PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA NOTARIS DIKAITKAN DENGAN SUMPAH JABATAN NOTARIS TERHADAP PENGGELAPAN UANG MILIK KLIENNYA (Studi Putusan Nomor 632/Pid.B/2013/PN Mlg)
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA NOTARIS
DIKAITKAN DENGAN SUMPAH JABATAN NOTARIS TERHADAP PENGGELAPAN UANG MILIK
KLIENNYA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Malang
Nomor 632/Pid.B/2013/PN Mlg)
A. Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan perubahannya melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 (UUJN) tidak mengatur mengenai ketentuan
pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris
terhadap UUJN, sanksi tersebut dapat berupa sanksi terhadap akta yang dibuatnya
dan terhadap notaris. Sanksi terhadap akta yang dibuatnya menjadikan akta yang
dibuat oleh notaris turun derajatnya dari akta otentik atau menjadi akta di
bawah tangan, sedangkan untuk notaris diberikan sanksi mulai dari teguran
hingga berujung pada pemberhentian dengan tidak hormat.
Ditemukan
banyak tindak pelanggaran yang dilakukan oleh oknum notaris, salah satunya
yaitu tindak pidana penggelapan mengenai akta yang dibuatnya. Tindak pidana
penggelapan yaitu adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia
yang diatur didalam Kitab Undang-undang Pidana (KUHP). Mengenai tindak pidana
penggelapan itu sendiri diatur di dalam buku kedua tentang kejahatan didalam
Pasal 372 dan Pasal 377 KUHP, yang merupakan kejahatan yang sering sekali
terjadi dan dapat terjadi di segala bidang bahkan pelakunya di berbagai lapisan
masyarakat, baik dari lapisan bawah sampai masyarakat lapisan atas pun dapat
melakukan tindak pidana penggelapan yang merupakan kejahatan yang berawal dari
adanya suatu kepercayaan pada orang lain, dan kepercayaan tersebut hilang
karena lemahnya suatu kejujuran.[1]
Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP), berikut
adalah jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372
sampai dengan 377 KUHP yaitu:[2]
1.
Penggelapan
biasa
Yang
dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372
KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik
sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
2.
Penggelapan
Ringan
Pengelapan
ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan
harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3.
Penggelapan
dengan Pemberatan
Penggelapan
dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang
barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia
mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
4.
Penggelapan
dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan
dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang
yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu,
pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,
terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP)
Berdasarkan
putusan yang akan dianalisis pada penelitian ini, Penggelapan uang milik klien
yang dilakukan oleh notaris tersebut termasuk ke dalam salah satu delik pidana.
Ketentuan dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai
komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban
yang dibebani terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum yaitu
Tindak pidana Penggelapan. UUJN dan UU perubahan hanya mengatur mengenai
penerapan sanksi perdata dan administrasi, dimana kedua jenis sanksi tersebut
berdiri sendiri dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama karena penjatuhan
sanksi tersebut terhadap jenis pelanggaran yang berbeda dalam ketentuan UUJN
dan UU perubahannya. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan
bentuk pertanggungjawaban yang layak dilakukan oleh Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum agar pertanggungjawabannya dirasakan adil hususnya bagi para
pihak yang dirugikan maupun bagi Notaris itu sendiri.
B. Pembahasan
1. Posisi Kasus
Semula sekira awal bulan
desember 2012 pihak dari ahli waris dari almarhum Tirah dan almarhum Lasiyun
yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi Laseni
berencana untuk menjual tanah berupa Hak Milik Nomor 1714 atas sebidang tanah
sebagaimana diuraikan dalam Surat ukur tanggal 20 Maret 1999 Nomor
1226/Tunggulwuklung/1999 seluas 6.313 M2 yang terletak di jalan Akordion Utara
Kelurahan Tunggulwulung Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Sewaktu itu pihak dari
ahli waris yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi
Laseni tersebut bertemu dengan saksi Nunik lndah Rini selaku pihak dari pembeli
dan telah melakukan penawaran yang disepakati dengan harga tanah Rp.
1.000.000,-/m2 (satu juta rupiah per meter persegi) dan harga keseluruhan
sebesar Rp. 6.313.000.000,- (enam milyar tiga ratus tiga belas juta rupiah)
dengan luas tanah 6.313 m2 dan hal tersebut diketahui oleh saksi Bambang
Sugiono selaku wakil dari pembeli dan terdakwa selaku Notaris. Bahwa kemudian
pada tanggal 14 Desember 2012 saksi Andrian Handoko selaku pembeli telah
menyerahkan Bilyet Giro BCA dengan nomor BY 908956 kepada terdakwa senilai Rp.
