Skip to main content

Kedudukan Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Kedudukan Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Berbicara tentang Sistem Peradilan Pidana di Indonesia maka tidak terlepas dari intansi atau badan-badan dengan nama-nama: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang pada dasarnya merupakan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem tersebut atau biasa juga disebut subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana. Empat komponen tersebut diharapkan dapat bekerja sama membentuk apa yang dikenal dengan nama “integrated criminal justice administration”. Di dalam Sistem Peradilan Pidana (Crimminal Justice System), pidana menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Lebih-lebih kalau keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “kontroversial”, sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung dari mana kita memandangnya.[1]
Berfungsi tidaknya suatu Lembaga pelaksana peradilan pidana pada prinsipnya berpengaruh pada fungsi Lembaga lain. Dalam posisi inilah Sistem Peradilan Pidana yang dicanangkan dalam KUHAP tersebut menjadi sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminaljustice system)[2]. Selain dengan itu tujuan dalam sistem peradilan pidana akan dapat dicapai apabila semua komponen dalam sistem ini dapat bekerja secara terpadu. Mungkin saja masing-msing komponen secara individual mampu berfungsi dengan baik atau cukup efesien, namun tanpa keterpaduan antara semua komponen tersebut tidak dapat dihasilkan tujuan yang telah dicanangkan.[3]
Undang – Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidan[4]. Kedudukan Kejaksaan dalam penegakan hukum di Indonesia, sebagai salah satu subsistem hukum yang berada dalam satu kesatuan yang teratur dan terintegral, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan subsistem lainnya untuk mencapai tujuan dari hukum tersebut[5]. Sedangkan hubungannya dengan upaya penegakan hukum di Indonesia, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa “Hukum dan penegak hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan”.[6]
Berkaitan dengan hal tersebut dapat di katakan bahwa jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana karena jaksa memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan pengadilan. Bahkan, di negara-negara yang memberi wewenang kepada jaksa untuk melakukan penyidikan sendiri, jaksa tetap memiliki kebijakan(kewenangan) penuntutan yang luas. Jaksa memiliki kekuasaan yang luas, apakah suatu perkara akan dilakukan penuntutan ke pengadilan atau tidak. Kedudukan jaksa yang sedemikian penting itu, oleh Harmuth Horstktle, seorang Hakim Tinggi Federasi Jerman, memberikan julukan kepada jaksa sebagai bosnya proses perkara (master of the procedure), sepanjang perkaranya itu tidak diajukan ke muka pengadilan.[7]
Menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannya “Polisi dan Masyarakat Indonesia”, polisi layak untuk diberi tempat dan penilaian tersendiri karena kualitasnya yang berbeda. Keadaan yang demikian itu pertama-tama disebabkan oleh karena ia bisa disebut suatu badan yang bersifat kerakyatan. Sifat yang demikian itu berhubungan dengan sifat pekerjaannya yang harus berada dan bergerak di tengah-tengah rakyat. Kualitas pekerjaan yang demikian ini berbeda di tengah-tengah rakyat. Kualitas pekerjaan yang demikian ini berbeda sekali dengan yang dijalankan oleh badan lain, seperti jaksa dan hakim. Kedua badan yang terakhir tadi menempatkan dirinya dalam jarak yang cukup jauh dari rakyat, dari kontak-kontak langsung dan intensif dengan mereka. Oleh karena itu Satjipto Rahardjo menyebut jaksa bersama hakim sebagai penegak hukum “gedongan”, sedang polisi sebagai penegak hukum “jalanan”.[8]
Selanjutnya untuk mengetahui kedudukan kejaksaan dalam peradilan pidana tidak lepas dari pemahaman terhadap undang-undang yang mengaturnya tersebut. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 menyebutkan sebagai berikut “ Kejaksaan Republik Indonesia, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan, adalah lembagapemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.”, selanjutnya penuntutan itu sendiri, dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang nomor 16 tahun 2004 menyebutkan sebagai berikut : Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidanadengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 16 tahun 2004 menyebutkan bahwa : “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dihubungkan dengan tugas Jaksa dalam melakukan penuntutan, penuntutan itu sendiri adalah merupakan tindakan, sedangkan yang melakukan tindakan itu disebut dengan Penuntut Umum. Sebagaimana umum mengetahui, bahwa posisi jaksa penuntut umum dalam suatu proses peradilan pidana adalah sebagai wakil dari negara untuk melakukan penuntutan atas dasar asas jus puniendi.[9] Makna jus puniendi sendiri adalah hak negara untuk memidana, Remmelink menerjemahkannya sebagai peran penuntut umum untuk mewakili negara dalam melakukan penuntutan atas suatu tindak pidana.[10] Jaksa sebagai penuntut umum mempunyai wewenang :
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara yang di terima dari penyidik, maksud dari memeriksa ini adalah meneliti apakah orang atau benda dari hasil penyidikan itu telah sesuai atau memenuhi syarat pembuktian. (pasal 14 Jo Pasal 138 KUHAP)
2. Mengadakan prapenuntutan yaitu mengembalikan berkas perkara dengan disertai petunjuk mengenai hal – hal yang perlu disempurnakan. (pasal 14 Jo pasal 138 ayat 2 KUHAP.)
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status penahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik. (pasal 14 Jo pasal 20 ayat 2 KUHAP)
4. Membuat surat dakwaan yang harus memuat identitas terdakwa, uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan pidana yang akan didakwakan. (pasal 14 Jo pasal 140 ayat 1 Jo Pasal 143 ayat 2 KUHAP)
5. Melimpahkan perkara kepengadilan. (pasal 14 Jo pasal 143 ayat 1 KUHAP)
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa , tentang hari dan waktu perkara disidangkan. (pasal 14 Jo pasal 146 ayat 1,2 KUHAP)
7. Melakukan penuntutan (pasal 14 Jo pasal 137 KUHAP)



[1] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm 52.
[2] Basrief Arief , Makalah dengan judul “Peran Kejaksaan Sebagai Sub Sistem Dalam dengan tema “Komitmen Penyidik Polri Melaksanakan Penegakan Hukum dengan Jujur, Benar dan Adil untuk Memenuhi Tuntutan Rasa Keadilan Masyarakat” pada tanggal 13 Maret 2012 di Hotel Mercure Ancol Jakarta, hlm.3
[3] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa Keterpaduan atau Pergulatan, (Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000), hal 31
[4] http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1 yang di unduh pada tanggal 5 Mei 2016
[5] Marwan Effendy, “Kejaksaan RI Posisi dan fungsinya dan perspektif hukum”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) hlm 101.
[6] Ibid.
[7] M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika,1995) hal 6-7.
[8] Satjipto Rahardjo “Polisi dan Masyarakat Indonesia” dalam Mochtar Lubis, Citra Polisi, jakarta Yayasan Obor Indonesia,Hal.174 - 176 yang dikutip oleh Topo Santoso, (dalam tesisnya “studi tentang hubungan polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, jakarta : 1999, hal. 29.
[9] Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, (Bogor :Ghalia Indonesia, 2010), hal 25
[10] Jan Remelink, Hukum Pidana, (Jakarta : PT Gramedia Utama, 2003), hal 4.

Comments

Popular posts from this blog

Resume Isu Hukum - Prof. Peter Mahmud

ISU HUKUM  A. Mengidentifikasi Isu Hukum Isu hukum mempunyai posisi sentral di dalam penelitian hukum, seperti halnya posisi permasalahan di dalam penelitian bukan hukum, isu hukum harus dipecahkan dalam penelitian hukum. Dalam penelitian hukum harus dijawab terlebih dahulu, apakah masalah yang akan diteliti tersebut merupakan isu hukum. Sebuah masalah yang kelihatannya konkrit belum tentu merupakan sebuah isu hukum.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu terhadap lainnya, dimana hubungan tersebut dapat bersifat fungsional, kausalitas (proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lainnya), maupun yang satu menegaskan yang lainnya.  Untuk memahami isu hukum perlu pemahaman mengenai ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Dalam tataran dogmatik hukum, sesuatu merupakan isu hukum apabila masalah itu berkaitan dengan ketentuan hukum yang relevan dan fakta yang dihadapi. Menurut penelitian tataran teori

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PENDEKATAN HUKUM PROGRESIF

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1                Latar Belakang Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dimana sifat Welas Asih dan Rahmat dapat menjadi "panutan". Sifat Ar-Rohman (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya (manusia), sedangkan sifat Ar-Rohim (Maha Penyayang) berarti bahwa Allah selalu merupakan Rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya. Berawal dari itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan hati nurani oleh karena itu selalu di dunia ini memancarkan sifat Welas Asih dan Rahmat baik kepada sesama manusia, sesama makhluk dan alam semesta, sehingga memberikan "Rahmatan Lil Alamin" bagi seluruh alam semesta. Setiap orang yang bisa berpikir jujur, harus mengakui bahwa kehadirannya di bumi ini bukan atas kehendak bebasnya sendiri, bahwa manusia menciptakan Allah SWT untuk dihormati, bukan untuk dipermalukan. [1]

Jasa Pembuatan Jurnal Ilmiah (Sinta dan Scopus)

  Jasa Pembuatan Tulisan Hukum berupa pembuatan Naskah Jurnal ilmu hukum yang dikerjakan langsung oleh Akademis Hukum tamatan FH USU dan MH UI.  Jurnal yang kami kerjakan dijamin tidak copy paste, sesuai dengan metode penulisan hukum dan akan kami buat dengan landasan teori hukum. Karena kami tidak ingin Tesis anda hanya asal jadi saja. Kami juga memiliki penyediaan referensi yang terbaru, dengan fasilitas jurnal dan perpustakaan FH UI yang dapat kami gunakan Untuk lebih meyakinkan anda bahwa kami telah berpengalaman, silahkan cek IG kami @jasapenulisanhukum Jurnal yang disarankan oleh dikti untuk publikasi sebenarnya ada 2 yaitu jurnal nasional dan jurnal internasional. Jika jurnal nasional yang anda pilih maka harus terindex Sinta dan terakreditasi. Jika internasional yang anda pilih setidaknya harus terindex Scopus tetapi sangat berat untuk memasuki scopus ini. Selain itu anda juga harus berhati hati karena scopus pun juga ada yang predator atau jurnal abal- abal. Tetapi untuk S