Skip to main content

ASPEK HUKUM DALAM TERJADINYA PERJANJIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

A.    Latar Belakang
Salah satu kegiatan oleh Bank Umum berdasarkan Pasal 6 Huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang adalah memberikan kredit. Dalam pemberian fasilitas kredit tersebut tentulah tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa risiko, karena risiko mungkin saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara lunas atau tunai, melainkan debitur diberi kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil. Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit (risiko kredit), risiko yang timbul karena pergerakan pasar (risiko pasar), risiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo (risiko likuiditas), serta risiko karena adanya kelemahan aspek yuridis yang di sebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung (risiko hukum).[1]
Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengantisipasi risiko yang merugikan kreditur tersebut perlu diperhatikan secara seksama oleh pihak bank, maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama terhadap 7 (tujuh) hal yang dikenal dengan istilah 7 P (Party, Purpose, Payment, Profitability, Protection, Personality, and Prospect).[2]
Dimana pada umumnya Pemberian kredit oleh bank selaku Kreditor kepada Debitor diawali dengan perjanjian kredit untuk proses pemberian ā€œjaminanā€ atau agunan dari pihak Debitor sebagai peminjam dana. Dimana hal ini dilakukan untuk menimbulkan keyakinan kepada Kreditur bahwa Debitor akan memenuhi kewajiban yang timbul dari suatu perikatan. Jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk memberikan keyakinan kepada kreditur bahwa debitur akan membayar hutangnya sesuai dengan yang di perjanjikan.[3] Dimana hasil penjualan (pencairan) objek atau jaminan kredit dilakukan untuk melunasi kredit dari debitur. Penjualan jaminan kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit, serta hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan di derita pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara lain dengan mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang lembaga jaminan.[4]
Selain itu menurut Rudi Tri Santoso jaminan memiliki beberapa fungsi, yaitu[5]:
a.       Untuk menjaga harta bank dalam bentuk kredit, karena dengan diserahkannya jaminan kepada bank, maka bank berhak memperoleh pelunasan atas hasil penjualan barang jaminan apabila nasabah cidera janji;
b.      Menjamin agar pembiayaan usaha tersebut berjalan lancar dengan diserahkannya harta Debitor sebagai jaminan bank yang secara moril Debitor akan bertanggung jawab terhadap proyek usaha tersebut ;
c.       Mendorong Debitor untuk membayar kembali utangnya agar tidak kehilangan harta yang telah dijaminkan tersebut.
Salah satu bentuk jaminan adalah Hak Tanggungan. Dimana sebagai lembaga jaminan, Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya di singkat dengan UUHT), adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.[6]
Dari pembahasan tersebut, maka penulis mengangkat judul makalah ini adalah, ā€œASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGANā€. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yang akan diangkat oleh penulis adalah:
1.      Bagaimanakah Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan?
2.      Bagaimanakah Aspek Hukum Dalam Terjadinya Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak Tanggungan?

