A.
Latar
Belakang
Salah satu kegiatan oleh Bank Umum berdasarkan Pasal
6 Huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang adalah memberikan kredit. Dalam
pemberian fasilitas kredit tersebut tentulah tertuang dalam suatu perjanjian
kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa risiko, karena risiko mungkin
saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara
lunas atau tunai, melainkan debitur diberi kepercayaan oleh undang-undang dalam
perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil.
Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan
kredit (risiko kredit), risiko yang timbul karena pergerakan pasar (risiko
pasar), risiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh
tempo (risiko likuiditas), serta risiko karena adanya kelemahan aspek yuridis
yang di sebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan
yang mendukung (risiko hukum).[1]
Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur
untuk mengantisipasi risiko yang merugikan kreditur tersebut perlu diperhatikan
secara seksama oleh pihak bank, maka sebelum memberikan kredit bank harus
melakukan penilaian secara seksama terhadap 7 (tujuh) hal yang dikenal dengan
istilah 7 P (Party, Purpose, Payment, Profitability, Protection,
Personality, and Prospect).[2]
Dimana pada umumnya Pemberian kredit oleh bank
selaku Kreditor kepada Debitor diawali dengan perjanjian kredit untuk proses
pemberian ājaminanā atau agunan dari pihak Debitor sebagai peminjam dana.
Dimana hal ini dilakukan untuk menimbulkan keyakinan kepada Kreditur bahwa
Debitor akan memenuhi kewajiban yang timbul dari suatu perikatan. Jaminan adalah sesuatu yang
diberikan debitur kepada kreditur untuk memberikan keyakinan kepada kreditur
bahwa debitur akan membayar hutangnya sesuai dengan yang di perjanjikan.[3]
Dimana hasil penjualan (pencairan) objek atau
jaminan kredit dilakukan untuk melunasi kredit dari debitur. Penjualan jaminan
kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk
memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak debitur
tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit, serta
hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan di
derita pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan
yang diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara lain dengan
mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang lembaga jaminan.[4]
Selain itu menurut Rudi Tri Santoso jaminan memiliki
beberapa fungsi, yaitu[5]:
a.
Untuk menjaga harta
bank dalam bentuk kredit, karena dengan diserahkannya jaminan kepada bank, maka
bank berhak memperoleh pelunasan atas hasil penjualan barang jaminan apabila
nasabah cidera janji;
b.
Menjamin agar
pembiayaan usaha tersebut berjalan lancar dengan diserahkannya harta Debitor
sebagai jaminan bank yang secara moril Debitor akan bertanggung jawab terhadap
proyek usaha tersebut ;
c.
Mendorong Debitor untuk
membayar kembali utangnya agar tidak kehilangan harta yang telah dijaminkan
tersebut.
Salah satu bentuk jaminan adalah Hak Tanggungan.
Dimana sebagai lembaga jaminan, Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya di singkat dengan UUHT),
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain.[6]
Dari pembahasan tersebut, maka penulis mengangkat
judul makalah ini adalah, āASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK
TANGGUNGANā. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yang akan
diangkat oleh penulis adalah:
1. Bagaimanakah
Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan?
2. Bagaimanakah
Aspek Hukum Dalam Terjadinya Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak
Tanggungan?
B. Pengikatan
Jaminan Kredit Perbankan
1. Pengertian
Jaminan Kredit
Berkaitan dengan kredit, menurut Ketentuan Pasal 1 angka 5
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum, yang dimaksud dengan Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
(a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening
giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
(b) pengambil-alihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan
(c) pengambil-alihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Dengan memperhatikan seluruh pengertian kredit yang telah
diuraikan di atas, maka dapat dipahami pengertian peminjam dalam kerangka
perkreditan. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan/badan yang
memperoleh penyediaan dana dari bank, termasuk:
a. Debitur, untuk penyediaan dana berupa kredit.
b.
