Ilustrasi Hukum

Hubungi Kami

Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.

📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com

📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang

💬 Konsultasi Gratis via WhatsApp

Selasa, 21 Maret 2017

SURAT BERHARGA DI PASAR UANG DAN DI PASAR MODAL


SURAT BERHARGA DI PASAR UANG DAN DI PASAR MODAL

Surat berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.
Fungsi Surat Berharga secara yuridis adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai alat pembayaran Sebagai alat pemindahan hak tagih (karena dapat diperjualbelikan).
2.      Sebagai Surat Legitimasi (Surat Bukti Hak Tagih)
Dilihat dari segi fungsinya, ada 3 macam surat berharga:
1.      Surat yang bersifat hukum kebendaaan (zakenrechtelijke papieren)
2.      Surat tanda keanggotaan dari persekutuan (lidmaatschaps papieren)
3.      Surat tagihan hutang (schuldvorderingspapieren)
Secara fisik Surat Berharga hanyalah merupakan sepucuk surat, tetapi secara hukum dapat mengikat. Teori secara cauisa yuridis suatu surat berharga mempunyai kekuatan mengikat:
a)   Teori Kreasi (Creatie theorie ) Menurut teori ini sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya adalah karena tindakan penerbit menandatangani surat berharga. Karena penandatanganan tersebut, penerbit terikat meskipun pihak pemegang surat berharga sudah beralih kepada pihak lain dari pemegang semula.
b)   Teori Kepatutan (Redelijkheids theorie) Menurut teori ini penerbit surat berharga terikat dan harus membayar surat berharga kepada siapapun pemegangnya secara patut.
c)   Teori Perjanjian (Overeenkomst theorie) Menurut teori ini penerbit surat berharga terikat karena penerbit telah membuat perjanjian dengan pihak pemegang surat berharga .
d)   Teori Penunjukan (Vertonings theorie) Menurut teori ini sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya adalah karena pihak pemegang surat berharga tersebut menunjukkan surat berharga tersebut kepada penerbit untuk mendapatkan pembayaran.
Secara  umum, pasar uang adalah tempat diperdagangkannya dana-dana atau surat-surat berharga yang mempunyai jangka waktu jatuh tempo kurang dari satu tahun (jangka pendek).
Fungsi pasar uang adalah sebagi sarana alternatif, khususnya bagi lembaga-lembaga keuangan, perusahaan-perusahaan nin keuangan dan peserta lainnya untuk memenuhi kebutuhan dana jangka pendeknya maupun untuk menempatkan dana atas kelebihan likuiditasnya. Yang dimaksud dengan kelebihan likuiditas adlaah lembaga-lembaga keuangan yang mempunyai kelebihan dana dalam bentuk dana segar, baik berupa kas maupun dalam bentuk-bentuk suarat-surat berharga dengan jangka waktu satu tahun.
Yang menjadi surat-surat berharga dalam Pasar Uang adalah
1. Interbank call money
2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
3. Sertifikat Deposito
4. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
5. Banker’s Acceptance
6. Commercial Paper
7. Treasury Bills
8. Repupuchase Agreement

Pasar modal adalah lembaga keuangan yang mempunyai kegiatan berupa penawaran dan perdagangan efek (surat berharga). Pasar modal juga merupakan lembaga profesi yang berkaitan dengan transaksi jual beli efek dan perusahan publik yang berkaitan dengan efek. Dengan demikian pasar modal dikenal sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli modal/dana. Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjual-belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta.
Pasar modal memberikan berbagai alternatif untuk para investor selain berbagai investasi lainnya, seperti: menabung di bank, membeli tanah, asuransi, emas dan sebagainya. Pasar modal merupakan penghubung antara investor (pihak yang memiliki dana) dengan perusahaan (pihak yang memerlukan dana jangka panjang) ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen melalui jangka panjang, seperti surat berharga yang meliputi surat pengakuan utang, surat berharga komersial (commercial paper), saham, obligasi, tanda bukti hutang, waran (warrant), dan right issue. Pasar modal juga merupakan salah satu cara bagi perusahaan dalam mencari dana dengan menjual hak kepemilikan perusahaan kepada masyarakat.
Surat Berharga dalam Pasar modal adalah
1) Saham adalah tanda penyertaan modal pada suatu perusahaan perseroan terbatas. Manfaat yang diperoleh dari pemilikan saham adalah deviden (bagian dari keuntungan yang dibagikan kepada pemilik saham); capital gain (keuntungan yang diperoleh dari selisih positif harga beli dan harga jual saham), dan manfaat nonfinansial, yaitu mempunyai hak suara dalam aktivitas perusahaan. Saham yang diterbitkan emiten (pihak yang melakukan penawaran umum) ada 2 macam, yaitu saham biasa (common stock) dan saham istimewa (preffered stock). Perbedaan saham ini berdasarkan pada hak yang melekat pada saham tersebut. Hak ini meliputi hak atas menerima deviden, memperoleh bagian kekayaan jika perusahaan dilikuidasi setelah dikurangi semua kewajiban-kewajiban perusahaan.
2) Obligasi adalah surat pengakuan hutang suatu perusahaan yang akan dibayar pada waktu jatuh tempo sebesar nilai nominalnya. Penghasilan yang diperoleh dari obligasi berupa tingkat bunga yang akan dibayarkan oleh perusahaan penerbit obligasi tersebut pada saat jatuh tempo.
3) Surat Berharga Lainnya, dimana selain dari dua jenis efek yang telah diuraikan di atas yang sudah banyak digunakan sebagai media hutang di bursa efek Indonesia, terdapat beberapa jenis efek yang juga dapat digunakan sebagai media hutang, seperti warrant, option dan right issue. Warrant adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli saham perusahaan dengan persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya. Persyaratan tersebut biasanya mengenai harga, jumlah, dan masa berlakunya warrant tersebut. Option adalah surat pernyataan yang dikeluarkan oleh seseorang/lembaga (tetapi bukan emiten) untuk memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli saham (call option) dan menjual saham (put option) pada harga yang telah ditentukan sebelumnya. Right Issue adalah surat yang diterbitkan oleh perusahaan yang memberikan hak kepada pemegangnya (pemilik saham biasa) untuk membeli tambahan saham pada penerbitan saham baru.

Kamis, 16 Maret 2017

ANALISIS PERLINDUNGAN KONSUMEN DI SEKTOR JASA KEUANGAN


A.   Latar Belakang
Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu bangsa karena sistem keuangan memberikan jasa penyaluran dari pihak yang mempunyai surplus finansial kepada pihak yang mengalami defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak berjalan dengan baik, hal ini tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sistem perbankan yang merupakan salah satu unsur sistem keuangan juga mengambil peran strategis dalam hal ini. Sebuah negara yang iklim perekonomiannya berkembang pesat pasti memiliki sistem perbankan yang baik pula.
Krisis ekonomi selalu menelan biaya yang tidak sedikit, baik dilihat dari biaya ekonomi maupun biaya sosial yang diakibatkannya. Krisis ekonomi di tahun 1997-1998, misalnya, membebani perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi minus 13%. Di sisi lain, diperlukan waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan perekonomian ke kondisi sebelum krisis.
Belajar dari krisis ekonomi akhir dekade 1990-an, beberapa perubahan mendasar telah dilakukan pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini kemungkinan krisis ekonomi dan kalaupun krisis terjadi dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir, antara lain melalui pembentukan Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) yang berperan sebagai bank insurance. LPS mulai beroperasi sejak 22 September 2005 yang pendiriannya disahkan melalui UU 24/2004. Peran Bank Indonesia (BI) pasca Orde Baru diatur di dalam UU Nomor 23/1999 yang kemudian disempurnakan melalui UU Nomor 3/2004.
Didasarkan pada kedua UU yang mengatur peran BI tersebut, diamanatkan fungsi pengawasan perbankan akan dialihkan ke Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) independen atau sering disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan UU 3/2004, OJK harus terbentuk selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. OJK dibentuk sebagai lembaga independen yang mengawasi lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank, seperti perusahaan sekuritas, anjak piutang, sewaguna usaha, modal ventura, perusahaan pembiayaan, reksa dana, asuransi, dan dana pensiun serta lembaga lain yang berkegiatan mengumpulkan dana masyarakat.
Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi di perekonomian dunia pada saat terjadi krisis ekonomi di tahun 1997/1998. BI dipandang tidak optimal dalam melakukan fungsi pengawasan. Di sisi lain, di negara maju, terdapat kecenderungan adanya pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral untuk kemudian ditangani khusus oleh lembaga pengawas keuangan yang bersifat independen, misalnya Financial Service Authority (FSA) di Inggris.
Munculnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator menggantikan Bank Indonesia sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Ruang lingkup tugas pengaturan dan pengawasan tersebut dijelaskan dalam Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya”. Lain kata alasan pendirian OJK dengan berkembangnya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.
 Lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.7
 Relevansi pengawasan dan perlindungan konsumen dalam ruang lingkup kegiatan jasa keuangan memiliki keterkaitan yang erat, dikarenakan UU OJK mengatur sendiri mengenai konsumen Pasal 1 angka 15 UU OJK: “Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.” Pencantuman dalam ketentuan umum, menyebabkan masalah konsumen merupakan masalah penting dalam UU OJK.
UU OJK memberikan pengertian yang luas dan umum terhadap konsumen. Pengertian konsumen dalam UU OJK tidak membatasi pengertian konsumen dalam individu saja melainkan pemodal di Pasar Modal pun diakui sebagai konsumen. Perlindungan konsumen dalam UU OJK mencakup perlindungan konsumen yang lebih kompleks dan lengkap. Cakupan yang semakin luas tentang konsumen ini, menimbulkan jangkauan akan tugas dan wewenang serta tanggungjawab perlindungan konsumen oleh OJK juga semakin luas di bidang jasa keuangan. Lembaga OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.8
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi pengawasan secara terintegrasi telah dilakukan langkah-langkah persiapan dan periode transisi telah ditetapkan sehingga pada 1 Januari 2014 OJK telah siap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pengawas jasa keuangan secara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri jasa keuangan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (disingkat lembaga keuangan bukan bank /LKBB) yang dilakukan oleh Bapepam – LK dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua, pengawasan bank dialihkandari Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2013.10
Selain daripada itu, mengingat dalam bisnis keuangan salah satu karakter atau roh utama dalam lembaga keuangan adalah kepercayaan dari masyarakat. Apabila kepercayaan dari masyarakat luntur maka dapat dipastikan bank tersebut lambat laun akan sakit dan tewas dalam sekejap. Selain itu, modal yang dipakai dalam sistem perbankan adalah dibiayai oleh utang baik dari dana masyarakat yang dihimpun ataupun dari utang lainnya. Cuma sebagian kecil saja usaha keuangan  dibiayai modal dasar. Dengan ini modal bank akan cepat habis jika sewaktu waktu bank mengalami kerugian yang cukup besar.  Untuk itu kepercayaan terhadap masyarakat perlu dilindungi.
Di sininalah tingkat kepuasan serta kepercayaan perlu di akomodasi oleh otoritas jasa keuangan. Otoritas Jasa keuangan yang diberi wewenang penuh oleh Undang-Undang mau-mau tidak bisa memberikan fasilitas protes ataupun komplen kepada masyarakat terhadap pelanggaran-pelanggaran ataupun janji-janji palsu oleh pelaku usaha jasa keuangan pada saat mereka mempromosikan produk.
Upaya seperti ini dimaksudkan supaya tingkat kepercayaan kepada masyarakat tetap tinggi terhadap PUJK dan komitmen PUJK tidak hanya berorientasi pada profit atau keuntungan semata sehingga dapat tercipta kondisi perekonomian  yang stabil di Indonesia.

