Skip to main content

Analisis Hukum Felthouse v Bindley (1862)

Sebelum sebuah kontrak yang valid timbul, harus ada unrevoked offer oleh satu pihak, the offerer, dan unqualified acceptance oleh pihak lain, the offeree.  Hal ini disebut asas konsensualisme. Dengan asas konsensualisme, kontrak dikatakan telah lahir jika telah ada kata sepakat atau persesuaian kehendak di antara para, pihak yang membuat kontrak tersebut. Asas konsensualisme ini berkaltan dengan penghormatan martabat manusia. Subekti menyatakan bahwa hal ini merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul dari pepatah Belanda, "eenman een word, een word een man", yang maksudnya dengan diletakkannya perkataan seseorang, orang itu ditingkatkan martabatnya sebagai manusia.  Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagi para pihak yang umumnya dianut di civil law countries.
Dengan adanya konsensus dari para pihak, maka kesepakatan itu menimbuikan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang pacta sunt servanda  Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka (curri nexum faciet mancipiumque, utilingua mancuoassit, itajus esto)  Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian (verblndende kracht van de overeenkomst). Ini bukan saja kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.  Sebagai konsekuensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.
Berbicara acceptance, maka tidak terlepas dari asas itikad baik.  Iktikad baik merupakan salah satu asas penting dalam hukum kontrak  tetapi pengaturan iktikad baikdi Indonesia, terutama
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termasuk ketentuan yang paling tidak jelas.  Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menyebutkan perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan iktikad baik tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat memahami makna iktikad baik secara lebih baik harus
dllihat pada penafsiran iktikad baik dalam praktik peradilan.
Penafsiran iktikad baik oleh pengadilan muncul dalam putusan Hoge Raad di Negeri Belanda pada tanggal 9 Pebruari 1923. Menurut Hoge Raad, iktikad ini merupakan doktrin merujuk kepada kewajaran atau kepatutan dan keadilan redelijkheld en billijkheid yang hidup dalam masyarakat.
Hoge Raad menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan menurut kewajaran dan keadilan (volgens de eisen van redelijkheld en billijkheid).  Hoge Raad dengan tegas menyatakan bahwa memperhatikan iktikad baik pada pelaksanaan perjanjian tidak lain adalah menafsirkan perjanjian menurutukuran kepatutan dan keadilan. Dengan demlkian lahir pandangan yang menyatakan bahwa Hoge Raad menyamakan iktikad baik dengan kepatutan dan keadilan.
Namun ternyata tidak semua sistem hukum di dunia ini menerima konsep atau doktrin iktikad baik. Pada dasarnya doktrin iktikad berasal dari hukum kontrak sistem hukum sipil yang berakar pada hukum romawi.  Sistem common law, secara tradisional tidak mengenal doktrin iktikad baik dalam  kontrak.  Seperti Negara Inggris dimana Hukum inggris yang secara tradisional tidak mengenal iktikad baik dalam kontrak cenderung menolaknya, bahkan selama tahun 1960-an ada konsensus diantara hakim-hakim di inggris untuk tidak menerima doktrin tersebut, dan mempertahankan sistem hukum yang dimiliki inggris sendiri.  Penolakan tersebut terjadi pada kalangan sarjana hukum inggris,
seperti Roy Goode yang menyatakan suiit untuk mengadopsi konsep umum iktikad baik tersebut, bahkan ia menyatakan, "we do not know quite what good faith means”.
Penolakan penerapam doktrin iktikad baik di Australia juga mendapat tantangan dari beberapa sarjana hukum Australia, seperti H.K. Lucke. Dia menyatakan bahwa tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa doktrin iktikad baik memberikan pengaruh yang signifikan dan menguntungkan hukum perdata Australia." Dia mendukung pendapat Paul Pinn yang menyatakan bahwa keadiian bukan merupakan miiik ekskusif doktrin iktikad baik.  Walaupun ada tantangan dari kalangan akademisi hukum, dalam kenyataannya dewasa ini, doktrin tersebut teiah diserap pula
oleh case law Australia.  Sebagai gantinya dalam menghadapi ketidakpantasan dan ketidakadilan baik dalam negosiasi dan penyusunan kontrak, Australia mendasarkan kepada doktrin undue influence dan doktrin unconscionability.