Penerbit
surat berharga, pihak yang menjual surat berharga, manajer investasi kontrak
investasi kolektif, dan atau reference entity, untuk penyediaan dana
berupa surat berharga.
c. Pihak yang mengalihkan risiko kredit (protection buyer) dan
atau reference entity, untuk penyediaan dana berupa derivatif kredit (credit
derivatives).
d. Pemohon (applicant), untuk penyediaan dana berupa jaminan (guarantee),
letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau instrument
serupa lainnya.
e.
Pihak
tempat bank melakukan penyertaan modal (investee), untuk penyediaan dana
berupa penyertaan modal.
f. Bank atau debitur, untuk penyediaan dana berupa tagihan akseptasi.
g. Pihak lawan transaski (counterparty), untuk penyediaan dana
berupa penempatan dan transaksi derivatif.
h. Pihak lain yang wajib melunasi tagihan kepada bank.
Perjanjian
kredit termasuk perjanjian pinjam-meminjam uang antar bank dan nasabahnya
didasari perjanjian yang telah disepakati bersama yang diikuti dengan pemberian
bunga.[7]
Johanes Ibrahim menyebut perjanjian kredit sebagai Perjanjian antara bank,
sebagai Kreditor dengan nasabah sebagai Debitor mengenai penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah
Debitor untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah
bunga, imbalan, atau pembagian keuntungan.[8]
Kemudian menurut Adrian Sutedi, perjanjian kredit merupakan perjanjian
pinjam-meminjam uang antara bank sebagai pemberi Kreditor dan nasabah selaku
Debitor. Dalam perjanjian kredit tersebut bank percaya kepada nasabah akan
membayar lunas dalam jangka waktu yang telah disepakati.[9]
Sementara
itu terkait dengan jaminan dalam lembaga perbankan, Mariam Darus Badrulzaman
memberi definisi jaminan āadalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang
Debitor dan atau pihak ketiga kepada Kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam
suatu perikatanā.[10]
Sedangkan J. Satrio berpendapat bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang
mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang Kreditor terhadap seorang
Debitor.[11]
Sehingga
dapat lah disimpulkan bahwa jaminan kredit adalah pernyataan kesanggupan
seseorang untuk menanggung utang Debitor sebagaimana tercantum dalam perutangan
pokok. Dalam praktek perbankan, jaminan kredit atau kredit garansi disebut
dengan istilah jaminan perseorangan/orang, yaitu perjanjian antara Kreditor dan
penanggung, dimana seorang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi
utang Debitor, baik karena ditunjuk oleh Kreditor (tanpa sepengetahuan atau
persetujuan Debitor) maupun yang diajukan oleh Debitor atas perintah dari
Kreditor.
Adapun
unsur-unsur dari jaminan kredit adalah[12]:
1.
Adanya kaidah hukum.
Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah
hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan hukum tidak tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam
masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan
secara lisan.
2.
Adanya pemberi dan
penerima jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang
menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Adapun yang bertindak
sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang memberikan fasilitas
kredit. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang
jaminan dari pemberi jaminan. Adapun yang bertindak sebagai penerima jaminaan
ini adalah orang atau badan hukum.
3.
Adanya jaminan. Pada
dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada Kreditor adalah jaminan material dan
immaterial. Jaminan material merupakan jaminan yang berupa hak kebendaan,
seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan
immaterial merupakan jaminan non kebendaan.
4.
Adanya fasilitas
pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk
mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
Adrian
Sutedi secara umum membedakan jaminan menjadi dua, yaitu jaminan yang lahir
dari undang-undang (jaminan umum) dan jaminan yang lahir karena perjanjian.[13]
Jaminan umum adalah jaminan yang adanya telah ditentukan undang-undang,
misalnya undang-undang yang diatur dalam Pasal 1311 KUH Perdata dan 1232 KUH
Perdata.
