Skip to main content

LGBT DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM PANCASILA

I. Latar Belakang
Masalah tentang kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT)  cukup ramai di media-media cetak dan elektronik. Isu LGBT menggelinding cepat di ruang publik, selain karena opini publik, juga terutama karena menyentuh hal paling esensial yaitu eksistensi sekelompok manusia dengan keunikan seksualitasnya. Dimana bagi sebagian golongan berpendapat bahwa keberadaan kaum ini haruslah dilinduingi.
Pada dasarnya dalam Negara Indonesia adalah negara hukum, kita harus menimbang segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam kacamata hukum. Artinya, antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat dalam suatu hal, karena bagaimanapun, sejak diformalisasikannya Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, maka sejak itu, Pancasila bukan lagi sekedar kesepakatan politik, melainkan telah menjadi komitmen filosofis yang mengandung consensus trasenden, yang menjanjikan kesatuan dan persatuan sikap serta pandangan bangsa Indonesia dalam menyongsong hari depan yang dicita-citakan. Dengan demikian, Pancasila bukan lagi sekedar alternatif, melainkan suatu imperatif bagi bangsa Indonesia.
Sehingga dalam makalah ini, penulis akan melihat bagaimana tinjauan LGBT dalam perspektif Filsafat Hukum Pancasila, adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah Tinjauan Umum Terhadap LGBT?
2. Bagaimanakah LGBT Dalam Perspektif Filsafat Hukum Pancasila?

II. Tinjauan Umum Terhadap LGBT
Istilah LGBT digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.  Dan seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili (contoh. "LGBTQ" atau "GLBTQ", tercatat semenjak tahun 1996).
Sebelum revolusi seksual pada tahun 1960-an, tidak ada kosakata non-peyoratif untuk menyebut kaum yang bukan heteroseksual. Istilah terdekat, "gender ketiga", telah ada sejak tahun 1860-an, tetapi tidak banyak disetujui.
Di Indonesia, gerakan kampanye menuntut legalitas LGBT juga marak dan mendapatkan dukungan penting dari akademisi dan pegiat feminisme.  Mereka bergerak  dari ranah politik hingga teologi. Di bidang politik, usaha ini diwujudkan dengan mengupayakan lolosnya undang-undang yang memberikan celah bagi pernikahan sesama jenis. Peneliti INSISTS, Rita Soebagio menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang digodok di parlemen hingga tahun 2014  memiliki celah tersebut.   Sementara itu, kampanye di bidang teologis dilakukan dengan membongkar bangunan keagamaan yang selama ini menjadikan heteroseksual sebagai satu-satunya pilihan seksualitas manusia. Contoh yang mencolok dan cukup terkenal adalah publikasi ilmiah Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo dalam jurnal Justisia edisi 25, Th. XI 2004. Akademisi muslim liberal yang menulis di dalam jurnal tersebut secara tegas mendukung semua jenis ekspresi seksual dan mengajak masyarakat untuk setuju terhadap legalisasi perkawinan sejenis dan pengakuan untuk para penyimpang seksual lainnya.

III. LGBT Dalam Perspektif Filsafat Hukum Pancasila
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia.Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Dalam Pancasila yang dapat kita tafsirkan sebagai Perspektif Filsafat Hukum Pancasila terkait permasalahan LGBT, yaitu:
Setidaknya ada satu sila yang paling tepat untuk mengaitkan dengan LGBT ini, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam nilai ini tentunya harus dilihat dalam Perspektif Nilai-nilai agama. Dalam nilai agama yang diakui di Indonesia tidak diakui sama sekali mengenai LGBT ini.
1. Dalam Agama Islam
Secara historis agama, fenomena LGBT dapat kita temukan dalam sejarah peradaban umat manusia, khususnya merujuk kepada kisah-kisah kaumnya Nabi Luth yang dijelaskan langsung oleh Al-Qur’an.

Islam secara terang mengecam tindakan yang tidak wajar tersebut. Tak hanya itu, bahkan pelaku sodom harus rela dibinasakan dari permukaan bumi ini (Qs.Al-‘Ankabut, 29: 31-32), sebab mereka tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga memberikan dampak sosial yang buruk terhadap lingkunganya. Memang pro dan kontra Ulama Tafsir dalam memahami ayat ini pun muncul ke permukaan, sejumlah pertanyaan misalnya, jika memang LGBT adalah murni problem kejiwaan atau alamiyah, mengapa Tuhan mengadzab mereka? Ada juga yang berpendapat liberal dan radikal dengan pendekatan “analisis Historis” yang menyatakan, kita tidak tahu cerita itu historis atau ahistoris, yang jelas Allah ingin memberikan pesan-pesan moral universalnya agar tak merugikan diri sendiri dan orang lain. Hemat penulis, faktor yang paling penting mengapa mereka diadzab adalah dampak sosial yang buruk, alias problem kejiwaan sekaligus sosial. Bahkan LGBT seperti sudah menjadi sebuah gerakan massif. Kalau kita merujuk kepada Al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai tugas reproduksi. Pertama, Qs. An-nisa’: (1). Kedua, Qs. Ar-rum, (21). Dari kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fungsi reproduksi kemanusiaan ini sudah mutlak dalam diri setiap individu. Jika ada orang menikah, lalu tidak mengharapkan memiliki keturunan, apakah ini kodrati? Tentu saja jawabannya tidak. Dan juga dari awalnya saja Allah sudah menurunkan wawaddah dan rahmah dalam konteks sosial hubungan pria dan wanita.

2. Dalam Agama Kristen
Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka … kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki … (Roma 1:24-27)
Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian. (Imamat 18:22)
Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian … (Imamat 20:13)
… sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang. Namun demikian orang-orang yang bermimpi-mimpian ini juga mencemarkan tubuh mereka dan menghina kekuasaan Allah serta menghujat semua yang mulia di sorga (Yudas 1:7-8)
Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit*, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Korintus 6:9-10)

3. Dalam Agama Budha
Sesungguhnya, apa pun orientasi seksualnya, rasa kecintaan yang ditimbulkan dari nafsu untuk memuaskan kenikmatan seksual tetaplah merupakan rintangan bagi perkembangan batin/spiritual. Seperti yang disebutkan dalam Dhammapada XVII:213-215 berikut:
"Dari kenikmatan lahirlah kesedihan, dari kenikmatan lahir rasa takut; barang siapa yang bebas dari kenikmatan akan tidak merasakan kesedihan maupun ketakutan."
"Dari cinta lahirlah kesedihan, dari cinta lahirlah rasa takut, seseorang yang bebas dari rasa cinta tidak mengenal kesedihan maupun ketakutan."
"Dari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul rasa takut, barang siapa bebas dari nafsu maka ia tidak akan merasakan rasa padih maupun rasa takut."

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S