Kami melayani Jasa Penulisan / Pembuatan Tulisan Hukum berupa Penulisan / Pembuatan Artikel Hukum, Makalah Hukum, Skripsi Hukum, Tesis Hukum dan Disertasi Hukum oleh Seorang akademis MH UI yang terpercaya dan padat dengan teori hukum serta Muatan Materi Hukum yang berkualitas. MANTAP LAH
.png)
Hubungi Kami
Jasa Pembuatan Tulisan Hukum oleh Akademisi FH UI sejak 2012.
Menyediakan layanan penulisan Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi
dengan muatan teori & materi hukum yang padat dan terpercaya.
📧 Email: fokuskuliahgroup@gmail.com
📱 WhatsApp: Klik untuk Chat Sekarang
💬 Konsultasi Gratis via WhatsAppSelasa, 21 Februari 2017
Pelaksanaan Parate Eksekusi
Selasa, 14 Februari 2017
Pengalihan Hutang Kepada Calon Kreditur Baru dan Kaitannya Dengan Mortgage Facility
Senin, 13 Februari 2017
HAM BERKAITAN DENGAN ETIKA PROFESI HUKUM
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti : Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak kodrat moriil yang merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan ke muka bumi, dimana hak tersebut bersifat langgeng dan universal. Karena hak tersebut bukan diberikan oleh negara atau pemerintah kepada setiap warga negara dimanapun dia hidup, oleh karenanya hak tersebut harus dihormati oleh siapapun dan dilindungi oleh hukum itu sendiri.
Melihat bahwa, sama halnya seperti Hak Asasi Manusia, kesadaran etis sesungguhnya telah ada dalam diri manusia sejak lahir. Kesadaran etis ini berada di level hati dimana dapat dirasakan dan mudah untuk dikeluarkan. Namun manusia juga bisa terdorong oleh kesadaran etis yang masih ada di luar dirinya.
Lalu Penegak Hukum dengan memiliki Etika Profesinya sebagai penjamin Hak Asasi Manusia dan Hukum itu sendiri menjamin Hak Asasi Manusia. Maka kami akan membahas bagaimana hubungan Etika Profesi Hukum itu sendiri berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia.?
2. Bagaimana Tinjauan Umum Tentang Etika Profesi Hukum.?
3. Bagaimana Hubungan Hak Asasi Manusia dengan Etika Profesi Hukum.?
BAB I
PEMBAHASAN
1. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia
Secara umum hak asasi manusia adalah satu dengan harkat dan martabat serta kodrat manusia, oleh sebab itu disebut juga sebagai hak dasar. Hak itu ada pada setiap manusia dan merupakan sifat kemanusiaan. Dalam Tap. MPR No.XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh di abaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun. Jadi, segala hak yang berakar dari martabat, harkat, serta kodrat manusia adalah hak yang lahir bersama manusia itu. Hak ini bersifat universal, berlaku di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Hak itu tidak tergantung pada pengakuan manusia, negara, dan masyarakat lain. Hak ini diperoleh manusia dari Penciptanya dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Perkembangan atas pengakuan hak asasi manusia berjalan secara perlahan dan beranekaragam, antara lain dapat disebut Magna Charta (1215), Bill of Right (1689) di Inggris. Dalam abad ke- 18 timbul ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan raja dibatasi oleh hak warga Negara, yang utama adalah hak kemerdekaan yang ada pada setiap warga Negara, sedangkan kekuasaan raja adalah nomor dua, karena bertugas untuk melindungi hak kebebasan warga negaranya. Ajaran inilah yang memberi semangat terhadap “Declaration of Independence of the United States” tahun 1776.
Perkembangan di Amerika itu mempengaruhi “Declaration des Droits de I Homme et’du Citoyen” (1789) di Perancis yang menyatakan, bahwa semua manusia lahir bebas dan tetap tinggal bebas dengan hak sama. Atas dasar pernyataan itu, maka diproklamirkan hak asasi manusia dan warga negara secara rinci. Puncak kesadaran akan hak asasi manusia terdapat`dalam Piagam “Universal Declaration of Human Right” (1948) di PBB, meskipun kadang kala tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, termasuk di negara-negara maju. Kalaupun ada negara yang tidak memasukkan hak asasi tersebut dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan berbagai sebab, namun secara moral Piagam PBB itu mengikat. Pengurangan atau peniadaan hak tersebut di berbagai negara, oeleh negara yang bersangkutan diberi alasan keadaan istimewa yang memaksa, antara alain keamanan,pertahanan, ketertiban, atau dalih lainnya.
Istilah “Hak Asasi” memang tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun substansi hak asasi itu cukup banyak terdapat dalam pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Hendaklah diperhatikan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tiga tahun lebih dahulu daripada “Universal Declaration of Human Right” tahun 1948. Namun demikian dalam perjalanan sejarah pemerintahan Indonesia, khususnya dalam zaman orde baru pelaksanaan hak asasi manusia kurang memuaskan sesuai dengan UUD 1945, sehingga kurang dapat mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, setela rezim Soeharto dengan memasuki tuntutan reformasi, maka lembaga tertinggi negara (MPR) telah merumuskan hak asasi manusia itu dlam ketetapan, yang kemudian ditetapkan dalam Perubahan kedua UUD 1945.
Dalam Ketetapan MPR NO.XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia dengan sistematikanya, yaitu sebagai berikut.
1. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia
2. Piagam hak asasi manusia.
Dalam ketetapan MPR tersebut telah dinyatakan bahwa usaha bangsa Indonesia merumuskan Hak Asasi Manusia, khususnya setelah kemerdekaan, yaitu sebagai berikut :
1. Dalam Pembukaan UUD 1945 telah dinyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus d ihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” UUD 1945 menetapkan aturan dasar yang sangat pokok. Termasuk hak asasi manusia.
2. Rumusan hak asasi manusia dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia secara eksplisit juga telah dicantumkan dalam Undang-Undang dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. kedua konstitusi itu mencantumkan secara rinci ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia. Dalam bidang konstituante upaya untuk merumuskan naskah tentang hak asasi manusia juga telah dilakukan.
3. Dengsn tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka pada sidang MPR tahun 1966 telah ditetapkan Tap. MPRS No.XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk menyiapkan dokumen rancangan Piagam hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warga negara. Rencana pada sidang MPR tahun 1968 akan dibahas, tetapi sidang MPR 1968 tidak jadi membahas karena masalah yang mendesak berkaitan dengan rehabilitas dan konsolidasi nasional setelah G30S/PKI.
4. Berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993 dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat sehingga mendorong bangsa Indonesia untuk segera merumuskan hak asasi manusia menurut sudut pandang bangsa Indonesia
Dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia telah dinyatakan pula sikap dan pandangan bangsa Indonesia terhadap “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) PBB tahun 1948, bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota PBB mempunyai tanggung jawab unutk menghormati ketentuan yang tercantum dalm deklarasi tersebut. Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia yang ditetapkan oleh MPR dengan Tap. MPR No.XVII/MPR/1988 terdiri atas 10 bab dengan 44 pasal, yaitu sebagai berikut.
1. Hak untuk hidup
2. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
3. Hak Mengembangkan Diri
4. Hak Keadilan
5. Hak Kemerdekaan
6. Hak atas Kebebasan Informasi
7. Hak Keamanan
8. Hak Kesejahteraan
9. Kewajiban
10. Perlindungan dan Kemajuan
Materi hak asasi manusia ditetapkan kembali dalam Perubahan Kedua UUD 1945 dengan membuat suatu bab tersendiri, yaitu tentang hak asasi manusia yang terdiri atas 10 pasal (pasal 28a, 28b, 28c, 28d, 28e, 28f, 28g, 28h, 28i, 28j). Disamping pasal tentang hak asasi tersebut di atas Perubahan Kedua UUD 1945 telah merubah Pasal 30, yaitu tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Sedangkan ketentuan tentang agama (Pasal 29), pendidikan dan kebudayaan (Pasal 31), perekonomian nasional dan kesejahteraan social (pasal 33), dibahas dalam sidang tahunan MPR 2002. hasilnya Pasal 29 tetap seperti aslinya, sedangkan pasal yang lain mengalami perubahan.
2. Tinjauan Umum Tentang Etika Profesi Hukum
Pengertian Etika
Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti : Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap. Aristoteles adalah filsuf pertama yang berbicara tentang etika secara kritis, reflektif, dan komprehensif. aristoles pula filsuf pertama yang menempatkan etika sebagai cabang filsafat tersendiri. Aristoteles dalam konteks ini lebih menyoal tentang hidup yang baik dan bagaimana pula mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup yang bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. menurut Aristoteles denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya berarti manusia itu mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih apa yang apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan, eudaimonia.
Perilaku menjadi obyek pembahasan etika, karena dalam perilaku manusia menampakkan berbagai model pilihan atau keputusan yang masuk dalam standar penilaian atau evaluasi, apakah perilaku itu mengandung kemanfaatan atau kerugian baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Fungsi Etika
Di era modernisasi dengan segala kecanggihan yang membawa perubahan dan pengaruh terhadap nilai-nilai moral, adanya berbagai pandangan ideologi yang menawarkan untuk menjadi penuntun hidup tentang bagaimana harus hidup dan tentunya kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral sehingga bingung harus mengikuti moralitas yang mana, untuk itu sampailah pada suatu fungsi utama etika, sebagaimana disebutkan Magnis Suseno yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.
Pengertian Profesi
Profesi dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. jenis profesi yang dikenal antara lain: profesi hukum, profesi bisnis, profesi kedokteran, profesi pendidikan (guru). Menurut Budi Santoso ciri-ciri profesi adalah:
a) suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas;
b) suatu teknis intelektual;
c) penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis ;
d) suatu periode panjang untuk suatu pelatihan dan sertifikasi;
e) beberapa standar dan pernyatan tentang etika yang dapat diselenggarakan;
f) kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;
g) asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;
h) pengakuan sebagai profesi;
i) perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi;
j) hubungan erat dengan profesi lain.
Etika Profesi
Etika profesi adalah bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagia anggota umat manusia (Magnis Suseno et.al., 1991 : 9). untuk melaksanakan profesi yang luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya. Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah :
1. Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi.
2. Sadar akan kewajibannya, dan
3. Memiliki idealisme yang tinggi.
Profesi Hukum
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu Negara. Profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Pengemban profesi hukum harus bekerja secara profesional dan fungsional, memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan pengabdian yang tinggin karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban profesi hukum bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.
Etika Profesi Hukum
Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat hukum (advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.
Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan, keempat, dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition dan terakhir yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan kehidupan dapat berlangsung dengan baik.
Urgensi atau pentingnya ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi pembahasan utama dengan tulisannya yang berjudul "Ethika Nicomachela". Aristoteles berpendapat bahwa tata pegaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain. Pandangan aristoles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian dan tuntutan memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika, kehidupan manusia manjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan untuk melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan.
Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.
Peran dari kode etik profesi hukum diantaranya yaitu:
a. Membatasi Perilaku Penegakan hukum oleh Aparat penegak hukum
b. Memberikan bagaimana petunjuk yang benar dalam beracara hukum
c. Mengurangi adanya pengadilan sesat dan proses hukum yang salah
d. Menciptakan disiplin tata kerja
e. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral
f. Menjaga dan mengingkatkan kualitas keterampilan teknis
g. Melindungi kesejahteraan materiil dari para pengemban profesi
3. Hubungan Hak Asasi Manusia dengan Etika Profesi Hukum
Dalam hakikat atau prinsipnya, Hak Asasi Manusia tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan dari etika. Ketika seseorang melanggar Hak Asasi Manusia seorang lainnya, maka dia melanggar etika. Kaitan etika dengan hukum adalah ketika seseorang dinyatakan secara sah dan menyakinkan melanggar hukum maka secara otomatis ia juga melanggar etika. Tetapi sebaliknya apabila ia melanggar etika atau kode etik profesi, belum tentu ia melanggar hukum.
Hak asasi manusia dapat dibatasi oleh etika, misalnya: merupakan hak setiap orang untuk minum ketika ia merasa ingin untuk minum, tetapi ketika seseorang lainnya sedang berpuasa, orang yang memiliki etika tidak akan minum atau makan didepan orang yang berpuasa tersebut karena ia menghargai dan memiliki etika. Setiap orang harus menghormati dan menghargai hak orang lain, tidak boleh mencampuri hak apalagi merebut, menghilangkan hak orang lain.
Hal ini bahkan diatur di konstitusi kita yaitu didalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28 J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Etika Hukum, menurut Kansil, baik yang umum maupun yang bersifat khusus berupa profesional ethics, merupakan bentuk pegangan konkrit daripada aturan ethika, moral dan agama.
Hukum akan menjadi terlihat tabu apabila hanya terpaku pada aturan tertulis semata, tanpa melihat dan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat sehingga cita dari pada bangsa tidak tercapai sepenuhnya. Sehingga moralitas para penegak hukum menjadi gerbang dalam melihat penerapan peraturan yang hidup berdampingan dalam masyarakat. Antara teori dan fakta konkrit di lapangan memang terlihat tidak sesuai, peraturan mengamanahkan seperti ini, implementasinya seperti itu.
Dalam penerapan peraturan yang dikejar bukan hanya efisiensinya, melainkan juga efektifitasnya. Jika efisensi yang diutamakan, tidak menutup kemungkinan dalam penerapan peraturan bisa-bisa terjadi pelanggaran HAM disana. Mengapa tidak, hal ini bisa saja terjadi, orang yang disangkakan akan dijadikan objek dari pada hukum itu sendiri, disuruh untuk mengakui perbuatannya, padahal ia belum tentu bersalah.
Hal ini bisa dilihat ketika seorang yang kepergok mencuri ayam dan lari, kemudian dianggap menyulitkan kerja dari pada polisi, kemudian ditembak dengan alasan melarikan diri. Belum lagi ketika ia berada di sel tahanan yang disitu dia diadili habis-habisan, disuruh mengakui salah perbuatannya itu, tanpa mendengarkan alasan mengapa ia melakukan kejahatan tersebut.
Padahal seharusnya seseorang yang diduga atau disangka melakukan suatu tindak pidana harus dijunjung tinggi hak asasinya. Dalam artian pihak penyidik dalam hal ini polisi dan pejabat PPNS harus tunduk kepada prinsip due process of law yaitu bahwa setiap tersangka berhak disidik di atas landasan yang sesuai dengan hukum acara. Tidak boleh sewenang-wenang apalagi melakukan proses pemaksaan keterangan dengan melanggar Hak Asasi Manusia dan etika itu sendiri.
Atas dasar UU No.39 tahun 1999 tentang HAM juncto pasal 117 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP maka sangat tidak dibenar jika ada Polisi (Penyidik) dalam menjalankan tugasnya menangkap orang yang diduga atau disangka bersalah, kemudian memaksanya untuk mengakui kesalahannya dengan cara-cara, intimidasi, pemaksaan, pemukulan, penyiksaan. Apalagi hal tersebut dilakukan tanpa memberikan kesempatan kepada yang ditangkap tersebut untuk menggunakan haknya mendapatkan bantuan hukum sebelum yang bersangkutan secara resmi diperiksa.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti : Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum. Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, mustahil suatu norma dan etika profesi hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan negara hukum yang baik.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak kodrat moriil yang merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan ke muka bumi, dimana hak tersebut bersifat langgeng dan universal. Karena hak tersebut bukan diberikan oleh negara atau pemerintah kepada setiap warga negara dimanapun dia hidup, oleh karenanya hak tersebut harus dihormati oleh siapapun dan dilindungi oleh hukum itu sendiri.
Dengan telah ditandatanganinya oleh Pemerintah Indonesia tentang “Deklarasi Universal” tentang HAM di PBB, maka Pemerintah Indonesia terikat secara hukum menghormati Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang tinggal dan hidup di Negara Indonesi. Dan dengan lahirnya Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, maka Pemerintah Indonesia dalam proses penegakan hukum terikat harus menghormati hak-hak asasi manusia. Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 2 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan.
Dalam hakikat atau prinsipnya, Hak Asasi Manusia tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan dari etika. Ketika seseorang melanggar Hak Asasi Manusia seorang lainnya, maka dia melanggar etika. Kaitan etika dengan hukum adalah ketika seseorang dinyatakan secara sah dan menyakinkan melanggar hukum maka secara otomatis ia juga melanggar etika. Tetapi sebaliknya apabila ia melanggar etika atau kode etik profesi, belum tentu ia melanggar hukum. Hak asasi manusia dapat dibatasi oleh etika, misalnya: merupakan hak setiap orang untuk minum ketika ia merasa ingin untuk minum, tetapi ketika seseorang lainnya sedang berpuasa, orang yang memiliki etika tidak akan minum atau makan didepan orang yang berpuasa tersebut karena ia menghargai dan memiliki etika. Setiap orang harus menghormati dan menghargai hak orang lain, tidak boleh mencampuri hak apalagi merebut, menghilangkan hak orang lain.