Namun ada juga Hukum Negara dengan sistem common law yang telah menerima doktrin iktikad baik sistem hukum  kontraknya yaitu Amerika Serikat. Doktrin tersebut terefieksi dalam: The Uniform Commercial Code (UCC), The American Law Institute's Restatementi 2nd contract, dan 'United Nations Convention on Contracts tor the International Sale of Goods. Ketiganya menerima doktrin iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak.
Kontrak dalam hukum Inggris terbentuk melalui proses offer dan acceptance Satu pihak memberikan offer dan pihak lain menerima offer tersebut. Offer merupakan pernyataan yang mengandung syarat-syarat yang diajukan oleh offeror kepada oferee sebagai dasar perjanjian, di dalamnya juga terdapat janji-janji baik secara tegas maupun diam-diam yang harus dipatuhi apabila syarat-syarat yang diajukan diterima.  Offer ini dapat dibuat tertulis,  lisan, ataupun dapat disimpulkan melalui perbuatan offeror. Melalui proses ini  terjadilah consesnsus in idem atau meeting of the minds dari para pihaknya, dan saat inilah lahir suatu kontrak.  Konsensus atau sepakat atau kesesuaian kehendak menurut sistem hukum common law Inggris dikatakan telah tercapai apabila they have agreed on a common matter.
Sebagai contoh Kasus yaitu Felthouse v Bindley (1862). Adapun kasus tersebut sebagai berikut: Keponakan penggugat merasa telah menjual kuda dari penggugat seharga  £31.50. Penggugat yang merupakan paman dari penggugat merasa telah membeli kuda tersebut seharga £30. Untuk menghilangkan kesalahpamahan tentang harga, penggugat menulis offer kepada keponakannya "jika tidak ada kabar, saya menganggap bahwa kuda tersebut saya miliki seharga £30, 15 shilling." Keponakan setuju menjual seharga tersebut, maka dia tidak memberikan replay. 6 minggu kemudian pelelang menjual kuda tersebut. Penggugat menggugat pelelang atas dasar perbuatan melawan hukum karena menjual miliknya. Pelelang mengatakan bahwa kuda masih milik keponakan penggugat, karenanya pelelang tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Pengadilan memutuskan pelelang tidak bertanggung jawab. Offer dari penggugat untuk membeli kuda seharga £30 15 shilling tidak pernah diterima karenanya kuda masih milik keponakan.
Dari kasus Felthouse v Bindley (1862) dapat dilihat bahwa pengadilan menegaskan pihak lawan tidak boleh dianggap telah memberikan acceptance semata-mata karena offere tidak memberikan jawaban.   Hal ini dikarenakan suatu penerimaan, baik dengan kata- kata ataupun dengan perbuatan tidak dianggap efektif sampai saat acceptance ini secara jelas disampaikan pada offeror oleh offeree atau wakilnya yang sah. Hal ini bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada offeror dari suatu keadaan di mana tanpa sepengetahuannya dia terikat kontrak tanpa mengetahui bahwa offernya telah diterima. Offeror dapat menentukan cara bagaimana acceptance dilakukan.  Karena bagaimanapun penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen.
Dari kasus ini juga terlihat bahwa pengadilan tidak mempertimbangkan unsur itikad baik dari penggugat yang telah menulis offer. Pengadilan juga tidak melihat adanya unsur itikad tidak baik dari tergugat yang tidak membalas offer dari penggugat. Karena dalam Aturan hukum Inggris mengatur bahwa tidak berbuat apa-apa tidak dapat dianggap sebagai acceptance suatu offer dikenal di Inggris. Hukum tidak membenarkan offeror menghalangi offeree menolak offer nya.
Pengecualian terhadap aturan hukum ini bahwa acceptance baru efektif hanya jika disampaikan pada offeror adalah dalam hal offeror secara tegas maupun diam-diam mengabaikan perlunya pemberitahuan, dia akan terikat pada acceptance tersebut meskipun tidak dikomunikasikan padanya. Pernyataan tegas misalnya menyatakan communication of acceptance is not required, pernyataan diam-diam dapat terjadi dalam kontrak unilateral dimana offeree tidak perlu menyatakan kehendaknya untuk melaksanakan permintaan offeror. Dimana Menurut hukum Inggris hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perdata yang lingkupnya adalah contract, tort, property, trusts and family law.

Comments

  1. How to withdraw your winnings - Casino Hub
    The online gambling 계룡 출장마사지 industry is booming 대전광역 출장샵 You can withdraw 경상북도 출장샵 your 청주 출장안마 winnings as a bonus, no deposit, and even use a credit card to 경산 출장샵 deposit.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S