B.     Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan
1.      Pengertian Jaminan Kredit
Berkaitan dengan kredit, menurut Ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk:
(a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
(b) pengambil-alihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan
(c) pengambil-alihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Dengan memperhatikan seluruh pengertian kredit yang telah diuraikan di atas, maka dapat dipahami pengertian peminjam dalam kerangka perkreditan. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan/badan yang memperoleh penyediaan dana dari bank, termasuk:
a.       Debitur, untuk penyediaan dana berupa kredit.
b.      Penerbit surat berharga, pihak yang menjual surat berharga, manajer investasi kontrak investasi kolektif, dan atau reference entity, untuk penyediaan dana berupa surat berharga.
c.       Pihak yang mengalihkan risiko kredit (protection buyer) dan atau reference entity, untuk penyediaan dana berupa derivatif kredit (credit derivatives).
d.      Pemohon (applicant), untuk penyediaan dana berupa jaminan (guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau instrument serupa lainnya.
e.       Pihak tempat bank melakukan penyertaan modal (investee), untuk penyediaan dana berupa penyertaan modal.
f.       Bank atau debitur, untuk penyediaan dana berupa tagihan akseptasi.
g.       Pihak lawan transaski (counterparty), untuk penyediaan dana berupa penempatan dan transaksi derivatif.
h.      Pihak lain yang wajib melunasi tagihan kepada bank.
Perjanjian kredit termasuk perjanjian pinjam-meminjam uang antar bank dan nasabahnya didasari perjanjian yang telah disepakati bersama yang diikuti dengan pemberian bunga.[7] Johanes Ibrahim menyebut perjanjian kredit sebagai Perjanjian antara bank, sebagai Kreditor dengan nasabah sebagai Debitor mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah Debitor untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian keuntungan.[8] Kemudian menurut Adrian Sutedi, perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank sebagai pemberi Kreditor dan nasabah selaku Debitor. Dalam perjanjian kredit tersebut bank percaya kepada nasabah akan membayar lunas dalam jangka waktu yang telah disepakati.[9]
Sementara itu terkait dengan jaminan dalam lembaga perbankan, Mariam Darus Badrulzaman memberi definisi jaminan ā€œadalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang Debitor dan atau pihak ketiga kepada Kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatanā€.[10] Sedangkan J. Satrio berpendapat bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang Kreditor terhadap seorang Debitor.[11]
Sehingga dapat lah disimpulkan bahwa jaminan kredit adalah pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung utang Debitor sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok. Dalam praktek perbankan, jaminan kredit atau kredit garansi disebut dengan istilah jaminan perseorangan/orang, yaitu perjanjian antara Kreditor dan penanggung, dimana seorang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi utang Debitor, baik karena ditunjuk oleh Kreditor (tanpa sepengetahuan atau persetujuan Debitor) maupun yang diajukan oleh Debitor atas perintah dari Kreditor.
Adapun unsur-unsur dari jaminan kredit adalah[12]:
1.      Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan hukum tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan.
2.      Adanya pemberi dan penerima jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Adapun yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang memberikan fasilitas kredit. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Adapun yang bertindak sebagai penerima jaminaan ini adalah orang atau badan hukum.
3.      Adanya jaminan. Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada Kreditor adalah jaminan material dan immaterial. Jaminan material merupakan jaminan yang berupa hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immaterial merupakan jaminan non kebendaan.
4.      Adanya fasilitas pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
Adrian Sutedi secara umum membedakan jaminan menjadi dua, yaitu jaminan yang lahir dari undang-undang (jaminan umum) dan jaminan yang lahir karena perjanjian.[13] Jaminan umum adalah jaminan yang adanya telah ditentukan undang-undang, misalnya undang-undang yang diatur dalam Pasal 1311 KUH Perdata dan 1232 KUH Perdata.
Pasal 1311 KUH Perdata pada intinya menyatakan bahwa segala kekayaan Debitor, baik berupa benda bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada di kemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai jaminan, secara hukum menjadi jaminan seluruh utang Debitor. Sementara itu jaminan khusus adalah jaminan yang timbul karena adanya perjanjian. Secara yuridis perjanjian khusus timbul karena adanya suatu perjanjian antara Bank dan pemilik jaminan atau antara Bank dan pihak ketiga yang menanggung utang Debitor. [14]
Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perorangan dan jaminan yang bersifat kebendaan. Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin pemenuhan yang bersangkutan. Sedangkan jaminan kebendaan memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengikuti benda yang bersangkutan.[15]