B.   Pola Perlindungan Konsumen di Indonesia
            Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.24
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Pengaturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.26
Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabatdan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.27
Kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :29a. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha b. Konsumen mempunyai hak c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat f. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa g. Pemerintah perlu berperan aktif h. Masyarakat juga perlu berperan serta i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam bidang j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap .
Dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan mereka dapat menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.30 Purba menguraikan konsep perlindungan konsumen sebagai berikut:31 ”Kunci Pokok Perlindungan Konsumen adalah bahwa konsumen dan pengusaha (produsen atau pengedar produk) saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pengusaha” Disamping UUPK, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum yaitu sebagai berikut : 32
a.     PP No. 57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
b.     PP No. 58 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
c.      PP No. 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
d.     Keppres No. 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang. Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
Sebagai pemakai barang dan/ atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan akan hak-hak konsumen adalah hal yang sangat penting agar masyarakat dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri sehingga ia dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya ketika ia menyadari hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Secara umum dikenal 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :33
1.    Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dan barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya
2.    Hak untuk mendapatkan informasi (the right tobe informed)
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar baik secara lisan, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang
3.    Hak untuk memilih (the right to choose)
Konsumen berhak untuk menentukan pilihannya dalam mengkonsumsi suatu produk. Ia juga tidak boleh mendapat tekanan dan paksaan dari pihak luar sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk membeli atau tidak membeli.
4.    Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak ini berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi. Ini disebabkan informasi yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan sering tidak cukup memuaskan konsumen.36
C.   Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 2 UUPK menyebutkan tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut :
a.    Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.    Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang/ jasa.
c.    Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.    Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.    Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.     Meningkatkan kualitas barang/ jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang/ jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

D.   Perlindungan Konsumen Di Sektor Jasa Keuangan Sebelum OJK
Dfmfk
Tren perkembangan sistem pembayaran baik tunai maupun non-tunai terus mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Salah satunya didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informatika yang sangat pesat sehingga menciptakan berbagai inovasi yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi sistem pembayaran secara elektronis dimana saja dan kapan saja.
Inovasi tersebut antara lain layanan finansial melalui mesin dan kartu ATM/Debet, kartu kredit, uang elektronik (e-money), transfer dana, kemudahan dalam mendapatkan uang tunai serta berbagai layanan payment gateway/payment processor yang saat ini tumbuh subur di Indonesia. Berbagai layanan tersebut telah membantu masyarakat dalam memperoleh akses finansial dengan lebih mudah. Berbagai produk finansial tersebut telah berkembang dengan pesat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam keseharian kita.
Berbagai kemudahan serta keragaman layanan sistem pembayaran yang dibarengi dengan peningkatan transaksi dalam jasa sistem pembayaran tersebut tentunya membawa konsekuensi tidak saja bagi konsumen namun juga bagi penyelenggara maupun otoritas di bidang sistem pembayaran. Konsumen menginginkan adanya informasi yang akurat dan jelas mengenai manfaat dan risiko mengenai jasa sistem pembayaran. Hal tersebut diperlukan untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dalam menggunakan jasa sistem pembayaran.
Untuk menjawab hal tersebut dibentuk divisi yang khusus menangani perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran yaitu Divisi Perlindungan Konsumen Sistem Pembayaran yang mulai berdiri pada 1 Agustus 2013. Pembentukan divisi ini dilatarbelakangi oleh makin meningkatnya transaksi dalam sistem pembayaran serta sebagai bentuk kepedulian terhadap seluruh konsumen sistem pembayaran. Fungsi divisi ini adalah edukasi, konsultasi dan fasilitasi. Kegiatan ini pada akhirnya dapat membantu konsumen yang ingin meminta informasi dan/atau penanganan permasalahan sistem pembayaran.
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran memiliki 3 fungsi yaitu:
a.    Edukasi diberikan kepada konsumen yang ingin mengetahui lebih jelas mengenai produk-produk sistem pembayaran yang dilakukan secara aktif oleh BI melalui melalui media masa ataupun edukasi dan sosialisasi mengenai produk jasa SP kepada masyarakat , akademisi, mahasiswa, sekolah sekolah dll.
b.    Konsultasi dilakukan terkait dengan permasalahan penggunaan produk SP dari masyarakat, penyelenggara SP melalui telepon, e-mail, surat menyurat maupun datang secara langsung
c.    Fasilitasi dilakukan terhadap sengketa antara konsumen dengan penyelenggara jasa SP yg berindikasi adanya kerugian financial bagi konsumen. Fasilitasi dilakukan dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar, memotivasi.
Layanan dan/atau produk jasa sistem pembayaran yang termasuk dalam perlindungan konsumen jasa SP adalah:
a.    Penerbitan instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan dana
b.    Kegiatan transfer dana
c.    Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Kartu ATM/Debet & Kartu Kredit)
d.    Kegiatan uang elektronik
e.    Kegiatan penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah
f.     Penyelenggaraan SP lainnya yang akan ditetapkan dalam ketentuan BI

Subyek PK adalah konsumen akhir yaitu pemegang kartu ATM/Debet, kartu kredit, uang elektronik, pengirim dan penerima transfer dana dll.