Pasal
1311 KUH Perdata pada intinya menyatakan bahwa segala kekayaan Debitor, baik
berupa benda bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada
di kemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai jaminan, secara hukum
menjadi jaminan seluruh utang Debitor. Sementara itu jaminan khusus adalah
jaminan yang timbul karena adanya perjanjian. Secara yuridis perjanjian khusus
timbul karena adanya suatu perjanjian antara Bank dan pemilik jaminan atau
antara Bank dan pihak ketiga yang menanggung utang Debitor. [14]
Jaminan
khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perorangan dan jaminan yang bersifat
kebendaan. Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului di atas
benda-benda tertentu tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat
orang yang menjamin pemenuhan yang bersangkutan. Sedangkan jaminan kebendaan
memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat
serta mengikuti benda yang bersangkutan.[15]
Proses
pembuatan perjanjian menurut Ros Mcdonald dan Denise Mcgill[16]
adalah proses konversi dari niat yang mendasari para pihak ke dalam suatu
dokumen tertulis, konstruksi (perjanjian) adalah proses penuangan maksud yang
sesungguhnya dari para pihak sebagaimana yang tercantum dalam dokumen tersebut.
Terkait dengan suatu perjanjian kebendaan, maka hal itu terdiri perjanjian
pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian
untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan
non bank. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang harus memiliki dasar
yang mendasari untuk keberadaannya. Contoh perjanjian pokok adalah perjanjian
kredit bank. Sedangkan perjanjian accesoir adalah perjanjian yang
bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir
adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, hak tanggungan
dan fidusia.[17]
2. Fungsi
Jaminan Dalam Kredit
Pada
dasarnya berdasarkan UU Perbankan, tidak dinyatakan secara tegas keharusan
adanya jaminan untuk memperoleh kredit. Karena itu bank mungkin saja memberikan
kredit tanpa mensyaratkan penyerahan jaminan. Namun pada umumnya bank tetap
mensyaratkan calon Debitor menyerahkan jaminan kredit terkait dengan fungsi
jaminan kredit
Jaminan
kredit sebagai pengaman pelunasan kredit diperlukan karena bank sebagai badan
usaha yang memberikan kredit kepada Debitor wajib melakukan pengamanan agar
Debitor tersebut dapat melunasi kredit yang telah diberikan. Apabila Debitor
tidak dapat mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank akan menjadi
kerugian yang yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Semakin besar
jumlah kredit yang tidak dapat dikembalikan oleh Debitor semakin besar pula
pengaruhnya terhadap kesehatan bank tersebut. Dalam hal ini maka jaminan kredit
berperan sebagai pengaman bagi kredit yang disalurkan perbankan untuk memenuhi
ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian. Dimana menurut M. Bahsan bahwa secara
umum pengamanan kredit bank dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan
melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan kredit
untuk pengamanannya dapat ditemukan, baik pada tahap analisis kredit maupun
penerapan ketentuan hukum.[18]
Penggunaan
jaminan sebagai pengaman kredit yang diberikan oleh bank juga dapat dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi āSegala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseoranganā. Fungsi jaminan sebagai pengaman pelunasan kredit baru akan
muncul pada saat kredit tersebut macet. Dengan adanya jaminan kredit yang
dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pelaksanaan
fungsi tersebut akan terlaksana pada saat Debitor ingkar janji.[19]
Sehubungan
dengan fungsi jaminan sebagai sarana pengaman kredit yang diberikan oleh bank,
maka menurut R. Subekti jaminan yang baik adalah[20]:
a. Yang
dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya.
b. Yang
tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan
(meneruskan) usahanya.
c. Yang
memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan
setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah
diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima (pengambil) kredit.
Sementara
itu terkait dengan jaminan kredit sebagai pendorong motivasi Debitor adalah
ketakutan Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan dalam memperoleh
kredit. Rasa takut ini akan mendorong Debitor melunasi kreditnya kepada bank
agar benda yang dijadikan jaminan harus dicairkan oleh bank tersebut. Rasa
takut Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan pada pihak bank dapat
dimengerti apabila disimak pendapat M. Bahsan bahwa nilai jaminan yang diserahkan
Debitor kepada pihak bank lebih besar dibandingkan dengan nilai kredit yang
diberikan pihak bank. Hal ini memberi motivasi kepada Debitor untuk menggunakan
kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usaha dengan baik, mengelola kondisi
keuangan secara hati-hati sehingga dapat melunasi utangnya.[21]
3. Pengikatan
Jaminan Kredit Perbankan
Menurut
penjelasan umum UUHT, dalam memberikan hak tanggungan, pemberi hak tanggungan
wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena sesuatu sebab tidak dapat hadir
sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya melalui SKMHT yang
berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT ditugaskan kepada Notaris, dan PPAT.