Proses pembuatan perjanjian menurut Ros Mcdonald dan Denise Mcgill[16] adalah proses konversi dari niat yang mendasari para pihak ke dalam suatu dokumen tertulis, konstruksi (perjanjian) adalah proses penuangan maksud yang sesungguhnya dari para pihak sebagaimana yang tercantum dalam dokumen tersebut. Terkait dengan suatu perjanjian kebendaan, maka hal itu terdiri perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang harus memiliki dasar yang mendasari untuk keberadaannya. Contoh perjanjian pokok adalah perjanjian kredit bank. Sedangkan perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, hak tanggungan dan fidusia.[17]
2.      Fungsi Jaminan Dalam Kredit
Pada dasarnya berdasarkan UU Perbankan, tidak dinyatakan secara tegas keharusan adanya jaminan untuk memperoleh kredit. Karena itu bank mungkin saja memberikan kredit tanpa mensyaratkan penyerahan jaminan. Namun pada umumnya bank tetap mensyaratkan calon Debitor menyerahkan jaminan kredit terkait dengan fungsi jaminan kredit
Jaminan kredit sebagai pengaman pelunasan kredit diperlukan karena bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada Debitor wajib melakukan pengamanan agar Debitor tersebut dapat melunasi kredit yang telah diberikan. Apabila Debitor tidak dapat mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank akan menjadi kerugian yang yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Semakin besar jumlah kredit yang tidak dapat dikembalikan oleh Debitor semakin besar pula pengaruhnya terhadap kesehatan bank tersebut. Dalam hal ini maka jaminan kredit berperan sebagai pengaman bagi kredit yang disalurkan perbankan untuk memenuhi ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian. Dimana menurut M. Bahsan bahwa secara umum pengamanan kredit bank dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan kredit untuk pengamanannya dapat ditemukan, baik pada tahap analisis kredit maupun penerapan ketentuan hukum.[18]
Penggunaan jaminan sebagai pengaman kredit yang diberikan oleh bank juga dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi ā€œSegala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseoranganā€. Fungsi jaminan sebagai pengaman pelunasan kredit baru akan muncul pada saat kredit tersebut macet. Dengan adanya jaminan kredit yang dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat Debitor ingkar janji.[19]
Sehubungan dengan fungsi jaminan sebagai sarana pengaman kredit yang diberikan oleh bank, maka menurut R. Subekti jaminan yang baik adalah[20]:
a.       Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya.
b.      Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya.
c.       Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima (pengambil) kredit.
Sementara itu terkait dengan jaminan kredit sebagai pendorong motivasi Debitor adalah ketakutan Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan dalam memperoleh kredit. Rasa takut ini akan mendorong Debitor melunasi kreditnya kepada bank agar benda yang dijadikan jaminan harus dicairkan oleh bank tersebut. Rasa takut Debitor akan kehilangan benda yang dijaminkan pada pihak bank dapat dimengerti apabila disimak pendapat M. Bahsan bahwa nilai jaminan yang diserahkan Debitor kepada pihak bank lebih besar dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan pihak bank. Hal ini memberi motivasi kepada Debitor untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usaha dengan baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat melunasi utangnya.[21]
3.      Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan
Menurut penjelasan umum UUHT, dalam memberikan hak tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya melalui SKMHT yang berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT ditugaskan kepada Notaris, dan PPAT. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) UUHT dinyatakan bahwa sebagai konsekuensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pembebanan Hak tanggungan atas agunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang hak atas tanah, wajib dilakukan bersamaan dengan pemberian hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan di dalam satu APHT yang ditanda tangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang hak atas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya sebagai pemberi tanggungan.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 24 ayat (3) UUHT dijelaskan bahwa termasuk dalam pengertian surat kuasa membebankan hipotik yang dimaksud pada ayat ini adalah surat kuasa untuk menjaminkan tanah. Pada saat pembuatan APHT dan SKMHT harus sudah ada keyakinan pada Notaris/PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi hak tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan itu didaftarkan. Pasal 15 ayat (1) UUHT juga menentukan persyaratan SKMHT, yaitu:
1.      Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan hak tanggungan.
2.      Tidak memuat kuasa substitusi.
3.      Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas Kreditornya, nama dan identitas Debitor apabila Debitor bukan pemberi hak tanggungan.

Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek hak tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Dalam penjelasan huruf b atas Pasal 15 ayat (1) UUHT dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan bukan merupakan substitusi jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain. Kemudian dalam penjelasan huruf c atas Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi hak tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud pada huruf b adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Subyek SKMHT adalah Debitor selaku pemberi kuasa dan Kreditor selaku penerima Kuasa SKMHT. Obyek SKMHT adalah sama dengan Obyek hak tanggungan yang dapat diikat sebagai jaminan hutang meliputi hak atas tanah dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas tanah Negara yang diberikan kepada perorangan dan Badan Hukum Perdata yang tanahnya dapat dijual termasuk tanah Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik yang bukti kepemilikannya berupa petuk pajak atau girik dan bukti lainnya yang sejenis dapat digunakan sebagai jaminan kredit. Obyek SKMHT dapat juga berupa hak atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertipikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar (belum bersertipikat).
Dalam APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada Kreditor-Kreditor lain sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT. Pemberian hak tanggungan dalam hal ini merupakan jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan.
Tata cara pembebanan hak tanggungan dimulai dengan tahap pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan setempat. Pemberi hak tanggungan (Debitor atau pihak lain) wajib hadir sendiri di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT. Selanjutnya ayat (2) memuat mengenai jumlah pinjaman, penunjukan obyek hak tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan oleh Kreditor dan Debitor termasuk janji Roya Partial dan janji penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 UUHT. Untuk kepentingan Kreditor, tertentu jangka waktu SKMHT yaitu sampai dengan berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok.
Pemberian hak tanggungan dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada Kreditor-Kreditor lain sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT. Pemberian hak tanggungan dalam hal ini merupakan jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan.
Tata cara pembebanan hak tanggungan dimulai dengan tahap pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan setempat. Pemberi hak tanggungan (Debitor atau pihak lain) wajib hadir sendiri di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya.
Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT. Selanjutnya ayat (2) memuat mengenai jumlah pinjaman, penunjukan obyek hak tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan oleh Kreditor dan Debitor termasuk janji Roya Partial dan janji penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 20 UUHT. Untuk kepentingan Kreditor, dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya hak tanggungan, yaitu Sertipikat hak tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa APHT adalah akta yang memuat tentang nomor sertipikat, tanggal penerbitan sertipikat, luas tanah, lokasi tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah tersebut serta besarnya beban hutang yang diletakkan/dipertanggungjawabkan di atas tanah tersebut dan APHT harus didaftarkan di Kantor Pertanahan Setempat.