Prinsip PK adalah :
a.    Keadilan dan Keandalan
b.    Transparansi
c.    Perlindungan data dan/atau informasi konsumen
d.    Penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif
Tidak semua pengaduan dapat ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia, pengaduan yang dapat ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia memilki syarat sebagai berikut:

a.    Konsumen telah menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara dan telah ditindaklanjuti
b.    Tidak terdapat kesepakatan antara konsumen dengan penyelenggara
c.    Merupakan masalah perdata yang tidak sedang dalam proses atau belum diputus oleh lembaga mediasi, arbitrase atau peradilan
d.    Konsumen mengalami kerugian finansial

E.   Peran OJK dalam Penegakan Hukum di Sektor Jasa Keuangan
Salah satu faktor utama penyebab permasalahan perbankan saat ini adalah kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank sehingga kegiatan usaha bank tidak lagi dikelola secara sehat bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi para pemilik, pengurus, atau pihak lainnya.
Pernyataan tersebut dapat tercermin dengan adanya pelanggaran pelayanan dan pemasaran produk jasa bank meskipun tidak dilakukan secara langsung oleh pihak bank seperti penipuan yang dilakukan oleh seorang karyawan bank dengan modus penawaran produk perbankan dengan return yang tinggi, kasus penipuan dengan kedok gadai emas pada perbankan syariah, ataupun tawaran-tawaran menggiurkan lainnya yang sangat menarik masyarakat calon nasabah bank tersebut. Padahal pelayanan jasa dan etika pemasaran produk jasa bank harus dilakukan dengan baik dan benar sehingga mendapat simpatik dan menarik bagi masyarakat calon nasabah bank bersangkutan. Apabila pelayanan dan etika bank dilakukan dengan baik dan benar, maka pemasaran produknya diharapkan akan berhasil baik dan tidak merugikan salah satu pihak.
Undang-undang perlindungan konsumen digunakan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak yang sekaligus ditujukan untuk mendapatkan kepastian atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen, untuk menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat serta kepastian mutu, jumlah, dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya .
Perlindungan nasabah ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen merupakan jamianan kepastian hukum terhadap nasabah untuk dilindungi dan mendapatkan pelayanan secara benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikan (Meilany, 2008). Pada kenyataanya undang-undang tersebut tidak cukup untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga keuangan, perbankan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan yang lebih intensif sangat dibutuhkan.
Suatu peraturan dan pengawasan oleh pihak yang memiliki otoritas tertentu menjadi salah satu upaya dalam pengantisipasian terjadinya pelanggaran atas produk perbankan. Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain dan dapat melakukan upaya tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011, adalah lembaga yang didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank serta untuk melindungi konsumen industry jasa keuangan.
Visi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum. Sementara misi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah:
1.     Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel
2.     Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil;
3.     Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan dan mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan OJK mempunyai wewenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1.     Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank
2.     Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
Sesuai dengan visi, misi, fungsi dan tugasnya, otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan serta menekankan pada perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat, khususnya konsumen produk jasa keuangan. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen menerapkan 5 prinsip, yaitu: (1) transparansi, (2) perlakuan yang adil, (3) keandalan, (4) kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen dan (5) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/Seojk.07/2014 Tentang Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk Dan/Atau Layanan Jasa Keuangan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib  menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jujur berdasarkan informasi yang sebenarnya tentang manfaat, biaya, dan risiko dari setiap produk dan/atau layanan serta wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang tidak menyesatkan sehingga tidak menimbulkan perbedaan penafsiran antara Konsumen dan/atau masyarakat dengan PUJK terhadap ketentuan yang dimuat dalam perjanjian. Selain itu, OJK juga melarang PUJK menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan. Dengan demikian pelaku usaha jasa keuangan, termasuk perbankan, diwajibkan untuk memberikan memberikan perlindungan konsumen dalam hal ini adalah nasabah pengguna jasa keuangan bank atas kepercayaan yang diberikan nasabah kepada bank.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan bahwa salah satu tugas OJK adalah memberikan perlindungan kepada Konsumen dan/ atau masyarakat. Dalam rangka memberikan perlindunganKonsumen, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 01/POJK.07/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. POJK dimaksud menerapkan prinsip keseimbangan, yaitu antara menumbuhkembangkan sektor jasa keuangan secara berkesinambungan dan secara bersamaan memberikan perlindungan kepada Konsumen dan/atau masyarakat sebagai pengguna jasa keuangan.
