.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, merek diartikan sebagai suatu tanda yang dapat ditampilkan secara grafis—baik berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna dalam bentuk dua atau tiga dimensi, suara, hologram, atau gabungan dari dua atau lebih unsur tersebut—yang digunakan untuk membedakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh individu maupun badan hukum dalam kegiatan perdagangan.
Sementara itu, pengertian merek dalam Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreement menyatakan bahwa setiap tanda, atau kombinasi tanda, yang mampu membedakan barang atau jasa suatu pihak dengan pihak lainnya, dapat dianggap sebagai merek dagang. Tanda-tanda tersebut bisa berupa kata, termasuk nama pribadi, huruf, angka, elemen bergambar, kombinasi warna, ataupun gabungan dari berbagai unsur tersebut. Jika tanda tersebut tidak memiliki daya pembeda secara alami, maka penggunaannya secara terus-menerus dapat menciptakan daya pembeda yang sah. Negara anggota juga diperbolehkan mensyaratkan bahwa tanda tersebut harus dapat dilihat secara visual untuk bisa didaftarkan sebagai merek.
Menurut Black’s Law Dictionary, merek merupakan tanda, tulisan, atau label yang ditempelkan pada suatu barang buatan untuk membedakannya dari barang sejenis milik pihak lain. Dalam konteks hukum merek, istilah “mark” mencakup berbagai jenis seperti merek dagang, merek jasa, merek kolektif, dan merek sertifikasi.
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa merek adalah suatu identitas atau penanda yang melekat pada produk. Merek bisa berupa nama, istilah, simbol, warna, gerakan, atau gabungan dari unsur-unsur tersebut. Peran utama merek adalah untuk membedakan produk satu dengan yang lainnya, sekaligus menjadi alat promosi, jaminan mutu, dan penunjuk asal barang atau jasa.[1]
Selain
definisi di atas, beberapa ahli hukum juga
memberikan definisi mengenai merek,
sebagaimana ungkapan lama quot homines,
tot sententiae, yang berarti sebanyak jumlah manusia, sebanyak itulah
jumlah pengertian.[2]
Beberapa diantaranya adalah:
1. H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H.[3]
Menurut beliau, merek adalah sebuah tanda yang memberikan identitas khusus pada suatu barang, sehingga barang tersebut dapat dibedakan dari produk lain yang sejenis..
2. A.B. Loebis[4]
Ia mendefinisikan merek sebagai nama atau tanda yang secara sengaja digunakan untuk menandai produk suatu perusahaan atau pelaku usaha, dengan tujuan membedakannya dari produk sejenis milik pihak lain..
3. Saidin.[5]
Dalam pandangannya, merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa yang sejenis, baik yang diproduksi maupun diperdagangkan oleh seseorang, kelompok, atau badan hukum, dari barang atau jasa milik pihak lain. Tanda ini harus memiliki daya pembeda, sekaligus menjadi jaminan atas mutu dan dipakai dalam aktivitas perdagangan.
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, secara umum merek memiliki fungsi utama sebagai pembeda. Artinya, merek membantu membedakan produk atau jasa satu pihak dengan pihak lainnya. Namun, lebih dari sekadar alat pembeda, merek juga memiliki beberapa fungsi lain yang tak kalah penting, antara lain:[6]
1. Sebagai penghubung antara produk dan produsen — merek memberikan jaminan bahwa barang atau jasa tersebut berasal dari produsen tertentu.
2. Sebagai jaminan mutu dan nilai — merek mencerminkan kualitas produk dan memberikan rasa aman bagi konsumen, sekaligus menguntungkan produsen karena meningkatkan kepercayaan pasar.
3. Sebagai sarana promosi — merek menjadi identitas yang digunakan produsen untuk memperkenalkan dan memasarkan produknya secara luas.
Jika dilihat dari sudut pandang produsen, merek memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:[7]
1. Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang dibelinya berasal dari perusahaannya.
2. Menjamin konsistensi kualitas atau mutu barang yang ditawarkan.
3. Memberikan identitas atau nama pada barang.
4. Memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek dari praktik peniruan atau pemalsuan oleh pihak lain.
5. Untuk pedagang, merek menjadi alat untuk memasarkan produk kepada konsumen dan membangun loyalitas pasar. Sedangkan bagi konsumen, merek membantu dalam membuat pilihan terhadap produk yang akan dibeli.
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, disebutkan bahwa merek terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu merek dagang dan merek jasa. Meski istilah “merek dagang” digunakan dalam undang-undang, pada dasarnya istilah tersebut merujuk pada merek yang digunakan untuk barang, yang fungsinya berlawanan dengan merek jasa[16] Penjelasan lebih lanjut mengenai kedua jenis merek tersebut terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang yang sama, yaitu::
1. Merek Dagang: adalah merek yang digunakan untuk barang-barang yang diperdagangkan oleh seseorang, sekelompok orang, atau badan hukum, yang tujuannya untuk membedakan barang tersebut dari barang lain yang sejenis. (angka 2)
2. Merek Jasa: adalah merek yang digunakan untuk jasa yang diperdagangkan oleh individu, kelompok, atau badan hukum, agar dapat dibedakan dari jasa serupa lainnya.
Jika dibandingkan dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 (sebelum digantikan oleh UU No. 20 Tahun 2016), definisi dari merek dagang dan merek jasa secara umum tidak berubah secara signifikan.
Selain kedua jenis tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 juga diperkenalkan satu kategori baru, yaitu merek kolektif. Berdasarkan Pasal 1 angka 4, merek kolektif adalah merek yang digunakan untuk barang dan/atau jasa yang memiliki karakteristik serupa, baik dari segi sifat, ciri umum, maupun mutu. Merek ini dipakai oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama, dan tetap berada di bawah pengawasan tertentu, untuk membedakan produk atau jasa mereka dari produk sejenis milik pihak lain.
[1]
http://e-tutorial.dgip.go.id/fungsi-merek/ diakses pada 08 Mei 2017
[2]Marzuki,
Peter Mahmud,Pengantar Ilmu Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2009). h. 1
[3]
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum dagang Indonesia, Djambatan,
1984, h. 82.
[4]
H. OK. Saidin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 343
[5] Ibid
[6]
Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, (jakarta: Akademika
Pressindo, 1990), h. 45
[7] Ibid
[8]
HD.Effendy, Hasibuan, Perlindungan Merek, Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat, (Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2003) h. 29.
[9] Ibid., hal. 51
[10]
Gatot Suparmono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun
1992, (Jakarta: Djambatan, 1996). h. 6
[11]
C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 145
[12]
HD.Effendy Hasibuan, Op cit, h. 58
[13] Ibid,
h. 61
[14]
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 314.
[15] http://www.kemenkumham.go.id/berita/993-undang-undang-merek-dan-indikasi-geografis-disahkan-pelaku-ekonomi-terlindungi
diakses tanggal 1 Mei 2017
[16]
Ahmadi Miru, Hukum Merek, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 11