C.     Aspek Hukum Dalam Terjadinya Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak Tanggungan
1.      Pengertian Hak Tanggungan
Dalam Pasal 1 angka 1 UUHT dikatakan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu, terhadap Kreditor-Kreditor lain.
Menurut C.S.T Kansil dan Christine. S.T Kansil, Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain. Dalam arti jika Debitor cidera janji, Kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut perturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada Kreditor-Kreditor yang lain.[22]
Sedangkan Menurut J. Satrio, rumusan pengertian hak tanggungan menurut UUHT bukan merupakan rumusan umum, tetapi hanya tentang Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda terkait dengan tanah saja. Dalam pandangan J. Satrio, terdapat beberapa unsur penting dari hak tanggungan, yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah, berikut atau tidak berikut dengan benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan hutang tertentu dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap Kreditor yang lain.[23]
2.      Subyek dan Obyek Hak Tanggungan
Subyek hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT. Menurut Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Selanjutnya ayat (2) berbunyi: ā€œKewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.ā€
Dalam Pasal 9 UUHT menyebutkan bahwa Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dengan demikian menurut UUHT, subyek hak tanggungan adalah pemberi dan pemegang hak tanggungan. Dengan kata lain subyek hak tanggungan adalah pihak-pihak yang berkepentingan dengan adanya suatu perjanjian utang-piutang yang dijamin pelunasannya, yaitu pemberi dan pemegang hak tanggungan.
Sementara itu obyek hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUHT adalah hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hak-hak atas tanah berikut, bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut akan merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam APHT yang bersangkutan.[24]
Terkait dengan Hak Pakai, tidak semua Tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat dijadikan obyek hak tanggungan karena ada Hak Pakai Atas Tanah Negara yang walapun didaftarkan tidak bisa dipindahtangankan seperti Hak Pakai atas nama pemerintah, Hak Pakai atas nama badan keagamaan dan sosial serta Hak Pakai atas Nama Perwakilan Negara Asing. Pada prinsipnya obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.[25]
Terkait dengan Hak Pakai, hak tersebut tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan dalam UUPA karena pada saat itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak memenuhi asas publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara sebebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum angka 5 UUHT. Hak Pakai yang terjadi di atas Tanah Hak Milik saat ini belum diatur, tetapi terbuka kesempatannya untuk dijadikan obyek hak tanggungan apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya syarat. Pasal 4 ayat (3) UUHT menegaskan terhadap hal tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
3.       Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sebagaimana rumusan Pasal 10 dan Pasal 15 UUHT. Pemberi hak tanggungan sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHT adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum harus ada pada pemberi hak tanggungan sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT. Sebagai suatu bentuk perjanjian, pemberian hak tanggungan harus memenuhi persyaratan subjektif dan obyektif sebagaimana syarat sahnya suatu perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja syarat subjektif pemberian hak tanggungan adalah[26]:
1.      Adanya Kesepakatan untuk memberikan hak tanggungan.
2.      Kecakapan untuk memberikan hak tanggungan
Hak tanggungan baru akan lahir manakala telah dibuat APHT di hadapan PPAT.[27] Dengan demikian hak tanggungan tidak akan lahir dengan disepakatinya pemberian hak tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaaan yang akan dijaminkan dengan hak tanggungan tersebut. Pemberian hak tanggungan baru akan mengikat pihak ketiga, manakala pemberian hak tanggungan tersebut didaftarkan dan diumumkan. Perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai suatu perjanjian formal mensyaratkan dibuatnya APHT di hadapan PPAT.
Terkait dengan kecakapan membuat perjanjian, dapat dilihat dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT. Rumusan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT tersebut menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja membicarakan mengenai dua hal, yaitu:
1.      Mengenai kapasitas dari subyek hukum yang membuat perjanjian pemberian Hak Tanggungan.
2.      Mengenai keterkaitan hubungan obyektif antara subyek hukum yang membuat perjanjian pemberian Hak Tanggungan dengan hak atas tanah yang merupakan obyek perjanjian Hak Tangungan.
Sementara itu, syarat obyektif perjanjian Hak Tanggungan adalah menyangkut:
1.      Tentang hal tertentu
2.      Tentang sebab yang halal dalam pemberian Hak Tanggungan.[28]
Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan eksistensi dari kebendaan yang telah ditentukan terlebih dulu juga merupakan hal yang sangat penting. Pasal 11 ayat (1) huruf e menentukan dalam APHT wajib dicantumkan mengenai uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Selain itu rumusan Pasal 11 ayat (1) UUHT huruf c dan d merupakan penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin dan nilai tanggungan. Adanya hal kebendaan tersebut di atas merupakan suatu hal tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian pemberian hak tanggungan mempunyai obyek tertentu.
Dalam penjelasan umum angka 8 UUHT dapat dilihat bahwa hak tanggungan tidak akan pernah ada tanpa keberadaan utang pokok. Dengan kata lain, perjanjian pokok merupakan sebab yang halal bagi adanya hak tanggungan.