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) UUHT dinyatakan bahwa sebagai konsekuensi
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pembebanan Hak tanggungan
atas agunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
yang pemiliknya lain daripada pemegang hak atas tanah, wajib dilakukan
bersamaan dengan pemberian hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan
di dalam satu APHT yang ditanda tangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang
hak atas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya sebagai pemberi tanggungan.
Kemudian
dalam penjelasan Pasal 24 ayat (3) UUHT dijelaskan bahwa termasuk dalam
pengertian surat kuasa membebankan hipotik yang dimaksud pada ayat ini adalah
surat kuasa untuk menjaminkan tanah. Pada saat pembuatan APHT dan SKMHT harus
sudah ada keyakinan pada Notaris/PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi hak
tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek
hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya
kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan itu
didaftarkan. Pasal 15 ayat (1) UUHT juga menentukan persyaratan SKMHT, yaitu:
1. Tidak
memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan hak
tanggungan.
2. Tidak
memuat kuasa substitusi.
3. Mencantumkan
secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas
Kreditornya, nama dan identitas Debitor apabila Debitor bukan pemberi hak
tanggungan.
Dalam
penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa
untuk menjual, menyewakan obyek hak tanggungan, atau memperpanjang hak atas
tanah. Dalam penjelasan huruf b atas Pasal 15 ayat (1) UUHT dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang-undang ini adalah
penggantian penerima kuasa melalui pengalihan bukan merupakan substitusi jika
penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk
bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang
diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain. Kemudian dalam penjelasan huruf
c atas Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa kejelasan mengenai unsur-unsur pokok
dalam pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan
perlindungan pemberi hak tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud pada huruf b
adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Subyek
SKMHT adalah Debitor selaku pemberi kuasa dan Kreditor selaku penerima Kuasa
SKMHT. Obyek SKMHT adalah sama dengan Obyek hak tanggungan yang dapat diikat
sebagai jaminan hutang meliputi hak atas tanah dengan Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas tanah Negara yang diberikan kepada
perorangan dan Badan Hukum Perdata yang tanahnya dapat dijual termasuk tanah
Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik yang bukti kepemilikannya berupa petuk pajak
atau girik dan bukti lainnya yang sejenis dapat digunakan sebagai jaminan
kredit. Obyek SKMHT dapat juga berupa hak atas tanah yang sudah terdaftar
(mempunyai sertipikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar (belum bersertipikat).
Dalam
APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari
Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak
tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent)
daripada Kreditor-Kreditor lain sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 1 angka
1 UUHT. Pemberian hak tanggungan dalam hal ini merupakan jaminan pelunasan
hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit
yang bersangkutan.
Tata
cara pembebanan hak tanggungan dimulai dengan tahap pemberian hak tanggungan di
hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan
tahap pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan setempat. Pemberi hak
tanggungan (Debitor atau pihak lain) wajib hadir sendiri di kantor PPAT yang
berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya. Dalam Pasal 11 ayat (1)
UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT. Selanjutnya ayat (2)
memuat mengenai jumlah pinjaman, penunjukan obyek hak tanggungan, dan hal-hal
yang diperjanjikan oleh Kreditor dan Debitor termasuk janji Roya Partial
dan janji penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan sebagaimana ketentuan
Pasal 20 UUHT. Untuk kepentingan Kreditor, tertentu jangka waktu SKMHT yaitu
sampai dengan berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok.
Pemberian hak tanggungan dimaksudkan untuk
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan
(Kreditor preferent) daripada Kreditor-Kreditor lain sebagaimana diatur
pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT. Pemberian hak tanggungan dalam hal ini
merupakan jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan
perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan.
