi
menderita kerugian tetapi memperoleh ganti kerugian dengan situasi sebelum
menderita kerugian.3[7]Dalam
istilah ekonomi, kerugian bisa berupa opportunity cost atau imputed cost,
misalnya bunga yang tidak benar-benar dikeluarkan tetapi harus diperhitungkan.
Padahal si penerima “keuntungan” betul-betul menerima aliran dana, yang bisa
ditentukan lewat penggeledahan di kantor atau di rumah pejabat, ada dalam
laporan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), ada temuan atas
uang oleh penyidik. Kita seolah-olah memaksakan diri untuk membandingkan durian
dan dukuh. Kita menghitung kerugian secara non-cash basis, sedangkan kita
menelusuri aliran dana, dengan cash basis.[8]
Pengertian dan
ruang lingkup keuangan negara yang digunakan adalah:
1.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
(Pasca-Perubahan), yaitu: Undang-Undang Dasar 1945 (Pasca-Perubahan) mengatur
tentang hal keuangan pada Bab VIII Pasal 23 s.d. Pasal 23D. Khusus mengenai
keuangan negara diatur pada Pasal 23 dan Pasal 23C, yaitu:
Pasal 23
(1)
Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2)
Rancangan Undang-undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah.
(3)
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden,
Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Pasal 23C
Hal-hal lain
mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
2.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Ketentuan Umum Penjelasannya
menjelaskan bahwa keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara
dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena
a.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di
daerah;
b.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang
dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat
secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat
3.
Pengertian dan ruang lingkup yang
terdapat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada
Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pendekatan yang dipergunakan untuk
merumuskan definisi stipulatif keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek,
proses, dan tujuan :[9]
a.
Dari sisi obyek Keuangan negara meliputi
semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang, maupun barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
b.
Dari sisi subyek Keuangan negara
meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara
dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan
negara/perusahaan daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara.
c.
Dari sisi proses Keuangan negara
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
d.
Dari segi tujuan Keuangan negara
meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan bidang pengelolaan keuangan
negara yang sangat luas dikelompokkan menjadi beberapa sub bidang, yaitu sub
bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.[10]
Pasal 2
menyatakan tentang ruang lingkup keuangan negara, yaitu : keuangan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a.
Hak negara untuk memungut pajak,
mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b.
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan
tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.
Penerimaan negara;
d.
Pengeluaran negara;
e.
Penerimaan daerah;
f.
Pengeluaran daerah;
g.
Kekayaan negara/kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan
umum;
i.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Dalam hukum
keuangan negara, kewajiban melakukan ganti rugi diperuntukkan bagi pihak-pihak
yang merugikan negara, baik pada tingkat pemerintah pusat yang berkaitan dengan
pengelolaan APBN maupun pemerintah daerah yang berkaitan dengan pengelolaan
APBD. Hal ini diatur pada Pasal 35 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, yaitu :[11]
1.
Setiap pejabat negara dan pegawai negeri
bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung
atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti
kerugian dimaksud.
2.
Setiap orang yang diberi tugas menerima,
menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau
barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
3.
Setiap bendahara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara
yang berada dalam pengurusannya.
4.
Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian
negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara.
Ketentuan mengenai penyelesaian
kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara.
BAB IV PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN DITINJAU DARI
HUKUM KEUANGAN NEGARA
Dasar hukum
penyelesaian ganti kerugian, dalam hal ini tidak terlepas dari ruang lingkup
keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Penyelesaian ganti kerugian ini diatur
mengenai penyelesaian ganti kerugian terhadap bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, dan pada pengelola BUMN. Pada BUMN selalu dikaitkan bersama-bersama
dengan BUMD.
Penyelesaian
kerugian negara/daerah merupakan suatu rangkaian proses pemulihan keuangan
negara/daerah, setelah terjadinya kerugian negara/daerah. Proses ini dapat
dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam hukum administrasi negara
berdasarkan undang-undang di bidang keuangan negara dan mekanisme yang diatur
dalam hukum pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan ketentuan Pasal 62 dan 63
Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mekanisme
melalui hukum administrasi negara ini dibagi dua, yaitu mekanisme yang
dilakukan oleh BPK untuk kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, dan oleh pemerintah untuk
kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh pegawai negeri bukan bendahara.
