Sebelum UU PPHI No. 2 Tahun 2004 :
1. Aturan yang berlaku :UU No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
2. UU ini mengadaptasikan UU Darurat No. 21 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang nota bene dibuat oleh rezim militer (Surya Tjandra, 2009 : iv). Tahun 1957 merupakan tahun di mana terjadi nasionalisasi ex perusahaan Belanda, di antaranya oleh militer yang menduduki posisi tingkat manajemen, kepentingan mereka adalah menciptakan mekanisme penyelesaian perselisihan guna menciptakan hubungan perburuhan yang damai.
3. UU ini juga dibuat untuk membatasi aksi Mogok Kerja yang banyak terjadi pasca Indonesia merdeka. Diperkirakan pada tahun 1951-1956 terjadi 400 pemogokan dengan melibatkan 5 % dari semua buruh upahan dan mendekati 20% dari buruh biasa (Surya Tjandra, 2009 : iv);
4. Jenis perselisihan : Perselisihan hak dan perselisihan kepentingan;
5. Lembaga : Eksekutif ==> Dinas Tenaga Kerja : P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ) Daerah (P4D), di tingkat pusat P4 Pusat (P4P);
6. Mekanisme : Non Litigasi ==> Mediasi melalui petugas perantara di P4 D/P tersebut, atau Arbitrase.
7. Mekanisme Litigasi : Ke PTUN untuk mengajukan gugatan atas Putusan P4P.
UUPPHI No. 2 Tahun 2004:
1. Mekanisme : Non litigasi (bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrase)
Litigasi : PHI sebagai bagian dari sistem Peradilan Umum disebut sebagai ‘pengadilan khusus’.
Menggunakan sistem beracara (hukum formil) dalam HIR (KUH Acara Perdata), hanya ada beberapa pengecualian seperti biaya perkara yang ditanggung negara / gratis untuk perkara bernilai di bawah Rp. 150 juta, adanya hakim ad hoc wakil dari buruh dan wakil dari pengusaha. Namun secara umum mulai pendaftaran gugatan hingga eksekusi putusan mengikuti sistem yang ada di HIR tersebut.
2. Problem : bagi buruh mekanisme penyelesaian dengan menggunakan sistem peradilan ini lebih menimbulkan kesulitan dan kerumitan karena teknis persidangan litigasi dan kemampuan material hukum-nya minim sekali dimiliki oleh buruh/pekerja, misal menyusun gugatan, menyiapkan bukti, saksi, penentuan jenis perselisihan, belum lagi masalah biaya dalam proses persidangan, tentunya menjadi problem besar juga.
3. Pendapat Hakim Ad-Hoc tentang beracara di PHI:
Daulat Sihombing (Medan) :
a. Pasal 57 UU PPHI menyatakan bahwa Hukum Acara yang digunakan mengacu pada sistem peradilan Perdata ==> waktu panjang untuk membuat, mendaftarkan,, membacakan gugatan, membuat jawaban, membuat replik, duplik, pembuktian (surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah), kesimpulan/konklusi, hingga putusan. setidaknya buruh bersidang 8- 10 kali.
b. PHI hanya ada di ibu kota Provinsi ==> beban waktu dan biaya besar bagi mereka yang berasal dari luar kota.
c. Pembuktian : Pasal 284 RBg/164 HIR (lihat isi pasal tsb) menjadi kendala bagi buruh untuk mengajukan alat bukti surat dan saksi, umumnya buruh tidak memiliki akses sama sekali untuk menunjukkan bukti surat dan saksi. Sebagaimana diketahui pada pelaksanaan di lapangan hubungan kerja dengan segala macam urusan administrasinya dipegang oleh pengusaha termasuk dokumen-dokumen. Saksi, manakala pekerja/buruh harus menghadirkan saksi rekan sekerja yang masih aktfi bekerja akankah ia mau? mengingat hubungan dengan pihak majikan yang menjadi lawan pihak pekerja/buruh masih dalam ikatan hubungan kerja.
d. Pasal 103 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan batas waktu penyelesaian perkara di PN selambatnya 50 (limapuluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama, tetapi dikarenakan proses administrasi perkara yang lamban sedangkan untuk itu tidak diatur secara limitatif dalam UU menjadikan molornya waktu.
e. Pasal 112 UU No. 2 Tahun 2004 menyatakan kepaniteraan PHI pada PN dalam waktu selambatnya 14 (empatbelas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaika berkas perkara kepada Ketua MA, pada kenyataannya pengiriman berkas kasasi ke MA dapat memakan waktu berkisar 3 (tiga) hingga 6 (enam) bulan sejak pengajuan permohonan, alasannya karena memori atau kontra memori kasasi belum diserahkan ke panitera.
f. Konflik of interest : hakim ad-hoc wakil dari pengusaha seringkali masih aktif bekerja sebagai bagian manajemen di suatu perusahaan.
1. Aturan yang berlaku :UU No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
2. UU ini mengadaptasikan UU Darurat No. 21 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang nota bene dibuat oleh rezim militer (Surya Tjandra, 2009 : iv). Tahun 1957 merupakan tahun di mana terjadi nasionalisasi ex perusahaan Belanda, di antaranya oleh militer yang menduduki posisi tingkat manajemen, kepentingan mereka adalah menciptakan mekanisme penyelesaian perselisihan guna menciptakan hubungan perburuhan yang damai.
3. UU ini juga dibuat untuk membatasi aksi Mogok Kerja yang banyak terjadi pasca Indonesia merdeka. Diperkirakan pada tahun 1951-1956 terjadi 400 pemogokan dengan melibatkan 5 % dari semua buruh upahan dan mendekati 20% dari buruh biasa (Surya Tjandra, 2009 : iv);
4. Jenis perselisihan : Perselisihan hak dan perselisihan kepentingan;
5. Lembaga : Eksekutif ==> Dinas Tenaga Kerja : P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ) Daerah (P4D), di tingkat pusat P4 Pusat (P4P);
6. Mekanisme : Non Litigasi ==> Mediasi melalui petugas perantara di P4 D/P tersebut, atau Arbitrase.
7. Mekanisme Litigasi : Ke PTUN untuk mengajukan gugatan atas Putusan P4P.
UUPPHI No. 2 Tahun 2004:
1. Mekanisme : Non litigasi (bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrase)
Litigasi : PHI sebagai bagian dari sistem Peradilan Umum disebut sebagai ‘pengadilan khusus’.
Menggunakan sistem beracara (hukum formil) dalam HIR (KUH Acara Perdata), hanya ada beberapa pengecualian seperti biaya perkara yang ditanggung negara / gratis untuk perkara bernilai di bawah Rp. 150 juta, adanya hakim ad hoc wakil dari buruh dan wakil dari pengusaha. Namun secara umum mulai pendaftaran gugatan hingga eksekusi putusan mengikuti sistem yang ada di HIR tersebut.
2. Problem : bagi buruh mekanisme penyelesaian dengan menggunakan sistem peradilan ini lebih menimbulkan kesulitan dan kerumitan karena teknis persidangan litigasi dan kemampuan material hukum-nya minim sekali dimiliki oleh buruh/pekerja, misal menyusun gugatan, menyiapkan bukti, saksi, penentuan jenis perselisihan, belum lagi masalah biaya dalam proses persidangan, tentunya menjadi problem besar juga.
3. Pendapat Hakim Ad-Hoc tentang beracara di PHI:
Daulat Sihombing (Medan) :
a. Pasal 57 UU PPHI menyatakan bahwa Hukum Acara yang digunakan mengacu pada sistem peradilan Perdata ==> waktu panjang untuk membuat, mendaftarkan,, membacakan gugatan, membuat jawaban, membuat replik, duplik, pembuktian (surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah), kesimpulan/konklusi, hingga putusan. setidaknya buruh bersidang 8- 10 kali.
b. PHI hanya ada di ibu kota Provinsi ==> beban waktu dan biaya besar bagi mereka yang berasal dari luar kota.
c. Pembuktian : Pasal 284 RBg/164 HIR (lihat isi pasal tsb) menjadi kendala bagi buruh untuk mengajukan alat bukti surat dan saksi, umumnya buruh tidak memiliki akses sama sekali untuk menunjukkan bukti surat dan saksi. Sebagaimana diketahui pada pelaksanaan di lapangan hubungan kerja dengan segala macam urusan administrasinya dipegang oleh pengusaha termasuk dokumen-dokumen. Saksi, manakala pekerja/buruh harus menghadirkan saksi rekan sekerja yang masih aktfi bekerja akankah ia mau? mengingat hubungan dengan pihak majikan yang menjadi lawan pihak pekerja/buruh masih dalam ikatan hubungan kerja.
d. Pasal 103 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan batas waktu penyelesaian perkara di PN selambatnya 50 (limapuluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama, tetapi dikarenakan proses administrasi perkara yang lamban sedangkan untuk itu tidak diatur secara limitatif dalam UU menjadikan molornya waktu.
e. Pasal 112 UU No. 2 Tahun 2004 menyatakan kepaniteraan PHI pada PN dalam waktu selambatnya 14 (empatbelas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaika berkas perkara kepada Ketua MA, pada kenyataannya pengiriman berkas kasasi ke MA dapat memakan waktu berkisar 3 (tiga) hingga 6 (enam) bulan sejak pengajuan permohonan, alasannya karena memori atau kontra memori kasasi belum diserahkan ke panitera.
f. Konflik of interest : hakim ad-hoc wakil dari pengusaha seringkali masih aktif bekerja sebagai bagian manajemen di suatu perusahaan.
Comments
Post a Comment