Tata cara pembebanan hak tanggungan dimulai dengan
tahap pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan
dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran hak tanggungan di Kantor
Pertanahan setempat. Pemberi hak tanggungan (Debitor atau pihak lain) wajib
hadir sendiri di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah
kerjanya.
Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang
wajib dicantumkan dalam APHT. Selanjutnya ayat (2) memuat mengenai jumlah
pinjaman, penunjukan obyek hak tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan oleh
Kreditor dan Debitor termasuk janji Roya Partial dan janji penjualan
obyek hak tanggungan di bawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 UUHT. Untuk
kepentingan Kreditor, dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya hak tanggungan,
yaitu Sertipikat hak tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan
dan salinan APHT. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa APHT
adalah akta yang memuat tentang nomor sertipikat, tanggal penerbitan
sertipikat, luas tanah, lokasi tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah
tersebut serta besarnya beban hutang yang diletakkan/dipertanggungjawabkan di
atas tanah tersebut dan APHT harus didaftarkan di Kantor Pertanahan Setempat.
C. Aspek
Hukum Dalam Terjadinya Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak Tanggungan
1. Pengertian
Hak Tanggungan
Dalam
Pasal 1 angka 1 UUHT dikatakan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditor tertentu, terhadap Kreditor-Kreditor lain.
Menurut
C.S.T Kansil dan Christine. S.T Kansil, Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah
untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain. Dalam arti jika Debitor
cidera janji, Kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui
pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut perturan
perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada
Kreditor-Kreditor yang lain.[22]
Sedangkan
Menurut J. Satrio, rumusan pengertian hak tanggungan menurut UUHT bukan
merupakan rumusan umum, tetapi hanya tentang Hak Tanggungan atas tanah dan
benda-benda terkait dengan tanah saja. Dalam pandangan J. Satrio, terdapat
beberapa unsur penting dari hak tanggungan, yaitu hak jaminan yang dibebankan
atas tanah, berikut atau tidak berikut dengan benda-benda lain yang merupakan
satu-kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan hutang tertentu dan memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor yang lain.[23]
2. Subyek
dan Obyek Hak Tanggungan
Subyek
hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT. Menurut
Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa Pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Selanjutnya
ayat (2) berbunyi: āKewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak
Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.ā
Dalam
Pasal 9 UUHT menyebutkan bahwa Pemegang Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Dengan demikian menurut UUHT, subyek hak tanggungan adalah pemberi dan pemegang
hak tanggungan. Dengan kata lain subyek hak tanggungan adalah pihak-pihak yang
berkepentingan dengan adanya suatu perjanjian utang-piutang yang dijamin
pelunasannya, yaitu pemberi dan pemegang hak tanggungan.
Sementara
itu obyek hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUHT adalah hak
atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang
berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hak-hak
atas tanah berikut, bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah atau akan ada
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut akan merupakan milik
pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas
dinyatakan di dalam APHT yang bersangkutan.[24]
Terkait
dengan Hak Pakai, tidak semua Tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat dijadikan
obyek hak tanggungan karena ada Hak Pakai Atas Tanah Negara yang walapun
didaftarkan tidak bisa dipindahtangankan seperti Hak Pakai atas nama
pemerintah, Hak Pakai atas nama badan keagamaan dan sosial serta Hak Pakai atas
Nama Perwakilan Negara Asing. Pada prinsipnya obyek hak tanggungan adalah
hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan
(untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan
pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.[25]
Terkait
dengan Hak Pakai, hak tersebut tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan
dalam UUPA karena pada saat itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib
didaftar dan karenanya tidak memenuhi asas publisitas untuk dapat dijadikan
jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak
Pakai yang diberikan atas tanah Negara sebebagaimana dijelaskan dalam
penjelasan umum angka 5 UUHT. Hak Pakai yang terjadi di atas Tanah Hak Milik saat
ini belum diatur, tetapi terbuka kesempatannya untuk dijadikan obyek hak
tanggungan apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu wajib didaftarkan dan dapat
dipindahtangankan untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin
pelunasannya syarat. Pasal 4 ayat (3) UUHT menegaskan terhadap hal tersebut
akan diatur dalam peraturan pemerintah.
3. Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian hak tanggungan dilakukan
dengan pembuatan APHT oleh PPAT sebagaimana rumusan Pasal 10 dan Pasal 15 UUHT.
Pemberi hak tanggungan sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHT adalah orang
perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum
atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum harus ada pada pemberi hak tanggungan sebagaimana ketentuan
Pasal 8 ayat (2) UUHT. Sebagai suatu bentuk perjanjian, pemberian hak
tanggungan harus memenuhi persyaratan subjektif dan obyektif sebagaimana syarat
sahnya suatu perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan
Widjaja syarat subjektif pemberian hak tanggungan adalah[26]:
1. Adanya
Kesepakatan untuk memberikan hak tanggungan.
2. Kecakapan
untuk memberikan hak tanggungan
Hak tanggungan baru akan lahir
manakala telah dibuat APHT di hadapan PPAT.[27]
Dengan demikian hak tanggungan tidak akan lahir dengan disepakatinya pemberian
hak tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaaan yang akan dijaminkan dengan
hak tanggungan tersebut. Pemberian hak tanggungan baru akan mengikat pihak
ketiga, manakala pemberian hak tanggungan tersebut didaftarkan dan diumumkan.
Perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai suatu perjanjian formal
mensyaratkan dibuatnya APHT di hadapan PPAT.
Terkait dengan kecakapan membuat
perjanjian, dapat dilihat dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT. Rumusan Pasal 8 dan
Pasal 9 UUHT tersebut menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja membicarakan
mengenai dua hal, yaitu:
1. Mengenai
kapasitas dari subyek hukum yang membuat perjanjian pemberian Hak Tanggungan.
2. Mengenai
keterkaitan hubungan obyektif antara subyek hukum yang membuat perjanjian
pemberian Hak Tanggungan dengan hak atas tanah yang merupakan obyek perjanjian
Hak Tangungan.
Sementara itu, syarat obyektif
perjanjian Hak Tanggungan adalah menyangkut:
1. Tentang
hal tertentu
2. Tentang
sebab yang halal dalam pemberian Hak Tanggungan.[28]
Dalam perjanjian pemberian hak
tanggungan eksistensi dari kebendaan yang telah ditentukan terlebih dulu juga
merupakan hal yang sangat penting. Pasal 11 ayat (1) huruf e menentukan dalam
APHT wajib dicantumkan mengenai uraian yang jelas mengenai obyek hak
tanggungan. Selain itu rumusan Pasal 11 ayat (1) UUHT huruf c dan d merupakan
penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin dan nilai
tanggungan. Adanya hal kebendaan tersebut di atas merupakan suatu hal tertentu
yang harus dipenuhi agar perjanjian pemberian hak tanggungan mempunyai obyek
tertentu.
Dalam penjelasan umum angka 8 UUHT
dapat dilihat bahwa hak tanggungan tidak akan pernah ada tanpa keberadaan utang
pokok. Dengan kata lain, perjanjian pokok merupakan sebab yang halal bagi
adanya hak tanggungan.
4. Aspek
Hukum Dalam Terjadinya Hak Tanggungan bagi Kreditor
Mengenai lahirnya hak tanggungan
dapat dipahami dari ketentuan Pasal 13 UUHT. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat
(1) UUHT āPemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahanā.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (2) menetapkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan.
Jaminan kebendaan yang berlaku saat
ini, antara lain[29]:
1. Hipotek, dasar hukumnya
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (buku kedua). Saat ini, yang berlaku hanya untuk hipotek kapal laut, sementara
hipotek untuk pesawat udara semula berlaku berdasarkan Undang-Undang
Penerbangan No. 15 Tahun 1992, kemudian Undang-Undang itu dicabut dengan
Undang-Undang Penerbangan No. 1 Tahun 2009 yang tidak menyebutkan lagi tentang
hipotek atas pesawat terbang. Jadi, hipotek kembali hanya dapat diikatkan
kepada kapal laut saja.
2. Hak Tanggungan,
berobjekkan hak tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dengan
dasar hukumnya Undang-Undang hak tanggungan.
3. Gadai, berobjekkan
benda-benda bergerak, dengan dasar hukumnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4. Gadai Tanah, berobjekkan
tanah, dengan dasar hukumnya adalah hukum adat dan dikuatkan oleh Undang-Undang
Pokok Agraria.
5. Fidusia, berobjekkan benda bergerak (berwujud
ataupun tidak berwujud) dan benda tidak bergerak khususnya yang tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan dengan dasar hukumnya adalah Undang-Undang
Fidusia.
Pendaftaran hak tanggungan
dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah hak tanggungan
dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak
tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan. Mengenai penanggalan buku tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan
jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan
diberi bertanggal hari kerja berikutnya, dimana dari tanggal buku tanah
tersebutlah dinyatakan sebagai lahirnya hak tanggungan.
Pelaksanaan eksekusi menurut Pasal
30 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 adalah pemberi fidusia wajib menyerahkan
benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Bila terdapat janji untuk
melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan
cara bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 42 tahun 1999, batal
demi hukum. Selain itu Undang-Undang ini juga memberikan perlindungan hukum
kepada pemberi fidusia, yaitu dalam Pasal 33, bahwa setiap janji yang memberikan
kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek
jaminan fidusia apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum.
Beberapa kemungkinan hasil eksekusi
benda yang dijadikan objek jaminan fidusia dengan kewajiban membayar oleh
debitur adalah:
a. Hasil
eksekusi lebih besar daripada kewajiban membayar. Dalam hal penerima fidusia
wajib mengembalikan kelebihan tersebut pada pemberi fidusia.
b. Hasil
eksekusi sama besar dengan kewajiban membayar. Dalam hal ini tidak ada
persoalan, karena sama juga telah terbayar hutangnya.
c. Hasil
eksekusi lebih kecil daripada kewajiban membayar. Dalam hal ini debitur masih
bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar itu.
Ciri jaminan hutang kebendaan yang
baik adalah manakala benda jaminan tersebut dapat dieksekusi secara tepat
dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum, misalnya
ketentuan eksekusi fidusia di Amerika Serikat yang membolehkan pihak kreditur
mengambil sendiri barang objek jaminan fidusia asal dapat menghidari
perkelahian atau percekcokan. Ketentuan eksekusi tersebut membolehkan objek
jaminan dijual didepan umum atau dijual dibawah tangan, asalkan dilakukan
dengan beritikad baik dan dengan cara yang commercially reasoable. Fidusia
sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan yang memiliki unsur-unsur cepat,
murah, dan pasti dalam eksekusinya. Hal tersebut sudah dikeluhkan sejak lama
sebab sebelum lahirnya Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tidak ada kejelasan
mengenai cara eksekusi objek jaminan fidusia karena tidak ada ketentuan yang
mengaturnya, maka banyak yang menafsirkan bahwa eksekusi fidusia dilakukan
melalui prosedur gugatan biasa. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 42 tahun
1999 maka terdapat ketentuan yang khusus mengatur jaminan fidusia.
Pasal 15 Undang-Undang No. 42 tahun
1999 menyatakan bahwa dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata
āDEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAā. Adanya kata-kata tersebut
beratri sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kekuatan
eksekutorial ini berarti langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan
dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan
tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan juga harus mengikuti prosedur
pelaksanaan suatu putusan pengadilan, pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan
menjual barang jaminan dimuka umum atau dengan cara yang oleh Ketua Pengadilan
dianggap baik. Eksekusi fidusia dapat juga dilakukan dengan menjual benda yang
menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum. Penjualan ini dilakukan
dengan atas kekuasaan penerima fidusia tanpa melibatkan pengadilan, tidak
memerlukan juru sita dan tidak memerlukan penyitaan. Jadi, setelah pemberi
fidusia cidera janji maka penerima fidusia dapat langsung menghubungi juru
lelang dan meminta agar benda jaminan dilelang. Setelah itu hasil penjualannya
diambil untuk pelunasan piutangnya. Eksekusi ini disebut dengan āparate
eksekusiā.
