Skip to main content

Contoh Proposal Tesis

PERTANGGUNG JAWABAN USAHA DAGANG DALAM HAL TERJADINYA TINDAK PIDANA TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KEPADA BURUH BERDASARKAN PUTUSAN MA No. 687 K/PID.SUS/2012
1. Latar Belakang
Upah berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Hak Konstitusional dari pekerja/buruh yang wajib untuk dilindungi secara hukum oleh Pemerintah. Dengan adanya intervensi pemerintah dalam hubungan ketenagakerjaan maka menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda, yakni sifat hukum publik dan privat. Atas dasar itulah sehingga perlindungan atas pembayaran upah kepada buruh menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu; secara Perdata, secara Pidana, dan secara Administrasi Negara.  
Perlindungan secara Pidana membawa konsekuensi yuridis bagi mereka yang didakwakan melakukan tindak pidana di hukum ketenagakerjaan ialah penjatuhan sanksi pidana juga dipandang efektif untuk menekan terjadinya tindakan yang melanggar peraturan Hukum Ketenagakerjaan.  Dasar Perlindungan atas upah secara Pidana dalam Undang-undang Ketenagakerjaan karena adanya dibagi atas 2 (dua), yaitu kejahatan dan pelanggaran sama dengan pembedaan tindak pidana pada umumnya .
Kejahatan terhadap pembayaran upah diatur dalam pasal 185 Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Kejahatan yang dimaksud menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 adalah melanggar ketentuan pasal 90 ayat (2), yaitu Pengusaha dilarang membayar upah dibawah Upah Minimum. Upah Minimum berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permenkertrans No. 7 Tahun 2013 tentang upah minimum, adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman.
Sedangkan Pelanggaran terhadap pembayaran upah menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 186 ayat (1) adalah bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003, yaitu Pembayaran upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika pekerja/buruh dalam Kondisi tertentu. Kondisi tertentu seperti yang dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Dimana untuk memperoleh penangguhan pelaksanaan upah minimum sendiri, pengusaha harus terlebih dahulu mengajukan permohonan penangguhan dengan persyaratan sesuai ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No. KEP.231/MEN/2003 tentang Tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Dengan adanya Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Ketenagakerjaan sebagai langkah pelaksanaan Perlindungan Hukum atas upah, maka sudah barang tentu pula pelanggaran terhadap ketentuan upah yaitu dalam pasal 90 ayat (2), maka memberikan kewenangan kepada Pengadilan Umum untuk menyelesaikan perkara pembayaran upah.
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 687 K/Pid.Sus/2012 yang menjatuhkan hukuman 1 Tahun penjara dan denda Rp. 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah) kepada seorang Pengusaha Usaha Dagang (UD) Terang Suara Elektronik, Tjioe Christina Chandra asal Surabaya yang membayar upah dibawah Upah Minimum Regional kepada 37 karyawannya.  Peristilahan Upah Minimum Regional sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-226/MEN/2000 telah diganti, yaitu untuk istilah Upah Minimum Regional Tingkat I diubah menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP), istilah Upah Minimum Regional Tingkat II diubah menjadi Upah Minimum Kabupaten/Kota, Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I diubah dengan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan istilah Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II diubah menjadi Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMS Kabupaten/Kota). 
Dimana Putusan ini sendiri telah dieksekusi sesaat setelah peninjauan kembali Tjioe Christina Chandra ditolak, dengan nomor perkara 13 PK/Pid.Sus/2014 yang diputus pada 8 April 2014 lalu.  Putusan ini sendiri adalah putusan yang dikeluarkan setelah adanya Kasasi dari Jaksa Penunut Umum atas Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 1397/Pid.B/2010/PN.Sby tanggal 31 Januari 2011.
Putusan ini cukup menarik perhatian karena dalam Putusan ini, Mahkamah Agung menghukum Pengusaha Usaha Dagang (UD) dalam pelanggaran pembayaran upah dengan sanksi pidana. Dimana dari sebelumnya Pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan Surabaya tersebut yang dalam amar putusannya menyatakan eror in persona terkait pertanggung jawaban Usaha Dagang (UD). Yang kemudian putusan ini dianulir oleh Majelsi Hakim Agung pada tingkat kasasi dimana memiliki pertimbangan sendiri terkait Pertanggung Jawaban Usaha Dagang (UD). 
Usaha dagang bukanlah suatu badan hukum. Dimana secara hukum, Usaha Dagang (UD) sama dengan pemiliknya, artinya tidak ada pemisahan kekayaan ataupun pemisahan antara tanggung jawab Usaha Dagang dan pemiliknya. 