4.      Aspek Hukum Dalam Terjadinya Hak Tanggungan bagi Kreditor
Mengenai lahirnya hak tanggungan dapat dipahami dari ketentuan Pasal 13 UUHT. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUHT ā€œPemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahanā€. Selanjutnya Pasal 13 ayat (2) menetapkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Jaminan kebendaan yang berlaku saat ini, antara lain[29]:
1.      Hipotek, dasar hukumnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (buku kedua). Saat ini, yang berlaku hanya untuk hipotek kapal laut, sementara hipotek untuk pesawat udara semula berlaku berdasarkan Undang-Undang Penerbangan No. 15 Tahun 1992, kemudian Undang-Undang itu dicabut dengan Undang-Undang Penerbangan No. 1 Tahun 2009 yang tidak menyebutkan lagi tentang hipotek atas pesawat terbang. Jadi, hipotek kembali hanya dapat diikatkan kepada kapal laut saja.
2.      Hak Tanggungan, berobjekkan hak tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dengan dasar hukumnya Undang-Undang hak tanggungan.
3.      Gadai, berobjekkan benda-benda bergerak, dengan dasar hukumnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4.      Gadai Tanah, berobjekkan tanah, dengan dasar hukumnya adalah hukum adat dan dikuatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria.
5.      Fidusia, berobjekkan benda bergerak (berwujud ataupun tidak berwujud) dan benda tidak bergerak khususnya yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan dengan dasar hukumnya adalah Undang-Undang Fidusia.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Mengenai penanggalan buku tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya, dimana dari tanggal buku tanah tersebutlah dinyatakan sebagai lahirnya hak tanggungan.
Pelaksanaan eksekusi menurut Pasal 30 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 adalah pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Bila terdapat janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 42 tahun 1999, batal demi hukum. Selain itu Undang-Undang ini juga memberikan perlindungan hukum kepada pemberi fidusia, yaitu dalam Pasal 33, bahwa setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum.
Beberapa kemungkinan hasil eksekusi benda yang dijadikan objek jaminan fidusia dengan kewajiban membayar oleh debitur adalah:
a.       Hasil eksekusi lebih besar daripada kewajiban membayar. Dalam hal penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut pada pemberi fidusia.
b.      Hasil eksekusi sama besar dengan kewajiban membayar. Dalam hal ini tidak ada persoalan, karena sama juga telah terbayar hutangnya.
c.       Hasil eksekusi lebih kecil daripada kewajiban membayar. Dalam hal ini debitur masih bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar itu.
Ciri jaminan hutang kebendaan yang baik adalah manakala benda jaminan tersebut dapat dieksekusi secara tepat dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum, misalnya ketentuan eksekusi fidusia di Amerika Serikat yang membolehkan pihak kreditur mengambil sendiri barang objek jaminan fidusia asal dapat menghidari perkelahian atau percekcokan. Ketentuan eksekusi tersebut membolehkan objek jaminan dijual didepan umum atau dijual dibawah tangan, asalkan dilakukan dengan beritikad baik dan dengan cara yang commercially reasoable. Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan yang memiliki unsur-unsur cepat, murah, dan pasti dalam eksekusinya. Hal tersebut sudah dikeluhkan sejak lama sebab sebelum lahirnya Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tidak ada kejelasan mengenai cara eksekusi objek jaminan fidusia karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya, maka banyak yang menafsirkan bahwa eksekusi fidusia dilakukan melalui prosedur gugatan biasa. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 42 tahun 1999 maka terdapat ketentuan yang khusus mengatur jaminan fidusia.
Pasal 15 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 menyatakan bahwa dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata ā€œDEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAā€. Adanya kata-kata tersebut beratri sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kekuatan eksekutorial ini berarti langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan juga harus mengikuti prosedur pelaksanaan suatu putusan pengadilan, pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan menjual barang jaminan dimuka umum atau dengan cara yang oleh Ketua Pengadilan dianggap baik. Eksekusi fidusia dapat juga dilakukan dengan menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum. Penjualan ini dilakukan dengan atas kekuasaan penerima fidusia tanpa melibatkan pengadilan, tidak memerlukan juru sita dan tidak memerlukan penyitaan. Jadi, setelah pemberi fidusia cidera janji maka penerima fidusia dapat langsung menghubungi juru lelang dan meminta agar benda jaminan dilelang. Setelah itu hasil penjualannya diambil untuk pelunasan piutangnya. Eksekusi ini disebut dengan ā€œparate eksekusiā€.
Penjualan dibawah tangan juga dapat dilakukan sebagai salah satu cara eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan harus dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar.
Pada Pasal 31 Undang-Undang ini dijelaskan pula apabila benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda perdagangan atau efek yang dapat dijual dipasar atau dibursa maka penjualannya dapat dilakukan ditempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 maka dianggap batal demi hukum.
Keterbatasan jangka waktu Hak Pakai yang dijadikan obyek jaminan Hak Tanggungan tentunya akan menimbulkan permasalahan hukum tersendiri, karena menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT, Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Hal ini berarti dengan berakhirnya jangka waktu Hak Pakai yang dijadikan obyek jaminan Hak Tanggungan, maka secara otomatis hapus pula Hak Tanggungan yang melekat atas tanah tersebut.