Penjualan dibawah tangan juga dapat
dilakukan sebagai salah satu cara eksekusi benda yang menjadi objek jaminan
fidusia. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan harus dilakukan setelah lewat
satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima
fidusia dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar.
Pada Pasal 31 Undang-Undang ini
dijelaskan pula apabila benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda
perdagangan atau efek yang dapat dijual dipasar atau dibursa maka penjualannya
dapat dilakukan ditempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi
terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan
dengan ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 maka dianggap batal demi hukum.
Keterbatasan jangka
waktu Hak Pakai yang dijadikan obyek jaminan Hak Tanggungan tentunya akan
menimbulkan permasalahan hukum tersendiri, karena menurut ketentuan Pasal 18
ayat (1) huruf d UUHT, Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan. Hal ini berarti dengan berakhirnya jangka waktu Hak
Pakai yang dijadikan obyek jaminan Hak Tanggungan, maka secara otomatis hapus
pula Hak Tanggungan yang melekat atas tanah tersebut.
D. Kesimpulan
Ketentuan
yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya atau
berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula undang-undang
tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999 yang
masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka penjaminan
utang.
Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata
dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas
dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan
piutang masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak
pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan. Tujuan dari pembebanan Hak Tanggungan adalah dalam rangka
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya
Kreditor) dan juga untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 1 ayat (1) UUHT
mengatur ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari Debitor kepada
Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan.
Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada Kreditor-Kreditor
lain. Dengan demikian pemberian Hak Tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan
hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit
yang bersangkutan. Hak Tanggungan tidak akan lahir tanpa adanya pendaftaran
APHT.
Daftar
Pustaka
Bahsan
M. Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit
Perbankan Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis, Cet.
(Bandung: Alumni, 2005)
Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer, Cet II,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002)
Hadisaputro, Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Jaminan,
(Yogyakarta: Liberty, 1986)
Harun, Badriyah Harun. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah (Jakarta:
Pustaka Yustisia, 2010)
Kansil, CST. Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1997)
Kansil. C.S.T dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hak
Tanggungan dan Tanah (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1997)
Macdonald, Ros & Denise McGill, Drafting, Second Edition,
(Australia: LexisNexis, Butterworths, 2008)
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Hak Tanggungan, Cet
III, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008)
Santoso, Rudi Tri Santoso. Kredit
Usaha Perbankan, Edisi I, Cet I, (Yogyakarta: Andi, 1996)
Satrio, J., Hukum Jaminan. Hak-hak Jaminan Kebendaan
(Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1991)
Salim, H.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Subekti,
R. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit
(Termasuk Hak Tanggungan)Menurut Hukum Indonesia (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996)
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu tinjauan
Yuridis (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Sutedi, Adrian. Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010)
Widjarnako, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007)
[1] Badriyah Harun, Penyelesaian
Sengketa Kredit Bermasalah (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 2
[2] Ibid.,hal. 13
[3] Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Jaminan,
(Yogyakarta: Liberty, 1986) Hal. 31
[4] M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan
Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
hal. 5
[6] Kansil, Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal.19-20
[7] Gatot Supramono, Perbankan
dan Masalah Kredit: Suatu tinjauan Yuridis (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
hal. 173.
[8] Widjarnako, Hukum
dan Ketentuan Perbankan di Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007)
hal. 81.
[11] J. Satrio, Hukum
Jaminan. Hak-hak Jaminan Kebendaan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991) hal. 3.
[12] Salim, H.S, Perkembangan
Hukum Jaminan Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 7.
[16] Ros Macdonald &
Denise McGill, Drafting, Second Edition, (Australia: LexisNexis,
Butterworths, 2008) hal. 3.
[20] R. Subekti, Jaminan-jaminan
Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan)Menurut Hukum Indonesia
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 21.
[22] C.S.T Kansil dan Christine
S.T Kansil, Pokok-Pokok Hak Tanggungan dan Tanah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997) hal. 7.
[26] Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Cet III, (Jakarta: Prenada Media Group,
2008) hal. 20 dan 52.
[29] Munir Fuady, Hukum
Perkreditan Kontemporer, Cet II, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2002),
hlm. 10.
Comments
Post a Comment