Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2017

Pelaksanaan Parate Eksekusi

Parate eksekusi adalah eksekusi yang didasarkan Pasal 6 UUHT dimana diberikannya kemudahan bagi kreditur pemegang HT dalam pelaksanaan eksekusi HT dikarenakan kreditur pemegang HT tersebut mempunyai kedudukan yang istimewa dalam bentuk droit de preference dan droit de suite yang merupakan ciri-ciri dari HT. Sehingga apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang HT dapat langsung mengajukan permintaan kepada Kepala Kantor Lelang Negara untuk melakukan penjualan obyek HT yang bersangkutan. Atau dapat dikatakan Parate eksekusi adalah eksekusi  yang dilaksanakan tanpa melibatkan juru sita, tanpa Fiat Ketua P.N., dilaksanakan diluar Hukum Acara dan juga tidak diadasarkan atas title eksekutorial, sedangkan Pelaksanaan titel eksekutorial ini masih menggunakan Hukum Acara Perdata produk Belanda yang diatur dalam Pasal 224 HIR dan 258 RBg, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 26 UUHT yang menyatakan bahwa sebelum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi HT maka

Pengalihan Hutang Kepada Calon Kreditur Baru dan Kaitannya Dengan Mortgage Facility

Perihal peralihan piutang secara cessie oleh Kreditur kepada Calon Kreditur Baru, bilamana Proses yang harus dilakukan adalah  1.  Melakukan pencatatan pada buku tanah hak tanggungan  2.   Buku-buku hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan 3.  Menyalin catetan tersebut pada sertifikat hak tanggungan dan sertifikat atas tanah yang bersangkutan (pasal 2 ayat 2 dan ayat 3 undang-undang No.4 tahun 1996). Dan bilamana Piutang yang dialihkan dengan pembelian oleh Calon Kreditur Baru berkaitan dengan Secondary Mortgage Facility, ketentuan Pasal 16 UUHT saja belum memadai. Dimana terdapat Masalah dalam pergerekan di pasar modal yang cepat, dan belum diaturnya bagaimana soal pendaftaran HT, juga belum diaturnya bagaimana pengaturan ketika ada wali amanat karena bagaimana pun dalam proses ini kan kumpulan piutang, bukan perorangan dimana seharusnya dapat dilakukan atas nama wali amanat, sedangkan di UU yg pegang HT adalah kredito

HAM BERKAITAN DENGAN ETIKA PROFESI HUKUM

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti : Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak kodrat moriil yang merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan ke muka bumi, dimana hak tersebut bersifat langgeng dan universal. Karena hak tersebut bukan diberikan oleh negara atau pemerintah kepada setiap warga negara dimanapun dia hidup, oleh karenanya hak tersebut harus dihormati oleh siapapun dan dilindungi oleh hukum itu sendiri. Melihat bahwa, sama halnya seperti Hak Asasi Manusia, kesadaran etis sesungguhnya telah ada dalam diri manusia sejak lahir. Kesadaran etis ini berada di level hati dimana dapat dirasaka

Campur tangan Negara di bidang Ekonomi di Indonesia

Campur tangan Negara di bidang Ekonomi di Indonesia dilakukan melalui : 1. Larangan melalui Peraturan Per-UU-an. Pemerintah membuat aturan yang isinya melarang kegiatan yang tidak dikehendaki. Hal ini dilakukan untuk membatasi atau melarang kegiatan atau usaha dalam bidang tertentu, misalnya : a. Larangan ekspor kayu glondongan (untuk alih teknologi dan ciptakan lapangan kerja). b. Larangan impor mobil built up (untuk menciptakan lapangan kerja). c. Larangan impor mobil merk tertentu. 2. Sistem Lisensi, artinya Negara menentukan adanya ijin untuk melakukan usaha dibidang ekonomi. Ijin ini disamping merupakan mekanisme control juga untuk memberikan pemasukan ke kas Negara. Misalnya : Pemerintah mengharuskan adanya ijin bagi orang Asing yang akan melakukan investasi diIndonesia. Ada beberapa sektor yang harus minta ijin untuk nvestasi asing, Tujuannya : a. Untuk menghindari dominasi asing di Indonesia. b. Untuk melindungi kepentingan nasional. c. Untuk mengatur pasar.