250.000.000,- yang diserahkan di kantor terdakwa yang menurut terdakwa uang
tersebut dipergunakan untuk pembatalan pembelian tanah yang pertama yakni
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) No.82 antara ahli waris dengan Burhan
Samsudin yang beralamat di Jakarta dan pada tanggal 08 Januari 2013. Saksi
Andrian Handoko juga menyerahkan Bilyet Giro BCA nomor BY 908957 kepada
terdakwa senilai Rp. 185.000.000,- yang diserahkan di kantor terdakwa di jalan
Cengger Ayam No. 30 Kota Malang di jalan Cengger Ayam No. 30 Kota Malang.
Pada tanggal 09 Januari
2013 pihak ahli waris yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi
Suradi, saksi Laseni datang ke kantor terdakwa dengan tujuan untuk membuat
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pihak pembeli yakni saksi Andrian
Handoko namun pada saat itu saksi Andrian Handoko berhalangan hadir dan
diwakilkan oleh saksi Bambang Sugiono, pada saat itu pihak ahli waris yakni
saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi Laseni
menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut masih dalam
bentuk draf dan harga tanah juga belum ditulis, kemudian Sertifikat Hak Milik
(SHM) Nomor 1714 atas nama Tirah diserahkan kepada terdakwa.
Setelah menandatangani
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) seluruh pihak ahli waris se l aku penjua
l bersama dengan saksi Bambang Sugiono, saksi Nunik Indah Rini selaku pembeli
dan terdakwa selaku notaris datang ke Bank BCA di jalan Basuki Rahmad Kota
Malang dan pada saat itu saksi Bambang Sugiono menyerahkan Cek kepada ahli
waris yakni saksi Suradi senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
sebagai uang muka pembelian tanah yang langsung dicairkan dan uang tersebut
diterima oleh ahli waris. Kemudian uang sebesar Rp. 250.000.000,- oleh ahli
waris yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi
Lasen dititipkan kepada saksi Nunik Indah Rini untuk digunakan mengurus biaya
proses balik nama dan biaya pajak.
Selanjutnya telah terbit
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 39 tanggal 09 Januari 2013 yang
dibuat oleh terdakwa dengan tertulis kesepakatan harga Rp.515.000,- dengan
harga total luas tanah 6.313 M2 sebesar Rp. 3.251.195.000,- dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut telah ada tanda tangan dari pihak ahli
waris yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi
Laseni selaku penjual, saksi Andrian Handoko selaku pembeli dan saksi Nunik
Indah Rini selaku yang menyaksikan.
Pada tanggal 15 Januari
2013 saksi Andrian Handoko menyerahkan cek kepada terdakwa senilai Rp.
65.000.000,- dan pada tanggal 17 Januari 2013 saksi Andrian Handoko menyerahkan
cek kembali kepada terdakwa senilai Rp. 65.000.000,-
Setelah terbit Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 39 tanggal 09 Januari 2013 tersebut pihak
ahli waris yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi
Laseni tidak menyetujuinya karena temyata harga kesepakatan awal adalah Rp.
1.000.000,-/ per meter persegi dengan luas tanah 6.313 M2 harga total Rp.
6.313.000.000,- yang mana kesepakatan tersebut menurut ahli waris telah
diketahui oleh terdakwa dan saksi Bambang Sugiono selaku wakil dari pembeli,
namun terdakwa tidak bisa merubah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan
alasan menurut terdakwa hal tersebut sudah kesepakatan antara pihak ahli waris
dengan pihak pembeli yang diwakili oleh Bambang Sugiono.
Pada tanggal 10 April
2013 sekira pukul 11.00 wib terdakwa mendatangi rumah saksi Suradi di jalan
Akordion Utara Rt. 12 Rw. 01 Kel. Tunggulwulung Kota Malang pada waktu itu
semua ahli waris telah berkumpul kecuali saksi Laseni yang tidak bisa hadir
karena dalam keadaan sakit dan kedatangan terdakwa ke rumah saksi Suradi
membawa draf Kesepakatan Bersama dan draf Akta Jual Beli, Bahwa dalam pertemuan
di rumah saksi Suradi tersebut terdakwa membujuk ahli waris yakni saksi Condro,
saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi untuk mau menandatangani Akta Jual
Beli (AJB) dengan cara terdakwa mengatakan bahwa dana pelunasan akan di ambil di
jakarta pada hari itu juga dan selanjutnya ahli waris mau menandatangani Akta
Jual Beli (AJB).
Pada saat Akta Jual Beli
ditanda tangani oleh para Ahli waris harga tanah yang ada didalam Akta Jual
Beli masih kosong dan draf kesepakatan bersama oleh pihak ahli waris direvisi
dan setelah direvisi kesepakatan bersama tersebut diserahkan kepada terdakwa
selanjutnya kesepakatan bersama tersebut ditandatangani oleh pihak ahli waris
yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi Laseni
selaku penjual, terdakwa selaku wakil dari pembeli, saksi Bambang Sugiono
selaku pihak yang menyaksikan dan saksi Khoirul Yamin sekali saksi dari ahli
waris, sedangkan tanda tangan di Akta Jual Beli (AJB) yaitu pihak ahli waris
yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi Laseni
selaku penjual, saksi Andrian Handoko selaku pembeli, saksi Farikhah dan saksi
Eni Wahyuni dari karyawan notaris dan Terdakwa selaku Notaris/PPAT.
Temyata Akta Jual
Bell(AJB) yang dibuat oleh terdakwa pada tanggal 10 April 2013 dengan obyek
yang sama yang sebelumnya masih berupa draf tersebut oleh terdakwa di isi dan
ditulis dengan harga tanah keseluruhan Rp.1.500.000.000,- sehingga pihak ahli
waris tidak menyetujui dengan harga yang tertera di Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) No.39 dan harga yang tertera di Akta Jual Beli (AJB) tersebut
sehingga terdakwa membuat kesepakatan bersama antara pihak ahli waris yakni
saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi, saksi Laseni selaku
penjual dan pihak pembeli yang diwakili oleh terdakwa sendiri dan hal tersebut
tanpa sepengetahuan dari saksi Andrian Handoko selaku pembeli.
Bahwa inti dari
Kesepakatan Bersama tersebut yaitu pihak I (penjual) akan menerima hasil
penjualan tanah tersebut sebesar Rp. 6.313.000.000,- dan pada poin 2 b yaitu
pihak II (pembeli) akan menyelesaikan pembayaran kepada pihak I (penjual) yaitu
harga keseluruhan dikurangi DP dibagi 2 (dua) tahap :
Bulan April 50% pelunasan
sebesar Rp. 2.769.000.000,- selambatlambatnya tanggal 30 April 2013
Bulan Mei pelunasan
terakhir sebesar Rp. 2.769.000.000,- selambat-lambatnya tanggal 30 Mei 2013
dengan toleransi waktu hingga 7 Juni 2013. Namun hal tersebut tidak terlaksana
dan tidak ada pelunasan kepada pihak ahli waris
Setelah dibuat Akta Jual
Beli (AJB) pada tanggal 10 April 2013 saksi Andrian Handoko menyerahkan cek BCA
kepada terdakwa senilai Rp.1.700.000.000,- dirumah saksi Andrian Handoko di JI.
Brigjen Slamet Riyadi No.60 Kota Malang dan pada saat itu disaksikan saksi
Bambang Sugiono, sebagai uang pelunasan pembelian tanah tersebut. Kemudian cek
senilai Rp. 1.700.000.000,- (satu milyar tujuh ratus juta rupiah) dari saksi
Andrian Handoko saat itu juga dicairkan oleh terdakwa di Bank BCA JI. Basuki
Rahmad Kota Malang dengan tarik tunai dan waktu pencairan Cek diantar saksi
Bambang Sugiono, setelah tarik tunai selanjutnya menurut terdakwa bermaksud
untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 1.700.000.000,- (satu milyar tujuh ratus
juta rupiah) tersebut kepada pihak ahli waris namun pihak ahli waris menolak karena
harga yang disepakati bukan Rp. 515.000,- per/meter melainkan Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah) per/meter jadi kekurangan pelunasan sebesar Rp.
5.313.000.000,- (lima milyar tiga ratus tiga belas ribu rupiah).
Pada tanggal 29 Mei 2013
Akta Jual Beli (AJB) telah diberi nomor dan telah terjadi pembayaran pajak dan
telah terbit Akta Jual Bali (AJB) No. 245 dengan harga Rp. 1.500.000.000,-
(satu milyar lima ratus juta rupiah), sedangkan harga di kesepakatan bersama
harga tanah keseluruhan dengan luas 6.313 m2 sebesar Rp. 6.313.000.000,- (enam
milyar tiga ratus tiga belas juta rupiah).
Terdakwa selaku
Notaris/PPAT yang menangani proses jual beli tanah tersebut bukan sebagai
makelar dan terdakwa juga tidak mempunyai surat kuasa baik dari pihak ahli
waris maupun dari pihak pembeli yakni saksi Andrian Handoko untuk menerima uang
muka maupun uang pelunasan pembelian tanah tersebut.
Terdakwa selaku
Notaris/PPAT yang menangani proses jual beli tanah tersebut bukan sebagai
makelar dan terdakwa juga tidak mempunyai surat kuasa baik dari pihak ahli
waris maupun dari pihak pembeli yakni saksi Andrian Handoko untuk menerima uang
muka maupun uang pelunasan pembelian tanah tersebut. Selanjutnya uang senilai
Rp. 1.700.000.000,- tersebut oleh terdakwa disimpan di brankas kantomya
JI.Cengger Ayam No. 40 Kota Malang.
Pada tanggal 03 Oktober
2013 sekira jam 11.00 WIB terdakwa dengan diantar suaminya mendatangi Bank BII
cabang JI. Soekamo Hatta Kota Malang untuk menyetor uang sebesar Rp.
1.700.000.000,- tersebut dalam bentuk tabungan Gold (membuka tabungan baru)
demi keamanan dengan bukti 1 (satu) buku tabungan BII No. Buku : 2260663 dengan
No. rekening : 1-515-89902-7, atas nama LULUK WAFIROH.
Uang pembayaran penjualan
tanah yang menjadi hak ahli waris sebesar Rp.3.251.195.000,- yang telah dibayar
lunas oleh saksi Andrian Handoko telah digunakan oleh terdakwa tanpa seijin
pihak ahli waris yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini, saksi Suradi,
saksi Laseni sebesar Rp.358.500.000,- (tiga ratus lima puluh delapan juta lima
ratus ribu rupiah) dengan perincian :
a. Uang
sebesar Rp. 183.500.000,- (seratus delapan puluh tiga juta lima ratus ribu
rupiah) diberikan kepada saksi Bambang Sugiono sebagai uang makelar tanpa
seijin ahli waris.
b. Uang
sebesar Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua luta rupiah) digunakan untuk membayar
pajak pembeli diambilkan dari uang hasil penjualan tanah padahal
Akibat perbuatan
terdakwa, maka ahli waris yakni saksi Condro, saksi Poniti, saksi Lasmini,
saksi Suradi, saksi Laseni mengalami kerugian sebesar Rp 358.500.000,- (tiga
ratus lima puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya
sekitar jumlah tersebut.
Atas perbuatan tersebut,
oleh Penuntut Umum, terdakwa didakwa dengan pasal Perbuatan terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 378 KUHP.
Adapun putusan hakim
melalui Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 632/Pid.B/2013/PN Mlg, adalah
a. Menyatakan
terdakwa LULUK WAFIROH,SH,SPN. telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana Penggelapan;
b. Menjatuhkan
pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan ;
c. Menetapkan
masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan ;
d. Memerintahkan
terdakwa tetap ditahan ;
e. Membebankan
terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) ;
2. Analisis Putusan
Dalam pertimbangan
hukumnya, hakim memutuskan menjerat terdakwa dengan Pasal 372 KUHP yaitu tindak
Pidana Penggelapan Biasa yang dalam pasal tersebut dinyatakan maksimal hukuman
yang dapat dijatuhkan yaitu 4 tahun. Dan dalam amar putusan tersebut, vonis
yang diberikan majelis hakim tersebut hanya 8 bulan yang juga dikurangi dengan
masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dan juga ternyata lebih rendah 4
(empat) bulan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut
agar terdakwa dihukum penjara selama 1 (satu) tahun.
Dalam kasus tersebut,
seharusnya terdakwa dijerat dengan Pasal 374 KUHP yaitu Penggelapan dengan
pemberatan karena dilakukan oleh seseorang yang sedang menjalankan jabatannya
yaitu selaku notaris yang mana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa sanksi
yang dapat diberikan maksimal hukuman penjara hingga 5 (lima) tahun. Oleh
karena itu, putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim seharusnya bisa lebih
berat dari pada hanya 8 (delapan) bulan saja belum lagi dikurangi masa
penahanan yang telah dijalani terdakwa. Hal ini dikarenakan tindak pidana
tersebut akan merugikan banyak pihak yaitu bukan hanya para pihak yang terkait
dalam akta melainkan nama baik ikatan profesi notaris itu sendiri. Apabila
terjadi satu atau beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh oknum notaris yang
tidak bertanggung jawab, walaupun banyak notaris yang jujur dan menjaga sumpah
jabatannya diluar sana, secara otomatis kepercayaan masyarakat pun akan sedikit
berkurang terhadap jabatan notaris ini hanya karena beberapa oknum saja. Maka
dari itu, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang mulai pudar terhadap
jabatan notaris yang mulia ini, sudah selayaknya para oknum notaris yang
melakukan tindak pidana dalam bentuk apapun itu, dihukum seadil-adilnya untuk
menimbulkan efek jera.[3]
Selain itu, tanggung
jawab dari segi perdata yang harus dilaksanakan notaris atas perbuatannya,
yaitu seharusnya adanya pembayaran kerugian materil yang diderita oleh korban
dalam hal ini para ahli waris selaku pihak penjual dan telah dituliskan pula
pada amar pada putusan hakim tersebut yaitu pengembalian uang tunai sebesar Rp
1.700.000.000 (satu milyar tujuh ratus juta rupiah) kepada korban (para ahli
waris). Yang dimana hal ini tidak boleh dilewatkan oleh terdakwa karena hal ini
yang menjadi pokok utama permasalahan gugatan oleh para ahli waris selaku
korban yang dirugikan kepada terdakwa.
Tanggung jawab terdakwa
yang harus dijalani akibat tindak pidana penggelapan yang dilakukannnya dalam
kasus ini, karena ia lakukan dalam jabatannya selaku notaris, seharusnya juga
diberikan sanksi menyangkut profesi notaris tersebut, karena ia juga telah
melanggar Sumpah Jabatan Notaris yang telah diatur dalam Kode Etik Notaris dan
UUJN yaitu sebagaimana ternyata dalam Pasal Hubungan antara kode etik dengan
UUJN terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) mengenai sumpah jabatan yang
tersirat sebagai berikut:
Bahwa
saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan
jabatan saya.
Bahwa
saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa
1) Sebelum
menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya
di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2) Sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji :
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara
Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seria peraturan
perundang-undangan lainnya.
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya
dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah
laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi,
kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.[4]
Notaris melalui sumpahnya
berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya
sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya
sebagai Notaris. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki agar Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada
UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggungjawab
terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris
Indonesia atau INI) maupun terhadap Negara.
Adapun hubungan antara
kode etik Notaris dengan UUJN memberikan arti terhadap profesi Notaris itu
sendiri. maka sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU perubahan atas UUJN, Notaris
yang bersangkutan dapat dikenai sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis,
pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan
tidak hormat. Sedangkan Kode Etik Notaris ditetapkan oleh Organisasi Notaris
sesuai dengan bunyi Pasal 83 ayat (1) UUJN yaitu Organisasi Notaris menetapkan
sanksi yang dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia. (INI) sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Kode etik Notaris yaitu :
1) Sanksi
yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat
berupa :
a. Teguran.
b. Peringatan.
c. Schorsing
(pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan.
d. Onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan.
e. Pemberhentian
dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
2) Penjatuhan
sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar Kode
Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan
anggota tersebut.
Menurut pasal 66 UUJN,
jika Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim, maka instansi
yang ingin memanggil tersebut wajib meminta persetujuan dari Majelis Kehormatan
Notaris. Ketentuan pasal 66 UU perubahan atas UUJN tersebut bersifat imperatif
atau perintah. Dalam kasus tersebut diatas, tidak dijelaskan bahwa notaris
dipanggil ke persidangan atas tindak pidana yang dilakukannya dengan
persetujuan Majelis Kehormatan Notaris sebagai lembaga pengawas notaris. Maka,
putusan pidana yang diberikan kepada notaris tersebut belum tepat karena harus
pula disertai persetujuan oleh Majelis Kehormatan Notaris.
Penjatuhan sanksi pidana
terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut
dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam
UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut
dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika
ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Daerah
bukan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi
hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada
UUJN dan kode etik jabatan Notaris.[5]
Maka dalam kasus tersebut
diatas, karena notaris telah melanggar sumpah jabatannya selaku notaris selain
tanggung jawab secara pidana ia pula harus menjankan tanggung jawabnya secara
administratif dan sanksi menurut kode etik profesinya seperti tersebut diatas.
Karena pada dasarnya sanksi pidana adalah Sehingga seorang Notaris seharusnya
dituntut untuk membayar ganti rugi dan dijatuhkan hukuman pula dalam hal adanya
kesalahan yang dilakukan Notaris menyangkut perbuatan melawan hukum yang
bertentangan dengan nilai-nilai kode etik.
Sehingga akibat hukum
terhadap notaris pelaku tindak pidana penggelapan tersebut yakni pemberian
sanksi kepada Notaris tersebut yang dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu:
sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga. Maka notaris
tersebut harus membayarkan kerugian yang diderita kliennya selaku pihak pembeli
sebesar yang ia gelapkan. Selain itu juga sanksi administratif yaitu berupa
sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian dengan hormat
pemberhentian sementara yang telah dijelaskan sebelumnya ditentukan dalam
pasal-pasal dalam UUJN. Dan menurut Pasal 13 UUJN, Notaris dapat diberhentikan
secara tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan tindak pidana dan hukumannya menurut pasal tersebut dapat diancam 5
(lima) tahun atau lebih. Sama seperti yang dinyatakan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Pasal 374 bahwa notaris tersebut dapat diancam pidana atas Tindak
Pidana Penggelapan dalam pemberatan dengan maksimal hukuman penjara 5 (lima)
tahun. Yang dalam amar putusannya dihukum selama 8 bulan yang seharusnya dengan
hukuman maksimal yang dapat diberikan yaitu 5 (lima) tahun. Yang seharusnya
dalam putusan hakim tersebut dihukum lebih berat dari hanya 8 (delapan) bulan
saja agar menimbulkan efek jera.
C. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan
yang telah diuraikan, dan berdasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri Malang
Nomor 632/Pid.B/2013/PN Mlg, adalah Tanggung jawab dan akibat hukum notaris
atas tindak pidana penggelapan uang milik kliennya tersebut yaitu notaris
tersebut dapat dikenakan sanksi administrative berupa teguran, peringatan,
schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan, serta pemberhentian dengan tidak
hormat dari keanggotaan perkumpulan. Yang dapat menentukan sanksi yang mana
yang tepat yaitu Dewan Kehormatan Notaris yang sebelum dipanggil kepengadilan
negeri harus dengan persetujuan Dewan Kehormatan Notaris tersebut dimana hal
tersebut dari sisi keanggotaan perkumpulan , sedangkan dari sisi Majelis
Pengawas Notaris juga dapat memberikan sanksinya yang sesuai dengan perbuatan
notaris tersebut dan sanksi perdata berupa ganti kerugian sebesar yang kerugian
yang diderita oleh pihak penjual selaku korban tindak pidana penggelapan
tersebut yang wajib ia bayarkan. Kemudian sanksi pidana sesuai tindak pidana
yang dilakukannya yaitu penggelapan dengan pemberatan yang maksimal dihukum
selama 5 (tahun).
DAFTAR PUSTAKA
Adjie,
Habib. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Cet. 1, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009
Adjie,
Habib. Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Bandung: PT. Refik Aditama, 2007
Prajitno,
A.A. Andi. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?, cet. 1 Surabaya: Putra
Media Nusantara, 2010
Saputro,
Anke Dwi. Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang,
Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008
Sumaryono, E. Etika Profesi Hukum : Norma-Norma Bagi Penegak
Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995
[1] Anke
Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang,
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), hlm.40.
[2] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum : Norma-Norma Bagi Penegak Hukum,(
Yogyakarta: Kanisius), hlm. 102
[3] Habib
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Cet. 1, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 11
[4] A.A.
Andi Prajitno, Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?, cet. 1 (Surabaya:
Putra Media Nusantara, 2010), hlm. 64
[5] Habib
Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), (Bandung: PT. Refik Aditama, 2007) hlm. 2
Comments
Post a Comment