Bentuk UD lahir atau dibentuk atas dasar kehendak (sendiri dari) seorang pengusaha, yang mempunyai cukup modal untuk berusaha dalam bidang perdagangan, dimana dia sudah merasa ahli atau berpengalaman. Sebagai seorang pengusaha UD tidak bisa mengharapkan keahlian dari orang lain, sebab baik pengusaha atau manajernya adalah dia sendiri. Kalau modalnya kecil, dia bekerja sendiri, tetapi jika modalnya cukup besar dan kegiatan usahanya makin besar, dia akan menggunakan beberapa orang buruh sebagai pembantunya. Keahlian, teknologi dan manajemen dilakukan oleh pengusaha itu sendiri diri, begitu pula untung rugi, sepenuhnya menjadi beban si pengusaha sendiri. 
Terkait pertanggung jawaban Tindak Pidana Dalam Badan Usaha dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003, adanya kita melihat Konsep Badan Usaha dalam Undang-undang tersebut. dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 sendiri tidak terdapat pengertian mengenai Badan Usaha, yang ada yaitu Perusahaan. Dimana Badan Usaha sendiri dalam Undang-undang tersebut hanya dikenal dalam Pasal 150 dimana dalam pasal ini sama sekali tidak berhubungan dengan Pertanggungan Jawaban Hukum dari Suatu Badan Usaha, yang menyatakan:
“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Perusahaan sendiri menurut Pasal 6 huruf a undang-undang No. 13 tahun 2013 adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dimana dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa Perusahaan yang dapat dapat diminta Pertanggung Jawaban dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 tidak hanya Perusahaan yang berbadan hukum saja, tetapi juga yang tidak berbadan hukum.
Kemudian menurut undang-undang No. 13 tahun 2013, bahwa yang menjalankan Perusahaan adalah Pengusaha. Dimana Pengusaha menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tersebut yaitu:
a. Orang Perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. Dimana berarti dapat dikatakan bahwa maksud dari pasal ini adalah mereka para pemilik modal yang menjalankan usahanya sendiri. Hal ini dapat berbentuk Perusahaan Dagang, Persekutuan Perdata ataupun Firma.
b. Orang Perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. Artinya adalah mereka yang memiliki kewenangan menjalankan suatu badan usaha yang bukan miliknya. Yaitu: Direksi pada Perseroan Terbatas, Sekutu pada Persekutuan Komanditer, ataupun yang dipekerjakan menjalankan badan usaha milik orang lain
c. Orang Perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Artinya adalah yang menjalankan Perusahaan Asing yang ada di Indonesia ataupun kantor perwakilan di Indonesia.
Selain juga pengusaha, terdapat pengertian Pemberi Kerja dalam Pasal 1 angka 6, yaitu: Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Dari pengertian ini dapat kita lihat bahwa Pemberi Kerja melingkupi tidak hanya pengusaha tapi juga badan hukum dan badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja. Sehingga dapat disimpulkan pengertian pemberi kerja lebih luas dari pengusaha.
Bila dilihat dari perumusan dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 terkait pertanggung jawaban Pidana oleh Badan Usaha, maka dapat kita lihat Subjek Hukum yang dikenal adalah Pengusaha dan Pemberi Kerja. Dimana rumusan dari dua istilah tersebut dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 ini, tidak hanya Perseorangan tapi dapat juga dilakukan secara Korporasi, baik dalam bentuk persekutuan maupun Badan Hukum ataupun Badan Non Hukum.
Pertanggung jawaban pidana sendirin dalam istilah asing disebut juga Teorekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak, 
Bila kemudian melihat sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan.Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999. 
Bila melihat apa yang dirumuskan dalam pasal 20 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan dalam Undang-undang No. 13, maka terdapat kesamaan dimana Pertangggung Jawaban Korporasi dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana.
Sehingga Putusan Mahkamah Agung No. 687 K/Pid.Sus/2012 ini menarik untuk dibahas dalam penulisan ini, dengan mengangkat judul “PERTANGGUNG JAWABAN USAHA DAGANG DALAM HAL TERJADINYA TINDAK PIDANA TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KEPADA BURUH BERDASARKAN PUTUSAN MA No. 687 K/PID.SUS/2012”
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang penulisan di atas, maka dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan diulas, yaitu:
1. Bagaimanakah Perumusan Usaha Dagang dalam Hukum Ketenagakerjaan dengan Hukum Perusahaan?
2. Bagaimanakah Konsep Pertanggung Jawaban Usaha Dagang Dalam Terjadi Tindak Pidana?
3. Bagaimanakah Pertanggung Jawaban Dalam Usaha Dagang Terkait Hal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Pembayaran Upah Kepada Buruh Berdasarkan Putusan MA No. 687 K/PID.SUS/2012?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai adalah:
1. Untuk Mengetahui Perumusan Usaha Dagang dalam Hukum Ketenagakerjaan dengan Hukum Perusahaan
2. Untuk Mengetahui Konsep Pertanggung Jawaban Usaha Dagang Dalam Terjadi Tindak Pidana 
3. Untuk Mengetahui Pertanggung Jawaban Dalam Usaha Dagang Terkait Hal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Pembayaran Upah Kepada Buruh Berdasarkan Putusan MA No. 687 K/PID.SUS/2012
4. Manfaat Penulisan
a. Secara teoritis
Pembahasan terhadap masalah yang akan diperoleh dalam penelitian ini tentu akan dapat memberikan gambaran tentang Pertanggung Jawaban Dalam Usaha Dagang Terkait Hal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Pembayaran Upah Kepada Buruh Berdasarkan Putusan MA No. 687 K/PID.SUS/2012
Selain itu, penulisan ini dapat bermanfaat sebagai suatu kontribusi dalam pemikiran yang baru baik dari para sarjana/ahli maupun dari penulis sendiri terkait upaya memberikan suatu efek jera kepada para pengusaha ‘nakal’ dalam pembayaran upah melalui pemberian sanksi pidana.
b. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan menjadi acuan wacana bagi para praktisi yang ingin lebih mengetahui tentang penegakan hukum dalam pelaksanaan perlindungan dalam pembayaran upah.
5. Kerangka Teori
Penelitian dalam penyusunan proposal ini mengacu kepada kerangka teori terutama tentang campur tangan Negara dalam bidang perburuhan.
Dalam teori kedaulatan Negara (staats-souverneit) yang dikemukakan oleh Jean Bodin dan George Jelinik, bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Negara dan Negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. 
Bila teori tersebut dihubungkan dengan pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 maka Negara memiliki kedaulatan untuk mengatur bahwa segala sesuatu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bercorak kolektivitis dengan tidak mengabaikan prinsip hak individu.  Dimana hak individu yang dimaksud disini termasuk ke dalam penghasilan yang layak bagi pekerja/buruh.
Sebagaimana kita ketahui bahwa KUHP yang berlaku di Indonesia adalah berasal dari W.V.S. Dimana dalam perkembangan dewasa kini, di dalam tindak pidana khusus timbul perkembangan dimana adanya anggapan bahwa tindak pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi, mengingat kualitas keadaan yang hanya dimiliki korporasi. 
Kemudian dalam perkembangannya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi menurut Barda Namawi dikenal adanya “pandangan baru” atau katakanlah pandangan yang berlainan, bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak berlaku mutlak, sehingga pertanggungjawaban pidana yang mengacu pada doktrin strict liability dan vicarious liability yang pada prinsipnya merupakan penyimpangan dari asas kesalahan, hendaknya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan tanggung jawab korporasi dalam hukum pidana. 
Strict liability adalah si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.  Pertanggungjawaban ini sering diartikan dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Vicarious liability sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain”, secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.  
Persamaan dan perbedaan antara strict liability dan vicarious liability adalah sebagai berikut: persamaannya adalah baik strict liability maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mensrea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya terletak pada strict liability crimes pertanggungjawaban bersifat langsung dikenakan pada pelakunya, sedangkan vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung. 
Pertanggungjawaban pidana selain berdasarkan kedua doktrin di atas, di Inggris dikenal pula asas identifikasi, dimana korporasi dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi. Pada asas ini mens rea tidak dikesampingkan seperti halnya pada strict liability dan vicarious liability.
Teori identifikasi adalah salah satu teori yang menjustifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan atau kehendak direktur adalah juga merupakan tindakan atau kehendak korporasi (the act and state of mind of the person are the acts and state of mind of the corporation ) demikian menurut Richard Card16 .
6. Kerangka Konseptual
Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang yang dipakai dalam proposal ini, dibawah ini diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut sebagai berikut: 
1. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman. (Pasal 1 angka 1 Permenkertrans No. 7 Tahun 2013 tentang upah minimum)
2. Peristilahan Upah Minimum Regional sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-226/MEN/2000 telah diganti, yaitu untuk istilah Upah Minimum Regional Tingkat I diubah menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP), istilah Upah Minimum Regional Tingkat II diubah menjadi Upah Minimum Kabupaten/Kota, Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I diubah dengan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan istilah Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II diubah menjadi Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMS Kabupaten/Kota). 
3. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dimana dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa Perusahaan yang dapat dapat diminta Pertanggung Jawaban dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 tidak hanya Perusahaan yang berbadan hukum saja, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. (Pasal 6 huruf a undang-undang No. 13 tahun 2013)
4. Pengusaha yaitu: Orang Perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. (Pasal 1 angka 5 huruf a Undang-Undang No. 13 Tahun 2003)
5. Pemberi Kerja, yaitu: Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003)
6. Usaha dagang adalah bentuk badan usaha bukan berbadan hukum melainkan dengan pemiliknya, artinya tidak ada pemisahan kekayaan ataupun pemisahan antara tanggung jawab Usaha Dagang dan pemiliknya. 
7. METODOLOGI PENELITIAN
Prof. Peter Mahmud menggunakan istilah Pendekatan dibanding istilah Penelitian. Adapun pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan casus (case study). Dimana pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.  
Dimana menurut Peter Mahmud, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. 
Dalam menjalankan pendekatan ini, sesungguhnya hal yeng perlu dipahami oleh si peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan hukum yang digunakan oleh hakim sampai kepada keputusannya. Ratio decidendi inilah yang menunjukan bahwa ilmu hukum ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif.  Sedangkan dictum, yaitu putusan yang merupakan suatu yang bersifat deskriptif.  Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada dictum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.  Sedangkan dictum, yaitu putusan yang merupakan suatu yang bersifat deskriptif.  Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada dictum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi. 
Dimana yang menjadi rujukan adalah Fakta materiil. Hal ini dikarenakan para pihak berpangkal dari fakta materiil itulah dalam membangun argumentasi guna meneguhkan posisi masing-masing.  Dari suatu fakta materiil dapat terjadi dua kemungkinan putusan yang saling berlawanan. Yang menentukan adalah ratio decidendi putusan tersebut. 
Dari yang telah dijelaskan diatas, maka penelitian yang akan dilakukan dalam proposal ini adalah bertipe deskriptif. Hal ini juga dikarenakan dalam penelitian hukum tidak diperlukan adanya hipotesis, di dalam penelitian hukum juga tidak dikenal istilah data.  Begitu pula istilahanalisis kualitatif dan kuantitatif bukan merupakan istilah yang lazim di dalam penelitian hukum.  Sehingga semua prosedur yang terdapat di dalam penelitian keilmuan yang bersifat deskriptif bukan merupakan prosedur dalam penelitian hukum. 
Dalam konteks studi kasus hukum, terdapat tiga tipe studi kasus hukum, yaitu:  
a. Studi kasus nonyudisial, yaitu studi kasus hukum tanpa konflik yang tidak melibatkan pengadilan.
b. Studi kasus yudisial, yaitu studi kasus hukum karena konflik yang diselesaikan melalui putusan pengadilan, disebut juga studi yurisprudensi. 
c. Studi kasus hukum langsung, yaitu studi kasus hukum yang masih berlangsung dari awal hingga berakhirnya proses kasus tersebut.
Dipandang dari segi karateristik kasus yang menjadi objek penelitiannya, studi kasus hukum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 
a. Studi kasus tunggal, yang digunakan apabila kasus hukum yang banyak itu mempunyai kriteria atau karateristik yang sama sehingga cukup diambil satu kasus hukum saja.
b. Studi kasus ganda, yang digunakan apabila ada beberapa kasus hukum yang mempunyai kriteria yang berbeda sehingga perlu diambil semua kasus atau beberapa kasus yang mewakili kasus hukum yang sejenis secara purposive. 
Berdasarkan penguraian di atas, penulis memutuskan menggolongkan studi kasus hukum yang penulis lakukan dalam tipe studi kasus hukum yudisial dengan karakteristik studi kasus tunggal. Hal ini karena penulis menimbang bahwa fakta bahwa kasus dalam Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 687 K/Pid.Sus/2012 suatu putusan yang baru dan ‘menarik’, karena ini adalah Putusan pertama Mahkamah Agung yang menghukum Pengusaha Usaha Dagang dalam pelanggaran pembayaran upah dengan sanksi pidana..
Kemudian terkait jenis data sendiri, Prof. Peter Mahmud Marzuki membagi atas dua bahan, yaitu primer dan sekunder. Dimana letak perbedaan tersebut terletak pada sifat bahan hukum primer. Bahan hukum primer bersifat autoritarif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undanagan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 
Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. 