Pasal 62 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 menegaskan : “pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK”, hal ini kemudian
ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 15 Tahun 2006 yang
memberikan kewenangan pada BPK untuk “menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga
atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Selanjutnya
Pasal 67 ayat (2) menegaskan bahwa “ketentuan penyelesaian kerugian
negara/daerah dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan
negara/daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan
negara, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri”. Dalam hal
kerugian negara/daerah tersebut terdapat unsur tindak pidana korupsi (TPK) yang
memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999, maka proses penuntutan dilakukan melalui proses peradilan.
Pasal 4
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa pengembalian kerugian
negara/daerah tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
yang menyatakan “putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi”.
Jelaslah pelaku
atau penanggung jawab yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara/daerah atau
perkonomian negara harus dituntut untuk mengembalikan/memulihkan kerugian
negara/daerah, baik melalui proses penyelesaian kerugian negara/daerah yang
dilaksanakan oleh internal instansi yang anggarannya dirugikan maupun oleh
instansi yang khusus memiliki wewenang melakukan penuntutan terhadap penanggung
jawab berdasarkan ketentuan yang diatur dalam hukum administrasi negara maupun
penuntutan oleh institusi yang memiliki wewenang untuk memproses secara pidana
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam hukum pidana. Apabila terjadi kerugian
negara/daerah maka setiap pejabat negara, pegawai negeri bukan bendahara,
pengelola perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara dan bendahara yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang baik langsung atau tidak langsung
sehingga merugikan keuangan negara/daerah harus segera diselesaikan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan diwajibkan mengganti
kerugian dimaksud.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 22 dan Pasal 59 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Pasal 1 angka 15 Tahun 2006 tentang
BPK, ada 5 (lima) unsur kerugian negara/daerah, yaitu:
a. Adanya
pelaku/penanggung jawab;
b. Adanya
kekurangan uang, surat berharga, dan barang;
c. Adanya
kerugian yang jumlahnya nyata dan pasti;
d. Adanya
tindakan melanggar hukum atau kelalaian;
e.
Adanya kausalitas antara tindakan
melawan hukum dengan kerugian yang terjadi.
Apabila diyakini
terdapat unsur kesalahan/kelalaian/perbuatan melawan hukum, pelaku/penanggung
jawab yang dapat dimintakan pertanggungjawaban penggantian kerugian
negara/daerah dan nilai kerugian negara/daerah yang pasti telah diketahui
jumlahnya, maka dapat dilakukan cara penyelesaian sebagai berikut :
a. Diselesaikan
secara damai diluar proses penyelesaian kerugian negara/daerah atau melalui
pengadilan;
b. Diselesaikan
melalui proses penuntutan diluar pengadilan yaitu proses tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi;
c. Diselesaikan
melalui proses peradilan perdata; atau
d.
Penagihan oleh instansi yang berwenang
dhi. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
BABVI PENUTUP
1. Kesimpulan
Konsep ganti
kerugian dalam hukum keuangan negara sama dengan ganti kerugian dalam bidang
lainnya, yaitu berkaitan dengan hak dan kewajiban serta adanya
pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan. Dalam prakteknya, ganti
kerugian dalam hukum keuangan negara selalu dikaitkan erat dengan ganti
kerugian terhadap kerugian keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 35
Undang-undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu berdasarkan atas
perbuatan melawan hukum atau kelalaian pengelola keuangan negara yang
menyebabkan berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata
keberadaannya dan pasti jumlahnya. Sedangkan hingga saat ini, diantara banyak
kalangan, belum terdapat kesepakatan mengenai pengertian keuangan negara.
Perluasan pengertian keuangan negara sebagaimana yang disebutkan pada
Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah membuat
penyertaan modal negara pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan Undang-undang
Keuangan Negara tersebut, Undangundang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan Undangundang tentang Badan Usaha Milik Negara semakin membuat
permasalahan BUMN menjadi tidak jelas. Hal ini tentunya berdampak pada
kebijakan BUMN dalam melaksanakan usahanya.