POJK tersebut mengandung 3 aspek utama yaitu: (i)peningkatan transparansi dan pengungkapan manfaat,risiko serta biaya atas produk dan/atau layanan PelakuUsaha Jasa Keuangan (PUJK); (ii) tanggung jawab PUJKuntuk melakukan penilaian kesesuaian produk dan/ataulayanan dengan risiko yang dihadapi oleh konsumenkeuangan; (iii) prosedur yang lebih sederhana dankemudahan konsumen keuangan untuk menyampaikanpengaduan dan penyelesaian sengketa atas produk dan/ atau layanan PUJK.
Dalam penyelesaian sengketa atas produk dan/atau layanan PUJK di luar pengadilan maka OJK telahmenerbitkan POJK No. 01/POJK.07/2014 tanggal 16 Januari 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan. POJK tersebutantara lain mengatur mekanisme penyelesaian pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh melalui 2 tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh
Lembaga Jasa Keuangan (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Sejalan dengan karakteristik dan perkembangan disektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis, dan penuh inovasi, maka LAPS di luar peradilan memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil. Penyelesaian Sengketa melaluiLAPS bersifat rahasia sehingga masing-masing pihakyang bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian Sengketa, dan tidak memerlukan waktu yanglama karena didesain dengan menghindari kelambatan prosedural dan administratif. Selain itu, penyelesaian sengketa melalui LAPS dilakukan oleh orang-orang yangmemang memiliki keahlian sesuai dengan jenis sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan. Dalam hal LAPS belum terbentuk OJK berperan memfasilitasi sengketa antara Konsumen dengan PUJK.
Dalam melaksanakan perlindungan Konsumen dan/atau masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan/atau masyarakat, yaitu dengan memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik produk dan/atau layanan sektor jasa keuangan, yang tercermin dalam Pasal 28UU OJK. Dalam rangka implementasi amanat Undang-Undang tersebut, OJK berkolaborasi dengan stake holders mencanangkan Strategi Nasional Literasi Keuangan (SNLK), yang mempunyai 3 pilar kerangka dasar, yaitu: (i) edukasi dan kampanye nasional literasi; (ii) penguatan infrastruktur literasi keuangan; (iii) pengembangan produk dan layanan keuangan.
SNLK akan menjadi pedoman bagi otoritas di bidang keuangan, bagi lembaga jasa keuangan dan bagi pemangku kepentingan. Oleh karena itu, diharapkandapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi (well literate) danuntuk meningkatkan penggunaan produk dan/atau layanan keuangan, sehingga mampu menggerakkan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu adanya perubahan pola pikir bagi Bidang Pengawasan yang semula hanya menitikberatkan pengawasan prudential bagi pengawasan Lembaga Jasa Keuangan ditambahkan pula pengawasan market conduct.
Dengan adanya pengawasan yang menyeluruh tersebut maka akan tercapai tujuan jangka pendek yaitu market confidence yang kemudian mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Saat ini OJK tengah menyiapkan kajian mengenai penyempurnaan penerapan market conduct bagi industri jasa keuangan.
Sebagai contoh konkrit dari bentuk pengawasan yang dilakukan oleh OJK adalah dengan mewajibkan produk finansial untuk mencantumkan cap halal dan OJK yang berlaku sejak 6 Agustus 2014. Tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen atas ketidakjelasan informasi terkait produk finansial yang ditawarkan oleh perbankan. Sehingga kini dalam penjualan produk finansial atau berpromosi disyaratkan untuk lebih jelas, jujur, dan tidak menyesatkan konsumen. Sebagai gambaran, promosi dan layanan kartu kredit kepada konsumen, selain harus memenuhi persyaratan peraturan baru yang sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011, juga harus menjelaskan cara menghitung bunga kepada calon nasabah. Selain itu, apabila ada PUJK yang tidak mengindahkan peraturan yang ada, pihak OJK akan memberikan teguran dan langkah terakhir merekomendasikan mencabut izin operasionalnya.
Dengan adanya peraturan Otoritas Jasa Keuangan, surat edaran Otoritas Jasa Keuangan, tindakan nyata perlu dilakukan di lapangan agar perlindungan konsumen yang telah diatur di dalamnya tidak hanya sebatas peraturan tertulis saja. Dari uraian di atas jelas sekali peran Otoritas Jasa Keuangan dalam perlindungan produk perbankan.

Rabu, 15 Maret 2017

Legal Positivism - Gerald G. Postema


Positivisme hukum merupakan sebuah pendekatan penting dan kontroversial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filsafat  mengenai yurisprudensi. Kita bisa mendapatkan beberapa perspektif tentang mengenai ini jika kita melihat ke sejarah teori hukum yang positivistik kontemporer yurisprudensi telah muncul.
Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Menurut hukum positivisme, hukum sama dengan norma-norma positif yaitu norma yang dibuat oleh badan legislasi atau dianggap sebagai hukum umum yakni hukum yang dikembangkan oleh hakim melalui ketentuan-ketentuan dalam pengadilan.
Hukum positivisme dalam perkembangannya memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang sangat luas. Jeremy Bentham dan John Austin, diduga telah menawarkan formulasi klasik doktrin positivisme. Kedua teori hukum ini dengan cara yang sangat berbeda, merevolusi yurisprudensi, mengembangkannya tradisi positivisme. jalan revolusioner Bentham, untuk sebagian besar,  banyak dianggap oleh hukum berikutnya, sementara pengaruh Austin terhadap hukum murni  menjadi besar dari lingkup reorientasi masing-masing dari teori hukum yang dibawa. Aliran positivisme hukum dimulai dengan Plato, Epicurus, Aquinas dan Marsilius dari Padua
Aliran ini merupakan turunan dari filsafat politik kuno yang sudah lama dibahas, diperkenalkan dan diterapkan sampai abad pertengahan. Namun perkembangan politik modern telah mengubah hampir keseluruhan, masih sedikit menyisakan doktrin filsafat politik klasik. Perkembangan aliran hukum positivistik hingga abad pertengahan berakar dari berbagai macam pemikiran, seperti filsafat politik Hobbes dan Hume, berakar pada pemikiran Jeremy Bentham terhadap gagasannya mengenai hukum dan kekuasaan yang diadopsi, dimodifikasi dan dipopulerkan oleh Austin.
Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk.
Kritik yang cukup penting diberikan oleh H.L.A Hart terhadap  pemikiran Austin. Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori perintah Austin. Semua kesulitan dalam teori Austin, menurut Hart, terletak pada pandangan Austin yang melihat hukum sebagai emanasi atau jelmaan diri dari penguasa absolut.
Hart tegas menolak Bentham dan kecenderungan sebelumnya positif ke pemahaman dasar mereka yang mengartikan hukum sebagian pada pertimbangan normatif. Sebaliknya, Hart menganut positivisme metodologis yang kuat, berkelanjutan dengan Austin yang mengerti tugas yurisprudensi menjadi ketat deskriptif, tergantung pada titik kritis pada pertimbangan moral, bahkan ketika apa yang dijelaskan adalah normatif atau evaluatif.

ASEAN Banking Integration Framework (ABIF)


ASEAN Banking Integration Framework (ABIF) Guidelines adalah  panduan kerangka operasional bagi negara-negara ASEAN dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip dan proses integrasi perbankan di bawah kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bekerjasama erat dalam mewujudkan tercapainya kesepakatan ini. Dengan implementasi ABIF diharapkan perbankan dan pelaku bisnis dapat mengembangkan bisnisnya dengan lebih luas, efisien dan stabil di kawasan ASEAN.
Tujuan utama ABIF adalah menyediakan akses pasar (market access) dan keleluasaan beroperasi (operational flexibility) di negara anggota ASEAN bagi Qualified ASEAN Banks (QAB) yakni bank-bank ASEAN yang memenuhi persyaratan tertentu yang telah disepakati bersama oleh ASEAN. Persyaratan bank untuk menjadi kandidat QAB antara lain adalah bank-bank milik ASEAN yang kuat permodalannya, berdaya tahan tinggi dan dikelola dengan baik, serta memenuhi ketentuan kehati-hatian sesuai standar internasional yang berlaku. Bank-bank tersebut diharapkan akan menjadi pendorong perdagangan dan investasi di ASEAN.
Azas resiprokal menjadi salah satu prinsip utama ABIF dimana akses pasar dan fleksibilitas operasional harus saling menguntungkan dan dapat diterima oleh negara yang bersepakat. ABIF tetap memperhatikan pemenuhan persyaratan prudensial bagi kandidat QAB yang akan masuk dan beroperasi di suatu negara ASEAN. Partisipasi suatu negara dalam implementasi ABIF juga memperhatikan kesiapan sektor keuangan masing-masing negara anggota ASEAN. Dalam hal ini, negara-negara ASEAN utama akan saling membantu kesiapan negara ASEAN lainnya dalam proses percepatan integrasi perbankan di kawasan ASEAN melalui dukungan pendidikan, pelatihan dan tenaga ahli.
Dalam proses ABIF, bank-bank sentral ASEAN merumuskan ABIF Guidelines secara multilateral, yang diikuti dengan tahap perjanjian bilateral terkait bank yang akan hadir di pasar perbankan ASEAN. Dalam hal ini, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bekerjasama untuk melakukan simulasi guna memastikan bahwa prinsip-prinsip di dalam ABIF tersebut dapat diimplementasikan dengan efektif dan mendukung kepentingan nasional. Untuk itu, Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara yang memimpin proses pembentukan ABIF di ASEAN bersama-sama melakukan simulasi yang menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Heads of Agreement antara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Negara Malaysia. Heads of Agreement tersebut pada intinya diarahkan untuk mengurangi kesenjangan dalam akses pasar dan fleksibilitas operasional QAB asal Indonesia di Malaysia berdasarkan azas resiprokal. Kesepakatan dalam Heads of Agreement ini nantinya akan dituangkan di dalam Bilateral Agreement antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Negara Malaysia.
Dampak positif ABIF bagi Indonesia adalah adanya peluang dan potensi bagi perbankan dan pelaku bisnis Indonesia untuk melakukan ekspansi ke pasar ASEAN. Dengan dikedepankannya azas resiprokal dan disepakatinya mekanisme untuk mengurangi kesenjangan dalam hal akses pasar dan fleksibilitas operasional dalam proses integrasi perbankan ASEAN, maka akan terbuka peluang yang lebih besar kepada perbankan Indonesia untuk mendapatkan akses pasar dan kegiatan usaha yang lebih luas di kawasan ASEAN dimana QAB asal Indonesia akan mendapat perlakuan sama dengan bank lokal. Namun demikian perbankan Indonesia juga harus mengantisipasi ABIF dengan memperkuat permodalan, kualitas SDM dan efisiensi untuk dapat bersaing di tingkat regional maupun global. Pelaku bisnis akan memperoleh keuntungan dengan peningkatan akses terhadap sumber pembiayaan yang lebih besar dan aman untuk perdagangan antar negara dan aktivitas investasi.
Kerangka ABIF selanjutnya akan dituangkan menjadi salah satu provisi dalam protokol untuk mengimplementasikan paket ke-6 komitmen jasa keuangan di bawah ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang merupakan kerangka kerja di ASEAN yang mempunyai mandat liberalisasi di bidang jasa.

PERBANDINGAN PERKEMBANGAN HUKUM ADVOKAT DI INDONESIA DAN MYANMAR

  A.     PENDAHULUAN Salah satu penegak hukum yang seringkali menjadi perhatian adalah advokat, karena kedudukan yang istimewa dalam peneg...