Atas dasar UU No.39 tahun 1999 tentang HAM juncto pasal 117 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP maka sangat tidak dibenar jika ada Polisi (Penyidik) dalam menjalankan tugasnya menangkap orang yang diduga atau disangka bersalah, kemudian memaksanya untuk mengakui kesalahannya dengan cara-cara, intimidasi, pemaksaan, pemukulan, penyiksaan. Apalagi hal tersebut dilakukan tanpa memberikan kesempatan kepada yang ditangkap tersebut untuk menggunakan haknya mendapatkan bantuan hukum sebelum yang bersangkutan secara resmi diperiksa.
2. Saran
Dalam proses penegakan hukum di Indonesia, para aparat penegak hukum seharusnya dalam menjalankan tugasnya haruslah menjunjung tinggi nilai etika, moral, kode etik profesi serta Hak Asasi Manusia, sehingga dapat memberikan kemashlahatan bagi masyarakat, dan dapat mencapai tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Alangkah indahnya negeri ini apabila setiap orang yang berprofesi hukum memiliki etika dalam berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis-Suseno F.1985. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta: Kanisius
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Kansil, C.S.T. 1976. Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta: Balai Pustaka
http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=HAM-dalam-Peranan-Advokat diakses pada tanggal 12 Oktober 2013 pukul 21.07 WIB
http://toriqtortor.blogspot.com/2012/10/peran-kode-etik-dalam-berprofesi-hukum.html diakses tanggal 10 oktober 2013 pukul.08.00 WIB
Sabtu, 11 Februari 2017
Campur tangan Negara di bidang Ekonomi di Indonesia
1. Larangan melalui Peraturan Per-UU-an.
Pemerintah membuat aturan yang isinya melarang kegiatan yang tidak dikehendaki. Hal ini dilakukan untuk membatasi atau melarang kegiatan atau usaha dalam bidang tertentu, misalnya :
a. Larangan ekspor kayu glondongan (untuk alih teknologi dan ciptakan lapangan kerja).
b. Larangan impor mobil built up (untuk menciptakan lapangan kerja).
c. Larangan impor mobil merk tertentu.
2. Sistem Lisensi, artinya Negara menentukan adanya ijin untuk melakukan usaha dibidang ekonomi. Ijin ini disamping merupakan mekanisme control juga untuk memberikan pemasukan ke kas Negara. Misalnya : Pemerintah mengharuskan adanya ijin bagi orang Asing yang akan melakukan investasi diIndonesia.
Ada beberapa sektor yang harus minta ijin untuk nvestasi asing, Tujuannya :
a. Untuk menghindari dominasi asing di Indonesia.
b. Untuk melindungi kepentingan nasional.
c. Untuk mengatur pasar.
d. Menghindari terjadinya monopoli
3. Politik Fiskal / Pajak
Pajak adalah pembayaran oleh orang / badan hukum atas harta kekayaannya kepada Negara, dan dapat dipaksakan dengan penerapan sanksi jika menolak. Hasil pungutan pajak digunakan untuk membiayai Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Dalam bidang pajak pemerintah mempunyai funsi BUDGETAIR dan REGULAIR. Fungsi BUDGETAIR adalah menghimpun dana dari masyarakat sebagai sumber penghasilan Negara untuk kegiatan pembangunan.
Fungsi REGULAIR adalah mengatur pajak bagi golongan tertentu atau barang-barang tertentu. Misalnya untuk orang kaya dikenakan pajak penghasilan lebih tinggi, atau untuk barang mewah dikenakan pajak lebih mahal.Fungsi Regulair ini dapat dijadikan alat kebijakan pemerintah (Fiscal Policy) dalam penyelenggaraan pembangunan di segala bidang.
Misalnya, Pemerintah memberikan insentif kepada usaha tertentu, berupa :
• Bebas pajak (Tax Holiday) untuk masa dan investor tertentu.
• Penurunan tarif pajak
• Penundaan pembayaran, misal PKB untuk kendaraan yang dimiliki oleh kedutaan atau capital good.
4. Penyediaan Fasilitas / Kemudahan
Pemerintah melakukan penyederhanaan peraturan dan kemudahan dalam perijinan. Dimaksudkan untuk merangsang dan menggairahkan usaha di Indonesia.
5. Politik Perusahaan Negara, yakni
Negara terjun langsung dalam kegiatan ekonomi, artinya ikut secara langsung menangani dengan menjadi pelaku ekonomi, yaitu melalui BUMN/ BUMD.
6. Politik Moneter
Negara mengatur politik keuangan yang berkaitan dengna peredaran uang di suatu Negara.
Perlunya pemerintah mengatur dan mengendalikan masalah monoter / keuangan adalah :
• Untuk mengendalikan inflasi
• Untuk mengendalikan nilai tukar
Persoalan-persoalan ekonomi terdiri atas :
a. Ekonomi Publik : yaitu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Negara, biasanya dijalankan melalui perusahaan Negara/ BUMN
Non Penal Policy
Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.
Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategies, antara lain:
1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people);
2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elemination of causes and condition giving rise to crime);
3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan diantara sebagain besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social inequality, ratial and national discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population).
ANALISIS UNDANG-UNDANG NO.21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN MENGACU PENDAPAT PROF. M. SOLLY LUBIS, SH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari masyarakat sebagai pemilik dana, menyalurkan dana kepada masyarakat sebagai pengguna dana dan memberikan jasa. Dalam menjalankan fungsi bank tersebut sebagian kalangan masyarakat memandang bahwa dengan sistem konvensional ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam khususnya yang menolak adanya penetapan imbalan dan penetapan beban yang dikenal dengan "bunga". Praktek bunga yang diterapkan pada bank konvensional ternyata bisa merugikan, baik bagi pihak bank sendiri maupun pihak nasabah.
Pada akhir abad 20 telah bangkit kembali ekonomi Islam yang ditandai dengan berdirinya perbankan syari'ah di hampir semua Negara berpenduduk Muslim. Indonesia sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di seluruh dunia, telah pula menjalankan ekonomi Islam/ekonomi Syari'ah yang ditandai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992 dan Persyarikatan Takaful Indonesia pada tahun 1994.
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan fenomena yang cukup menarik di tengah-tengah upaya bangsa kita keluar dari krisis. Keberadaan sistem ekonomi syariah ini sejalan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan . Landasan operasional sistem perbankan syariah semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1999 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Kemudian dengan diberlakukannya Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, berlakulah dua sistim dalam perbankan yang dilakukan secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah (dual banking sistem) dan khusus bagi bank syariah hanya menggunakan prinsip syariah. Adanya tuntutan perkembangan maka UU Perbankan No. 7 tahun 1992 direvisi menjadi Undang-undang No. 10 tahun 1998, yang merupakan aturan secara leluasa menggunakan istilah syari'ah, prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karekteristik umum dan landasan bagi operasional bank Islam secara keseluruhan.
Dan adanya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka semakin memperjelas kedudukan Perbankan Syariah tersebut di dalam tatanan hukum Indonesia. Yang akan hendak dianalisis dalam makalah ini
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tinjauan Hukum Islam pada UU No. 21 Tahun 2008?
2. Bagaimanakah pandangan umum atas rancangan UU Perbankan Syariah sebelum pengesahan?
3. Bagaimana penerapan Ilmu Perundang-undangan menurut M. Solly Lubis dalam sistematika penyusunan UU No. 21 Tahun 2008?
4. Bagaimanakah gambaran penerapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di tengah masyarakat?
BAB II
PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah tinjauan Hukum Islam pada UU No. 21 Tahun 2008?
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam .
2. Bagaimanakah pandangan umum atas rancangan UU Perbankan Syariah sebelum pengesahan?
Dengan adanya wacana RUU tentang Perbankan Syariah tersebut, tentu terdapat pandangan umum, karena bagaimana pun RUU akan berlaku secara Nasional dan Universal di Indonesia.
3. Bagaimana penerapan Ilmu Perundang-undangan menurut M. Solly Lubis dalam sistematika penyusunan UU No. 21 Tahun 2008?
Sistem hukum dalam arti luas memiliki beberapa pandangan dan salah satunya adalah Prof Dr. Solly Lubis, SH yang mengatakan bahwa sistem hukum dalam arti luas itu mengandung 9 sistem.
4. Bagaimanakah gambaran penerapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di tengah masyarakat?
Setelah disahkannya UU tersebut pastilah langsung akan dirasakan oleh seluruh aspek masyarakat Indonesia, maka penulis akan mencoba menganalisis gambaran penerapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di tengah masyarakat
BAB III
PEMBAHASAN
1. Tinjauan Hukum Islam pada UU No. 21 Tahun 2008
Bahwa pada dasarnya, Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam . Disini penulis akan memaparkan Landasan Teori Perbankan Syariah
Landasan teori perbankan syariah adalah Al-Qur’an dan Hadist :
a. JUAL BELI (Perdagangan)
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275)
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil” (QS. Al.An’am [6] : 165)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama dan lebih Baik akibatnya” (QS. Al-Isra’ [17] : 35)
b. AS –SALAM (Membeli Tapi Menerima Barang Kemudian)
“Aku bersaksi bahwa As Salaf (As – Salam) yang dipinjam untuk jangka waktu tertentu benar – benar telah dihalalkan oleh Allah dalam kitabullah dan beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang ditentukan, hendaknya menuliskan dengan benar” (QS. Al – Baqarah [2] : 282)
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu” (HR. Ahmad dan Muslim)
c. RIBA
“Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu, kamu tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi” (QS. Al – Baqarah [2] : 279)
“Allah melaknat pemakai riba, yang memberinya, para saksinya , dan pencatatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakallah kamu kepada Allah supaya kamu dikasihi” (QS. Ali Imran [3] : 130)
d. QIRADH (Pinjaman)
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah penangguhan waktu sampai ia mempunyai kelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah [2] : 280)
e. RAHN (GADAI)
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis. Hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang mengutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercyai itu menunaikan amanat (utang)nya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan Tuhannya’ (QS. Al – Baqarah [2] : 238)
f. QIRADH (PINJAMAN)
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah penangguhan waktu sampai ia mempunyai kelapangan dan menyedekahkan (sebagai atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al – Baqarah [2] : 280)
g. RAHN (GADAI)
“Janganlah pemegang harta gadai menghalangi hak atas barang gadai tersebut dari peminjam yang menggadaikan. Peminjam berhak memperoleh bagiannya dan bila di berkewajiban membayar dendanya” (HR.Syafi’i, Atsram, dan Daruquthni)
h. IJARAH (SEWA BARANG DAN KOMPENSASI JASA)
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” “QS.An-Nisa’ [4] : 29)
i. ARIYAH (PINJAMAN)
“Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maaidah [5] : 2)
j. WADIAH (BARANG TITIPAN)
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberikan amanah kepadamu...”
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya” “QS. Al-Baqarah [2] : 283)
2. Pandangan umum atas rancangan UU Perbankan Syariah sebelum pengesahan
Sejak terjadinya krisis moneter yang melanda seluruh kawasan Asia pada awal tahun 1997 telah mengakibatkan banyaknya perusahaan mengurangi produksi bahkan menutup usahanya karena jatuh pailit. Demikian juga yang terjadi pada sektor perbankan Indonesia dengan banyaknya bank yang dilikuidasi akibat melanggar Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK). Hal tersebut disebabkan oleh karena kesalahan pengurusan oleh para bankir yang lebih banyak mengucurkan dananya kepada perusahaan yang masih satu grup dengan bank tadi, disamping itu juga sistem manajemen perbankan yang tidak dijalankan secara profesional.
Kondisi perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas mendorong dunia perbankan menaikkan suku bunga yang tinggi guna menarik dana dari masyarakat. Bahkan perbankan menawarkan kepada peminjam kredit dengan suku bunga mencapai lebih dari 60%. Hal ini mengakibatkan perbankan konvensional menjadi tempat yang tidak menyenangkan bagi pelaku usaha yang ingin meminjam dana sehingga banyak bank yang mudah diguncang isu yang menyebabkan rusuh dan berkurangnya kepercayaan rakyat terhadap bank. Guna menjamin dan memulihkan kepercayaan tersebut banyak bank yang ditutup atau diambil alih oleh pemerintah. Karenanya dibutuhkan biaya yang besar melalui program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga keuangan semakin menyatu dengan ekonomi regional, nasional dan ekonomi internasional yang perkembangannya bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks.
Praktek bunga yang diterapkan pada bank konvensional ternyata bisa merugikan, baik bagi pihak bank sendiri maupun pihak nasabah. Sejak itulah sistem perbankan syariah mulai banyak dibicarakan karena dianggap lebih tahan menghadapi krisis.
Dan dengan adanya RUU mengenai Perbankan Syariah yang berlandaskan ekonomi syariah sangat disetujui dan didukung, untuk memperkuat kedudukan Perbankan Syariah dalam tatanan hukum Indonesia . Selain itu pula, dengan beberapa Undang-undang sebelumnya yang telah ada, membuat Masyarakat Umum mendukung akan Rancangan Undang-undang tersebut hingga disahkan pada tahun 2008 dengan nama Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Penerapan Ilmu Perundang-undangan menurut M. Solly Lubis dalam Sistematis Penyusunan UU No. 21 Tahun 2008
Sistem hukum dalam arti luas memiliki beberapa pandangan dan salah satunya adalah pandangan Prof Dr. Solly Lubis, SH yang mengatakan bahwa sistem hukum dalam arti luas itu mengandung 9 sistem yaitu:
1. Filosofi hukum atau legal filosofy
Filsofi Hukum dari Perbankan Syariah tersebut adalah Hukum Islam (Ekonomi Syariah) yang berlandaskan pada Al-qur’an dan Hadis-hadis
2. Politik hukum atau legal politcy
Politik Hukum dari Perbankan Syariah adalah Politik Hukum Islam, dimana adanya maksud untuk memperkenalkan Hukum Islam itu sendiri melalui Perbankan Syariah
3. kegiatan legislasi atau legislation
Pada perbankan syariah, adanya kegiatan Manajemen dan kegiatan Bagi Hasil dan juga kegiatan pengesahan akan AD/ART Perbankan tersebut
4. Perangkat peraturan hukum,
Sebelum diundangkannya undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah ini, sudah banyak undang-undang sebelumnya yang mengatur mengenai perbankan syariah
5. Penerapan hukum,
Penerapan hukumnya sudah jelas, bahwa Hukum Ekonomi Syariah diterapkan dalam Perbankan Syariah ini
6. Monitoring evaluasi terhadap penerapan hukum serta feedback yang diperoleh dari sistem monitoring evaluasi untuk menjadi masukan bagi politik hukum berikutnya,
Dengan diadakannya monitoring evaluasi terhadap Perbankan Syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan juga dengan adanya Dewan Pengawas Perbankan Syariah membuat kemurniaan Syariah dalam Perbankan syariah tetap murni/terjaga dan menjadi masukan untuk pengembangan yang lebih baik lagi
7. Penerapan hukum,
Diterapkannya hukum Islam dalam kegiatan Perbankan Syariah, dan juga dalam UU Perbankan Syariah tercantum bahwa berdasarkan Kesejahteraan Masyarakat
8. Pendidikan hukum, dan sistem perbandingan dan
Hukum Islam diajarkan saat ini hampir di semua Fakultas Hukum di Indonesia dan juga Ekonomi Syariah diajarkan pada Fakultas Ekonomi di Indonesia
9. Kebijakan harmonisasi hukum antar negara.
Jauh hari sebelum Indonesia mengenal Perbankan Syariah, Negara-negara Islam lainnya terutama di wilayah timur-tengah telah lama menjalankan Perbankan Syariah di Negaranya masing”, seperti Suriah, Arab Saudi, dll.
4. Gambaran penerapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di tengah masyarakat
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mempelajari lebih dalam mengenai sistem bagi hasil perbankan syariah maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
· Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.
· Besarnya nisbah (rasio) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
· Bagi hasil yang diberikan tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan bank syariah yang bersangkutan.
· Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil.
· Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Kemudian ciri-ciri perbankan syariah adalah:
· Bisa menjadikan uang sebagai alat tukar bukan komoditi yang diperdagangkan.
· Bank syariah menggunakan cara bagi hasil dari keuntungan jasa atas transaksi Rill bukan sistem bunga sebagai imbalan terhadap pemilik uang yang besarnya ditetapkan dimuka.
· Resiko usaha akan dihadapi bersama antara nasabah dengan bank syariah dan tidak mengenal selisih negatif (negative spread).
· Pada bank syariah (DPS) sebagai pengawas kegiatan operasional bank syariah agar tidak menyimpang dan nilai-nilai syariah.
Prospek perkembangan perbankan syariah menerut penulis kedepan akan baik sekali selama sistem bagi hasil dan syariat-syariat islam ditegakkan dengan benar, adil, dan jujur karena sistem perbankan syariah yang memang tidak memberatkan antara kedua pihak dan sistem bagi hasil ini memang lebih baik dari pada sistem bunga.
Rabu, 08 Februari 2017
Resume Using Etnography as a Tool in Legal Research: An Anthropological Perpective by Anne Griffiths
Penggunaan Etnografi Sebagai Alat Dalam Penelitian Hukum: Sebuah Perspektif Antropologi
Dalam penelitian hukum dengan pendekatan Etnografi ini, peneliti terlibat langsung dalam masyarakat setempat dan melihat bagaimana cara-cara orang dalam masyrakat tersebut berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain. Penelitian dilakukan di Afrika bagian Selatan di Bakwena, desa Molepole, antara tahun 1982-1989.
Peneliti tidak hanya meneliti hukum secara konvensional seperti Legislasi, proses di pengadilan, atau mewawancarai pegawai pengadilan, tetapi peneliti juga memperluas data penelitiannya yang meliputi interaksi terhadap sesama masyarakat desa dalam kehidupan mereka sehari-hari, Sejarah Hidup wanita dan pria yang memuat perdebatan/perselisihan.
Sejarah hidup tersebut dikumpulkan dari anggota Mosotho kgotla yang mewakili 1 dari 71 kelompok social yang mewakili desa tersebut pada tahan 1982. Sejarah Hidup dan interaksi yang terjadi sangat penting untuk mengungkap persepsi masyarakat desa terhadap hukum.
Peneliti menguraikan beberapa ulasan mengenai Tswana Village yang merupakan sebuah orgnisasi dari Moleplole yang tersusun melalui unit administratif yang dikenal sebagai wards dan dikgotla, yang diperoleh dari keluarga dan dipimpin oleh Pria yang paling senior dan paling kuat. Mengenai kehidupan masyarakat Tsawana, sumber mata pencahharian mereka adalah kombiinasi dari sumber tanam-tanaman, ternak, dan upah untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Dalam Masyarakat kwena juga terdapat pembatasan-pembatasan kepada wanita dimana wanita tidak akan pernah bisa menjadi ketua dari Kgotla, karena sejak dalam keluarga sudah ditanamkan konsep-konsep dasar tentang struktur politik dimana otoritas di dasarkan atas usia dan status, tetapi wanita tidak memiliki otoritas untuk itu walaupun mereka bertindak sebagai kepala keluarga. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulan bahwa etnografi lebih menitikberatkan kepada penelitian yang bersifat kualitatif. Denggan metode Etnografi mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas dengan Observatory Participant.
Peneliti yang menggunakan metode ini mengaharuskan partisipasi penelti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu, sehingga peneliti dapat memperoleh informasi yang detail dari informan langsung, dan tanpa disadari oleh kaum positivis metode ini sangat berkontribusi besar di bidang hukum.
Penelitian hukum yang dilakukan dengan menggunakan metode etnografi dapat mengetahui dan menemukan secara jelas bagaimana hukum berkerja dan terajut dalam hidup keseharian penegak hukum, mengetahui bagaimana warga masyarakat bergaul dengan hukum, memberi makna dan interpretasi terhadap hukum atau lembaga tertentu, mengenatahui spirit dari peraturan perundang-undangan, kepentingan dan relasi kuasa yang tarik menarik yang menjadi latar belakang proses perumusannya.
Perbedaan situasi jaringan sosial dialami oleh beberapa wanita sebaya berdasarkan latar belakang yang hampir sama, hubungan kekuasaan dan hak asimetris antara para pasangan (suami-istri), yang menitikberatkan pada besarnya hak atau kekuasaan suami di dalam sebuah rumah tangga berdasarkan hukum adat Kwena, dikarenakan posisinya sebagai kepala keluarga serta sebagai penjaga anak-anaknya sebagai generasi penerusnya.
Terdapat pula sebagai contoh kasus konkret dalam penelitian ini mengenai seorang Ninika (wanita) dan Moagisi (pria) Bakwena, yang mana pernikahan mereka tersebut tidak disetujui oleh Ibu dari Moagisi. Hal tersebut di antaranya karena Ninika sudah memiliki anak dari orang lain (sebelum menikah dengan Moagisi), serta fakta bahwa Ninika berasal dari keluarga miskin, berpendidikan rendah dan memiliki orangtua yang telah bercerai. Ketidakcocokan yang muncul antara Ibu mertua dan Ninika akhirnya berlanjut kepada perselisihannya dengan Moagisi. Mulanya keluarga mencoba untuk memediasi permasalahan-permasalahan pasangan itu, namun tidak berhasil. Hingga akhirnya proses yang ditempuh melalui kgotla sistem mencapai titik buntu dan akhirnya mereka menempuh jalur pengadilan yang berujung pada cerainya Ninika dan Moagisi. Ninika yang berpendidikan rendah tersebut bahkan tidak mengetahui mengenai adanya pembagian harta gono-gini, meski dalam pengakuan Moagisi yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki ternak maupun peternakan, atau bahkan lahan untuk digarap.
Penelitian ini menggambarkan bahwa di Molepole ketidaksetaraan gender sudah termasuk dalam kaidah-kaidah hukum adat mereka, kendati demikian hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan serta status sosial dari keluarga.
Berdasarkan penelitian yang diuraikan secara ringkas di atas terdapat teori Structuration Theory, teori ini berkaitan dengan penggolongan orang-orang yang ada pada masyarakat Molepole tersebut.