D.    Kesimpulan
Ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka penjaminan utang.
Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan. Tujuan dari pembebanan Hak Tanggungan adalah dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya Kreditor) dan juga untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 1 ayat (1) UUHT mengatur ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor yang bersangkutan (Kreditor preferent) daripada Kreditor-Kreditor lain. Dengan demikian pemberian Hak Tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang Debitor kepada Kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan. Hak Tanggungan tidak akan lahir tanpa adanya pendaftaran APHT.

Daftar Pustaka
Bahsan M. Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis, Cet. (Bandung: Alumni, 2005)
Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer, Cet II, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002)
Hadisaputro, Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Jaminan, (Yogyakarta: Liberty, 1986)
Harun, Badriyah Harun. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2010)
Kansil, CST. Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997)
Kansil. C.S.T dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hak Tanggungan dan Tanah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997)
Macdonald, Ros & Denise McGill, Drafting, Second Edition, (Australia: LexisNexis, Butterworths, 2008)
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Hak Tanggungan, Cet III, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008)
Santoso, Rudi Tri Santoso. Kredit Usaha Perbankan, Edisi I, Cet I, (Yogyakarta: Andi, 1996)
Satrio, J., Hukum Jaminan. Hak-hak Jaminan Kebendaan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)
Salim, H.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Subekti, R. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan)Menurut Hukum Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996)
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu tinjauan Yuridis (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Sutedi, Adrian. Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
Widjarnako, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007)




[1] Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 2
[2] Ibid.,hal. 13
[3] Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Jaminan, (Yogyakarta: Liberty, 1986) Hal. 31
[4] M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 5
[5] Rudi Tri Santoso, Kredit Usaha Perbankan, Edisi I, Cet I, (Yogyakarta: Andi, 1996) hal.188.
[6] Kansil, Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal.19-20
[7] Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu tinjauan Yuridis (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hal. 173.
[8] Widjarnako, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007) hal. 81.
[9] Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hal.21.
[10] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cet. (Bandung: Alumni, 2005), hal. 12.
[11] J. Satrio, Hukum Jaminan. Hak-hak Jaminan Kebendaan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991) hal. 3.
[12] Salim, H.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 7.
[13] Adrian Sutedi, op.cit., hal.28
[14] Adrian Sutedi, op.cit., hal.27
[15] Salim, H.S, op.cit., hal. 23
[16] Ros Macdonald & Denise McGill, Drafting, Second Edition, (Australia: LexisNexis, Butterworths, 2008) hal. 3.
[17] Salim, H.S, op.cit, hal.30.
[18] M. Bahsan, op.cit. hal. 103.
[19] M. Bahsan, op.cit., hal. 104.
[20] R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan)Menurut Hukum Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 21.
[21] M. Bahsan, op.cit., hal. 105.
[22] C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hak Tanggungan dan Tanah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997) hal. 7.
[23] J. Satrio, op.cit, hal. 65.
[24] Adrian Sutedi, op.cit, hal. 50
[25] Adrian Sutedi, op.cit, hal. 52
[26] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Cet III, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008) hal. 20 dan 52.
[27] Ibid, hal. 26.
[28] Ibid., hal. 120 dan 133
[29] Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Cet II, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 10.

Comments

Popular posts from this blog

JASA PEMBUATAN SKRIPSI HUKUM BESERTA BIMBINGAN BERPENGALAMAN

Jasa Penulisan Hukum berupa Skripsi dan Bimbingan di bidang hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademisi Hukum lulusan FH USU dan MH UI. Yang tentunya berbeda dengan situs sejenis lainnya yang menawarkan jasa tanpa kita mengetahui dasar-dasar dari penulis karya tulis tersebut. Karena dalam Penelitian Hukum memiliki keunikan yang berbeda dengan penelitian lainnya, baik itu ilmu sains maupun ilmu sosial. Penelitian Hukum pada umumnya terbagi menjadi Penelitian Yuridis Normatif dan Penelitian Yuridis Empiris.  Secara prinsip. Skripsi merupakan karya ilmiah hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dengan bimbingan dari dosen pembimbing, yang disusun dalam rangka menyelesaikan studi di Program Sarjana. Secara formal, ditetapkannya kewajiban menuyusun skripsi terhadap mahasiswa Fakultas Hukum didasarkan pada beberapa aturan, yaitu: 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi; 3. Kepu...

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian ...

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetap...