Skip to main content

ANALISIS PERLINDUNGAN KONSUMEN DI SEKTOR JASA KEUANGAN


A.   Latar Belakang
Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu bangsa karena sistem keuangan memberikan jasa penyaluran dari pihak yang mempunyai surplus finansial kepada pihak yang mengalami defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak berjalan dengan baik, hal ini tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sistem perbankan yang merupakan salah satu unsur sistem keuangan juga mengambil peran strategis dalam hal ini. Sebuah negara yang iklim perekonomiannya berkembang pesat pasti memiliki sistem perbankan yang baik pula.
Krisis ekonomi selalu menelan biaya yang tidak sedikit, baik dilihat dari biaya ekonomi maupun biaya sosial yang diakibatkannya. Krisis ekonomi di tahun 1997-1998, misalnya, membebani perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi minus 13%. Di sisi lain, diperlukan waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan perekonomian ke kondisi sebelum krisis.
Belajar dari krisis ekonomi akhir dekade 1990-an, beberapa perubahan mendasar telah dilakukan pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini kemungkinan krisis ekonomi dan kalaupun krisis terjadi dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir, antara lain melalui pembentukan Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) yang berperan sebagai bank insurance. LPS mulai beroperasi sejak 22 September 2005 yang pendiriannya disahkan melalui UU 24/2004. Peran Bank Indonesia (BI) pasca Orde Baru diatur di dalam UU Nomor 23/1999 yang kemudian disempurnakan melalui UU Nomor 3/2004.
Didasarkan pada kedua UU yang mengatur peran BI tersebut, diamanatkan fungsi pengawasan perbankan akan dialihkan ke Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) independen atau sering disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan UU 3/2004, OJK harus terbentuk selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. OJK dibentuk sebagai lembaga independen yang mengawasi lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank, seperti perusahaan sekuritas, anjak piutang, sewaguna usaha, modal ventura, perusahaan pembiayaan, reksa dana, asuransi, dan dana pensiun serta lembaga lain yang berkegiatan mengumpulkan dana masyarakat.
Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi di perekonomian dunia pada saat terjadi krisis ekonomi di tahun 1997/1998. BI dipandang tidak optimal dalam melakukan fungsi pengawasan. Di sisi lain, di negara maju, terdapat kecenderungan adanya pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral untuk kemudian ditangani khusus oleh lembaga pengawas keuangan yang bersifat independen, misalnya Financial Service Authority (FSA) di Inggris.
Munculnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator menggantikan Bank Indonesia sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Ruang lingkup tugas pengaturan dan pengawasan tersebut dijelaskan dalam Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya”. Lain kata alasan pendirian OJK dengan berkembangnya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.
 Lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.7
 Relevansi pengawasan dan perlindungan konsumen dalam ruang lingkup kegiatan jasa keuangan memiliki keterkaitan yang erat, dikarenakan UU OJK mengatur sendiri mengenai konsumen Pasal 1 angka 15 UU OJK: “Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.” Pencantuman dalam ketentuan umum, menyebabkan masalah konsumen merupakan masalah penting dalam UU OJK.
UU OJK memberikan pengertian yang luas dan umum terhadap konsumen. Pengertian konsumen dalam UU OJK tidak membatasi pengertian konsumen dalam individu saja melainkan pemodal di Pasar Modal pun diakui sebagai konsumen. Perlindungan konsumen dalam UU OJK mencakup perlindungan konsumen yang lebih kompleks dan lengkap. Cakupan yang semakin luas tentang konsumen ini, menimbulkan jangkauan akan tugas dan wewenang serta tanggungjawab perlindungan konsumen oleh OJK juga semakin luas di bidang jasa keuangan. Lembaga OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.8
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi pengawasan secara terintegrasi telah dilakukan langkah-langkah persiapan dan periode transisi telah ditetapkan sehingga pada 1 Januari 2014 OJK telah siap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pengawas jasa keuangan secara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri jasa keuangan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (disingkat lembaga keuangan bukan bank /LKBB) yang dilakukan oleh Bapepam – LK dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua, pengawasan bank dialihkandari Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2013.10
Selain daripada itu, mengingat dalam bisnis keuangan salah satu karakter atau roh utama dalam lembaga keuangan adalah kepercayaan dari masyarakat. Apabila kepercayaan dari masyarakat luntur maka dapat dipastikan bank tersebut lambat laun akan sakit dan tewas dalam sekejap. Selain itu, modal yang dipakai dalam sistem perbankan adalah dibiayai oleh utang baik dari dana masyarakat yang dihimpun ataupun dari utang lainnya. Cuma sebagian kecil saja usaha keuangan  dibiayai modal dasar. Dengan ini modal bank akan cepat habis jika sewaktu waktu bank mengalami kerugian yang cukup besar.  Untuk itu kepercayaan terhadap masyarakat perlu dilindungi.
Di sininalah tingkat kepuasan serta kepercayaan perlu di akomodasi oleh otoritas jasa keuangan. Otoritas Jasa keuangan yang diberi wewenang penuh oleh Undang-Undang mau-mau tidak bisa memberikan fasilitas protes ataupun komplen kepada masyarakat terhadap pelanggaran-pelanggaran ataupun janji-janji palsu oleh pelaku usaha jasa keuangan pada saat mereka mempromosikan produk.
Upaya seperti ini dimaksudkan supaya tingkat kepercayaan kepada masyarakat tetap tinggi terhadap PUJK dan komitmen PUJK tidak hanya berorientasi pada profit atau keuntungan semata sehingga dapat tercipta kondisi perekonomian  yang stabil di Indonesia.

B.   Pola Perlindungan Konsumen di Indonesia
            Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.24
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Pengaturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.26
Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabatdan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.27
Kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :29a. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha b. Konsumen mempunyai hak c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat f. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa g. Pemerintah perlu berperan aktif h. Masyarakat juga perlu berperan serta i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam bidang j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap .
Dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan mereka dapat menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.30 Purba menguraikan konsep perlindungan konsumen sebagai berikut:31 ”Kunci Pokok Perlindungan Konsumen adalah bahwa konsumen dan pengusaha (produsen atau pengedar produk) saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pengusaha” Disamping UUPK, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum yaitu sebagai berikut : 32
a.     PP No. 57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
b.     PP No. 58 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
c.      PP No. 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
d.     Keppres No. 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang. Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
Sebagai pemakai barang dan/ atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan akan hak-hak konsumen adalah hal yang sangat penting agar masyarakat dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri sehingga ia dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya ketika ia menyadari hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Secara umum dikenal 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :33
1.    Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dan barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya
2.    Hak untuk mendapatkan informasi (the right tobe informed)
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar baik secara lisan, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang
3.    Hak untuk memilih (the right to choose)
Konsumen berhak untuk menentukan pilihannya dalam mengkonsumsi suatu produk. Ia juga tidak boleh mendapat tekanan dan paksaan dari pihak luar sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk membeli atau tidak membeli.
4.    Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak ini berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi. Ini disebabkan informasi yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan sering tidak cukup memuaskan konsumen.36
C.   Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 2 UUPK menyebutkan tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut :
a.    Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.    Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang/ jasa.
c.    Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.    Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.    Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.     Meningkatkan kualitas barang/ jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang/ jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

D.   Perlindungan Konsumen Di Sektor Jasa Keuangan Sebelum OJK
Dfmfk
Tren perkembangan sistem pembayaran baik tunai maupun non-tunai terus mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Salah satunya didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informatika yang sangat pesat sehingga menciptakan berbagai inovasi yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi sistem pembayaran secara elektronis dimana saja dan kapan saja.
Inovasi tersebut antara lain layanan finansial melalui mesin dan kartu ATM/Debet, kartu kredit, uang elektronik (e-money), transfer dana, kemudahan dalam mendapatkan uang tunai serta berbagai layanan payment gateway/payment processor yang saat ini tumbuh subur di Indonesia. Berbagai layanan tersebut telah membantu masyarakat dalam memperoleh akses finansial dengan lebih mudah. Berbagai produk finansial tersebut telah berkembang dengan pesat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam keseharian kita.
Berbagai kemudahan serta keragaman layanan sistem pembayaran yang dibarengi dengan peningkatan transaksi dalam jasa sistem pembayaran tersebut tentunya membawa konsekuensi tidak saja bagi konsumen namun juga bagi penyelenggara maupun otoritas di bidang sistem pembayaran. Konsumen menginginkan adanya informasi yang akurat dan jelas mengenai manfaat dan risiko mengenai jasa sistem pembayaran. Hal tersebut diperlukan untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dalam menggunakan jasa sistem pembayaran.
Untuk menjawab hal tersebut dibentuk divisi yang khusus menangani perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran yaitu Divisi Perlindungan Konsumen Sistem Pembayaran yang mulai berdiri pada 1 Agustus 2013. Pembentukan divisi ini dilatarbelakangi oleh makin meningkatnya transaksi dalam sistem pembayaran serta sebagai bentuk kepedulian terhadap seluruh konsumen sistem pembayaran. Fungsi divisi ini adalah edukasi, konsultasi dan fasilitasi. Kegiatan ini pada akhirnya dapat membantu konsumen yang ingin meminta informasi dan/atau penanganan permasalahan sistem pembayaran.
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran memiliki 3 fungsi yaitu:
a.    Edukasi diberikan kepada konsumen yang ingin mengetahui lebih jelas mengenai produk-produk sistem pembayaran yang dilakukan secara aktif oleh BI melalui melalui media masa ataupun edukasi dan sosialisasi mengenai produk jasa SP kepada masyarakat , akademisi, mahasiswa, sekolah sekolah dll.
b.    Konsultasi dilakukan terkait dengan permasalahan penggunaan produk SP dari masyarakat, penyelenggara SP melalui telepon, e-mail, surat menyurat maupun datang secara langsung
c.    Fasilitasi dilakukan terhadap sengketa antara konsumen dengan penyelenggara jasa SP yg berindikasi adanya kerugian financial bagi konsumen. Fasilitasi dilakukan dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar, memotivasi.
Layanan dan/atau produk jasa sistem pembayaran yang termasuk dalam perlindungan konsumen jasa SP adalah:
a.    Penerbitan instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan dana
b.    Kegiatan transfer dana
c.    Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Kartu ATM/Debet & Kartu Kredit)
d.    Kegiatan uang elektronik
e.    Kegiatan penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah
f.     Penyelenggaraan SP lainnya yang akan ditetapkan dalam ketentuan BI

Subyek PK adalah konsumen akhir yaitu pemegang kartu ATM/Debet, kartu kredit, uang elektronik, pengirim dan penerima transfer dana dll.

Prinsip PK adalah :
a.    Keadilan dan Keandalan
b.    Transparansi
c.    Perlindungan data dan/atau informasi konsumen
d.    Penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif
Tidak semua pengaduan dapat ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia, pengaduan yang dapat ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia memilki syarat sebagai berikut:

a.    Konsumen telah menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara dan telah ditindaklanjuti
b.    Tidak terdapat kesepakatan antara konsumen dengan penyelenggara
c.    Merupakan masalah perdata yang tidak sedang dalam proses atau belum diputus oleh lembaga mediasi, arbitrase atau peradilan
d.    Konsumen mengalami kerugian finansial

E.   Peran OJK dalam Penegakan Hukum di Sektor Jasa Keuangan
Salah satu faktor utama penyebab permasalahan perbankan saat ini adalah kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank sehingga kegiatan usaha bank tidak lagi dikelola secara sehat bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi para pemilik, pengurus, atau pihak lainnya.
Pernyataan tersebut dapat tercermin dengan adanya pelanggaran pelayanan dan pemasaran produk jasa bank meskipun tidak dilakukan secara langsung oleh pihak bank seperti penipuan yang dilakukan oleh seorang karyawan bank dengan modus penawaran produk perbankan dengan return yang tinggi, kasus penipuan dengan kedok gadai emas pada perbankan syariah, ataupun tawaran-tawaran menggiurkan lainnya yang sangat menarik masyarakat calon nasabah bank tersebut. Padahal pelayanan jasa dan etika pemasaran produk jasa bank harus dilakukan dengan baik dan benar sehingga mendapat simpatik dan menarik bagi masyarakat calon nasabah bank bersangkutan. Apabila pelayanan dan etika bank dilakukan dengan baik dan benar, maka pemasaran produknya diharapkan akan berhasil baik dan tidak merugikan salah satu pihak.
Undang-undang perlindungan konsumen digunakan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak yang sekaligus ditujukan untuk mendapatkan kepastian atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen, untuk menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat serta kepastian mutu, jumlah, dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya .
Perlindungan nasabah ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen merupakan jamianan kepastian hukum terhadap nasabah untuk dilindungi dan mendapatkan pelayanan secara benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikan (Meilany, 2008). Pada kenyataanya undang-undang tersebut tidak cukup untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga keuangan, perbankan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan yang lebih intensif sangat dibutuhkan.
Suatu peraturan dan pengawasan oleh pihak yang memiliki otoritas tertentu menjadi salah satu upaya dalam pengantisipasian terjadinya pelanggaran atas produk perbankan. Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain dan dapat melakukan upaya tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011, adalah lembaga yang didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank serta untuk melindungi konsumen industry jasa keuangan.
Visi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum. Sementara misi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah:
1.     Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel
2.     Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil;
3.     Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan dan mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan OJK mempunyai wewenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1.     Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank
2.     Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
Sesuai dengan visi, misi, fungsi dan tugasnya, otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan serta menekankan pada perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat, khususnya konsumen produk jasa keuangan. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen menerapkan 5 prinsip, yaitu: (1) transparansi, (2) perlakuan yang adil, (3) keandalan, (4) kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen dan (5) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/Seojk.07/2014 Tentang Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk Dan/Atau Layanan Jasa Keuangan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib  menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jujur berdasarkan informasi yang sebenarnya tentang manfaat, biaya, dan risiko dari setiap produk dan/atau layanan serta wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang tidak menyesatkan sehingga tidak menimbulkan perbedaan penafsiran antara Konsumen dan/atau masyarakat dengan PUJK terhadap ketentuan yang dimuat dalam perjanjian. Selain itu, OJK juga melarang PUJK menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan. Dengan demikian pelaku usaha jasa keuangan, termasuk perbankan, diwajibkan untuk memberikan memberikan perlindungan konsumen dalam hal ini adalah nasabah pengguna jasa keuangan bank atas kepercayaan yang diberikan nasabah kepada bank.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan bahwa salah satu tugas OJK adalah memberikan perlindungan kepada Konsumen dan/ atau masyarakat. Dalam rangka memberikan perlindunganKonsumen, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 01/POJK.07/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. POJK dimaksud menerapkan prinsip keseimbangan, yaitu antara menumbuhkembangkan sektor jasa keuangan secara berkesinambungan dan secara bersamaan memberikan perlindungan kepada Konsumen dan/atau masyarakat sebagai pengguna jasa keuangan.