Sedang hal yang dapat menjadi poin-poin yang dapat dijadikan acuan sebagai penelitian (tesis) adalah cara penulis mengikuti kebiasaan serta perkembangan masyarakat terhadap hukum adatnya, serta detil dari variabel terpengaruh khususnya sampel-sampel untuk diteliti, sebagai contoh para wanita yang memiliki latar belakang yang hampir sama namun dengan sosial network yang berbeda.
Kamis, 02 Februari 2017
Sekilas Peradilan Hubungan Industrial
1. Aturan yang berlaku :UU No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
2. UU ini mengadaptasikan UU Darurat No. 21 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang nota bene dibuat oleh rezim militer (Surya Tjandra, 2009 : iv). Tahun 1957 merupakan tahun di mana terjadi nasionalisasi ex perusahaan Belanda, di antaranya oleh militer yang menduduki posisi tingkat manajemen, kepentingan mereka adalah menciptakan mekanisme penyelesaian perselisihan guna menciptakan hubungan perburuhan yang damai.
3. UU ini juga dibuat untuk membatasi aksi Mogok Kerja yang banyak terjadi pasca Indonesia merdeka. Diperkirakan pada tahun 1951-1956 terjadi 400 pemogokan dengan melibatkan 5 % dari semua buruh upahan dan mendekati 20% dari buruh biasa (Surya Tjandra, 2009 : iv);
4. Jenis perselisihan : Perselisihan hak dan perselisihan kepentingan;
5. Lembaga : Eksekutif ==> Dinas Tenaga Kerja : P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ) Daerah (P4D), di tingkat pusat P4 Pusat (P4P);
6. Mekanisme : Non Litigasi ==> Mediasi melalui petugas perantara di P4 D/P tersebut, atau Arbitrase.
7. Mekanisme Litigasi : Ke PTUN untuk mengajukan gugatan atas Putusan P4P.
UUPPHI No. 2 Tahun 2004:
1. Mekanisme : Non litigasi (bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrase)
Litigasi : PHI sebagai bagian dari sistem Peradilan Umum disebut sebagai ‘pengadilan khusus’.
Menggunakan sistem beracara (hukum formil) dalam HIR (KUH Acara Perdata), hanya ada beberapa pengecualian seperti biaya perkara yang ditanggung negara / gratis untuk perkara bernilai di bawah Rp. 150 juta, adanya hakim ad hoc wakil dari buruh dan wakil dari pengusaha. Namun secara umum mulai pendaftaran gugatan hingga eksekusi putusan mengikuti sistem yang ada di HIR tersebut.
2. Problem : bagi buruh mekanisme penyelesaian dengan menggunakan sistem peradilan ini lebih menimbulkan kesulitan dan kerumitan karena teknis persidangan litigasi dan kemampuan material hukum-nya minim sekali dimiliki oleh buruh/pekerja, misal menyusun gugatan, menyiapkan bukti, saksi, penentuan jenis perselisihan, belum lagi masalah biaya dalam proses persidangan, tentunya menjadi problem besar juga.
3. Pendapat Hakim Ad-Hoc tentang beracara di PHI:
Daulat Sihombing (Medan) :
a. Pasal 57 UU PPHI menyatakan bahwa Hukum Acara yang digunakan mengacu pada sistem peradilan Perdata ==> waktu panjang untuk membuat, mendaftarkan,, membacakan gugatan, membuat jawaban, membuat replik, duplik, pembuktian (surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah), kesimpulan/konklusi, hingga putusan. setidaknya buruh bersidang 8- 10 kali.
b. PHI hanya ada di ibu kota Provinsi ==> beban waktu dan biaya besar bagi mereka yang berasal dari luar kota.
c. Pembuktian : Pasal 284 RBg/164 HIR (lihat isi pasal tsb) menjadi kendala bagi buruh untuk mengajukan alat bukti surat dan saksi, umumnya buruh tidak memiliki akses sama sekali untuk menunjukkan bukti surat dan saksi. Sebagaimana diketahui pada pelaksanaan di lapangan hubungan kerja dengan segala macam urusan administrasinya dipegang oleh pengusaha termasuk dokumen-dokumen. Saksi, manakala pekerja/buruh harus menghadirkan saksi rekan sekerja yang masih aktfi bekerja akankah ia mau? mengingat hubungan dengan pihak majikan yang menjadi lawan pihak pekerja/buruh masih dalam ikatan hubungan kerja.
d. Pasal 103 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan batas waktu penyelesaian perkara di PN selambatnya 50 (limapuluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama, tetapi dikarenakan proses administrasi perkara yang lamban sedangkan untuk itu tidak diatur secara limitatif dalam UU menjadikan molornya waktu.
e. Pasal 112 UU No. 2 Tahun 2004 menyatakan kepaniteraan PHI pada PN dalam waktu selambatnya 14 (empatbelas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaika berkas perkara kepada Ketua MA, pada kenyataannya pengiriman berkas kasasi ke MA dapat memakan waktu berkisar 3 (tiga) hingga 6 (enam) bulan sejak pengajuan permohonan, alasannya karena memori atau kontra memori kasasi belum diserahkan ke panitera.
f. Konflik of interest : hakim ad-hoc wakil dari pengusaha seringkali masih aktif bekerja sebagai bagian manajemen di suatu perusahaan.
ANALISIS KRITIS TATA CARA TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Hari ini saya memutuskan untuk mengembalikan pembayaran sebesar Rp105.000 kepada seorang calon klien. Bukan karena nilai nominalnya, melain...
-
Jasa Penulisan Hukum berupa Skripsi dan Bimbingan di bidang hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademisi Hukum lulusan FH USU dan MH UI. Ya...
-
ISU HUKUM A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalah...
-
1. Pendahuluan Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat telah mendorong adanya globalisasi Hak Kekayaan Intelektual...