Disamping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal. Tulisan-tulisan hukum tersebut berisi tentang perkembangan atau isu-isu yang aktual mengenai hukum bidang tertentu.  Tulisan-tulisan hukum tersebut antara lain adalah skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum,dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. 
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki juga menegaskan bahwa hasil dialog juga bukan merupakan bahan hukum. Namun, apabila subtansinya merupakan subtabsi hukum dan bukan yang bersifat sosio-legal sebagaimana yang sering ditanyangkan di televisi kemudian hasil dialog hukum dipublikasikan, maka sudah barang tentu hasil dialog itu dapat menjadi bahan hukum sekunder.  
Meskipun kesaksian di pengadilan berlangsung secara lisan, kesaksian itu selalu dicatat secara cermat. Oleh karena itulah kesaksian ahli hukum yang menjadi saksi ahli dalam suatu sidang pengadilan dapat menjadi bahan hukum sekunder. 
Adapun data akan yang digunakan adalah:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan peraturan lainnya yang dapat mendukung penelitian ini. Dalam hal ini peneliti menggunakan bahan hukum primer berupa Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan seperti: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dll. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Usaha Dagang, seperti KUHD, juga Salinan Putusan PN Surabaya No. 1397/Pid.B/2010/PN.Surabaya dan Putusan Mahkamah Agung No. 687 K/PID.SUS/2012.
 
b. Bahan hukum sekunder 
Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat dipergunakan untuk menganalisis bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah, tulisan para ahli hukum dan makalah hasil seminar, serta dokumen-dokumen yang memiliki relevansi yang signifikan dengan penelitian. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum (seperti jurnal hukum bisnis), artikel (melalui koran dan majalah yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha, perjanjian penetapan harga dan kartel), internet (yang diperoleh melalui internet), dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 
8. SISTEMATIKA PENULISAN
Disini akan dikemukakan sistematika yang dipergunakan agar yang dibahas akan tersusun sistematis serta mengarah pada tujuan pokok permasalahan yang akan dibahas. Oleh karena itu, akan dibagi atas 5 (lima) BAB dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN:
Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori, kerangka konsep, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II RUMUSAN USAHA DAGANG DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN DENGAN HUKUM PERUSAHAAN 
Bab ini akan membahas Perumusan Usaha Dagang dalam Hukum Ketenagakerjaan, Perumusan Usaha Dagang dalam Hukum Perusahaan dan Perbandingan Perumusan Usaha Dagang dalam Hukum Ketenagakerjaan dengan Hukum Perusahaan.
BAB III KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN USAHA DAGANG DALAM TERJADI TINDAK PIDANA
Bab ini membahas bagaimana Konsep Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana dan Konsep Pertanggung Jawaban Usaha Dagang Dalam Terjadi Tindak Pidana 
BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN USAHA DAGANG DALAM HAL TERJADINYA TINDAK PIDANA TERHADAP PEMBAYARAN UPAH KEPADA BURUH BERDASARKAN PUTUSAN MA No. 687 K/PID.SUS/2012
Bab ini membahas Pertanggung Jawaban Dalam Usaha Dagang Terkait Hal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Pembayaran Upah Kepada Buruh Berdasarkan Putusan MA No. 687 K/PID.SUS/2012, bagaimana kasus posisi dan analisis kasus tersebut
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan bab ini memberikan saran-saran dari penulis berkaitan dengan masalah yang dibahas.
ACUAN PUSTAKA TERBATAS
1. BUKU
Namawi, Barda. Perbandingan Hukum Pidana, Cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Lubis, Andi Fahmi. et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
Muhammad, Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggung Jawaban Korporasi, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 34
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, Jakarta, 2008)
Purnamasari, Irma Devita Purnamasari. Kiat-kiat Cerdas, Mudan dan Bijak Mendirikan Badan Usaha, Jakarta: Kaifa, 2010
Saleh, Mohammad dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012
Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2002
2. ARTIKEL
Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi” (on-line), tersedia pada https://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/, diunduh pada 5 Desember 2016
3. INTERNET
www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5118a676ad68c/bolehkah-menyepakati-upah-di-bawah-upah-minimum? Diakses tanggal 7 November 2016
http//www.detik.com/news/read/2013/04/26/144856/2231389/10/suratbuncit/jalan-panjang-menghukum-pengusaha-yang-membayar-buruh-di-bawah-umr/, diakses tanggal 12  Desember 2016
http://news.detik.com/read/2014/06/30/111156/2622940/10/, diakses tanggal 12 Desember 2015
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3286/mendirikan-usaha-dagang-(ud) diunduh pada tanggal 6 November 2016

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S