POJK tersebut mengandung 3 aspek utama yaitu: (i)peningkatan transparansi dan pengungkapan manfaat,risiko serta biaya atas produk dan/atau layanan PelakuUsaha Jasa Keuangan (PUJK); (ii) tanggung jawab PUJKuntuk melakukan penilaian kesesuaian produk dan/ataulayanan dengan risiko yang dihadapi oleh konsumenkeuangan; (iii) prosedur yang lebih sederhana dankemudahan konsumen keuangan untuk menyampaikanpengaduan dan penyelesaian sengketa atas produk dan/ atau layanan PUJK.
Dalam penyelesaian sengketa atas produk dan/atau layanan PUJK di luar pengadilan maka OJK telahmenerbitkan POJK No. 01/POJK.07/2014 tanggal 16 Januari 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan. POJK tersebutantara lain mengatur mekanisme penyelesaian pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh melalui 2 tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh
Lembaga Jasa Keuangan (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Sejalan dengan karakteristik dan perkembangan disektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis, dan penuh inovasi, maka LAPS di luar peradilan memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil. Penyelesaian Sengketa melaluiLAPS bersifat rahasia sehingga masing-masing pihakyang bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian Sengketa, dan tidak memerlukan waktu yanglama karena didesain dengan menghindari kelambatan prosedural dan administratif. Selain itu, penyelesaian sengketa melalui LAPS dilakukan oleh orang-orang yangmemang memiliki keahlian sesuai dengan jenis sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan. Dalam hal LAPS belum terbentuk OJK berperan memfasilitasi sengketa antara Konsumen dengan PUJK.
Dalam melaksanakan perlindungan Konsumen dan/atau masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan/atau masyarakat, yaitu dengan memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik produk dan/atau layanan sektor jasa keuangan, yang tercermin dalam Pasal 28UU OJK. Dalam rangka implementasi amanat Undang-Undang tersebut, OJK berkolaborasi dengan stake holders mencanangkan Strategi Nasional Literasi Keuangan (SNLK), yang mempunyai 3 pilar kerangka dasar, yaitu: (i) edukasi dan kampanye nasional literasi; (ii) penguatan infrastruktur literasi keuangan; (iii) pengembangan produk dan layanan keuangan.
SNLK akan menjadi pedoman bagi otoritas di bidang keuangan, bagi lembaga jasa keuangan dan bagi pemangku kepentingan. Oleh karena itu, diharapkandapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi (well literate) danuntuk meningkatkan penggunaan produk dan/atau layanan keuangan, sehingga mampu menggerakkan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu adanya perubahan pola pikir bagi Bidang Pengawasan yang semula hanya menitikberatkan pengawasan prudential bagi pengawasan Lembaga Jasa Keuangan ditambahkan pula pengawasan market conduct.
Dengan adanya pengawasan yang menyeluruh tersebut maka akan tercapai tujuan jangka pendek yaitu market confidence yang kemudian mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Saat ini OJK tengah menyiapkan kajian mengenai penyempurnaan penerapan market conduct bagi industri jasa keuangan.
Sebagai contoh konkrit dari bentuk pengawasan yang dilakukan oleh OJK adalah dengan mewajibkan produk finansial untuk mencantumkan cap halal dan OJK yang berlaku sejak 6 Agustus 2014. Tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen atas ketidakjelasan informasi terkait produk finansial yang ditawarkan oleh perbankan. Sehingga kini dalam penjualan produk finansial atau berpromosi disyaratkan untuk lebih jelas, jujur, dan tidak menyesatkan konsumen. Sebagai gambaran, promosi dan layanan kartu kredit kepada konsumen, selain harus memenuhi persyaratan peraturan baru yang sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011, juga harus menjelaskan cara menghitung bunga kepada calon nasabah. Selain itu, apabila ada PUJK yang tidak mengindahkan peraturan yang ada, pihak OJK akan memberikan teguran dan langkah terakhir merekomendasikan mencabut izin operasionalnya.
Dengan adanya peraturan Otoritas Jasa Keuangan, surat edaran Otoritas Jasa Keuangan, tindakan nyata perlu dilakukan di lapangan agar perlindungan konsumen yang telah diatur di dalamnya tidak hanya sebatas peraturan tertulis saja. Dari uraian di atas jelas sekali peran Otoritas Jasa Keuangan dalam perlindungan produk perbankan.

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S