Skip to main content

PENALARAN HUKUM OLEH HAKIM

Saat seorang hakim menjalankan tugasnya, maka sesungguhnya ia tidak diperkenankan memihak kepada siapa pun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai 'mulut' undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga 'mulut' keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.[1]
Proses mengadili suatu perkara, seorang hakim sebagai aparat penegak hukum yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara termasuk dalam hal ini perkara pidana, akan selalu dihadapkan pada tugas untuk menilai buktibukti yang dihadapkan kepadanya kemudian mendapatkan keyakinan dari hati nuraninya. Setelah itu, ia memberikan pertimbangan dan putusan yang tepat bagi seorang terdakwa. Ketika memutuskan suatu perkara, hakim seringkali menghadapi masalah yang seringkali dibuktikan dengan hukum tertulis yang tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam kondisi ini, hakim harus menemukan undang-undang dan/atau membuat undang-undang yang melengkapi undang-undang yang  ada saat memutus  perkara. Hal ini juga didasarkan  pada prinsip bahwa seorang hakim tidak dapat memberhentikan suatu proses persidangan dengan perdebatan hukum yang tidak jelas.[2]
Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: [3]
“Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.”

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan Disidang pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
Undang-Undang no. 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat (1) juga menjelaskan "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kata "menggali" biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[4]
Kebebasan hakim merupakan kewenangan yang melekat pada diri pribadi hakim dan tugasnya dalam mengadili, kebebasan hakim yang melekat pada diri perseorangan hakim. Kebebasan hakim sangat berkaitan dengan kemampuan intelektualitas dan moralitas pribadi hakim, sehingga putusan pengadilan sebagai hasil karya para hakim, pada hakikatnya ditentukan pikiran dan mind set hakim. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pikiran atau mind set seorang hakim sangat berpengaruh dan tentunya memberi warna terhadap putusan yang telah dibuatnya, seorang hakim yang berpikiran legalistik formal dalam membuat putusan atas suatu perkara pidana, tentu warna putusan juga berdasarkan kaca mata legalistik yang menjadi pengetahuannya.[5]
Peraturan perundang-undangan mempunyai banyak masalah antara lain tidak fleksibel, tidak pemah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan bukan kekosongan hukum. Kelemahan-kelemahan dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian membutuhkan suatu konsep penemuan hukum oleh hakim meskipun dalam hal tertentu penemuan hukum ini dibatasi demi keadilan. Kekosongan hukum sangat mudah terjadi jika sumber hukum satu-satunya adalah undang-undang. Peran hakim pun dituntut bukan hanya sebagai terompet undang-undang.
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran namun khusus untuk peradilan pidana, analogi tidak diperkenankan. Kewenanganhakim untuk melakukan penemuan hukum juga merupakan konsekuensi dari asas peradilan di mana "pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya"
Penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan tiukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Sedangkan, penerapan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit tertentu (das Sein). Penemuan hukum dalam arti ini oleh van Eikema Hommes disebut sebagai pandangan peradilan yang typis logicistic, di mana aspek logis analitis dibuat absolut, atau yang oleh Wiarda disebut penemuan hukum heteronom. [6]
Achmad Ali membedakan penemuan hukum, yaitu penemuan hukum metode interpretasi dan penemuan hukum dengan metode konstruksi. Interpretasi adalah penafsiran yang dilakukan hakim masih berpegang pada teks undang-undang, sedangkan pada konstruksi seorang hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks" undang-undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Penemuan hukum dilakukan dalam suatu kondisi tertentu. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) pendapat, yaitu pendapat dari penganut doktrin seins-clair yang menyatakan penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan ketika: [7]
1.      Tidak ditemukan peraturan untuk suatu kasus yang konkrit, dan
2.      Peraturan yang ada belum/tidak jelas. Pendapat kedua menyatakan hakim selalu dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. Dalam menghadapi setiap kasus yang diajukannya, hakim selalu melakukan penemuan hukum dengan menerapkan hukum yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkret.

Ada putusan yang tidak dicapai penalaran yang runtut dan sistematis, serta ada penarikan kesimpulan yang melompat (jumping to conclusion). Sebagai contoh, ada unsur “setiap orang” yang telah mengubah konstruksi yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).  Yaitu, dalam putusan Mahkamah Agung No. 868 K/Pid.Sus/2008, yang menyatakan unsur “setiap orang” ini akan bermakna apabila dikaitkan dengan pembuktian unsur-unsur yang lain, sehingga Pasal 2 tersebut juga berlaku terhadap pegawai negeri, karena walaupun perkara tipikor berlaku asas spesialis, tetapi mengenai pengertian “setiap orang” tersebut tidak bersifat khusus. Jadi, jika seorang pegawai negeri didakwa dengan Pasal 2 dan Pasal 3 secara subsidaritas, maka jika terbukti, terdakwa dikenakan Pasal 2 undang-undang tersebut karena unsur “setiap orang” dalam tersebut berarti siapapun baik pegawai negeri/pejabat atau swasta. Hakim pengadilan tinggi dalam putusan kasus di atas menilai keliru pemahaman majelis hakim tingkat pertama yang berpendapat bahwa dakwaan primer (Pasal 2 ayat [1]) tidaklah dapat dibuktikan dan lebih memilih dakwaan subsider (Pasal 3). Oleh sebab itu, hakim tingkat banding menyatakan pertimbangan hakim tingkat pertama itu harus diperbaiki.
Dalam proses penalaran hukum, terbukti bahwa pemaknaan terhadap terma-terma hukum memegang peranan sangat penting. Sebab, dari pemaknaan inilah premis mayor dibangun. Premis mayor tersebut dipakai sebagai landasan inferensial (penarikan kesimpulan) dalam logika deduktif. Tentu saja, satu pemaknaan definitif harus ditetapkan pada akhirnya oleh majelis hakim. Pemaknaan definitif baru ditampilkan setelah hakim mendengarkan pemaknaan-pemaknaan yang mungkin berbeda  sebagaimana ditunjukkan oleh para pihak yang bersengketa. Apabila ada pemaknaan yang tidak terwakilkan, misalnya ada argumentasi penasihat hukum yang tidak ikut ditunjukkan di dalam pertimbangan hukum maka dengan mudah akan melahirkan anggapan bahwa hakim tidak cukup menalar putusannya dengan  runtut dan sistematis.



[1] Jimly Asshiddiqie. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Konstitusi Press, Jakarta. Hal. 11-12
[2] Lintong Oloan Siahaan. Reran 2006 Hakim dalam Pembaharuan Hukum di Indonesia, Hal-hal yang Harus diketahui (Proses Berpikir) Hakim agar Menghasilkan Putusan yang Berkualitas dalam Jumal Hukum dan Pembangunan Tahun 36 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok hal. 32-33
[3] Lilik Mulyadi. Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter pradilan. Mandar Maju. 2007. hal 127
[4] Lintong Oloan Siahaan. Op.cit
[5] Satjipto Rahardjo, Lapisan - Lapisan Dalam Sudut Hukum, Bayu Media Publishing, Malang, 2008. Hal. 69
[6] Sudikno Mertukusumo. 2004, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,Yogyakarta Hal. 37
[7] Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung Jakarta. Edisi kedua. Hal. 138

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S