Non Penal Policy

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategies, antara lain: 1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people); 2. Bahwa strategi pen

ANALISIS UNDANG-UNDANG NO.21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN MENGACU PENDAPAT PROF. M. SOLLY LUBIS, SH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbankan melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari masyarakat sebagai pemilik dana, menyalurkan dana kepada masyarakat sebagai pengguna dana dan memberikan jasa. Dalam menjalankan fungsi bank tersebut sebagian kalangan masyarakat memandang bahwa dengan sistem konvensional ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam khususnya yang menolak adanya penetapan imbalan dan penetapan beban yang dikenal dengan "bunga". Praktek bunga yang diterapkan pada bank konvensional ternyata bisa merugikan, baik bagi pihak bank sendiri maupun pihak nasabah. Pada akhir abad 20 telah bangkit kembali ekonomi Islam yang ditandai dengan berdirinya perbankan syari'ah di hampir semua Negara berpenduduk Muslim. Indonesia sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di seluruh dunia, telah pula menjalankan ekonomi Islam/ekonomi Syari'ah yang ditandai dengan didirikannya Bank Mu

Resume Using Etnography as a Tool in Legal Research: An Anthropological Perpective by Anne Griffiths

Penggunaan Etnografi Sebagai Alat Dalam Penelitian Hukum: Sebuah Perspektif Antropologi Dalam penelitian hukum dengan pendekatan Etnografi ini, peneliti terlibat langsung dalam masyarakat setempat dan melihat bagaimana cara-cara orang dalam masyrakat tersebut berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain. Penelitian dilakukan di Afrika bagian Selatan di Bakwena, desa Molepole, antara tahun 1982-1989. Peneliti tidak hanya meneliti hukum secara konvensional seperti Legislasi, proses di pengadilan, atau mewawancarai pegawai pengadilan, tetapi peneliti juga memperluas data penelitiannya yang meliputi interaksi terhadap sesama masyarakat desa dalam kehidupan mereka sehari-hari, Sejarah Hidup wanita dan pria yang memuat perdebatan/perselisihan. Sejarah hidup tersebut dikumpulkan dari anggota Mosotho kgotla yang mewakili 1 dari 71 kelompok social yang mewakili desa tersebut pada tahan 1982. Sejarah Hidup dan interaksi yang terjadi sangat penting untuk mengungkap persepsi masyarakat desa ter

Sekilas Peradilan Hubungan Industrial

Sebelum UU PPHI No. 2 Tahun 2004 : 1. Aturan yang berlaku :UU No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; 2. UU ini mengadaptasikan UU Darurat No. 21 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang nota bene dibuat oleh rezim militer (Surya Tjandra, 2009 : iv). Tahun 1957 merupakan tahun di mana terjadi nasionalisasi ex perusahaan Belanda, di antaranya  oleh militer yang menduduki posisi tingkat manajemen, kepentingan mereka adalah menciptakan mekanisme penyelesaian perselisihan  guna menciptakan hubungan perburuhan yang damai. 3. UU ini juga dibuat untuk membatasi aksi Mogok Kerja yang banyak terjadi pasca Indonesia merdeka. Diperkirakan pada tahun 1951-1956 terjadi 400 pemogokan dengan melibatkan 5 % dari semua buruh upahan dan mendekati 20% dari buruh biasa (Surya Tjandra, 2009 : iv); 4. Jenis perselisihan : Perselisihan hak dan perselisihan kepentingan; 5. Lembaga : Eksekutif ==> Dinas Tenaga Kerja : P4 (Panitia Penyelesaian Persel