Penyelesaian
ganti kerugian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang
keuangan negara secara teknis adalah berdasarkan Peraturan BPK RI, namun hingga
kini Peraturan BPK tersebut belum tersedia. Sehingga penyelesaian ganti
kerugian pada pengelola BUMN masih dianggap sama dengan penyelesaian ganti
kerugian terhadap bendahara dan dapat dikenakan pidana. Ternyata dalam
prakteknya, penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola BUMN tidak hanya
melalui peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara namun juga
berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi perseroan terbatas.
2. Saran
a. Sebaiknya
ganti kerugian dalam hukum keuangan negara dilaksanakan sebagaimana mestinya,
yaitu benar-benar berdasarkan konsep yang terdapat dalam lingkup hukum keuangan
negara, tidak melebar hingga ke wilayah hukum perdata atau privat.
b. Sebaiknya
Pemerintah segera membuat ketentuan mengenai keuangan negara sebagaimana
seharusnya, dan segera merubah peraturan perundang-undangan pelaksananya, agar
terciptanya kesatuan pandangan dan pemahaman mengenai keuangan negara dan
keuangan BUMN. Sehingga perselisihan pendapat dapat segera diakhiri.
c.
Pemerintah juga harus segera membuat
aturan yang pasti dan tidak mempunyai makna ambigu terutama peraturan yang
diterapkan pada penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola BUMN karena
dengan sistem pertanggungjawaban yang multi dimensi ini menjadi sangat tidak
adil bagi pengelola BUMN itu sendiri, sehingga sangat mempengaruhi kinerja
mereka dalam menjalankan operasional BUMN.
7. DAFTAR PUSTAKA
Merryman, J. H., The
Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal Sytems of Western Europe and
Latin America, 2 Ed., Stanford California : Stanford University Press,
1985.
Friedman, Lawrence M, American Law, New York-London : W. W. Norton & Company, 1984.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Liberty, 1986
Soedarso, Bambang Prabowo, Kelsen’s Pure Theory of Law, Bagan Kuliah Hukum Lingkungan, Jakarta
: Yayasan Indonesia Lestari
Syafruddin, Pidana Ganti Rugi : Alternatif
Pemidanaan di Masa Depan dalam Penanggulangan Kejahatan Tertentu, www.library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=downloads&file=index&req=getit&lid=
Wibisana, Andri G., Bagir Manan dan Teorema Coase,
http://andriwibisana.multiply.com/journal/item/21, 18 Mei 2017.
Tuanakotta, Theodorus M.. Percikan Permenungan Tentang Kerugian Negara, Makalah, Jakarta :
Workshop Pembuktian Unsur Kerugian Keuangan Negara dan Perhitungannya dalam
Tindak Pidana Korupsi, 11 Desember 2007
Tjandra, W. Riawan, Hukum Keuangan Negara, Jakarta : PT Grasindo, 2006,
Atep Adya Barata dan Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
: Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2004
[1]
Merryman, J. H., The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal Sytems
of Western Europe and Latin America, 2 Ed., Stanford California : Stanford
University Press, 1985, hal. 1.
[2]
Friedman, Lawrence M, American Law, New York-London : W. W. Norton &
Company, 1984.
[3]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Liberty, 1986, hal. 102-103.
[4]
Bambang Prabowo Soedarso, Kelsen’s Pure Theory of Law, Bagan Kuliah Hukum
Lingkungan, Jakarta : Yayasan Indonesia Lestari, hal. 4.
[5]
Ibid.
[6]
Syafruddin, Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan di Masa Depan dalam
Penanggulangan Kejahatan Tertentu,
www.library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=downloads&file=index&req=getit&lid=
[7]
Andri G. Wibisana, Bagir Manan dan Teorema Coase, http://andriwibisana.multiply.com/journal/item/21,
18Mei 2017.
[8]
Theodorus M. Tuanakotta, Percikan Permenungan Tentang Kerugian Negara, Makalah,
Jakarta : Workshop Pembuktian Unsur Kerugian Keuangan Negara dan Perhitungannya
dalam Tindak Pidana Korupsi, 11 Desember 2007
[9]
W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta : PT Grasindo, 2006, hal.
3-4. Dari Penjelasan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara pada Bagian Umum angka 3.
[10]
Ibid
[11]
Atep Adya Barata dan Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Negara/Daerah : Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2004, hal. 151.
Comments
Post a Comment